Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167767 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stephanie
"Meskipun inovasi kesehatan dan perawatan gizi telah maju, penurunan pertumbuhan tetap menjadi masalah penting pada bayi prematur selama perawatan di NICU. Demi mencegah terjadinya dampak merugikan di masa depan, faktor risiko dari penurunan pertumbuhan perlu dianalisis agar dapat meningkatkan kewaspadaan dan membantu petugas kesehatan dalam memberikan perawatan terbaik untuk pasien neonatus rawat inap.
Penelitian cross-sectional ini bertujuan untuk mengidentifikasi korelasi antara berat lahir, usia gestasi, durasi untuk mencapai pemberian full enteral feeding, dan lama rawat inap terhadap penurunan pertumbuhan pada pasien neonatus rawat inap. Sebanyak 47 rekam medis neonatus (berat lahir 1000-2500, usia gestasi 28-35 minggu) yang lahir di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo antara Januari hingga Desember 2018 dikumpulkan. Data kemudian diolah dengan SPSS Statistics 20. Dari 47 subjek, 18 (38.3%) mengalami penurunan berat badan, 4 (8.5%) mengalami penurunan tinggi badan, dan 3 (6.4%) mengalami penurunan lingkar kepala.
Dalam analisa bivariat, tidak ada faktor risiko (berat lahir, usia gestasi, durasi untuk mencapai pemberian full enteral feeding, dan lama rawat inap) yang secara signifikan berhubungan dengan penurunan berat badan, tinggi badan, ataupun lingkar kepala (p > 0.05). Hal ini dikarenakan pertumbuhan subjek dalam penelitian ini hanya diikuti selama dua minggu. Namun demikian, penurunan pertumbuhan paling banyak terlihat pada berat badan, diikuti oleh tinggi badan dan lingkar kepala. Penjelasan logis untuk ini adalah karena penurunan pertumbuhan individu sendiri dimulai dengan berat badan, lalu tinggi badan, dan dalam kondisi yang parah juga melibatkan lingkar kepala. 

Despite modern health innovations and nutritional care, growth deterioration remain as a significant issue in preterm neonates treated in the NICU. To prevent adverse long- term consequences, risk factors of growth deterioration should be analyzed to increase vigilance and assist health workers in providing the best care for neonatal inpatient.
This cross-sectional study aims to identify the correlation between birth weight, gestational age, duration to achieve full enteral feeding, and length of hospitalization with growth deterioration in neonatal inpatient. A total of 47 medical records of neonates (birth weight 1000-2500, gestational age 28-35 weeks) born in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital between January to December 2018 were collected. Data were then processed with SPSS Statistics 20. Out of 47 subjects, 18 (38.3%) experience weight deterioration, 4 (8.5%) experience height deterioration, and 3 (6.4%) experience head circumference deterioration.
In bivariate analysis, none of the risk factors (birth weight, gestational age, duration to achieve full enteral feeding, and length of hospitalization) is significantly associated with weight, height, or head circumference (p > 0.05). This is because the growth trajectories of the subjects in this study are only followed up to two weeks. However, it can be observed that growth deterioration was highest seen in weight, followed by height and head circumference. A logical explanation behind this is that a decrease in individual growth trajectory begins with weight, then height, and in severe condition head circumference. 
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahardi Mokhtar
"Latar belakang: Pneumotoraks merupakan kondisi terjadinya akumulasi udara di pleura yang dapat menyebabkan kolaps pada paru, dan paling lebih sering terjadi pada periode neonatus dibandingkan dengan periode kehidupan lainnya. Angka insidens pneumotoraks meningkat menjadi 6-7% pada kelahiran bayi berat lahir rendah (BBLR). Saat ini sudah banyak kemajuan dalam perawatan intensif neonatus, tetapi pneumotoraks tetap menjadi komplikasi pernapasan utama yang menyebabkan kematian. Identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan pneumotoraks pada neonatus penting agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat dan sebagai evaluasi pencegahan dan tata laksana yang saat ini sudah diterapkan.
Metode: Penelitian kasus kontrol ini melibatkan neonatus usia <28 hari yang lahir cukup bulan di RSCM yang diambil retrospektif secara consecutive sampling mulai perawatan 1 Januari 2021 hingga 31 Desember 2022. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus (dengan pneumotoraks) dan kontrol (tanpa pneumotoraks) berdasarkan klinis dan radiologis selama perawatan. Faktor risiko yang ada pada masing-masing kelompok diidentifikasi dari rekam medis. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil: Total 116 subjek yang diteliti terdiri atas 58 subjek pada kelompok kasus dan 58 subjek pada kelompok kontrol. Angka kejadian pneumotoraks pada bayi di RSCM yaitu 2%. Faktor yang terbukti menjadi risiko terhadap insidens pneumotoraks adalah ventilasi mekanik invasif (OR 3,19; IK 1,01-10,11; p=0,048). Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan pneumotoraks adalah ventilasi tekanan positif saat resusitasi, sindrom distres napas, dan sepsis neonatorum. Angka kematian bayi dengan pneumotoraks adalah 72,4%.
Kesimpulan: Faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan pneumotoraks pada bayi usia <28 hari yang lahir cukup bulan adalah penggunaan ventilasi mekanik invasif.

Background: Pneumothorax is a condition where air accumulation in the pleura can lead to lung collapse, and is more common in the neonatal period compared to other periods of life. The incidence of pneumothorax increases to 6-7% in low birth weight (LBW) neonates. There have been many advances in the intensive care of neonates, but pneumothorax remains a major respiratory complication leading to death. Identification of risk factors associated with pneumothorax in neonates is important for appropriate management and to evaluate current prevention and management.
Method: This case-control study involved neonates aged <28 days who were born at full term at RSCM who were taken retrospectively by consecutive sampling from January 1st 2021 to December 31st 2022. Subjects were divided into case groups (with pneumothorax) and controls (without pneumothorax) based on the clinical and radiology during treatment. The risk factors in each group were identified from medical records. The data were then analysed using the SPSS program.
Result: A total of 116 subjects were studied, consisting of 58 subjects in the case group and 58 subjects in the control group. The incidence rate of pneumothorax in neonates at RSCM was 2%. The factor that proved to be a risk factor for the incidence of pneumothorax in neonates was invasive mechanical ventilation (OR 3.19; IK 1.01-10.11; p=0.048). Factors not associated with pneumothorax were positive pressure ventilation during resuscitation, respiratory distress syndrome, and neonatal sepsis. The mortality rate of neonates with pneumothorax was 72.4%.
Conclusion: Risk factor that significantly associated with pneumothorax in neonates aged <28 days who were born at full term is invasive mechanical ventilation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rachel Monique
"Berdasarkan laporan WHO 2013, kasus TB ekstra paru di Indonesia mengalami peningkatan dari 14.054 tahun 2012 menjadi 15.697 tahun 2013. Salah satu rumah sakit yang mencatat adanya peningkatan kasus TB ekstra paru adalah RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta sehingga, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan TB ekstra paru pada pasien rawat inap TB di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2011-2013.
Penelitian ini menggunakan rekam medis dengan desain studi kasus kontrol. Sampel penelitian ini meliputi kasus yaitu, pasien rawat inap TB ekstra paru tahun 2011-2013 serta kontrol yaitu, pasien rawat inap TB paru tahun 2011-2013 dengan rekam medis yang tercatat lengkap.
Hasil penelitian menunjukkan proporsi kasus TB ekstra paru tertinggi berdasarkan organ terjangkit adalah TB tulang dan sendi sebesar 60%. Setelah TB ekstra paru dihubungan dengan beberapa variabel, umur < 25 tahun (OR: 19,36; 95% CI: 4,90-76,44) dan 25-50 tahun (OR: 4,40; 95% CI: 1,42-13,62), riwayat DM (OR: 0,08; 95% CI: 0,02-0,37) dan riwayat hipertensi (OR: 0,17; 95% CI: 0,03-0,81) secara statistik memiliki hubungan bermakna dengan TB ekstra paru, tetapi riwayat DM dan riwayat hipertensi menjadi faktor proteksi terhadap TB ekstra paru.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait faktor-faktor yang berperan terhadap TB ekstra paru, memberikan perhatian khusus kepada pasien yang lebih berisiko dalam diagnosis, serta promosi kesehatan kepada masyarakat agar lebih menyadari bahwa TB dapat menyerang organ lain selain paru-paru yang akan berdampak serius jika tidak ditangani segera, khususnya mereka yang termasuk kelompok berisiko.

Based on the WHO report 2013, extra-pulmonary TB cases in Indonesia have increased from 14.054 in 2012 to 15.697 in 2013. One of hospitals which get an increase of extra-pulmonary TB cases is National Center General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, so, this study ultimately aims to identify risk factors that associated with extra-pulmonary TB to TB hospitalized patients in National Center General Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta 2011-2013.
This study is using medical records with the design of case-control study. Samples of this study include the case is extra-pulmonary TB hospitalized patients 2011-2013 while control is pulmonary TB hospitalized patients in 2011-2013. Both case and control must have complete medical records.
The results showed that the highest proportion of extrapulmonary TB cases by an affected organ is tuberculosis of bones and joints by 60%. After connecting extra-pulmonary TB with several variables, age < 25 years (OR: 19,36; 95% CI: 4,90-76,44) and 25-50 years (OR: 4,40; 95% CI: 1,42-13,62), history of diabetes (OR: 0,08; 95% CI: 0,02-0,37) and history of hypertension (OR: 0,17; 95% CI: 0,03-0,81), they statistically had significant association with extra-pulmonary TB, but a history of diabetes mellitus and a history of hypertension be protective factors against extra-pulmonary TB.
Therefore, it is advisable to do further research related to the factors that contribute to extra-pulmonary TB, giving special attention to patients who are more at risk in making the diagnosis, and doing health promotion to the public to be more aware that TB can affect other organs beside the lungs that would have a serious impact if it is not treated promptly, especially for the risky ones.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55894
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hildebrand Hanoch Victor
"Latar Belakang. Pneumonia nosokomial adalah infeksi paru yang terjadi setelah pasien dirawat di rumah sakit setelah lebih dari 48 jam, tanpa adanya tanda dari infeksi paru pada saat perawatan. Jika dibandingkan dengan individu usia muda, pada individu usia lanjut lebih sering didapatkan adanya penyakit infeksi yang bersumber dari komunitas dan nosokomial dengan hasil akhir yang lebih buruk. Penilaian domain Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G) diharapkan dapat menjelaskan faktor yang berperan terhadap pneumonia nosokomial pada pasien usia lanjut.
Tujuan. Mengetahui proporsi pasien usia lanjut yang dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan mengalami pneumonia nosokomial dan apakah domain P3G merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian pneumonia nosokomial.
Metode. Kohort retrospektif dengan melihat rekam medis pasien usia ≥ 60 tahun yang menjalani rawat inap dalam rentang waktu Januari-September 2019 di ruang rawat medis Ilmu Penyakit Dalam Geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan mengambil data sekunder dari penelitian divisi geriatri. Sampel yang diambil adalah pasien yang dirawat inap dengan usia ≥ 60 tahun yang mengalami pneumonia nosokomial. Pengolahan data menggunakan aplikasi Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 16.0. 
Hasil. Dari 228 subjek, proporsi pneumonia nosokomial pada pasien usia lanjut yang menjalani rawat inap adalah 31,14%. Rerata usia adalah 69 tahun dengan rentang usia subjek antara 60-89 tahun. Status nutrisi (RO 2,226, IK95% 1,027-4,827) dan status fungsional (RO 3,578, IK95% 1,398-9,161) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian pneumonia nosokomial pada pasien usia lanjut yang menjalani rawat inap di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Simpulan. Proporsi pasien usia lanjut yang mengalami pneumonia nosokomial adalah 31,14%. Status nutrisi dan status fungsional merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian pneumonia nosokomial pada pasien usia lanjut yang dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Background. Nosocomial pneumonia is a lung infection that occurs after the patient is hospitalized for more than 48 hours, without any signs of pulmonary infection at the time of treatment. When compared with young individuals, elderly individuals are more likely to have community-sourced and nosocomial infections with worse outcomes. Comprehensive Geriatric Assessment (CGA) domains are expected to explain the factors that contribute to nosocomial pneumonia in elderly patients.
Objective. To determine the proportion of elderly treated at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital and experienced nosocomial pneumonia and whether the CGA domains influence nosocomial pneumonia.
Methods. A retrospective cohort by looking at the medical records of patients aged 60 years or older who were hospitalized in the medical ward of Geriatric Internal Medicine at Dr. Cipto Mangunkusomo National Central General Hospital in January-September 2019 and taking secondary data from the geriatric division research. The samples were taken from hospitalized patients aged 60 years or older who had nosocomial pneumonia. Data processing using the application of Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 16.
Result. From 228 subjects, the proportion of nosocomial pneumonia in elderly patients who were hospitalized was 31,14%. The mean age was 69 years with the subject's age range between 60-89 years. Nutritional status (OR 2.226, CI 95% 1.027-4.827) and functional status (OR 3.578, 95% CI 1.398-9.161) are factors that influence the incidence of nosocomial pneumonia in elderly patients who are hospitalized at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital.
Conclusion. The proportion of elderly patients with nosocomial pneumonia was 31.14%. Nutritional status and functional status are factors that influence the incidence of nosocomial pneumonia in elderly patients who are hospitalized at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Kholifah
"Kebersihan mulut bagi lansia merupakan tindakan keperawatan mandiri yang dimiliki pengaruh penting terhadap status kesehatan lansia. Penerapan kebersihan mulut sering bukan prioritas dalam tindakan keperawatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap, dan praktik perawat tentang oral hygiene pada orang tua di ruang rawat inap. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan desain penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap RSUPN Cipto Mangunkusumo dengan melibatkan 75 perawat. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner administrasi mandiri. Hasil penelitian ini menggambarkan tingkat pengetahuan perawat 27 (36%) baik, 48 (64%) cukup dan tidak.
Ada perawat yang memiliki pengetahuan kurang, 42 (56%) bersikap buruk dan 33 (44%) baik, dan praktik perawat 51 (68%) buruk dan 24 (32%) baik. Hasil penelitian juga menunjukkan pengaruh pendidikan dan pengalaman kerja pada level pengetahuan, sikap, dan praktik perawat. Upaya menambah ilmu dan praktik perawat mengenai kebersihan mulut perlu ditingkatkan melalui pelatihan, seminar, dan lokakarya.

Oral hygiene for the elderly is an independent nursing action that has an important influence on the health status of the elderly. The application of oral hygiene is often not a priority in nursing actions. This study aims to describe the knowledge, attitudes, and practices of nurses about oral hygiene in parents in the inpatient room. The research method used is quantitative with a descriptive research design. This research was conducted in the inpatient room of RSUPN Cipto Mangunkusumo involving 75 nurses. The research instrument used was an independent administration questionnaire. The results of this study illustrate that the level of knowledge of nurses is 27 (36%) good, 48 (64%) sufficient and not There are nurses who have less knowledge, 42 (56%) have bad attitude and 33 (44%) are good, and the practice of nurses 51 (68%) is bad and 24 (32%) is good. The results also showed the effect of education and work experience on the level of knowledge, attitudes and practices of nurses. Efforts to increase the knowledge and practice of nurses regarding oral hygiene need to be improved through training, seminars, and workshops."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gestana Andru
"Latar Belakang. Gangguan tidur sering dijumpai pada penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (LES). Tidur yang buruk berdampak pada kualitas hidup yang rendah serta eksaserbasi akut dari inflamasi akibat LES. Penelitian mengenai kualitas tidur yang buruk pada pasien LES serta faktor - faktor yang berhubungan di Indonesia masih terbatas.
Tujuan. Mengetahui proporsi kualitas tidur yang buruk pada pasien LES di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan.
Metode. Metode yang digunakan adalah studi potong lintang, melibatkan 166 subjek LES berusia minimal 18 tahun yang berobat ke poliklinik Alergi Imunologi RSCM sejak Januari 2019. Subjek mengisi secara mandiri kuesioner kualitas tidur menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index(PSQI) dan kuesioner gejala depresi dan ansietas menggunakan Hospital Anxiety Depression Scale(HADS). Skala nyeri dinilai mengggunakan Visual Analogue Scale(VAS), aktivitas penyakit LES dinilai menggunakan Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000(SLEDAI-2K). Subjek menjalani pemeriksaan imbalans otonom yang dinilai menggunakan rasio Low Frequency/High Frequency (LF/HF) dari Heart Rate Variability(HRV), dan pemeriksaan kadar high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP).Analisis bivariat menggunakan uji Chi Squaredan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil. Rerata untuk skor PSQI global pada 166 subjek sebesar 9,36 (3,61) dengan proporsi kualitas tidur buruk sebanyak 82,5%. Pada analisis bivariat didapatkan dua variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk yaitu gejala depresi (OR: 5,95; p: 0,03) dan gejala ansietas (OR: 2,44; p: 0,05). Regresi logistik tidak menunjukkan variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk.
Simpulan.Proporsi kualitas tidur buruk pada pasien LES sebesar 82,5%. Tidak terdapat faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk pada LES.

Background. Sleep disturbances are often seen in systemic lupus erythematosus (SLE). Poor sleep will lead to poor quality of life and frequent exacerbations of SLE. However, studies about poor sleep quality in SLE patients as well as the contributing factors are limited.
Objectives. The aim of this study is to determine the proportion of poor sleep quality in SLE patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM) and to assess its contributing factors.
Methods. This study used a cross sectional design involving 166 subjects of SLE patients from Immunology clinic since January 2019. The Pittsburgh Sleep Quality Index was used to assess sleep quality of subjects. Depression and anxiety symptoms was assesed using the Hospital Anxiety Depression Scale (HADS). Pain scale was assesed using Visual Analogue Scale (VAS) and SLE activity was assessed using Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000 (SLEDAI-2K). Autonomic imbalance was assesed using Low Frequency/High Frequency(LF/HF) ratio from Heart Rate Variability(HRV), and subjects went through high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP) test. Bivariate analysis using Chi Square test and multivariate analysis using logistic regression.
Result.The mean global score for the PSQI among 166 subjects was 9,36 (3,61). The proportion of poor sleep quality was 82.5%. There were two variables with significant association including depressive symptoms (OR 5.95; p 0.03) and anxiety symptoms (OR 2.44; p 0.05). There were no variable with significant association through logistic regression.
Conclusion. The proportion of poor sleep quality from SLE patients in RSCM was 82.5%. This study did not find any factors associated with poor sleep quality in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Asicha
"Latar Belakang Artritis reumatoid merupakan penyakit reumatik yang sering menyebabkan gangguan fungsional dan penurunan kualitas hidup. Faktor-faktor yang berbeda telah dilaporkan mempengaruhi kualitas hidup pasien AR. Penelitian ini bertujuan mengetahui rerata kualitas hidup pasien AR dan faktor-faktor yang berperan dalam kualitas hidup pasien AR.
Metode Penelitian Sebanyak 152 subjek direkrut dari Poliklinik Reumatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Data mengenai sosiodemografi, kondisi klinis dan laboratorium yang berkaitan dengan aktivitas penyakit, status fungsional, masalah psikologis, dan jumlah komorbiditas diambil dalam penelitian ini. Kualitas hidup diukur menggunakan kuesioner EuroQol five demensional (EQ-5D) and EQ global health visual analogue (VAS). Analisis dilakukan secara univariat, bivariat, dan multivariat.
Hasil Penelitian Sebayak 90,8% perempuan dengan rerata usia 49,41 ± 12,31 tahun dengan tingkat pendidikan menengah serta tidak bekerja. Mayoritas subjek memiliki derajat aktivitas penyakit sedang (median 3.26 (1,03 – 6,89) dan status fungsional mandiri. Median durasi penyakit penyakit 3 (0 – 34) tahun. Gangguan psikologis seperti ansietas (11,2%) dan depresi (20,4%) juga ditemukan. Median nilai indeks 0,84 (0,170 – 1,000) dan median nilai EQ VAS 70 40 – 100). Faktor-faktor yang secara independen berperan dalam nilai indeks adalah disabilitas fungsional, aktivitas penyakit, dan depresi, sedangkan untuk EQ VAS disabilitas fungsional, aktivitas penyakit, depresi, ansietas dan komorbiditas untuk EQ VAS.
Kesimpulan Disabilitas fungsional, aktivitas penyakit, gangguan psikologis dan jumlah komorbiditas memiliki pengaruh negatif terhadap kualitas hidup pasien AR. Sehingga evaluasi terhadap faktor-faktor tersebut harus dipertimbangkan dalam standar pelayanan pasien AR dan tatalaksana yang sesuai harus dioptimalkan.

Background. Rheumatoid arthritis (RA) is a rheumatic disease that often causes functional disorders and decreased health related quality of life (HRQoL). Different factors have been reported affecting HRQoL of RA patients. This study aims to evaluate the HRQoL and related factors in patients with RA.
Methods. One hundred and fifty-two patients from Reumatology polyclinic at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta were enrolled. Data about sosiodemographic, clinical and laboratory data related to disease activity, functional status, psyological problem, and number of comorbidities were collected. HRQoL was assessed using the Indonesian EuroQol five demensional questionnaire (EQ-5D) and EQ global health visual analogue (VAS). Univariate analysis, bivariate and multivariate analysis were employed to identify factors related to HRQoL.
Results. Ninety percent were female with a mean age ± Sof 49.41 ± 12.31 years with a secondary education level and unemployed. Majority of subjects had moderate disease activity (median 3.26 (1.03 – 6.89) and independent functional status. Median duration of illness was 3 (0 – 34) years. Psychological disorders such as anxiety (11.2%) and depression (20 .4%) were also found, the median index value 0.84 (0.170 – 1,000) and the median EQ VAS 70 40 – 100). The factors that independently played a role in the index score were functional disability, disease activity, and depression, while for the EQ VAS were functional disability, disease activity, depression, anxiety, and number of comorbidities.
Conclusion. Functional disability, disease activity, psychological disorders and the number of comorbidities have a negative influence on the HRQoL of RA patients. So, the evaluation of these factors must be considered in the standard of care for RA patients and the appropriate management must be optimized
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fifi Mifta Huda
"ABSTRAK
Latar belakang: Kandidosis merupakan penyakit infeksi primer atau sekunder yang disebabkan oleh jamur genus kandida terutama C. albicans pada 70-80 kasus. Penelitian yang ada melaporkan pasien rawat inap sebagai kelompok yang berisiko terjadi infeksi kandidosis kutis. Tujuan: Mengetahui proporsi dan identifikasi spesies penyebab kandidosis kutis serta faktor yang berhubungan di Unit Rawat Inap RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Studi ini adalah penelitian potong lintang dengan desain deskriptif dan pemilihan sampel secara consecutive sampling. Hasil: Didapatkan 14 dari 96 SP dengan kandidosis kutis. Spesies penyebab kandidosis kutis adalah C. albicans 61,7 , C. non albicans 17,6 dan C. campuran 20,5 . Subjek dengan imobilisasi memiliki kemungkinan 7,93 kali untuk terjadi kandidosis kutis. Perbedaan kelembapan udara sebesar 0,4 memiliki kemungkinan 1,49 kali untuk terjadi kandidosis kutis di atasnya. Simpulan: Ditemukan proporsi kandidosis kutis adalah 35,4 . Spesies penyebab kandidosis kutis terbanyak adalah C. albicans. Faktor yang meningkatkan kandidosis kutis adalah imobilisasi dan peningkatan kelembapan udara di ruang perawatan.

ABSTRACT
Background Candidiasis is a primary or secondary infection disease caused by the Candida especially C. albicans in 70 80 of cases. Previous research reports inpatients as a group at risk of cutaneous candidiasis infection. Objective To determine the proportion of cutaneous candidiasis, identify candida species, and the related risk factors of infection in Inpatient Unit of Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Methods This is a cross sectional research of descriptive design using consecutive sampling technique. Results The study found that 14 out of 96 SP were 35,4 is cutaneous candidiasis, which caused by C. albicans 61.7 , Candida non albicans 17.6 and mixture candida 20.5 . The probabilty cutaneous candidiasis 7.93 times increased in subjects with immobilization and the difference of level air humidity above 0.4 increased 1.49 times. Conclusion The proportion of cutaneous candidiasis is 35.4 . The most common cause of candidiasis is C. albicans. Related risk factors that probability induce cutaneous candidiasis are immobilization and increasing level of air humidity. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Azzahra
"Latar Belakang. Prevalensi gangguan kognitif pada pasien artritis reumatoid (AR) berpotensi menurunkan kapasitas fungsional, kualitas hidup, dan kepatuhan berobat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi gangguan kognitif pada pasien AR di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Metode. Penelitian dengan desain potong-lintang ini mengikutsertakan pasien AR berusia ≥18 tahun yang berobat di Poliklinik Reumatologi RSCM pada periode Oktober-Desember 2021. Data demografik, klinis, terapi, dan laboratorium dikumpulkan. Status fungsi kognitif dinilai dengan kuesioner MoCA-INA. Analisis bivariat dan multivariat regresi logistik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prediktif terjadinya gangguan kognitif pada pasien AR: usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, durasi penyakit, aktivitas penyakit, skor faktor risiko penyakit kardiovaskular, depresi, terapi kortikosteroid, dan methotrexate.
Hasil. Dari total 141 subjek yang dianalisis, 91,5% adalah perempuan, dengan rerata usia 49,89±11,73 tahun, sebagian besar tingkat pendidikan menengah (47,5%), median durasi penyakit 3 tahun (0,17-34 tahun), memiliki aktivitas penyakit ringan (median DAS-28 LED 3,16 (0,80-6,32)), dan skor faktor risiko penyakit kardiovaskular rendah (median 4,5% (0,2-30 %)). Sebanyak 50,4% subjek diklasifikasikan mengalami gangguan kognitif, dengan domain kognitif yang terganggu adalah visuospasial/eksekutif, atensi, memori, abstraksi, dan bahasa. Analisis regresi logistik menunjukkan usia tua (OR 1,032 [IK95% 1,001–1,064]; p=0,046) dan tingkat pendidikan rendah (pendidikan dasar) (OR 2,660 [IK95% 1,008–7,016]; p=0,048) berhubungan dengan gangguan kognitif pada pasien AR.
Kesimpulan. Prevalensi gangguan kognitif pada pasien AR di RSCM sebesar 50,4%, dengan faktor prediktif terjadinya gangguan kognitif tersebut adalah usia tua dan tingkat pendidikan yang rendah.

Background. Cognitive impairment in rheumatoid arthritis (RA) patients could decrease functional capacity, quality of life, and medication adherence. The objective of this study was to explore the prevalence and possible predictors of cognitive impairment in RA patients in Dr. Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, Jakarta.
Method. This cross-sectional study included Indonesian RA patients aged ≥18 years old, who visited rheumatology clinic at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, on October to December 2021. Demographic, clinical, therapeutic, and laboratory data were collected. Cognitive function was assessed using MoCA-INA questionnaire. Bivariate and multivariate logistic regression analysis were performed to identify predictive factors of cognitive impairment in RA patients: age, gender, education level, disease duration, disease activity, cardiovascular disease (CVD) risk factor scores, depression, corticosteroid, and methotrexate therapy.
Results. Of the total 141 subjects analysed, 91.5% were women, mean age 49.89±11.73 years old, mostly had intermediate education level (47.5%), median disease duration 3 (0.17-34) years. They had mild disease activity (median DAS-28 ESR 3.16 (0.80-6.32)), and low CVD risk factor score (median 4.5 (0.2-30) %). In this study, 50.4% of the subjects were classified as having cognitive impairment. The cognitive domains impaired were visuospatial/executive, attention, memory, abstraction, and language. In logistic regression analysis, old age (OR 1.032 [95%CI 1.001–1.064]; p=0.046) and low education level (OR 2.660 [95%CI 1.008–7.016]; p=0.048) were associated with cognitive impairment.
Conclusion. The prevalence of cognitive impairment in RA patients in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital was 50.4%, with the its predictive factors were older age and lower education level.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny D`Silva
"Latar belakang. Transplantasi hati merupakan terapi definitif untuk penyakit hati tahap akhir baik pada dewasa maupun anak. Beberapa dekade terakhir, kemajuan dalam teknik bedah, perservasi, terapi imunosupresif, pemantauan dan pengobatan infeksi telah meningkatkan keberhasilan transplantasi hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan satu tahun pasien dan graft pasca-transplantasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang mengkarakterisasi pasien <18 tahun yang menjalani transplantasi hati selama periode tahun 2010 dan 2022. Sumber data melalui penelusuran rekam medis. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menggambarkan kesintasan pasien dan graft. Analisis statistik bivariat dan multivariat dilakukan dengan menggunakan uji log-rank dan Cox’s proportional hazards. Nilai p <0,05 dianggap signifikan pada analisis multivariat.
Hasil. Sebanyak 55 pasien anak yang menjalani transplantasi hati; 50,9% adalah lelaki dengan rerata usia 16 bulan. Atresia bilier merupakan penyebab terbanyak dari penyakit hati kronis tahap akhir yang menjalani transplantasi hati. Kesintasan satu tahun secara keseluruhan adalah 85,5%. Berdasarkan hasil analisis multivariat, skor pediatric end-stage liver disease (PELD) ≥20 (p = 0,011) dan durasi operasi ≥16 jam (p = 0,002) merupakan faktor yang berhubungan dengan kesintasan pasien dan graft yang lebih rendah.
Kesimpulan. Pemantauan khusus direkomendasikan pada pasien anak dengan skor PELD tinggi yang menjalani transplantasi hati dan durasi operasi yang lebih lama untuk meningkatkan kesintasan pasien dan graft. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan ukuran sampel yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang signifikan terhadap kesintasan pasien dan graft.

Background. Liver transplantation is the treatment of choice for end-stage liver in both adults and children. The last few decades, progress in terms of surgical techniques, preservation, immunosuppressive therapy, monitoring and treatment of infection have improved survival of liver transplantation. This study aims to identify factors that influence one-year post-transplant patient and graft survival at Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods. This is a retrospective cohort analysis characterizing patients transplanted between 2010 and 2022 included all recipients <18 years of age undergoing pediatric liver transplantation. Data sources included hospital medical records. Outcomes measures were overall patient and graft survival. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient and graft survival. Bivariate and multivariate statistical analysis was undertaken using log-rank test and Cox’s proportional hazards model. A p value <0.05 was considered significant at the multivariate level.
Results. A total of 55 pediatric patients underwent liver transplantation; 50,9% were boys and median age was 16 months. Biliary atresia were the most common causes of liver disease. Overall 1-year survival rates were 85.5%. According to multivariate analysis, pediatric end-stage liver disease (PELD) score ≥20 (p = 0.011) and operative duration ≥16 hours (p = 0,002) were factors associated with worse patient and graft survival.
Conclusion. Greater caution is recommended in pediatric patients with high PELD score undergoing liver transplantation and longer operative duration to improve patient and graft survival. Further research is needed with larger sample size to obtain a significant impact on patient and graft survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>