Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154726 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chris Tanto
"Latar Belakang. Prediksi mortalitas pada kelompok lanjut usia yang semakin meningkat jumlahnya akan memberikan banyak manfaat bagi kesehatan. Cystatin C ditunjukkan memiliki kemampuan sebagai prediktor mortalitas pada beberapa studi. Studi-studi mengenai kemampuan prediksi cystatin c masih sangatlah beragam dan belum ada telaah sistematis untuk menilai kemampuannya dalam memprediksi mortalitas jangka panjang pada kelompok lansia.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan cystatin c sebagai prediktor mortalitas semua sebab dan mortalitas kardiovaskular jangka panjang pada kelompok lanjut usia.
Metode. Studi ini merupakan telaah sistematis dan meta-analisis dari studi kohort prospektif observasional. Pencarian studi dilakukan di PubMed, Cochrane, Scopus, EBSCOHost, dan Proquest serta pencarian menual. Kriteria inklusi berupa lansia minimal berusia 65 tahun dengan data cystatin c serum tercantum, kematian semua sebab sebagai luaran. Waktu follow up minimal 5 tahun. Seleksi studi dilakukan berdasarkan alur dari PRISMA. Penilaian kualitas studi dan risiko bias dinilai menggunakan Newcastle Ottawa Scale untuk studi kohort. Hasil studi ditampilkan dalam bentuk deskriptif serta Forest plot.
Hasil. Dari 609 studi hasil pencarian, didapatkan 12 studi yang memenuhi kriteria: 5 studi menilai kematian semua sebab, 3 studi menilai kematian kardiovaskular saja, dan 4 studi menilai keduanya. Sebanyak 6 studi dengan kualitas baik dan 6 studi kualitas sedang setelah dilakukan penilaian. Hasil meta-analisis menunjukkan kadar Cystatin C yang tinggi meningkatkan risiko mortalitas jangka panjang akibat semua sebab [HR: 1,74 (95% CI: 1,48 – 2,04); p < 0,00001)] dan mortalitas jangka panjang kardiovaskular [(HR: 2,01 (95% CI: 1,63 – 2,47); p < 0,00001)] pada lansia. Kemampuan prognostik cystatin c tergolong moderat [AUC 0,70 (95% CI: 0,68-0,72); p = 0,02)].

Background. Prediction of mortality in growing aged-population will offer several benefits for health sector. Cystatin C, which has long been known as biomarker to more accurately evaluate glomerular filtration rate in elderly, has also been shown to predict mortality from several studies. Studies regarding its predictive ability were vastly varied and there has not been systematic review to examine its ability in predicting long-term mortality in elderly population.
Objectives. This study aimed to evaluate Cystatin C performance as predictor for all-cause and cardiovascular mortality among elderly population.
Methods. A systematic review of prospective cohort studies was performed. Literature searching was done in major databases such as PubMed, Cochrane, Scopus, EBSCOhost, and Proquest. Manual searching was also performed. Inclusion criteria were studies involving elderly age 65 or older, cystatin c serum levels available, all-cause mortality as outcome, and 5-years minimum of follow-up. Study selection was performed according to PRISMA algorithm. Newcastle Ottawa Scale for cohort study was used to assess primary studies’ quality and risk of bias. Study results were presented in descriptive tables and Forest plot.
Results. Initial searching revealed 609 hits with 12 studies eligible for the review: five studies evaluated all-cause mortality, three studies evaluated cardiovascular mortality, and four studies evaluated both. Meta-analysis showed that high cystatin c levels increasing risk of long-term all-cause mortality [(HR: 1.74 (95% CI: 1.48 – 2.04); p < 0.0001)] and cardiovascular mortality [HR: 2.01 (95% CI: 1,63 – 2,47); p < 0,0001)]. The prognostic ability of cystatin c was considerably moderate [AUC 0.70 (95% CI: 0.68-0,72); p = 0.02].
Conclusion. Cystatin C was able to predict long-term mortality in elderly population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pitt Akbar
"Latar belakang: Frailty merupakan sindrom biologis yang dapat menyebabkan kerentanan terhadap hasil yang lebih buruk terhadap pasien. Penilaian frailty saat ini berkembang pada populasi penyakit lainnya antara lain pada populasi pasien sirosis hati. Modalitas yang dikembangkan dan sudah divalidasi untuk menilai frailty pada populasi sirosis hati adalah dengan Liver Frailty Index (LFI). Prevalensi pasien sirosis hati yang mengalami frail ternyata cukup tinggi. Dipikirkan pasien yang mengalami frail akan meningkatkan mortalitas pada pasien sirosis hati. Tujuan: Menilai apakah frailty berdasarkan Liver Frailty Index dapat menjadi prediktor mortalitas pada pasien sirosis hati Metode: Penelusuran literatur dilakukan melalui basis data daring: PubMed/ MEDLINE, EMBASE, ProQuest, dan EBSCOhost dengan menggunakan kata kunci “sirosis hati” dan “liver frailty index” dalam Bahasa Inggris dan Indonesia. Pencarian manual dilakukan melalui portal data nasional, e-library fakultas kedokteran, dan snowballing. Studi yang dimasukkan ke dalam penelitian adalah studi kohort prospektif dan retrospektif yang mengikutsertakan pasien sirosis hati tanpa keganasan hati dan melaporkan mortalitas pasien berdasarkan status frailty. Hasil: Sebanyak 7 artikel diikutsertakan dalam telaah sistematis ini, 3 diantaranya diikutkan dalam meta-analisis untuk menilai hubungan dengan mortalitas dan 2 studi menilai hubungan dengan kejadian dekompensasi. Risiko mortalitas lebih tinggi pada pasien sirosis dengan frailty (HR 1,68; IK 95% 1,36-2,08; p<0,00001). Frailty berhubungan dengan kejadian asites (OR 1,84 IK 95% 1,41-2,40; p<0,00001). Tidak didapatkan adanya hubungan antara frailty dengan kejadian EH pada pasien sirosis hati (OR 1,57 IK 95% 0,65-3,80; p=0,31). Kesimpulan: Frailty merupakan prediktor mortalitas pada pasien sirosis hati. Pasien sirosis hati dengan frailty memiliki risiko kematian lebih besar dibandingkan pasien sirosis hati tanpa frailty.

Background: Frailty is a biologic syndrome that can lead to susceptibility to poorer outcomes for patients. Frailty assessment is currently developing in other disease populations, including the population of patients with liver cirrhosis. The developed and validated modality to assess frailty in the liver cirrhosis population is the Liver Frailty Index (LFI). The prevalence of liver cirrhosis patients who experience frail is quite high. It is thought that patients who experience frail will increase mortality in patients with liver cirrhosis.
Objective: Assessing whether frailty based on the Liver Frailty Index can be a predictor of mortality in patients with liver cirrhosis.
Methods: Literature search was conducted through online databases: PubMed/MEDLINE, EMBASE, ProQuest, and EBSCOhost using the keywords “cirrhosis of the liver” and “liver frailty index” in English and Indonesian. Manual searches were carried out through national data portals, medical faculty e-libraries, and snowballing. The studies included in the study were prospective and retrospective cohort studies that included patients with liver cirrhosis without liver malignancy and reported patient mortality based on frailty status.
Results: A total of 7 articles were included in this systematic review, 3 of which were included in a meta-analysis to assess the association with mortality and 2 studies assessed the association with the incidence of decompensation. There was a higher risk of mortality in cirrhotic patients with frailty (HR 1.68; 95% CI 1.36-2.08; p<0.00001). Frailty was found to be associated with the incidence of ascites (OR 1.84 95% CI 1.41-2.40; p<0.00001). There was no association between frailty and the incidence of HE in patients with liver cirrhosis (OR 1.57 95% CI 0.65-3.80; p=0.31).
Conclusion: Frailty is a predictor of mortality in patients with liver cirrhosis. Liver cirrhosis patients with frailty have a greater risk of death than patients with liver cirrhosis without frailty.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Sakti
"Pendahuluan: Penyakit kardiovaskular sebagai salah satu masalah kesehatan pada jemaah haji Indonesia dan penyebab tertinggi kematian jemaah haji dalam 3 tahun terakhir. Jemaah haji Indonesia sebagian besar pada stratifikasi kesehatan risiko tinggi. Beberapa faktor risiko diprediksi berhubungan dengan kematian jemaah haji akibat penyakit kardiovaskular.
Metode: Penelitian observasional dengan desain kasus kontrol. penelitian terhadap 876 jemaah haji. Variabel yang berhubungan dengan kematian jemaah haji antara lain usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, kebiasaan merokok, diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, gagal ginjal, gagal jantung, penyakit jantung koroner, penyakit paru obstruksi kronik, waktu keberangkatan jemaah. Dilakukan analisis untuk menentukan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kematian serta membuat skor prediksi untuk mengestimasi risiko mortalitas.
Hasil: Proporsi kematian akibat penyakit kardiovaskular adalah 49,2 % dari seluruh jemaah haji Indonesia tahun 2017. Faktor risiko yang berhubungan dengan kematian jemaah haji antara lain; Usia lebih dari 70 tahun dengan OR 20,51 (IK 95%: 10,238-41,089), penyakit jantung koroner dengan OR 4,236 (IK 95% : 1,292-13,882), hipertensi dengan OR 3,673 (IK 95% :2,555-5,280), diabetes mellitus dengan OR 3,422 (IK 95%: 2,108-5,553), dislipidemia dengan OR 2,067 (IK 95%: 1,366-3,129), indeks massa tubuh overweight dengan OR 0,571 (IK 95%: 0,385-0,848) , indeks massa tubuh obesitas dengan OR 0,239 (IK 95%: 0,134-0,425). Probabilitas risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular adalah risiko ringan dengan skor < 5 (19,47%), probabilitas sedang skor 6-9 (62,94%) dan probabilitas tinggi jika skor > 10 (83,3%).
Simpulan: Proporsi kematian akibat penyakit kardiovaskular pada jemaah haji Indonesia tahun 2017 adalah 49,2%. Faktor risiko kardiovaskular antara lain; usia tua, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, dislipidemia. Nilai skor > 10 dapat memprediksi risiko mortalitas dengan propabilitas 88,53 %.

Background: Cardiovascular disease is one of the health problems in Indonesian pilgrims and the highest cause of death for pilgrims in the last 3 years. Indonesian pilgrims are mostly on high health risk stratification. Some risk factors are predicted to be associated with the death of pilgrims due to cardiovascular disease.
Method: Observational study with case control design. Conducted research on 876 pilgrims. A variable that is associated with the death of pilgrims include age, gender, body mass index, smoking habit, diabetes mellitus, hypertension, chronic kidney failure, heart failure, coronary heart disease, chronic obstruction pulmonary disease , the time of departure. Analysis was done to determine the risk factors which effect on death as well as make score predictions and determination for the risk of mortality.
Results: The proportion of deaths from cardiovascular disease was 49,2 % of all Indonesian pilgrims. Risk factors associated with the death of pilgrims include; Age more than 70 years with OR 20,510 (95% CI 10,238-41,089), coronary heart disease with OR 4,236 (95% CI 1,292-13,882), hypertension with OR 3.673 (95% CI 2,555-5,280), diabetes mellitus with OR 3,422 (95% CI 2,108-5,553), dyslipidemia with OR 2,067 (95% CI 1,366-3,129), overweight with OR 0.571 (95% CI: 0.385-0,848), obesity with OR 0.239 (95% CI 0.134-0.425). The probability of the risk of death from cardiovascular disease is a mild risk with a score <5 (19.47%), a medium probability score of 6-9 (62.94%) and a high probability of a score of > 10 (83.3%).
Conclusion: The proportion of deaths from cardiovascular disease was 49,2 %. Cardiovascular risk factors; old age, hypertension, diabetes mellitus, coronary heart disease, dyslipidemia. A score of > 10 has a high risk of mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Marcel H. Reinhard
"Latar belakang : Setiap tahapan gangguan metabolisme glukosa pada disglikemia berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular. Pada disglikemia perlu diketahui prediktor serta stratifikasi risiko individu mengalami kejadian kardiovaskular sehingga dapat dilakukan pencegahan primer. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model prediktor kejadian kardiovaskular pada disglikemia.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif pada “Studi Kohort Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular Bogor” tahun 2011-2018. Pada awal penelitian dilakukan pencatatan usia, jenis kelamin, tekanan darah, indeks massa tubuh, lingkar perut, glukosa darah, kolesterol, kebiasaan merokok, riwayat penyakit kardiovaskular dalam keluarga dan aktivitas fisik. Selanjutnya dilakukan pengamatan kejadian kardiovaskular yaitu penyakit jantung koroner, stroke atau all cause cardiovascular mortality dalam enam tahun. Hubungan variabel yang secara independen yang mempengaruhi kejadian kardiovaskular dianalisis dengan cox proportional hazards regression, lalu dilakukan pembuatan model prediksi, penilaian diskriminasi dengan menggunakan kurva ROC dan kalibrasi dengan Hosmer -Lemeshow.
Hasil : Sebanyak 1.085 subjek masuk dalam penelitian ini dengan 73,5% subjek adalah perempuan. Insidens kejadian kardiovaskular dalam enam tahun adalah 9,7%. Faktor prediktor kejadian kardiovaskular pada disglikemia dalam enam tahun pada penelitian yaitu usia 45-65 tahun (HR=2,737; IK 95% 1,565-4,787) dan hipertensi (HR=2,580;IK 95% 1,619-4,112). Total skor pada model prediktor adalah dua dengan probabilitas kejadian kardiovaskular dalam enam tahun 17,2%. Hasil analisis kurva ROC didapatkan nilai Area Under the Curve (AUC) model prediktor sebesar 0,689 dengan p < 0,001 (IK 95% 0,641-0,737).

Background: Each stage of impaired glucose metabolism in dysglycemia is associated with an increased risk of cardiovascular events. In dysglycemia, it is necessary to acknowledge the predictors and the risk stratification in individuals at high risk for cardiovascular disease so that primary prevention can be done. This study aims to develop a predictive model of cardiovascular events in dysglycemia.
Method: This is a retrospective cohort study conducted in the “The Bogor Cohort Study of Noncommunicable Diseases Risk Factors" from 2011 to 2018. Data associated with age, gender, blood pressure, body mass index, waist circumference, blood glucose, cholesterol, smoking habits, family history of cardiovascular disease, and physical activity were obtained. Cardiovascular events in six years were observed include coronary heart disease, stroke, or all-cause cardiovascular mortality. Cox proportional hazards regression models were used to determine independent predictors of cardiovascular events. Model discrimination was evaluated by the ROC curve, while the Hosmer-Lemeshow test evaluated the calibration.
Results: A total of 1085 subjects included in this study, with 73.5% are female. The incidence of cardiovascular events in six years is 9.7%. Predictors of cardiovascular events in dysglycemia are age 45-65 (HR=2.737;95% CI 1.565-4.787) and hypertension (HR=2.580;95% CI 1.619-4.112). The predictor model's total score is two, with a six-year probability of cardiovascular events being 17.2%. The ROC curve analysis showed that the AUC value for the predictor model was 0.689 with p < 0.001 (95% CI 0.641-0.737).
Conclusion: Age 45-65 and hypertension were predictors of cardiovascular events in six years in dysglycemia patients. The scoring system has adequate performance, with a total score of two and the probability of cardiovascular events in six years 17.2%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sutriwati Yuni Lestari
"ABSTRAK
Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah kekhususan Kardiovaskular merupakan serangkaian kegiatan pendidikan yang berfungsi untuk menerapkan teori keperawatan dalam upaya untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem kardiovaskular. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dilakukan oleh residen dengan mengelola sebanyak 31 pasien dengan menggunakan teori adaptasi Roy. Peran sebagai peneliti dilakukan dengan menerapkan Evidence Based Nursing EBN yaitu menerapkan pengkajian resiko perdarahan dengan metode HAS-BLED untuk mengetahui resiko perdarahan lebih dini. Peran sebagai innovator diwujudkan dengan membuat karya innovasi berupa format pengkajian discharge planning. Hasilnya adalah: 1. Model konsep adaptasi Roy efektif diterapkan sebagai upaya untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangguan sistem kardiovaskular, 2. Pengkajian HAS-BLED efektif untuk menilai risiko perdarahan, dan 3. Format discharge planning dengan pendekatan 5 model discharge planning terbukti cukup efektif digunakan sebagai sarana pendokumentasian discharge planning di RSJPDHK Jakarta

ABSTRACT
Medical surgical nursing clinical practise especially in cardiovascular is a educational programme to applied nursing theory model in nursing care with cardiovascular disease. Nurses performed their roles as a care provider by managed 31 patients with the nursing theory model approach used is Roy rsquo s adaptation theory. The role as a researcher was excuted by applying evidence based nursing practice with the topic HAS BLED Form to assess bleeding risk earlier. The role as a innovator, the practician trying to created Discharge Planning Form. The results of the practice analysis are 1. Roy rsquo s Adaptation model is effective to apply in nursing care with cardiovascular diseases. 2. HAS BLED is effective to scoring bleeding risk assessment, and 3. Discharge planning Form with five models approach is acceptable in Nasional Cardiovascular Centre Harapan Kita. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Winson Jos
"Latar belakang: Deteksi dini dengue berat dapat mengurangi mortalitas akibat infeksi dengue. Saat ini, observasi harian terhadap keadaan klinis dan laboratorium pasien merupakan cara yang paling lazim dipakai dalam mendeteksi kejadian dengue berat. Namun demikian, cara ini biasanya terlambat mendeteksi kebocoran plasma berat. Laktat serum adalah salah satu penanda yang lazim dipakai dalam menilai hipoksia atau hipoperfusi jaringan akibat penyakit sistemik sehingga dipikirkan dapat dipakai sebagai prediktor kejadian dengue berat.
Tujuan: Menilai kemampuan laktat darah sebagai prediktor kejadian dengue berat.
Metode: Telaah sistematis ini disusun berdasarkan standar PRISMA. Pencarian primer dilakukan melalui penulusuran artikel secara daring di PubMed/Medline®, Cochrane Library, Embase, dan Scopus®. Penelusuran sekunder dilakukan secara daring menggunakan Google Scholar® dan portal lokal di Indonesia serta secara manual dengan korespondensi dengan peneliti atau Institusi yang berhubungan. Artikel dicari dengan kata kunci “dengue” dan “laktat” dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Artikel yang diambil dan mencakup studi observasi prospektif dan retrospektif pada pasien dewasa (> 15 tahun) dengan infeksi dengue yang melaporkan hasil pemeriksaan laktat. Pencarian dilakukan tanpa membatasi waktu penelitian dan bahasa. Data dianalisis dengan RevMan dan Medcalc untuk mencari effect measure kemampuan laktat darah dalam prediksi kejadian dengue berat.
Hasil: Sebanyak enam artikel diinklusi ke dalam telaah sistematis ini dan lima diantara artikel tersebut diikutsertakan ke dalam meta-analisis. Dari analisis yang dilakukan, diketahui bahwa laktat darah merupakan prediktor kejadian dengue berat yang cukup baik dengan pooled OR 8,38 (95%CI: 2,13 – 32,93); I2 87%, p <0,00001 dan pooled AUC 0,749 (95%CI 0,687-0,81); I2 48,98%, p = 0,1176. Lebih jauh, laktat darah terutama lebih baik dalam prediksi kejadian renjatan dengue/gagal organ (pooled OR 21,27 (95%CI 11,05 – 40,91); I2 44%, p = 0,17) dibandingkan terhadap kejadian kebocoran plasma tanpa gagal organ/renjatan dengue (pooled OR 1,6 (95%CI 0,77 – 3,32); I2 0%, p = 0,33). Beberapa hal yang diketahui dapat mempengaruhi kemampuan prediksi laktat terhadap kejadian dengue berat antara lain, waktu pengambilan laktat darah, luaran yang dinilai, dan nilai ambang batas laktat yang dipakai.
Kesimpulan: Laktat darah merupakan prediktor kejadian dengue berat yang cukup baik, terutama terhadap kejadian renjatan dengue/gagal organ.

Background: Early detection of severe dengue may decrease mortality caused by dengue infection. Currently, daily observation of patient’s clinical and laboratorium parameter is the most common way to detect severe dengue. However, this common practice is lacking in punctuality to detect severe dengue. Serum lactate is one of common biomarkers to detect hypoxia or hypoperfusion due to systemic disease. Accordingly, serum lactate may be a valuable predictor of severe dengue.
Objective: Evaluate the value of blood lactate as a predictor of severe dengue.
Methods: This systematic review is conducted by following the PRISMA standard. PubMed/Medline®, Cochrane Library, Embase, and Scopus® were systematically searched for studies evaluating the value of blood lactate to predict severe dengue. Moreover, manual searching by searching Google Scholar® and local Indonesia journal database and by corresponding to some researchers or any institution that may have conducted research about the topic. “Dengue” and “lactate” in English and Bahasa were used as keywords. Prospective and retrospective cohort studies with samples of adult (> 15 y.o) with dengue infection and reported the blood lactate result of any language and publication years are included. Data analysiswas conducted by using RevMan and Medcalc to synthesis the pooled effect measure of blood lactate as a predictor of severe dengue.
Results: This systematic review included six articles. However, only five articles were included in the meta-analysis. The analysis showed that blood lactate was a fairly good predictor of severe dengue with a pooled OR: 8.38 (95% CI: 2.13 - 32.93); I2 87%, p <0.00001 and pooled AUC: 0.749 (95% CI 0.687-0.81); I2 48.98%, p = 0.1176. Furthermore, blood lactate was particularly better at predicting dengue shock/organ failure (pooled OR: 21.27 (95% CI 11.05 - 40.91); I2 44%, p = 0.17) compared to predict plasma leakage without organ failure/dengue shock (pooled OR 1.6 (95% CI 0.77 - 3.32); I2 0%, p = 0.33). Several things that are known to affect the ability of blood lactate to predict the incidence of severe dengue including the time of blood lactate examination, the outcome measured, and the value of lactate’s cut-off.
Conclusions: Blood lactate is a fairly good predictor of severe dengue, particularly good predictor to predict the incidence of dengue shock/organ failure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Irawaty
"Pendahuluan:
Peningkatan kadar laktat pada saat masuk UPI secara independent berhubungan dengan outcome yang buruk. Kadar laktat sebagai parameter prognostik di UPI RSCM belum pemah diteliti sebelumnya. Pada penelitian pendahulu, skor SAPS II menunjukkan kemampuan yang baik dalam memprediksi mortalitas di UPI. Penelitian ini bertujuan membandingkan kadar laktat arteri inisial dengan SAPS II sebagai prediktor mortalitas di UPI RSCM.
Pasien & Metode:
Suatu studi observasi yang prospektif selama periode bulan April sampai Juni 2006 yang dilakukan di UPI bedah-medik. Data dikumpulkan dari 153 pasien yang memenuhi kriteria penerimaan. Data dasar: kadar laktat arteri inisial pada sate jam pertama masuk UPI dan 24 jam pertama untuk skor SAPS II. Mortalitas UPI pun dicatat. Analisis statistik menggunakan Uji Student t and chi-square. Kurva ROC (Receiver Operating Curve) dibuat dan titik potong optimal ditetapkan serta luas daerah di bawah kurva dihitung, untuk menilai untuk nilai prognostik kadar laktat arteri inisial dan SAPS II. Koefisien Pearson digunakan un tuk menganalisa hubungan antara kadar laktat inisial dan skor SAPS II.
Hasil:
Dari 153 pasien yang memenuhi kriteria, 16 pasien (10,5%) mengalami kematian di UPI. Kelompok survivor memiliki rerata kadar laktat arteri inisial dan skor SAPS II yang lebih rendah dibandingkan kelompok nonsurvivor. Terdapat perbedaan yang berrnakna antara kadar laktat dan mortalitas UPI (p=0,001). Titik potong ditetapkan 3 mmolll. Analisis ROC menunjukkan bahwa kadar laktat arteri inisial (leas daerah di bawah kurva=0,732) tidak lebih baik bila dibandingkan dengan skor SAPS II (luas daerah di bawah kurva=0,915) sebagai prediktor mortalitas di UPI. Terdapat hubungan yang lemah antara kadar laktat arteri inisial dan SAPS II (p=0,002).
Kesimpulan:
Kadar laktat arteri inisial dan skor SAPS H yang tinggi secara independent berhubungan dengan peningkatan mortalitas UPI di UPI RSCM.

Introduction:
Elevated lactate levels on ICU admission have been independently associated with poor outcome. The prognostic values of this value have not been investigated in Cipto Mangunkusumo Hospital's ICU
Patients & Methods:
A prospective observational study over a periode from April to June 2006 was conducted in a medical-surgical ICU. Data were extracted from ICU data base: arterial blood lactate at the first hour on admission and the worst clinical & laboratory findings in the first 24 hours for SAPS II scoring. ICU mortality are also recorded. Statistical analyses were performed using Student t-test and chi-square tests_ Receiver Operating Curve were constructed, the optimal cut off point have been obtained and area under curve was used to assess the prognostic value of initial arterial lactate and SAPS H. The coefficient of Pearson were analyzed to assess the relation between initial lactate levels and SAPS II score.
Main Outcome:
Of the 153 evaluable patients, 16 patients (10.5%) were died in ICU Survivor had a lower mean of arterial lactate levels and SAPS II score than nonsurvivor). The mean of initial arterial lactate in survivor group is low than the nonsurvivor. There are a sign{flcant differences between initial lactate level and ICU mortality (p=0,001). The cut off point was obtained at 3.0 mmolll. ROC analysis demonstrated that initial arterial lactate level (AUC=0.732) is worsen than SAPS II Score (AUC=0,915) as a predictor of ICU mortality. There is a weak correlation between initial lactate and SAPS II score.
Conclusion:
An high initial arterial lactate and SAP II score are independently associated with increased ICU mortality in Cipto Mangunkusumo Central Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vika
"ABSTRAK
Penelitian ini merupakan uji validitas dan reliabilitas kuesioner Morisky Medication Adherence Scale 8 (MMAS-8) versi bahasa Indonesia untuk mengukur kepatuhan konsumsi statin pada 40 penerbang militer di Skadron Udara Halim Perdanakusuma pada tanggal 6 April-15 Mei 2016. Hiperkolesterolemia merupakan penyebab penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan inkapasitasi dalam penerbangan. Salah satu cara untuk mengontrol hiperkolesterolemia adalah dengan minum obat antikolesterol golongan statin, namun belum ada instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan minum obat statin di kalangan penerbang militer di Indonesia. Validitas diuji dengan validitas kriteria. Reliabilitas diuji dengan konsistensi internal dan uji ulang (test-retest). Didapatkan korelasi negatif lemah dan tidak ditemukan hubungan bermakna antara antara kadar kolesterol dan tingkat kepatuhan minum statin (koefisien Spearman -0,199; p=0,218). Konsistensi internal moderat (Cronbach?s α=0,759) dengan reliabilitas tes ulang yang baik (koefisien Spearman=0,860). Hasil uji validitas dan reliabilitas MMAS 8 versi bahasa Indonesia pada penerbang militer belum dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan minum statin pada penerbang militer di Indonesia.

ABSTRACT
This study analyzed the validity and reliability of Morisky Medication Adherence Scale 8 (MMAS-8) Bahasa version to measure statin adherence among 40 military pilots in Halim Perdanakusuma Air Force Base on April 06th-May 15th 2016. Hypercholesterolemia is the cause of cardiovascular disease which lead to inflight incapacitation. One of the way to control hypercholesterolemia is using statin medication, however there has not been an instrument to measure statin adherence in military pilots in Indonesia. Validity was confirmed using crirerion-related validity. Reliability was tested for internal consistency and test-retest reliability. Negative weak correlation and no significant association between cholesterol and statin adherence level (Spearman coefficient -.199, p=0.218) was found. Moderate internal consistency and excellent test-retest reliability were found (Cronbach?s α=0.759; Spearman correlation=0.860). Validity and reliability of MMAS 8 Bahasa version has not been able to be used to measure statin adherence among military pilots in Indonesia."
2016
T46639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakrul Ardiansyah
"

Praktik ilmu keperawatan didasarkan hasil riset dan inovasi terbaru. Kualitas asuhan keperawatan ditentukan dari level pendidikan perawat. Perawat spesialis keperawatan medikal peminatan sistem kardiovaskuler berperan pemberi asuhan, edukator, peneliti, dan inovator. Praktik residensi Ners spesialis dilaksanakan selama 2 semester yang bertujuan melakukan peran ners spesialis dengan pendekatan konservasi. Asuhan keperawatan pada gangguan sistem kardiovaskuler menggunakan pendekatan model konsep konservasi Myra Estrin Levine. Asuhan keperawatan pada 30 kasus resume dan 1 kasus utama pada ADHF. Active Cycle of Breathing Technique (ACBT) diterapkan pada pasien paska bedah jantung untuk pemulihkan fungsi paru paska bedah jantung. Proyek inovasi rehabilitasi jantung fase I pada pasien sindrom koroner akut untuk pemulihan toleransi aktivitas. Hasil analisis praktik bahwa model konsep konservasi efektif diterapkan pada gangguan sistem kardiovaskuler untuk mempertahankan konservasi holistik, ACBT mampu memulihkan fungsi paru pasien paska bedah jantung, dan penerapan rehabilitasi jantung fase I mampu toleran terhadap aktivitas, dan standard prosedur operasional dapat dipahami, mudah dilaksanakan oleh pasien dan perawat.

The nursing science practice is based on research results and the most current innovations. The quality of nursing care is determined by the nurses education level. Nurses of medical surgical nursing specialist, whose specialty are for cardiovascular system disorder, have some roles which are as a care provider, educator, researcher, and innovator. The clinical residency practice is conducted for 2 semesters and aims to implement the roles of specialist nurse by applying a conservation model approach. The nursing care on cardiovascular system disorders is using Myra Levine Conservation model approach to 30 patients with various cardiovasculer disorders, which the primary case is ADHF. The active cycle of breathing technique is applied to postoperative cardiac surgery patients for pulmonary function recovery after a cardiac surgery. The phase I of cardiac rehabilitation is applied to acute coronary syndrome patients for activity tolerance recovery. The analysis practice result shows  that the conservation model might be applied effectively to the nursing care for cardiovasculer disorders in order to maintain a holism conservation. The active cycle of breathing technique is able to aid pulmonary function recovery post cardiac surgery and the phase I of cardiac rehabilitation is able to aid for activities tolerance, and the standard operating procedures is able to be easily understood and implemented by the patients and nurses."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Ainur Rofi`ah
"Keperawatan medikal bedah merupakan bidang praktik khusus dalam keperawatan profesional yang fokus dalam perawatan respon pasien terhadap masalah kesehatan aktual maupun potensial. Clinical nurse specialist (CNS) didefinisikan sebagai clinical leader dalam praktik keperawatan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tingkat lanjut seperti keahlian klinis dalam bidang tertentu, praktik berbasis bukti, kolaborasi, konsultasi, edukator, mentoring, dan manajemen. Peran CNS meliputi direct patient care, nursing practice, dan organization atau system. Peran perawat direct patient care diterapkan pada 31 pasien kasus kardiovaskuler baik medikal maupun bedah dengan pendekatan Model Adaptasi Roy. Hasil analisis praktik menunjukkan bahwa Model Adaptasi Roy dapat diterapkan dalam memberikan asuhan keperawatan pasien dengan gangguan sistem kardiovaskuler. Penerapan peran perawat nursing practice, yaitu perawat menerapkan praktik yang berbasis bukti (evidence) adalah efektivitas cold therapy sebelum latihan napas dalam (deep breathing) dan batuk efektif (coughing) terhadap nyeri akut pada pasien post cardiac surgery. Penerapan peran perawat organisation atau system, yaitu perawat membuat pengembangan profesional melalui inovasi terbaru untuk perkembangan asuhan keperawatan dengan menyusun SPO rehabilitasi jantung fase 1 pada pasien sindrom koroner akut (SKA).

Medical surgical nursing is a special area of nursing profesional practice that focuses on the care of patient s response to actual and potential health problems. Clinical nurse specialist (CNS) is defined as a clinical leader in nursing practice that has advance knowledge and skill such as clinical expertise in a particular area, evidence-based practice, collaboration, consulting, eduvator, menoting, and management. The role of CNS included direct patient care, nursing practice, and organization or system. The role as a direct patient care was applied to 31 cardiovascular patients both medical and surgical with the Roy s Adaptation Model approach. The result of practice analysis showed that Roy s Adaptation Model could be applied in providing nursing care in cardiovascular disease. The application of nursing practice nursing role, that nurse applied evidence-based practice that was effectiveness of cold therapy before deep breathing and coughing for acute pain post cardiac surgery patient. Aplication of the role of nurse organization or system, that nurses made professional development through the innovation for the development of nursing care. It was 1st phase cardiac rehabilitation in patient with acute coronary syndrome by formed standard operational procedure (SOP)."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>