Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181486 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jovanka Jeanettia
"Setiap perguruan tinggi memiliki otonomi sebagai kekuasaan yang dimiliki untuk mengatur urusannya sendiri yang juga dapat diaktualisasikan dengan menyediakan sarana dan prasarana penunjang, dimana di Universitas Indonesia (UI) sendiri, salah satu bentuk penyelenggaraan otonomi dilakukan dengan memberlakukan penerapan parkir berbayar. Dalam pengelolaannya, berdasarkan Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 3 Tahun 2019, pengelolaan parkir di kawasan universitas tidak hanya dilakukan oleh pihak internal UI saja, tetapi juga mengajak pihak eksternal yaitu PT. Securindo Packatama sebagai mitra pengelola tempat parkir. Akan tetapi, sistem parkir ini sempat menuai polemik dan kebingungan dari kalangan sivitas akademika dan masyarakat. Oleh karena itu, bentuk penerapan kebijakan parkir berbayar tersebut serta kewenangan pihak UI terkait penyelenggaraan kebijakan parkir berbayar UI menjadi latar belakang skripsi ini. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian yuridis normatif, dengan jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang dianalisis menggunakan metode penelitian kepustakaan dilengkapi dengan wawancara dengan narasumber terkait. Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam kasus, diketahui bahwa status UI sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum telah memberikan UI keistimewaan untuk memanfaatkan kekayaan berupa tanah dan hasil pemanfaatannya menjadi pendapatan UI dengan pengelolaan keuangan secara bertanggungjawab demi penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, diharapkan pihak UI dapat terus mensosialisasikan lebih lanjut pentingnya pemberlakuan kebijakan parkir berbayar agar kebijakan parkir dapat berjalan lebih optimal.

Every higher education has an autonomy as its power to manage its own affairs which can also be actualized by providing facilities and infrastructure, where at the University of Indonesia (UI), one of the form of higher education autonomy is implemented by imposing the application of paid parking. In its management, based on Rector Regulation University of Indonesia No. 3 Year 2019, parking management in the university area is not only done by internal parties from UI, but also invites external parties, namely PT. Securindo Packatama as parking lot management partner. However, this parking system caused polemic and confusion from academicians and the public. Therefore, the implementation of the paid parking policy as well and authority of UI internal parties related to the parking policy is the background of this thesis. The research method used in this study is normative juridical research method and the type of data used in this study is secondary data analyzed using library research methods supplemented by interviewing relevant informants. Based on facts described in the case, it is known that the status of UI as a Legal Entity State University has given UI the privilege to utilize its wealth in the form of land and the results of its utilization controlled as UI revenue by managing its finance responsibly for the sake of the Three Pillars of Higher Education. Therefore, it is hoped that UI can further socialize the importance of the paid parking policy implementation therefore the parking policy can run more optimally."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baedhowi
"ABSTRAK
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kebijakan desentralisasi pemerintahan untuk mewujudkan otonomi daerah. Dengan otonomi daerah ini diharapkan masyarakat mendapatkan Iayanan publik yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih bertanggungjawab dalam urusan pemerintahan. Salah satu bidang pemerintahan yang didesentralisasikan adalah bidang pendidikan.
Pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah baik bersifat koliseptual maupun masalah faktual. Jika permasalahan tersebut tidak segera ditangani maka dikhawatirkan bahwa desentralisasi pengelolaan pendidikan akan membawa dampak negatif yang lebih kompleks seperti masalah disintearasi bangsa. Itulah sebabnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasiunal (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonorni daerah bidang pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji lebih mendalam tentang "implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan di kabupaten/kota". Cakupan penelitlan ini meliputi faktor Translation ability para pelaku kebijakan, termasuk kapasitas sumberdaya manusia dan pemahamannya terhadap kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan, manajemen dan organisasi, pembiayaan pendidikan, sarana dan prasarana pendidikan, yang diadopsi dari Teori Gerston (2002). Penelitian ini juga bertujuan untuk mengkaji prospek implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Sedangkan wilayah penelitian ini adalah kabupaten Kendai dan kota Surakarta, Sawa Tengah.
Berdasarkan karakteristik tujuan penelitian yang ingin dicapai maka pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif/naturalistik karena peneliti menghendaki kejadian-kejadian yang berkaitan dengan fokus yang alamiah. Dengan mengguilakan metode kualitatif maka informasi yang didapat lebih lengkap, mendalam, dan dapat dipercaya. Dengan metode kualitatif, dapat pula ditemukan informasi yang bersifat perasaan, norma, nilai, keyakinan, kebiasaan, sikap mental, dan budaya yang dianut dari seseorang maupun kelompok orang.
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pe.rtama, dilihat dari perspektif policy initiation, proses pengambilan keputusan tidak ditentukan secara obyektif oleh analisis kebutuhan (need analysis) dalam pemecahan masalah publik tetapi lebih ditentukan oleh itemst para aktor penentu kebijakan daerah yang jangkauannya lebih berjangka pendek. Proses pengambilan keputusan yang berlaku sampai saat ini cenderung berakibat pada kurang relevannya kebijakan pendidikan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam praktik, aktor utama Bupati/Walikota dan Komisi E DPRD, jauh lebih dominan dan saling mempengaruhi dalam penetapan kebijakan, dibanding aktor pelaksana kebijakan yaitu Dinas Pendidikan. Dalam penetapan dan implementasi kebijakan, publik belum dilibatkan dan diberdayakan, serta belum dimobilisasi secara signifikan.
Kedua, Kemampuan aparatur pemerintah kabupaten/kota dipandang dari konsep "translation ability' belum cukup efektif dalam pengelolaan pelayanan pendidikan di daerah masing-masing. Para pegawai Dinas Pendidikan memiliki rata-rata latar belakang pendidikan yang cukup tinggi dan latar belakang pekerjaan yang cukup relevan namun posisi tawar (bargaining position) dari Dinas Pendidikan jauh lebih rendah dibandingkan dengan aktor lainnya, yaitu Bupati/Walikota dan DPRD. Sebaliknya, aktor utama (Bupati/Walikota dan DPRD) yang memiliki posisi tawar lebih tinggi cenderung memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah dan latar belakang pekerjaan yang kurang relevan. Latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang tidak seimbang ini mengakibatkan adanya imbalance structure dalam proses interaksi antar-aktor dalam implementasi kebijakan pendidikan. Akibatnya, keputusan yang diambil dalam penentuan maupun dalam implementasi kebijakan cenderung kurang berkualitas, dan yang paling dirugikan adalah masyarakat sebagai pengguna kebijakan di bidang pendidikan.
Ketiga, Organisasi dan manajemen sebagai support system belum dapat memberikan fasilitas terhadap berjalannya implementasi kebijakan pendidikan kepada masyarakat. Aparatur Dinas Pendidikan sebagai pelaksana kebijakan cenderung lebih berfungsi sebagai sub-ordinasi dari aktor-aktor penentu kebijakan daripada sebagai mitra sejajar yang tugasnya melaksanakan berbagai inovasi dalam pelayanan pendidikan agar semakin berkualitas. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara kebijakan publik, aparatur pendidikan cenderung kurang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (demand driven) tetapi lebih berorientasi secara politis pada kepentingan kepala pemerintahan. Perbedaan nomenklatur nama Dinas dan struktur organisasi menimbulkan kesulitan dalam koordinasi antar kabupaten/kota, dengan pemerintah propinsi, serta pemerintah pusat, terutama dalam pelaksanaan program pengembangan kapasitas institusi.
Keempat, Penyediaan anggaran untuk implementasi kebijakan pendidikan dan jenis-jenis programnya bervariasi antara kedua daerah otonom tersebut. Pemerintah Kendal mengalokasikan anggaran pendidikan yang lebih besar dibanding anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah Surakarta. Jika dilihat pemanfaatannya, masih cenderung mengalokasikan anggaran pendidikan untuk program-program fisik. Temuan sejalan dengan temuan Paqueo dan Lammert yang mengkaji pengalaman beberapa negara dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah. Kajian Paqueo dan Lammert menemukan indikator yang menunjukkan adanya kecenderungan para politisi lokal (penentu kebijakan) menggunakan dana untuk membiayai kegiatan - kegiatan fisik, dan program yang cepat dapat dilihat hasilnya dalam jangka pendek.
Kelima, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi implementasi kebijakan pendidikan baik di kabupaten Kendal maupun kota Surakarta secara minimal terpenuhi tetapi tidak didukung dengan biaya perawatan yang memadai. Penelitian ini juga mengindikasikan adanya kecenderungan yang konsisten dan menarik di kedua daerah tersebut, bahwa pengajuan anggaran pengadaan sarana dan prasarana baru lebih murah daripada pengajuan anggaran untuk perawatan dan perbaikan sarana dan prasarana yarg sudah ada.
Keenam, Indonesia sebagai negara yang memiliki cakupan wilayah yang luas, menerapkan kebijakan otonomi daerah. Salah satu pertimbangan mendasar adalah bahwa tidak mungkin pemerintah mengurus pemerintahan sendiri tanpa membagi kewenangan, dan sekaligus tanggung jawab dengan pemerintah daerah, juga dengan masyarakat sebagai pengguna kebijakan.
Hasil penelitian juga memberikan beberapa saran cebagai berikut:
Bagi Pemerintah; Pertama untuk menghindari kekeliruan dalam penafsiran kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, perlu dilakukan peninjauan dan penyempurnaan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan otonomi daerah; Kedua, untuk mengurangi "beban" pemerintah kabupaten/kota dalam mengimplementasikan otonomi daerah bidang pendidikan, perlu dilakukan peninjauan kembali kewenangan dan tanggung jawab bidang pendidikan yang diberikan kepada kabupaten/ kota, sesuai dengan translation ability dan kapasitas yang dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota. Salah satu kewenangan kabupaten/kota yang perlu dipertimbangkan kembali adalah kewenangan yang terkait dengan rekrutmen guru.
Bagi Pemerintah kabupaten/kota. Pertama agar implementasi kebijakan otonomi daerah lebih efektif, pemerintah daerah diharapkan dapat lebih banyak melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; Kedua, agar implementasi kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah perlu memperhatikan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang relevan dengan bidang pendidikan, dalam pengangkatan atau pengisian jabatan masing-masing aktor kebijakan di daerah; Ketiga, untuk mempercepat implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan pemerintah daerah perlu memiliki program-program aksi, antara lain: peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, peningkatan translation ability, penataan struktur organisasi dan manajemen, dan peningkatan anggaran pendidikan.
Bagi peneliti. Peneliti perlu melakukan kajian dan uji cobs lebih lanjut dengan menggunakan alternatif pendekatan implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan. Berdasarkan hasil penelitian ini, diusulkan untuk memperhatikan beberapa faktor yang berpotensi mempengaruhi implementasi otonomi daerah bidang pendidikan di kabupaten/kota, yaitu: (1) politik, (2) translation ability, (3) Komitmen, (4) Kompetensi dan kapasitas sumberdaya manusia, (5) organisasi dan manajemen, (6) dana penunjang, (7) sarana dan prasarana, (8) Budaya dan karakterstik masyarakat, dan (9) kepastian hukum dan undang-undang yang menjadi dasar implementasi. Temuan penelitian ini mendukung pendapat Gerston mengenai faktor - faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan publik. Namun, ada beberapa faktor potensial lainnya yang direkomendasikan penelitian ini untuk dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan otonomi daerah bidang pendidikan.

ABSTRACT
The Indonesian Government has adopted the decentralization and local autonomy policy to provide community with better, prompt, and accountable services in public sectors, including education. The implementation of the local autonomy policy in Indonesia still faces a number of conceptual and factual problems. If the problems are not resolved promptly, it may possibly lead to negative impacts such as disintegration of the nation. Therefore, the government, through the Law No. 20/2003 about the National Education System, dearly and explicitly supports the policy of local autonomy in education subject to the relevance to the system of national education within the framework of the Indonesian Government.
This research dims at investigating thoroughly the implementation of autonomy policy in education at the district/city. It encompasses the translation ability of the policy actors that includes the capacity of human resources and their understanding towards local autonomy policy in education, management and organization, financial support for education, and educational access and facilities, as adopted and modified from Gerston's theory (2002). This research is also aimed at investigating the future prospect of the implementation of the local autonomy policy in education at the district/city level. At this point, the district of Kendal and the city of Surakarta, Central Java, were selected to be places for eliciting the data of this research.
According to the characteristics of the research purposes, this research applied the qualitative/naturalistic approach as the researcher focused on the intended phenomena and events that occurred naturally. Using this qualitative approach, the data elicited are more sufficient, detail, and reliable. In addition, using this approach enabled the researcher to obtain required information dealing with the feelings, norms, values, beliefs, habits, mental attitudes, and culture of an individual as well as a group of certain community.
This research results a number of points. First, from the point of view of policy implementation, the process of decision making to resolve public - related problems was not carried out objectively based on the need analysis, but decided based more on the political interest of the policy actors with short - term considerations. Such a decision making process resulted irrelevant educational policy with the actual needs of the public. Moreover, such a decision making process tended to create problem during the implementation. In the decision making process, public as the policy targets or users, have not been empowered and mobilised significantly.
Second, from the translation ability point of view, the capacity of the local government officials at the district/city in managing education services has not been effective. Despite the fact that most officials of the District Office of Education have highly sufficient formal education background and relevant previous working experience, their bargaining position was lower compared to the one possessed by the other policy actors i.e., Bupati/Walikota and Commission in charge of education (Komisi E) of the Local House of Representative. On the other hand, Bupati/Walikota, the main actor that has higher political bargaining position tended to have lower formal education background and irrelevant previous working experience. This condition leads to an imbalanced structure of interaction among the policy actors in the implementation of education policy. Consequently, the decisions taken and the implementation results of the decisions were likely to be unqualified. In such a condition, public as the policy target/users would have not be able to take any advantage from the policy that have been decided.
Third, the organization and management has not been able to provide facilities that support the implementation of the education policy. The officials of the District Office of Education (Dinas pendidikan) as the policy implementers tended to function as sub-ordinates of the other policy makers rather than to put into an equal position as the companion of the other policy actors in carrying out necessary innovation and improving the quality of education services. In doing their function as the policy implementers, the officials of the District Office of Education were likely not to focus on the public needs (demand driven) but to the political interest of the Bupati/Walikota. The nomenclature and organizational structure differences caused some difficulties in handling coordination among districts/cities, between local government and provincial government, and between local government and the central government, especially in the development of the institutional capacity.
Fourth, the allocations of funding to support the education policy implementation and the types or educational programs are varied from the district of Kendal to the city of Surakarta. The district government of Kendal allocated more: ending than the city government of Surakarta. Seeing from the utilization, both local governments utilized the allocated funding ter supporting physical programs. This in line with the results of the research conducted by Paqueo and Lammert who investigated the experience of several countries in implementing the local autonomy policy.
Fifth, the availability of the educational access and facilities in both in Kendal and Surakarta may be said to be minimally sufficient, but no financial support provided fog maintenance. The results of the research also indicated that proposing financial budget for providing/buying new access and facilities was easier than proposing budget for the maintenance of the existing facilities.
Sixth, Indonesia as a big country needs to implement the local autonomy policy. One of most prominent reasons is that it is impossible for the central government to manage all governance matters without sharing/delegating authority and responsibility with the local governments and community.
This research also recommends a number of things as follows:
For the central government First, to avoid of being interpreted incorrectly, the Laws and Regulations related to the decentralization and local autonomy policy should be periodically revised and improved. Second, to reduce the "burden" of the local government in implementing the local autonomy policy in education, the central government needs to revise and reconsider the authority and responsibility dealing with education delegated to the local government based on the translation ability and capacity of the local government. One of the local government authorities that need to be reconsidered is teacher recruitment.
For Local Government. First, to make the implementation of the local autonomy policy more effective, the local government needs to empower and provide an opportunity to the public to take part in the decision making process. Second, to make the implementation of the focal autonomy policy more efficient, the local government needs to consider the education background and previous working experience in recruiting and promoting the policy actors/makers. Third, to accelerate the implementation of the local autonomy policy in education, the local government needs to design action programs, such as improving human resource capacity, improving the translation ability of the policy makers, reforming the organizational structure and management, and improving budget allocated for education.
For researchers, Researchers and those whose work related to the implementation of the local autonomy policy in education need to carry out further research and try - out on the implementation of the local autonomy in education using alternative approaches appropriate to the local characteristics and condition. This research recommends a dumber factors that may potentially influence the implementation of the local autonomy policy in education, i.e., (1) politics, (2) translation ability, (3) commitment, (4) competency and capacity of human resources, (5) organization and management, (6) supporting budget, (7) access and facilities, (8) culture and characteristics of the community, and (9) reliable Laws and Regulations used as a basis of the implementation. The results of this research support Gerston's theory of factors in the public policy implementation. However, this research also recommends some factors which are not exist in Gerston's theory to be taken into consideration.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D588
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baskara Adi Pamungkas
"Revisi Otonomi Khusus Papua dilakukan setelah 20 tahun berjalannya otonomi khusus. Hal ini selain karena masa berlaku Otonomi Khusus Papua yang berakhir pada 2021, juga disebabkan karena berbagai pihak menilai implementasi Otonomi Khusus Papua belum berhasil mengejar ketertinggalan Papua dari provinsi lainya. Namun, dalam revisi terdapat perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat yang ingin memperbaiki tata kelola pemerintah daerah dengan masyarakat Papua yang menginginkan penguatan perlindungan HAM. Pada akhirnya, kepentingan pemerintah pusat justru mendominasi revisi Otonomi Khusus Papua meskipun ditolak masyarakat Papua. Penelitian ini membahas proses perumusan revisi UU Otonomi Khusus Papua dan bagaimana kepentingan pemerintah pusat dapat dominan dalam revisi UU Otonomi Khusus Papua. Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi literatur. Dengan teori Konsultasi dengan Kelompok Kepentingan dan Pemberdayaan Eksekutif yang dikembangkan oleh Bunea, A., & Thomson, R, penelitian ini menemukan kepentingan pemerintah pusat dapat menjadi dominan karena menggunakan penelitian dan aspirasi dari beberapa kelompok kepentingan, seperti penelitian dari LIPI, KOMPAK, dan aspirasi dari pemerintah daerah Papua itu sendiri sebagai dasar legitimasi, sehingga DPR tidak memiliki dasar data untuk menentang kepentingan itu. Hal ini berimplikasi pada posisi dan kepentingan pemerintah pusat semakin kuat dalam proses perumusan revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua pada tahun 2021.

The revision of Special Autonomy for Papua was carried out after 20 years of special autonomy. This is apart from the fact that the validity period of Special Autonomy for Papua ends in 2021, it is also because various parties assess that the implementation of Special Autonomy for Papua has not succeeded in catching up with Papua from other provinces. However, in the revision, there are differences in interests between the central government which wants to improve regional government governance and the Papuan people who want to strengthen human rights protection. In the end, the interests of the central government dominated the revision of Papua's Special Autonomy even though the Papuan people rejected it. This research discusses the process of formulating the revision of the Papua Special Autonomy Law and how the interests of the central government can be dominant in the revision of the Papua Special Autonomy Law. The research was conducted qualitatively with data collection carried out through interviews and literature studies. Using the theory of Consultation with Interest Groups and Executive Empowerment developed by Bunea, A., & Thomson, R., this research finds that the interests of the central government can become dominant because it uses research and aspirations from several interest groups, such as research from LIPI, KOMPAK, and aspirations from the Papuan regional government itself as a basis for legitimacy, so that the DPR has no data basis to oppose that interest. This has implications for the position and interests of the central government becoming stronger in the process of formulating the revision of the Papua Special Autonomy Law in 2021.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayi Sukandi
"Sejak diberlakukannya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Daerah secara efektif pada tanggal 1 Januari 2001, telah terjadi perubahan-perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Tangerang. Perubahan yang mendasar itu antara lain teridentifikasi dari tersusunnya Rencana Strategis (Renstra) Kota Tangerang sebagai Daerah Otonom; dan tersusunnya kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Kota Tangerang untuk melaksanakan Rencana Strategis tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk Kebijakan Alokasi Pengeluaran Pemerintah Kota Tangerang, dengan merumuskan permasalahan penelitian, yakni : bagaimana mekanisme penjabaran Rencana Strategis Kota Tangerang di dalam perumusan kebijakan alokasi anggaran pembangunan; dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perumusan kebijakan alokasi anggaran pembangunan tersebut. Penelitian menggunakan teori Anggaran, teori manajemen keuangan Daerah dan teori Penyusunan Rencana Anggaran.
Sumber data : Informan Penelitian serta buku dan dokumen. Jenis data yang dikumpulkan : data primer kualitatif dan data sekunder. Teknik pengumpulan data : teknik wawancara, studi kepustakaan dan observasi. Teknik penentuan Informan : Teknik snow ball. Pembahasan menggunakan metode analisis kualitatif.
Dari pembahasan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan :
Pencanangan Visi dan Misi Kota Tangerang telah menimbulkan perubahan organisasi dan manajemen kepemerintahan yang tercermin dari perubahan kebijakan pengeluaran Pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan sumber daya manusia, Kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi Kota Tangerang adalah bahwa pada satu sisi perubahan struktur perekonomian, dari Daerah agraris menjadi Daerah industri dan perdagangan memerlukan dukungan kualitas sumber daya manusia yang seimbang dengan perubahan struktur perekonomian tersebut. Namun di sisi lain, rendahnya kualitas sumber daya manusia, kondisi kemiskinan dan pengangguran serta belum optimalnya kualitas sumber daya aparatur masih menjadi kendala pembangunan.
Visi dan Misi Kota Tangerang terbentuk dari karateristik wilayah yang secara alami terpengaruh oleh situasi dari kondisi dinamis kehidupan sosial ekonomi Propinsi DKI Jakarta. Hal ini dapat terjadi karena kuatnya korelasi faktor kependudukan, faktor perkembangan industri dan perdagangan serta faktor kehidupan sosial masyarakat, diantara wilayah Kota Tangerang dengan wilayah Propinsi DKI Jakarta.
Dan arah kebijakan umum yang bersifat strategis, diketahui bahwa arah kebijakan pembangunan di Kota Tangerang lebih terfokus pada peningkatan sarana dan prasarana fisik yang dapat memperlancar roda perekonomian, peningkatan pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dapat memenuhi kebutuhan industrialisasi dan perdagangan yang semakin berkembang, termasuk pengembangan fungsi lembaga-lembaga perekonomian mikro yang berbasis pada sistem perekonomian rakyat.
Mekanisme penyusunan kebijakan alokasi anggaran pembangunan merupakan suatu serangkaian tahapan aktivitas administrasi yang meliputi penyusunan Arah dan Kebijakan Umum APBD, penyusunan Strategi dan Prioritas APBD, penyusunan Rencana Program dan Kegiatan, penerbitan Surat Edaran, penyusunan Pernyataan Anggaran, dan penyusunan Rancangan Anggaran Daerah. Rangkaian aktivitas ini terjadi dalam dinamika hubungan antar lembaga, yang secara teknis dilaksanakan oleh Tim Anggaran Eksekutif dan Panitia Anggaran Legislatif. Dan hasil perubahan kebijakan alokasi anggaran pembangunan tahun 2002 diketahui terdapat kebijakan alokasi anggaran pembangunan yang tidak rasional, yaitu alokasi anggaran untuk Sektor Aparatur dan Pengawasan.
Faktor sumber daya aparatur Pemerintahan dan anggota Legislatif Daerah, merupakan faktor determinan dalam proses penyusunan kebijakan alokasi anggaran pembangunan. Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi proses penyusunan kebijakan alokasi anggaran pembangunan adalah kebutuhan dan permasalahan Daerah, terutama kebutuhan dan permasalahan di bidang pendidikan, perekonomian dan sumber daya apartur; potensi sosial dan potensi perekonomian masyarakat; strategi dan arah kebijakan pembangunan; program strategis pada masing-masing unit kerja Perangkat Daerah Kota Tangerang; pelaku-pelaku ekonomi Daerah; dan lembaga swadaya masyarakat.
Saran-saran yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut :
Perumusan kebijakan alokasi anggaran pembangunan untuk Sektor Aparatur Pemerintah dan Pengawasan perlu didasarkan pada analisis kebutuhan fungsional secara transparan.
Perumusan kebijakan alokasi anggaran pembangunan untuk Sektor Pengembangan Usaha Daerah, Keuangan Daerah dan Koperasi perlu didasarkan pada hasil penelitian mengenai kinerja keuangan Badan Usaha Milik Daerah serta analisis potensi, kendala dan perkembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah dan Koperasi di Kota Tangerang.
Perumusan kebijakan Alokasi Anggaran Pembangunan perlu diperkuat oleh Tim Analisis Kebijakan Keuangan Daerah yang terdiri atas unsur konsultan keuangan dan konsultan ekonomi pembangunan dari berbagai perguruan tinggi.
Perlu dilakukan survey terhadap potensi sumber-sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Tangerang dengan melibatkan tenaga-tenaga profesional dari berbagai perguruan tinggi, dan hasilnya disosialisasikan ke seluruh pihak yang berkepentingan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12284
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"There is a reason or consideration why a state implements a decentralized government system, including in form of regional autonomy. As it is known that the regional autonomy is one of the variant of decentralization principle , thus asymmetrical decentralization is one of the variant of the form of regional autonomy policy. Asymmetrical decentralization or asymmetrical autonomy is a form of delegation of special authority which is given to the certain region. Asymmetrical autonomy is different from the commont autonomy, i.e. symmetrical autonomy. But don't forget that asymmetrical autonomy and symmetrical autonomy both are also autonomy. The difference between both of them is among others, can be seen by substance of regional . The substance of symmetrical autonomy is political autonomy (authority), administrative autonomy, fiscal autonomy which are commonly valid and the same in every region. The three substances of symmetrical autonomy are also contained in the asymmetrical autonomy, however,its format is different at the asymmetrical autonomy . For instance political and fiscal autonomy at symmetrical autonomy are bigger than at symmetrical autonomy. Besides that there is an addition of the substance of regional autonomy at the asymmetrical autonomy, for istance, autonomy in certain law, autonomy at culture field and so on. Actually, even there is difference in format and substance law, autonomy at cuture field an so on .Actually, even there is difference in format and substance between asymmetrical autonomy in region with the asymmetrical autonomy in region with the asymmetrical autonomy in another region."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
A. Kahar Maranjaya
"Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Sebagai negara kesatuan, Indonesia menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk meyelenggarakan otonomi daerah seluas-luasnya. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yanag mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan. Terlebih dalam negara modern, terutama apabila dikaitkan dengan paham negara kesejahteraan urusan pemerintahan tidak dapat dikenali jumlahnya, karena kewenangan otonomi mencakup segala aspek kehidupan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan pelayanan urusan dan kepentingan umum. Selain sangat luas urusan pemerintahan dapat senantiasa meluas sejalan dengan meluasnya tugas negara dan/atau pemerintah.
Namun keleluasaan itu bukan tampa batas , karena bagaimanapun daerah, dalam negara kesatuan Republik Indonesia bukan daearah yang berbentuk atau memiliki atribut negara. Seperti dijelasakan dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945, ?oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidstaat maka Indonesia lidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staatjuga". Dengan demikian penyelenggaraan otonomi daerah dalam negara kesatuan RI ada batasnya yaitu ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilampaui atau diselenggarakan oleh daerah seperti urusan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain meliputi kebijakan tentang perencanaan nasionaldan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dan perimbangan keuangan, sistem adminstrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
Batas kewenangan otonomi daerah itu dapat berwujud berbagai bentuk peraturan perundang-undangan dan/ atau hukum, misalnya; Pancasila, Unadang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah. Ketentuan-ketentuan yang menjadi batas atau rambu-rambu otonomi daerah itu ditentukan oleh badan pembentuk peraturan perundang-undangan seperti MPR,DPR dan Presiden. Sehingga pemberian otonomi kepada daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab dapat menjadi formula yang tepat bagi pemeliharaan abadi ?bhinneka tunggal ika?sebagai simbol abadi negara kesatuan RI dan yanag secara cepat pula mengantarkan rakyat Indonesia menjadi suatu masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan sosial dalam suatu susunan masyarakat demokratis dan berdasarkan atas hukum. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The purpose of this research is to identity the dynamic of policy process at village level, as well as the forms of the policy process itself. This qualitative research look four villages in Sub-district of Padang Cermin as purposive sampling. The research showed that the policy process at four villages represented a policy community because it was encauraged by their cultures, their common values and norms which expressed in their daily life."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fujiartanto
"Dalam rangka pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat akibat krisis, Pemerintah menerapkan kebijakan reformasi bidang pembangunan dan pemerintahan, diantaranya melalui ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai konsekuensi, daerah otonom (termasuk Kota Depok yang ditetapkan melalui UU No. 15 Tahun 1999) perlu melakukan penataan elemen utama penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang terintegrasi membentuk pemerintah daerah dalam menjalankan peran dan fungsinya secara politis dan administratif, meliputi: (a) adanya kewenangan daerah, (b) dibentuknya perangkat daerah, (c) tertatanya persona (pegawat), (d) tersedianya dukungan keuangan daerah, (e) berfungsinya unsur perwakilan rakyat, dan (f) peningkatan penerapan menajemen pelayanan publik. Mengingat cakupan masing-masing elemen sangat luas, maka dalam penelitian ini hanya membatasi tiga aspek (penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah), yang diharapkan dapat menghasilkan gambaran representatif kesiapan Pemerintah Daerah Kota Depok mengimplementasikan otonomi daerah.
Oleh karena tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran terfokus pelaksanaan penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah, maka penelitian ini bersifat deskriptif anatisis, dengan pendekatan kualitatif dan dilakukan melalui survey lapangan. Teknik interview dan dokumentasi digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder, dan pengolahan serta analisisnya dilakukan melalui langkah-Iangkah: pengumpulan data, penilaian data, penafsiran data, dan penyimpulan. lingkup pembahasannya, dengan menerapkan pendekatan campuran, antara pndekatan konseptual dan pendekatan kebijakan pemerintah dalam peraturan perundangan.
Dalam penelitian menerapkan berbagai konsep dan kebijakan desentralisasi, otonomi daerah, kewenangan, penataan organisasi, dan personal. Berkaitan dengan implementasi otonomi daerah, penelitian ini memfokuskan tataran pada ketersediaan sumber daya (kewenangan), karakteristik institusi Implementasi (unit organisasi dan penataan personal). Dengan demikian, hasil penelitian tentang Implementasi otonomi daerah belum sampai pada tingkat masyarakat tetapi hanya pada tingkat suprastruktur pemerintahan daerah..Sehingga melalui pendeskripsian pelaksanaan penataan kewenangan daerah, perangkat daerah, dan kepegawaian daerah memberikan gambaran tentang kesiapan Kota Depok mengimplementasi otonomi daerah.
Sebagai implikasi ditetapkannya, Kota Depok sebagai daerah otonom melalui UU No. 15 Tahun 1999, maka dalam implementasinya, Pemerintah Daerah Kota Depok menetapkan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah, diarahkan guna mencapai visi dan misi Kota Depok. Pertama, kebijakan penataan kewenangan diarahkan pada pendesentralisasian kewenangan ke Kecamatan dan Kelurahan. Pemahaman kewenangan yang abstrak menghambat pendelegasian wewenangan. Sesuai dengan Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, menetapkan 22 bidang kewenangan, 166 sub bidang kewenangan, dan 1.511 rindan kewenangan. Pemerintah telah mengakul kewenangan melalui Kepmendagri No. 130-67 Tahun 2002, disertai dengan beberapa catatan verifikasi. Kedua, kebijakan penataan perangkat daerah diarahkan pada penyusunan perangkat daerah yang ramping dan kaya fungsi. Pelaksanaannya, diinformasikan telah mempertimbangkan kewenangan daerah, kebutuhan dan karakteristik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, serta disesualkan visi dan misi Kota Depok.
Berdasarkan Perda Kota Depok No. 47 Tahun 2000 dan Perda Kota Depok No. 48 Tahun 2000, perangkat daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, 14 Dinas, 3 UPTD, 1 Cabang Dinas, dan 6 Lembaga Teknis Daerah (Badan/Kantor), 6 Kecamatan dan 37 Kelurahan. Namun, dengan ditetapkannya PP No. 8 Tahun 2003, Pemerintah Daerah akan menata kembali perangkat daerah. Ketiga, kebijakan penataan pegawai diarahkan pada peningkatan kapasitas dan kapabilitas pegawai. Telah dilakukan penataan staf 5.964 orang (termasuk dalam jabatan struktural 390 orang), pengembangan pegawai, mutasi, dan penegakkan disiplin pegawai. Dengan dltetapkannya PP No. 9 Tahun 2003, pemerintah daerah akan menata kembali pegawal daerah dengan mengadopsi pola nasional.
Hasil analisa menunjukan bahwa: kebijakan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum konsisten dengan visi dan misi Kota Depok. Pertama, dalam mengidentifikasi kewenangan untuk didelegasikan ke Kecamatan dan Kelurahan, serta diserahkan pada Propinsi, masih mengacu pada kewenangan dari Departeman/LPND, bukan pada Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, sehingga pelaksanannya tidak konslsten. Penataan bidang kewenangan "Daerah Kota" belum dilakukan, masih terdapat adanya overlapping antar bidang kewenangan; cenderung mempersamakan antara sub bidang, dan rlndan kewenangan dengan suatu kegiatan/aktivitas; serta pelaksanan penataan kewenangan tidak melakukan need assessment Dengan adanya verifikasi, Pemerintah Daerah belum melakukan penyempumaan kewenangan dan rnenyampaikan kepada Pemerintah. Kedua, mengacu pada Kepmendagri dan Otda No. 50 Tahun 2000, menunjukan bahwa organlsasi perangkat daerah Kota Depok memiliki struktur lebih ramping. Namun demiklan, dalam pelakanaan penataan, pembentukan organisasl perangkat daerah belum rnemperhatikan kewenangan daerah, kebutuhan/karakterlstik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, dan belum sesual visi dan misi Kota Depok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugihartoyo
"Reformasi yang terjadi dalam tatanan kehidupan politik dan pemerintahan di Indonesia, yang ditandai dengan Iahirnya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, telah mendorong beberapa perubahan, diantaranya adalah perubahan pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik (Otonomi Daerah).
Penataan ruang yang merupakan produk kebijakan yang dirumuskan di dalam UU No. 24 tahun 1992, menggariskan bahwa rencana tata ruang antar daerah, Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, dibuat berjenjang hirarkis, rencana di daerah bawahan merupakan penjabaran rencana daerah atasan, implikasinya adalah keterbatasan bagi daerah di bawahnya untuk mengembangkan daerahnya.
Hal semacam ini bertentangan dengan paradigma pada era otonomi saat ini, bahwa dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengganti UU No. 22/1999, daerah mempunyai otonomi penuh untuk mengelola daerahnya untuk mensejahterakan masyarakatnya.
Adanya ketidakkonsistenan antara UU No. 24 Tahun 1992 dengan UU No. 32 Tahun 2004 dalam kegiatan penataan ruang, menyebabkan peranan UU No.24/1992 tentang Penataan ruang tidak akan optimum dan tampaknya perlu ditinjau lagi, mengingat paradigma saat ini berbeda dengan paradigma yang berlaku pada saat UU No. 24/1992 disusun.
Di dalam penataan ruang di daerah, baik kebijakan penataan ruang maupun kebijakan otonomi dengan paradigmanya masing-masing mempunyai implikasi positif dan negatif. Untuk solusi masalah ini, hal-hal yang bersifat positif dari kedua kebijakanlah yang diiadikan prinsip untuk mengakomodasi berbagai kepentingan di daiam penataan ruang.
Mengingat otoritas daerah saat ini, solusi hanya dapat dilakukan dengan prinsip koordinasi untuk memadukan dan mensinkronkan beberapa rencana atau keinginan daerah dalam penataan ruang, terutama daerah yang berbatasan. Implikasi terhadap kebijakan penataan ruang yang dirumuskan di dalam UU 24/1992 adalah perlunya revisi beberapa substansi UU terutama yang paradigmanya masih bersifat sentralistik."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T20256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>