Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187351 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ani Rakhmaningrum
"Pandemi COVID-19 memberikan dampak psikologis pada individu di seluruh level usia termasuk remaja. Di masa ini remaja rentan mengalami distres psikologi yang kemudian dapat berdampak buruk pada kondisi kesehatan mentalnya. Dengan sumber distres yang tidak terhindarkan di masa pandemi ini, kajian untuk melihat faktor protektif yang dapat bertindak sebagai buffer hubungan distres psikologi dengan kesehatan mental remaja dirasa perlu untuk dilakukan. Salah satu faktor yang diduga berperan dalam hal ini adalah resiliensi. Penelitian ini melihat peran resiliensi terhadap hubungan antara distres psikologi dan kesehatan mental pada remaja. Penelitian ini merupakan menggunakan desain korelasional dan kuantitatif dengan teknik non probability sampling dengan target partisipan adalah remaja berusia 11-19 tahun. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner untuk mengukur kesehatan mental (Mental Health Continuum - Short Form), distres psikologi (K10), dan resiliensi (Resilience Scale – 14) secara onlinemelalui google form dengan jumlah sampel yang didapatkan sebanyak 390 orang. Hasil analisis multiple regression menunjukkan bahwa distres psikologi dan resiliensi memiliki sumbangan sebesar 40,5 persen terhadap kesehatan mental remaja setelah mengontrol jenis kelamin, usia, dan domisili. Analisis moderasi menggunakan PROCESS menemukan bahwa resiliensi secara signifikan memoderasi hubungan antara distres psikologi dengan kesehatan mental pada remaja (t = 2,038 dan p = < 0,05).

The COVID-19 outbreak has psychological impact on individuals at all ages including adolescents. At this very time, adolescents are prone to experiencing psychological distress which has a negative impact on their mental health. With a potential source of stress that cannot be avoided during this pandemic, a study to look at protective factors that can act as a buffer for the relationship between psychological distress and adolescent mental health during this pandemic is deemed necessary. One factor presumed to play a role is resilience. The aim of this study is to look at the role of resilience in the relationship between psychological distress and mental health in adolescents. This research uses correlational and quantitative design with non-probability sampling techniques, the target participants are adolescents aged 11-19 years. The research was conducted by distributing questionnaires to assess mental health (Mental Health Continuum - Short Form), psychological distress (K10), and resilience (Resilience Scale - 14) via google form and obtained 390 samples. Multiple regression analysis showed that psychological distress and resilience contributed 40,5 percent to adolescent mental health after controlling for gender, age, and domicile. Moderation analysis using PROCESS found that resilience significantly moderated the relationship between psychological distress and mental health in adolescents (t = 2.038 and p = <0.05)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Putri Puspitaningrum
"Pandemi COVID-19 menuntut adaptasi yang cepat bagi para remaja sehingga rentan memunculkan distres psikologis. Resiliensi dinilai berpotensi untuk memoderasi hubungan antara distress psikologis dengan kesehatan mental sehingga dalam kondisi yang menekanpun, peran sehari-hari masih bisa dijalankan. Studi 1 dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran resource dan vulnerability index of resiliency sebagai moderator hubungan antara distres dan kesehatan mental. Studi 2 bertujuan untuk melihat fisibilitas penggunaan aplikasi Bounce Back pada smartphone yang dikembangkan oleh peneliti dalam mengembangkan resiliensi, menurunkan distres, dan meningkatkan kualitas kesehatan mental remaja selama pandemi. Partisipan diminta untuk menggunakan fitur-fitur di dalam aplikasi Bounce Back selama 14 hari. Alat ukur yang digunakan adalah Mental Health Continuum – Short Form (MHC-SF), Hopkins Symptom Checklist (HSCL), dan Resilience Scale for Children and Adolescent (RSCA). Dari 111 partisipan dari studi 1, 52 di antaranya mengikuti studi 2 dan dibagi menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil yang diperoleh menunjukkan resource index berperan sebagai moderator hubungan distres dan kesehatan mental remaja (β = -0,016). Kemudian, aplikasi Bounce Back fisibel digunakan untuk remaja selama pandemi, khususnya dalam menurunkan distres (F = 11,29). Kelompok eksperimen juga menunjukkan peningkatan skor resource index dan kualitas kesehatan mental yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol.

The COVID-19 pandemic that needs rapid adaptation is prone to causing psychological distress for adolescents. Resilience has potential to moderate the relationship between psychological distress and mental health. Study 1 in this research aims to determine the role of resource and vulnerability index of resilience as a moderator of the relationship between distress and mental health. Study 2 aims to see the feasibility of using the Bounce Back apps to develop resilience, reduce distress, and improve the quality of mental health for adolescents during the pandemic. Participants use features in the Bounce Back application for 14 days. The measuring instruments used were the Mental Health Continuum - Short Form (MHC-SF), the Hopkins Symptom Checklist (HSCL), and the Resilience Scale for Children and Adolescents (RSCA). There are 111 participants in study 1, and 52 of them attended study 2. Resource index found can be the moderator for the relationship between distress and adolescent mental health (β = -0.016). Then, the Bounce Back application is feasible for adolescents during the pandemic, especially in reducing distress (F = 11.29). The experimental group also showed a more significant increased resource index scores and mental health than the control group."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vanda Pebruarini
"Layanan psikologis daring semakin berkembang dalam membantu remaja mencari bantuan profesional. Depresi yang dialami remaja merupakan faktor yang mempengaruhi remaja menggunakan layanan psikologis daring. Literasi kesehatan mental merupakan faktor yang perlu diteliti lebih lanjut untuk mengetahui perannya dalam memfasilitasi remaja dalam mencari bantuan psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran literasi kesehatan mental sebagai moderator antara gejala depresi dan intensi mencari bantuan psikologis pada remaja. Partisipan penelitian ini berusia 13-18 tahun dan memenuhi kriteria gejala depresi sesuai dengan alat ukur DASS-21. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan tiga instrumen yaitu DASS-21 milik Lovibond & Lovibond (1995) untuk mengenali tingkat depresi remaja, yang itemnya telah diadaptasi oleh Novera, Wetasin, & Khamwong (2013), Mental Health Literacy Scale (MHLS) milk O’Connor (2015) untuk mengukur literasi kesehatan mental yang itemnya telah diadaptasi oleh Pebruarini (2022), serta GHSQ milik Rickwood (2005) untuk mengukur intensi mencari bantuan psikologis yang dimodifikasi dalam konteks daring oleh Naila & Pebruarini (2022). Analisis moderasi dilakukan melalui program PROCESS dari Hayes v4.2 pada SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa literasi kesehatan mental memoderasi gejala depresi dengan intensi mencari bantuan psikologis daring. Dalam hal ini literasi kesehatan mental yang tinggi akan memperkuat remaja yang memiliki tingkat depresi yang tinggi dalam mencari bantuan psikologis daring.

Psychological Online Help Seeking is growing to help teenagers seek professional help. Depression can influence adolescents to use online psychological services. Mental health literacy needs further investigation to determine its role in facilitating adolescents seeking psychological assistance. This study aims to examine the role of mental health literacy as a moderator between depressive symptoms and the intention to seek psychological help in adolescents. The participants in this study were aged 13-18 years and met the criteria for depressive symptoms according to the DASS-21 measurement tool. Data collection used three instruments, namely DASS-21 from Lovibond & Lovibond's (1995) to identify the level of adolescent depression, whose items have been adapted by Novera, Wetasin, & Khamwong (2013), O'Connor's Mental Health Literacy Scale (MHLS) (2015) to measure mental health literacy whose items have been adapted by Pebruarini (2022), as well as Rickwood's online GHSQ (2005) to measure the intention to seek psychological assistance modified in an online context by Naila & Pebruarini (2022). Moderation analysis was carried out through the PROCESS program from Hayes v4.2 on SPSS. The results showed that mental health literacy moderated depressive symptoms with the intention to seek psychological help online. In this case, high mental health literacy will s"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Ayu Anggraeni
"Perubahan rutinitas dan pembatasan interaksi sosial yang terjadi selama pandemi Covid-19 turut memperburuk kesehatan mental seseorang (Kudinova et al., 2021). Perceived social support dapat melindungi seseorang dari masalah kesehatan mental. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu hubungan kedua variabel selama pandemi Covid-19 pada individu emerging adulthood yang berusia 18-25 tahun dan merupakan Warga Negara Indonesia yang tinggal di Indonesia. Menggunakan metode korelasional, hasil penelitian menunjukan bahwa secara keseluruhan masalah kesehatan mental memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan perceived social support r (249) = -,417 p < ,001, dimana tiap sumber dan kombinasi perceived social support yang tinggi dapat menurunkan tingkat masalah kesehatan mental individu emerging adulthood selama pandemi Covid-19.

Changes in routine and restrictions on social interaction that occurred during the Covid-19 pandemic also worsened a person's mental health (Kudinova et al., 2021). Perceived social support can protect a person from mental health problems. The aim of this study is to find out the relationship between the two variables during the Covid-19 pandemic in emerging adulthood who are 18-25 years old and are Indonesian citizens living in Indonesia. Using the correlation method, the results showed that mental health problems had a significant negative correlation with perceived social support r (249) = -,417 p < .001, where each source and combination of perceived social support could reduce the level of mental health problems."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caleb Leonardo Halim
"Pandemi COVID-19 berdampak buruk terhadap kesehatan fisik dan mental. Hal ini disebabkan karena semakin menurunnya tingkat aktivitas fisik masyarakat selama pandemi berlangsung. Rendahnya tingkat aktivitas fisik juga berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Tidak terkecuali pada petugas layanan kesehatan yang memiliki risiko untuk terpapar COVID-19 lebih tinggi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tingkat aktivitas fisik dan kesehatan mental (depresi, ansietas, stres) pada petugas layanan kesehatan di masa pandemi COVID-19. Metode: Penelitian potong lintang dengan menggunakan data primer. Pengambilan data di bulan Mei-Juni 2022 dan melalui metode kuesioner hybrid (daring dan luring). Aktivitas fisik dinilai dengan GPAQ (Global Physical Activity Questionaire) dan kesehatan mental dengan DASS-21 (Depression, Anxiety, Stress Scale-21). Hasil: Terdapat sebanyak 107 subjek yang ikut kedalam penelitian ini. Tingkat aktivitas fisik kurang didapatkan pada 55,1% petugas layanan kesehatan. Gejala kesehatan mental pada petugas layanan kesehatan didapatkan sebesar 23,4% untuk depresi, 31,8% untuk ansietas, dan 22,4% untuk stres. Dilakukan analisis bivariat untuk hubungan tingkat aktivitas fisik dengan depresi (PR = 0,881 (0,444-1,750); p>0,05), ansietas (PR = 0,915 (0,525-1,595); p>0,05), dan stres (PR = 0,961 (0,474-1,949); p>0,05). Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara tingkat aktivitas fisik dengan tingkat depresi, ansietas, dan stres. Kata Kunci: aktivitas fisik; ansietas; depresi; kesehatan mental; petugas layanan kesehatan; stres.

The COVID-19 pandemic has devastating impact both on physical and mental health. This is due to decreasing level of physical activity among people during the pandemic. Low level of physical activity also affect a person's mental health. Healthcare workers are no exception, who might have higher risk of being exposed to COVID-19. The purpose of this study was to describe the level of physical activity and mental health (depression, anxiety, stress) among healthcare workers during the COVID-19 pandemic. Methods: Cross-sectional study using primary data. Data collection was conducted in May-June 2022 and using questionnaire delivered through hybrid method (online and offline). Physical activity was assessed by GPAQ (Global Physical Activity Questionnaire) and mental health by DASS-21 (Depression, Anxiety, Stress Scale-21). Results: There were 107 subjects who participated in this study. Inadequate levels of physical activity were found in 55.1% of health care workers. Mental health symptoms among healthcare workers was 23.4% for depression, 31.8% for anxiety, and 22.4% for stress. Bivariate analysis was conducted for the association between levels of physical activity and depression (PR = 0.881 (0.444-1.750); p>0.05), anxiety (PR = 0.915 (0.525-1.595); p>0.05), and stress (PR = 0.961 (0.474-1.949); p>0.05). Conclusion: There was no significant association between the level of physical activity and the level of depression, anxiety, and stress."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valerie Josephine Dirjayanto
"Pendahuluan: COVID-19 telah mengakibatkan berbagai perubahan yang memengaruhi berbagai aspek dari kesehatan mental mahasiswa preklinik kedokteran, yang merupakan salah satu subset populasi paling rentan terhadap gangguan psikososial bahkan sebelum pandemi. Di antara perubahan tersebut, kualitas tidur adalah salah satu faktor yang kemungkinan berperan besar karena kaitan fisiologisnya dengan status mental. Di Indonesia, belum ada studi yang menganalisis hubungan antara kualitas tidur dan kesehatan mental ini pada mahasiswa kedokteran preklinik.
Metode: Studi potong lintang ini melibatkan 285 mahasiswa kedokteran preklinik di Indonesia. Setelah simple random sampling, data yang didapatkan dianalisis dengan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 24 for Mac. Kesehatan mental umum dinilai dengan menggunakan General Health Questionnaire-12 (GHQ-12), sedangkan kualitas tidur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Analissi asosiasi di antara kedua skor ini dilakukan dengan statistik Chi-square, sedangkan korelasi andtara domain-domain yang ada diinvestigasi berdasarkan Spearman’s rank-order correlation coefficient.
Hasil: Proporsi mahasiswa preklinik kedokteran Indonesia yang mengalami masalah psikososial adalah 96.5%, sedangkan yang mengalami gangguan tidur adalah 61.8%. Asosiasi yang signifikan ditemukan antara kualitas tidur buruk dan gangguan psikososial (OR=3.96; p=0.04). Korelasi lemah ditemukan antara kesehatan mental dan domain-domain kualitas tidur subjektif, latensi tidur, dan disfungsi aktivitas siang hari pada PSQI. Korelasi terkuat ditemukan antara disfungsi aktivitas siang hari dan disfungsi sosial.
Simpulan dan saran: Pada studi ini ditemukan asosiasi yang signifikan antara kualitas tidur buruk dan gangguan psikososial. Dengan demikian, lebih banyak perhatian seharusnya diberikan untuk meningkatkan kualitas tidur mahasiswa preklinik kedokteran sehingga kesehatan mentalnya baik pula. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memperkuat bukti serta mengeksplorasi faktor-faktor lain yang mungkin berpengaruh pada kesehatan mental mahasiswa preklinik kedokteran saat pandemi COVID-19.

Introduction: COVID-19 has brought about tremendous changes that affect many aspects including the mental health of preclinical medical students, who have been one of the most vulnerable groups to psychosocial changes even before the pandemic. Amongst those changes, sleep might be one of the most important factors as it is physiologically correlated with mental states through various pathways. In Indonesia specifically, there has been no study which explains this relationship in the preclinical medical students. Method: This cross-sectional study was conducted involving 285 preclinical medical students across Indonesia. After simple random sampling, data were analyzed using the Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 24 for Mac. General mental health was assessed using General Health Questionnaire-12 (GHQ-12), while the sleep quality was measured using the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Analysis of association between these scores employed Chi-square statistics, while correlations between domains were investigated through Spearman’s rank-order correlation coefficient.
Results: The proportion of Indonesian preclinical medical students who experience psychosocial disturbances was 96.5%, while those experiencing sleep disturbances was as high as 61.8%. Significant association was discovered between poor sleep quality and psychosocial disturbance (OR=3.96; p=0.04). Weak correlations were found between general mental health and subjective sleep quality, sleep latency, and daytime activity dysfunction domains of PSQI. The strongest correlation between domains existed between daytime activity dysfunction and social dysfunction.
Conclusion and recommendation: This study revealed significant association between poor sleep quality and psychosocial disturbance. Thus, more attention should be allocated in order to improve sleep quality, and hence mental health, of preclinical medical students in the current pandemic. Further studies are recommended to strengthen the evidence and explore other factors that might affect the mental health of preclinical medical students.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amyra Luthfia Mumpuni
"Adiksi media sosial merupakan suatu perilaku individu yang tidak dapat mengontrol diri sendiri untuk penggunaan media sosial sehingga terlalu banyak menghabiskan waktu dan usaha untuk mengakses yang dapat menganggu aktivitas sehari-hari. TikTok menjadi salah satu media sosial yang memiliki peningkatan pengguna semenjak pandemi COVID-19 dan mayoritas penggunanya adalah remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan adiksi media sosial TikTok dengan masalah kesehatan jiwa pada remaja di Jakarta Selatan. Metode penelitian menggunakan desain penelitian kuantitatif dengan metode Cross Sectional kepada 292 siswa SMAN 49 Jakarta, SMAN 70 Jakarta, dan SMAN 90 Jakarta. Adiksi media sosial TikTok diukur dengan kueisoner Bergen Social Media Addiction Scale (BSMAS) (t>1,96) dan masalah kesehatan jiwa diukur dengan Depression, Anxiety, and Stress Scale (DASS-21) (ɑ = 0,894). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar remaja masih termasuk dalam kategori adiksi media sosial TikTok ringan serta kecemasan normal, depresi normal, dan stres normal. Uji korelasi antara adiksi media sosial TikTok dengan masalah kesehatan jiwa diukur menggunakan uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p 0,001 < ɑ). Hasil tersebut menunjukkan bahwa jika adiksi media sosial TikTok tinggi, maka tingkat masalah kesehatan jiwa yang dirasakan akan cenderung tinggi. Penelitian selanjutnya dapat menganalisis tiap aspek perilaku adiksi media sosial TikTok dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat memengaruhi tingkat adiksi media sosial TikTok dengan cakupan populasi yang lebih luas.

Social media addiction is a behavior of individual who cannot control themselves so they spend too much time and effort to access which can interfere daily activities TikTok became one of social media that has increased users during pandemic of COVID-19 and major of users are adolescent. This study aims to determine the correlation between social media addiction of TikTok and mental health problems in adolescent in South Jakarta. The study method is a quantitative with cross sectional method to 292 students of SMAN 49 Jakarta, SMAN 70 Jakarta, and SMAN 90 Jakarta. TikTok social media addiction was measured by the Bergen Social Media Addiction Scale (BSMAS) ) (t>1,96), meanwhile mental health problems was measured by the Depression, Anxiety, and Stress Scale (DASS-21) (ɑ = 0,894). The results showed that most of the adolescent were included in the category of low in the social media addiction also still category normal for anxiety, depression, and stress. The correlation between TikTok social media addiction and mental health problems was measured by Chi Square showed that there is significant relationship (p 0,001 < ɑ). These results indicate that if TikTok’s social media addiction is high, then the perceived level of mntal health problems will tend to be high. Further study can analyze each aspect of behavior of social media addiction and examine more about the factors that influence TikTok social media addiction with wider population scope."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Tristan
"Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media sosial terhadap kesehatan mental masyarakat selama pandemi COVID-19. Ada banyak jenis penyakit mental yang disebabkan oleh penggunaan media sosial yang telah dilaporkan, namun makalah ini akan fokus pada tiga penyakit mental: depresi, kecemasan, dan stres traumatis sekunder. “Seberapa signifikan dampak konten yang terlihat di media sosial terhadap kesejahteraan psikologis orang?” akan membantu makalah untuk meneliti lebih spesifik tentang jenis konten yang dilihat dan bagaimana konten tersebut menyebabkan penyakit mental (depresi, kecemasan, stres traumatis sekunder). Selanjutnya makalah ini menggunakan teori Uses and Gratification. Metode dalam penulisan ini adalah melalui penggunaan metode penelitian sekunder, dengan menggunakan lima artikel jurnal yang berbeda. Temuan menunjukkan bahwa orang mempunyai keinginan untuk mengumpulkan informasi mengenai COVID-19 karena kebutuhan kognitif mereka, oleh karena itu media sosial digunakan untuk menerima berita tentang pandemi. Jenis konten dilihat di media sosial yang menyebabkan penyakit mental ini adalah konten terkait bencana, yaitu berita pandemi COVID-19 (jumlah kematian, jumlah orang yang terinfeksi) dan juga berita palsu yang beredar di media sosial yang terbukti menimbulkan kepanikan.

This paper aims to find the effects of social media on the mental health of people during the COVID-19 pandemic. There are many types of mental illnesses caused by social media usage that have been reported, however this paper will focus on three mental illnesses: depression, anxiety, and secondary traumatic stress. “How significant are the impacts of the content seen on social media on people’s psychological well-being?” will assist the paper to research more in specific on the types of content being seen and how that content causes these mental illnesses (depression, anxiety, secondary traumatic stress). Furthermore the paper uses the Uses and Gratification theory. The methods in this paper is through the use of secondary research methods, by using five different journal articles. The findings shows that people are in a constant need to gather knowledge of COVID-19 due to their cognitive needs, therefore social media is being used as a medium to receive news regarding the pandemic. The type of content being seen on social media that causes these mental illnesses are disaster-related content, which are the updates of the COVID-19 pandemic (death count, number of people being infected) and also the fake news that are circulating on social media which has proven to cause panic."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Kartika
"Studi terdahulu menunjukkan remaja cenderung memiliki intensi yang rendah untuk mencari bantuan profesional sekalipun berisiko mengalami masalah kesehatan mental. Karakteristik unik perkembangan remaja dan konteks budaya juga menjadikan penelitian tentang faktor yang mendukung intensi mencari bantuan pada remaja di Indonesia penting untuk dieksplorasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran sikap terkait mencari bantuan sebagai mediator dalam hubungan antara distress disclosure dan intensi remaja untuk mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional setelah mengontrol usia, jenis kelamin, dan pengalaman konseling sebelumnya. Sebanyak 254 remaja di Indonesia (M = 15.31 tahun) mengisi kuesioner secara daring, yakni Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Distress Disclosure Index (DDI), dan Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). Hasil studi menemukan bahwa sikap memediasi secara penuh hubungan antara distress disclosure dan intensi remaja mencari bantuan sekalipun usia, jenis kelamin, dan pengalaman konseling sudah dikontrol (ab = .0783, 95%, BCa CI [0.0030, 0.1666]). Semakin tinggi distress disclosure, maka sikap remaja terkait mencari bantuan semakin positif. Sikap positif ini yang akan meningkatkan intensi remaja mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional. Temuan ini mengindikasikan pentingnya mempertimbangkan distress disclosure dan sikap terkait mencari bantuan dalam upaya meningkatkan intensi remaja di Indonesia untuk mencari bantuan kepada tenaga kesehatan mental profesional.

Previous studies have shown that adolescents' intention to seek professional help tends to be low though they are at risk of having mental health problems. The uniqueness of adolescent development and the cultural context also make research about facilitating factors in Indonesian adolescents’ help seeking intention important to be explored. The current study aimed to investigate the role of mental help seeking attitude as a mediator between distress disclosure and adolescents’ intention to seek mental health professional help after controlling ages, gender, and previous counseling experiences. A total of 254 Indonesian adolescents (M = 15.31 years) filled out online questionnaires consisting of the Intention to Seek Counseling Questionnaire (ISCI), Distress Disclosure Index (DDI), and Mental Help Seeking Attitude Scale (MHSAS). The result found that attitude fully mediated the relationship between distress disclosure and adolescents' help seeking intention even after controlling the ages, gender, and counseling experiences (ab = .0783, 95%, BCa CI [0.0030, 0.1666]). The higher the distress disclosure, the more positive the help seeking attitude. The more positive attitude, the higher adolescents’ intention to seek help. The results indicate that to increase Indonesian adolescent’s intention to seek professional help, distress disclosure and mental help seeking attitude have to be considered."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suciati Zen Nur Hidayati
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran hubungan antara kualitas pertemanan dengan kesehatan mental pada remaja awal. Pengukuran kualitas pertemanan menggunakan alat ukur Friendship Quality Questionnaire yang disusun oleh Parker dan Asher (1993) dan pengukuran kesehatan mental menggunakan alat ukur yang Mental Health Continuum- Short Form yang disusun oleh Keyes (2002). Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 119 remaja berusia 12-14 tahun yang sedang duduk di bangku kelas 7 dan 8 SMP Kota Depok. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas pertemanan dan kesehatan mental pada remaja (r = 0,184; p = 0,046, signifikan pada L.oS 0,05). Artinya, semakin tinggi kualitas pertemanan maka semakin tinggi pula kesehatan mentalnya. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan 3,38% skor kualitas pertemanan dapat dijelaskan dari skor kesehatan mental.

This study was conducted to get an overview of the relationship between the quality of friendship and mental health among early adolescence. Friendship quality is measured by Friendship Quality Questionnaire constructed by Parker and Asher (1993), and mental health is measured by Mental Health Continuum- Short Form compiled by Keyes (2002). Participants in this research were 119 adolescents,with the age range of 12-14 years old which currently are in the 7th and 8th grade junior high school in Depok. The result showed a significant relationship between friendship quality and mental health in adolescents (r = 0,184; p = 0,046, significant at L.oS 0,05), which mean the higher the quality of friendship, the higher mental health. In addition, the results also showed that 3.38% of friendship quality score can be explained by mental health scores."
2015
S59125
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>