Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181979 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indah Safitri
"Risiko kesehatan akibat pajanan polutan indoor bisa jadi lebih tinggi daripada outdoor karena durasi kontak yang lebih lama dan konsentrasi polutan indoor pada beberapa kasus lebih tinggi dibandingkan polutan luar ruangan. Sekolah dasar seringkali luput dari pandangan padahal anak usia sekolah dasar (SD) lebih rentan terhadap paparan polutan kimia. Hal ini disebabkan karena anak-anak pada usia 7 sampai 14 tahun menghirup 50% lebih banyak udara dibanding orang dewasa, serta sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan jaringan dan organ dengan pesat. Penelitian ini merupakan tinjauan literatur sistematis yang bertujuan untuk melihat gambaran jenis, konsentrasi, dan faktor risiko yang menyebabkan terjadinya pajanan polutan kimia pada ruang kelas sekolah dasar. Inklusi dari penelitian ini adalah literatur yang menggunakan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, dipublikasikan pada rentang waktu tahun 2017 sampai 2020, dapat diakses secara full text, dan dapat menjawab pertanyaan penelitian. Dari 3.652 literatur yang teridentifikasi, 18 literatur terpilih dalam studi ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis polutan kimia yang paling banyak dibahas dalam tinjauan literatur sistematis di ruang kelas sekolah dasar adalah VOC, CO2, dan NO2 dengan konsentrasi antara 0,0001-1,265 ppm (VOC), 411-2009 ppm (CO2), dan 4.89-126 mg/m3 (NO2) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti emisi kendaraan (15,79%), aktivitas penghuni (9,21%), sistem ventilasi (9,21%), aktivitas pembersihan ruangan (9,21%), dan pemanfaatan bahan artistik (6,58%).

Health risks associated with indoor pollutants exposure may be higher than outdoor due to longer contact duration and in some cases, higher concentrations of indoor than outdoor air contaminants. Indoor air quality of elementary schools need to be assessed since children at elementary school-age children are more susceptible to chemical pollutants exposure. Moreover, children at age 7 to 14 years breathe more air at about fifty percent than adults, and are experiencing rapid growth and development of tissues and organs. This research is a systematic literature review that aims to investigate the types, concentrations, and risk factors of chemical air pollutants in elementary school classrooms. The inclusions criterias of this study are available in English and Bahasa Indonesian, published between 2017 – 2020, free access full text, and relevant to research questions. 3,652 literatures were identified and 18 literatures were selected. It was found that the most studied chemical pollutants were VOC, CO2, and NO2 with the range of concentrations at 0,0001-1,265 ppm (VOC), 411-2009 ppm (CO2), and 4.89-126 mg/m3 (NO2). Concentration of those pollutants is influenced by various factors, such as close to vehicle emissions (15.79%), occupant activity (9.21%), ventilation system (9.21%), room cleaning activity (9.21%), and the use of artistic material (6.58%)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astuti
"Radon dapat ditemukan dimana saja, termasuk pada bangunan sekolah dasar. Radon masuk ke dalam ruang kelas sekolah dasar melalui celah bangunan, retakan dinding dan lantai, bahan material bangunan, dan lainnya. Pajanan radon pada anak-anak usia sekolah dasar dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru hingga dua kali lipat dibandingkan dengan orang dewasa. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan pajanan konsentrasi radon dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi radon di sekolah dasar dengan menggunakan metode tinjauan literatur sistematis tahun 2010-2020. Penelitian ini menggunakan 23 literatur yang sesuai dengan kriteria inklusi peneliti. Hasil penelitian mengenai pajanan konsentrasi radon di sekolah dasar adalah sebagai berikut: nilai minimum 26,65 Bq/m3, nilai maksimum 480 Bq/m3, median 119 Bq/m3, rata-rata aritmatik 133,43 Bq/m3, standar deviasi aritmatik 95,14 Bq/m3, rata-rata geometrik 109,06 Bq/m3, dan standar deviasi geometrik 1,87 Bq/m3. Kemudian, hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi radon di sekolah dasar adalah sebagai berikut: ditemukan 20 jenis faktor yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu faktor bangunan 10/20, faktor lokasi bangunan (6/10), dan faktor kondisi meteorologis 4/10. Faktor bangunan meliputi retakan bangunan, usia bangunan, ventilasi, bahan konstruksi bangunan, material dalam ruangan, luas area bangunan, kepadatan ruangan, pemanas ruangan, tekanan dalam ruangan, dan sumber air. Faktor lokasi bangunan meliputi tingkat lantai, lokasi geologis, radioaktivitas dalam tanah, kandungan radium dalam tanah, permeabilitas dan kelembaban tanah, dan komposisi tanah. Faktor kondisi meteorologis meliputi musim, suhu, dan waktu."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianinda Pasol
"Parameter fisik seperti kenyamanan termal (temperatur, kelembaban, dan laju alir udara), intensitas pencahayaan, dan tingkat kebisingan menjadi hal penting dalam aktivitas dalam ruangan (indoor) salah satunya di dalam ruang kelas sekolah. Sekolah merupakan salah satu fasilitas publik yang berpotensi memiliki kualitas udara yang buruk karena sekolah memiliki karateristik yang unik, penghuni sekolah memiliki usia yang rentan terhadap polutan, dan waktu yang dihabiskan di sekolah cukup lama. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi literatur terkait parameter fisik di dalam ruang kelas SD berdasarkan literatur yang dipublikasikan antara tahun 2016 sampai dengan tahun 2020. Penelitian ini menggunakan metodologi tinjauan literatur sistematis dan memperoleh 16 literatur yang sesuai dengan kriteria inklusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter fisik yang diteliti adalah temperatur (16/16), kelembaban (16/16), laju alir udara (7/16), intensitas pencahayaan (7/16), dan tingkat kebisingan (3/16). Hasil pengukuran temperatur, kelembaban, dan laju alir udara mayoritas lebih tinggi di negara beriklim tropis sedangkan hasil pengukuran intensitas pencahayaan dan tingkat kebisingan mayoritas lebih tinggi di negara beriklim subtropis. Pada negara tropis, hasil pengukuran temperatur dengan rentang 26.5 oC – 33.7 oC, kelembaban 17.5 % - 73.17 %, laju alir udara 0.25 m/s – 0.56 m/s, intensitas pencahayaan 106 lux – 866 lux, dan tingkat kebisingan 62.3 dB. Pada negara subtropis, hasil pengukuran temperatur dengan rentang 15 oC – 29.7 oC, kelembaban 31.9 % - 72.4 %, laju alir udara < 0.1 m/s – 0.13 m/s, intensitas pencahayaan 145 lux – 1500 lux, dan tingkat kebisingan 52 dB – 74.8 dB. Faktor yang memengaruhi parameter fisik paling signifikan yaitu sistem ventilasi (16/16), iklim, musim dan cuaca pada saat pengukuran (12/16), dan kepadatan hunian (6/16).

Physical parameters such as thermal comfort (temperature, relative humidity, and air flow), illumination, and noise level are important aspects of indoor air quality for any building, including school. There is a significant health risk associated with poor air quality at schools due to its unique characteristics such as the age of occupants which are considered vulnerable to pollutants, a prolongued time spent at school and the limited budget for school maintenance. This study aims to evaluate the profile of physical parameters in primary schools’ indoor air quality by systematic literature review that was extracted from literatures published between 2016 and 2020. 16 literatures were identified and extracted in this study. It showed that the physical parameters commonly studied were temperature (16/16), relative humidity (16/16), air flow rate (7/16), illumination (7/16), and noise level (3/16). The exposure level of temperature, humidity, and air flow rate are mostly higher in tropical countries than subtropical countries, while the exposure of illumination and noise levels are mostly higher in subtropical countries. In tropical countries, the indoor temperature ranged between 26.5 oC - 33.7 oC, relative humidity ranged between 17.5% - 73.17%, air flow rate ranged between 0.25 m / s - 0.56 m / s, illumination ranged between 106 lux - 866 lux, and noise level was 62.3 dB. In subtropical countries, indoor temperature ranged between 18 oC - 29.7 oC, relative humidity ranged between 31.9% - 72.4%, air flow rate ranged between <0.1 m / s - 0.13 m / s, illumination ranged between 145 lux - 1500 lux, and noise level ranged between 52 dB - 74.8 dB. The most significant factors which affected physical parameters in indoor areas were the ventilation system (16/16), climate, season, and weather at the time of measurement (12/16), and occupancy density (6/16)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riasa Roshaliha
"Kualitas udara di dalam ruangan berpengaruh besar terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia, dimana salah satu parameter dari kualitas udara di dalam ruangan adalah kontaminan bioaerosol. Penilaian kualitas bioaerosol dalam ruangan di berbagai wilayah di seluruh dunia diperlukan dari sudut pandang kesehatan masyarakat, terutama untuk perlindungan kelompok rentan seperti anak-anak. Skripsi ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kontaminan bioaerosol dalam ruang kelas sekolah dasar menurut literatur yang dipublikasikan antara tahun 2016 sampai dengan 2020. Penelitian ini merupakan tinjauan literatur sistematis mengenai gambaran bioaerosol pada ruang kelas sekolah dasar. Gambaran bioaerosol tersebut berupa jenis kontaminan bioaerosol, hasil atau konsentrasi kontaminan bioaerosol dan faktor yang memengaruhi konsentrasi kontaminan bioaerosol menurut literatur yang dipublikasikan antara tahun 2016 sampai dengan 2020 pada database Google Scholar dan Portal Garuda (Garba Rujukan Digital).
Hasil penelitian ini dibagi berdasarkan negara dengan iklim subtropis dan tropis. Semua penelitian menggunakan indirect reading instrument. Didapatkan bahwa rata rata total kontaminan pada negara subtropis yaitu bakteri dengan 1.709,91 CFU / m3, jamur dengan 519,55 CFU / m3, virus dengan 1.900 M gene copies / m3 air. Untuk negara tropis, rata – rata total kontaminan pada negara tropis untuk bakteri adalah 1.613,27 CFU / m3, dan jamur adalah 273,33 CFU / m3 dengan faktor yang memengaruhi paling tinggi yaitu suhu, kelembaban, kepadatan dan aktivitas siswa di kelas, sistem MVAC dan sumber polutan.

Indoor air quality greatly influences human health and well-being, where one of the parameters of indoor air quality is bioaerosol contaminants. Indoor air quality assessment especially on bioaerosol contaminants in various regions around the world is needed from the point of view of public health, especially for the protection of vulnerable groups such as children. This study aims to get the profile of bioaerosol contaminants in elementary school classrooms according to the literature published between 2016 and 2020. This research is a systematic literature review of bioaerosol in elementary school classrooms. The description of bioaerosol is about the of types of bioaerosol contaminants, the concentration of bioaerosol contaminants and factors that influence bioaerosol contaminants in elementary school classrooms according to the literatures that are published between 2016 and 2020 in the Google Scholar database and Portal Garuda (Garba Rujukan Digital).
The results of this study are divided by country with a subtropical and tropical climate. All studies used indirect reading instruments. It was found that the average total contaminants in subtropical countries for bacteria is 1,709.91 CFU / m3, fungi is 519.55 CFU / m3, and virus is 1,900 M gene copies / m3 air. For tropical countries, the average total contaminant in tropical countries for bacteria is 1,613.27 CFU / m3, and fungi is 273.33 CFU / m3 with the highest influencing factors are temperature, humidity, classroom occupants and their activity, system MVAC and pollutant sources.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhasnah
"Penilaian risiko kesehatan terkait pajanan bahaya kimia merupakan penilaian yang dilakukan untuk memastikan bahwa risiko kesehatan yang disebabkan oleh pajanan bahaya kimia telah dikendalikan dengan tepat. Penelitian ini mendiskusikan tentang metode penilaian risiko kesehatan terkait pajanan bahaya kimia yang dikembangkan oleh negara, meliputi chemical health risk assessment (CHRA) dari Malaysia, control of substances hazardous to health (COSHH) oleh United Kingdom, semi-quantitative risk assessment (SQRA) dari Singapura dan semi-quantitative occupational risk prediction model (SQORPM) dari Taiwan. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kajian pustaka naratif yang bertujuan untuk mengidentifikasi cara penilaian, variabel yang digunakan, hubungan antar variabel serta analisis perbandingan umum dari empat metode dengan pendekatan argumentasi penulis. Keempat metode menggunakan variabel yang sama dalam menilai risiko, yakni variabel tingkat bahaya dan tingkat pajanan dan metode CHRA dan SQRA memiliki kesamaan dalam penentuan tingkat risiko. SQORPM menggunakan variabel toxicity index (TI), exposure index (EI) dan protection deficiency index (PDI). COSHH merupakan metode kualittatif dimana tingkat bahaya bersifat lebih umum, dan tingkat pajanan bahaya ditentukan oleh jumlah bahan kimia yang digunakan dan kemungkinan terdispersi ke udara. Menurut pendapat peneliti, CHRA yang dikembangkan oleh Malaysia merupakan metode yang tepat untuk digunakan di Indonesia karena matriks tingkat risiko yang diadopsi hampir sama.

Health risk assessment related to chemical hazard exposure is an assessment carried out to ensure that the health risks caused by chemical hazard exposure have been properly controlled. This study discusses the method of assessing health risks related to exposure to chemical hazards developed by the state, including chemical health risk assessment (CHRA) from Malaysia, control of substances hazardous to health (COSHH) by the United Kingdom, semi-quantitative risk assessment (SQRA) from Singapore and semi-quantitative occupational risk prediction model (SQORPM) from Taiwan. The method used in this research is a narrative literature review which aims to identify the method of assessment, the variables used, the relationship between variables and general comparative analysis of the four methods with the author's argumentation approach. The four methods use the same variables in assessing risk, namely the variable level of hazard and level of exposure and the CHRA and SQRA methods have similarities in determining the level of risk. SQORPM uses the toxicity index (TI), exposure index (EI) and protection deficiency index (PDI) variables. COSHH is a qualitative method where the level of hazard is more general, and the level of hazard exposure is determined by the amount of the chemical used and the possibility of dispersal into the air. In the opinion of the researcher, the CHRA developed by Malaysia is the right method to be used in Indonesia because the risk level matrix adopted is almost the same."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Rimba Prasetia
"ABSTRAK
Salah satu yang dapat memengaruhi kesehatan pekerja, hingga mengganggu produktifitas pekerja yaitu temperatur lingkungan yang ekstrim, baik ekstrim panas maupun ekstrim dingin. Tidak hanya lingkungan (suhu udara, kelembaban, radiasi, kecepatan udara) akan tetapi pakaian, aktivitas fisik, hidrasi, aklimatisasi, beban kerja, dan kondisi tempat kerja serta kondisi seseorang itu sendiri merupakan beberapa faktor yang dapat memicu heat stressyang dapat meningkatkan temperatur tubuh seseorang. Pengaruh heat stressyang tinggi pada psikologis seseorang yang dapat ditimbulkan yaitu perubahan berperilaku saat bekerja sedangkan pengaruh fisiologis akibat heat stressyang tinggi yaitu gangguan fungsi organ tertentu dalam tubuh seperti gangguan ginjal serta heat related illness. Penelitian ini dilakukan untuk mencari faktor-faktor apa saja yang dapat memengaruhi risiko terjadinya gangguan ginjal akibat pajananpanas. Penelitian ini merupakan penelitan eksploratori yang dilakukan dengan metode Systematical Literature Review. Penelitian ini menggunakan 26 literatur yang sesuai dengan kriteria inklusi peneliti. Hasil penelitian ini menemukan faktor-faktor yang dapat memengaruhi risiko terjadinya gangguan ginjal akibat pajananpanasyaitu 56,4% merupakan faktor karakteristik dari seseorang tersebut, 30,8% merupakan faktor pekerjaan dari seseorang tersebut dan 12,8% merupakan faktor dari lingkungan"
2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fazria Ayuandina Arianingrum
"Latar Belakang: Diabetes melitus merupakan satu dari empat penyakit yang menjadi prioritas utama pemerintah saat ini karena tingginya morbiditas dan mortalitas. Selama tahun 2007 – 2018 prevalensi DM di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2018, DKI Jakarta menjadi provinsi dengan prevalensi DM tertinggi. DM pada usia produktif akan memberikan beban ekonomi yang besar terhadap negara maupun individu, terlebih pada saat bonus demografi tahun 2030. Tujuan: Menganalisis faktor sosiodemografi dan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian DM tipe 2 di DKI Jakarta tahun 2020 berdasarkan data SIPTM Kemenkes RI. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional. Analisis yang digunakan yaitu analisis univariat dan analisis bivariat menggunakan uji chi-square. Variabel independen terdiri dari faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan) dan faktor risiko PTM (riwayat DM keluarga, hipertensi, perilaku merokok, aktivitas fisik, obesitas sentral, konsumsi sayur dan buah, dan obesitas berdasarkan IMT) sedangkan diabetes melitus tipe 2 merupakan variabel dependen. Hasil: Semua variabel indepenen pada penelitian ini memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian DM tipe 2 (p-value= 0,000). Seseorang yang berusia 48 tahun keatas memiliki peluang paling besar untuk menderita DM tipe 2 (PORcrude = 2,260; 95% CI: 2,156 – 2,369). Wanita memiliki peluang lebih besar untuk menderita DM tipe 2 (PORcrude = 1,226; 95% CI: 1,194 – 1,258). Seseorang yang berpendidikan rendah memiliki peluang lebih besar menderita DM tipe 2 (PORcrude = 1,063; 95% CI : 1,035 – 1,092; Seseorang yang tidak bekerja berpeluang lebih menderita DM (PORcrude = 1,208; 95% CI: 1,177 – 1,240). Seseorang yang bercerai memiliki peluang paling besar untuk menderita DM tipe 2 (PORcrude = 3,644; 95%CI: 3,389 – 3,917). Seseorang dengan riwayat DM keluarga berpeluang lebih besar untuk menderita DM tipe 2 (PORcrude = 6,016 (95% CI: 5,811 – 6,228). Seseorang dengan hipertensi memiliki peluang lebih besar untuk menderita DM tipe 2 (PORcrude = 2,409; 95%CI: 2,327 – 2,495). Perokok berpeluang lebih besar untuk menderita DM tipe 2 (1,167 (PORcrude = 95% CI: 1,125 – 1,210). Seseorang yang kurang aktivitas fisik berpeluang lebih besar untuk menderita DM tipe 2 (PORcrude = 2,175 (95% CI: 2,118 – 2,234). Seseorang yang mengalami obesitas sentral berpeluang lebih besar untuk menderita DM tipe 2 (PORcrude = 1,674; 95% CI: 1,631 – 1,719). Seseorang yang kurang konsumsi sayur dan buah berpeluang lebih besar untuk mengalami DM tipe 2 (PORcrude = 2,227; 95% CI: 2,167 – 2,288). Seseorang dengan kategori IMT obesitas berpeluang paling besar untuk menderita DM tipe 2 (PORcrude = 1,710; 95% CI: 1,659 – 1,764). Kesimpulan: Faktor sosiodemografi dan faktor risiko PTM ditemukan memiliki hubungan yang bermakna dengan DM tipe 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan untuk pembuatan program pencegahan dan pengendalian faktor risiko DM sehingga dapat menurunkan prevalensi, morbiditas dan mortalitas DM tipe 2 pada usia produktif.

Background: Diabetes mellitus is one of the four diseases that are the top priority of the government at this time because of the high morbidity and mortality. During 2007 - 2018 the prevalence of DM in Indonesia continued to increase. In 2018, DKI Jakarta became the province with the highest prevalence of DM. DM at productive age will provide a large economic burden on the state and individuals, especially during the demographic bonus in 2030. Objective: To analyze the sociodemographic and risk factors associated with the incidence of type 2 diabetes mellitus in DKI Jakarta in 2020 based on SIPTM data from the Indonesian Ministry of Health. Methods: This study is a quantitative study with a cross-sectional study design. The analysis used was univariate analysis and bivariate analysis using the chi-square test. The independent variables consist of sociodemographic factors (age, gender, education, occupation, marital status) and risk factors for PTM (family history of diabetes mellitus, hypertension, smoking behavior, physical activity, central obesity, consumption of vegetables and fruit, and obesity based on BMI). type 2 diabetes mellitus is the dependent variable. Results: All independent variables in this study had a significant relationship with the incidence of type 2 diabetes mellitus (p-value = 0.000). Someone aged 48 years and over has the greatest chance of suffering from type 2 diabetes (PORcrude = 2,260; 95% CI: 2,156 - 2,369). Women have a greater chance of suffering from type 2 diabetes (PORcrude = 1.226; 95% CI: 1.194 - 1.258). A person with low education has a greater chance of suffering from type 2 diabetes (PORcrude = 1.063; 95% CI: 1.035 - 1.092; A person who does not work is more likely to suffer from diabetes (PORcrude = 1.208; 95% CI: 1.177 - 1.240). A person who is divorced has the greatest chance of suffering from type 2 diabetes (PORcrude = 3,644; 95% CI: 3,389 - 3,917). A person with a family history of DM is more likely to suffer from type 2 diabetes (PORcrude = 6,016 (95% CI: 5,811 - 6,228). A person with hypertension has a greater chance of suffering from type 2 diabetes (PORcrude = 2.409; 95% CI: 2.327 - 2.495). Smokers are more likely to suffer from type 2 diabetes (1.167 (PORcrude = 95% CI: 1.125 - 1.210). those who lack physical activity have a greater chance of suffering from type 2 diabetes (PORcrude = 2.175 (95% CI: 2.118 - 2.234). A person who is centrally obese is more likely to suffer from type 2 diabetes (PORcrude = 1.674; 95% CI: 1.631 - 1,719) A person who has less consumption Vegetables and fruits had a greater chance of experiencing type 2 diabetes (PORcrude = 2.227; 95% CI: 2.167 - 2.288). Someone with the obese BMI category had the greatest chance of suffering from type 2 diabetes (PORcrude = 1.710; 95% CI: 1.659 - 1.764). Conclusion: Sociodemographic factors and risk factors for PTM were found to have a significant relationship with type 2 diabetes mellitus."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Putri Salma
"Hingga tahun 2021 IDF melaporkan sekitar 537 juta orang dewasa hidup dengan diabetes dan diproyeksikan akan terus meningkat, serta 90% diantaranya adalah tipe 2. Salah satu faktor utama yang dapat menyebabkan risiko Diabetes melitus tipe 2 adalah polusi udara termasuk polutan PM2.5. Namun, penelitian dengan topik ini belum banyak diteliti terutama di Indonesia sehingga untuk menelaah lebih jauh penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor terkait pajanan PM2.5 serta faktor individu dalam meningkatkan risiko kejadian Diabetes melitus tipe 2 berdasarkan kajian sistematis terhadap literatur. Sebanyak 12 literatur berupa artikel jurnal ilmiah dari berbagai negara yang dipublikasikan pada tahun 2013-2021 disintesis dalam penelitian ini. Berdasarkan kajian sistematis, diketahui bahwa faktor risiko pajanan PM2.5 jangka panjang, konsentrasi PM2.5 yang tinggi, dan tinggal pada daerah padat penduduk, dekat dengan jalan raya, serta pada daerah dengan aktivitas industri dapat meningkatkan risiko Diabetes melitus tipe 2. Kejadian ini kemudian dapat lebih berisiko pada populasi dengan usia lebih tua (>40 tahun) dan IMT kelebihan berat badan (25 kg/m3 -30 kg/m3) dan obesitas (≥30 kg/m3). Namun untuk faktor risiko jenis kelamin lebih banyak pada laki-laki dan pada yang sudah berhenti atau tidak pernah merokok, yang mana hasil ini merupakan penemuan baru yang berbeda dari teori dan penelitian sebelumnya sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut beserta faktor risiko lainnya.

Until 2021, the IDF reports that around 537 million adults live with diabetes and that number is projected to continue to increase, and 90% of them are type 2. One of the main factors that can increase the risk of type 2 Diabetes mellitus is air pollution, including PM2.5 pollutants. However, research on this topic has not been widely studied, especially in Indonesia, so to examine further, this study was conducted to determine the description of factors related to PM2.5 exposure and individual factors in increasing the risk of type 2 diabetes mellitus based on a systematic review of the literature. A total of 12 literatures in the form of scientific journal articles from various countries published in 2013-2021 were synthesized in this study. Based on a systematic study, it is known that the risk factors for long-term PM2.5 exposure, high PM2.5 concentrations, and living in densely populated areas, close to roads, and in areas with industrial activity can increase the risk of type 2 Diabetes mellitus. They may be more vulnerable in the population with an older age (> 40 years) and a BMI of overweight (25 kg/m3-30 kg/m3) or obese (30 kg/m3). However, the risk factors for sex are higher in men and in those who have stopped or have never smoked, which is a new finding that is different from previous theories and research, so further research needs to be done along with other risk factors."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yessie Kualasari
"Perkembangan industri keramik di Indonesia khususnya di Gresik menghasilkan potensi bahaya gangguan kesehatan pekerja khususnya pernafasan akibat debu respirabel yang dihasilkan dalam proses produksi. Gangguan atau kelainan pernafasan ini dirasakan pekerja sebagai keluhan sistem pernafasan dan dapat menimbulkan penurunan produktifitas. Belum ada penelitian yang dilakukan di industri keramik di Gresik mengenai hubungan pajanan debu respirabel dan faktor risiko lain dengan keluhan sistem pernafasan pada pekerja selama ini. Oleh karena itu tujuan dari tesis ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pajanan debu respirabel dan faktor risiko lain dengan keluhan sistem pernafasan pada pekerja industri keramik. Metode penelitian ini adalah cross-sectional dengan sampling population sebanyak 141 orang.
Hasil penelitian ini adalah responden yang terpajan debu respirabel diatas NAB sebanyak 5, sedangkan yang terpajan dibawah NAB (3mg/m3) sebanyak 95%, didapatkan pula responden yang mengalami keluhan sistem pernafasan sebesar 40,4%. Konsentrasi debu respirabel berhubungan dengan keluhan sistem pernafasan dengan nilai p-value = 0,001 (95% CI; 0,300-0,465) dengan PR sebesar 2,680. Sedangkan faktor risiko lain jenis kelamin, usia, masa kerja, IMT, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga dan penggunaan APD tidak berhubungan dengan keluhan sistem pernafasan.

The development of ceramic industry in Indonesia especially in Gresik produces potential health hazards to workers, especially respiratory problems, due to the respirable dust produced in the production process. This respiratory disorder is perceived by the worker as respiratory complaints and may lead to a decrease in productivity. No research has been done in the ceramic industry in Gresik regarding the relationship between respirable dust exposure and other risk factors with respiratory complaints on workers over the years. Therefore the purpose of this thesis is to know the relationship between respirable dust exposure and other risk factors with respiratory complaints on ceramic industry workers. The method of this study is cross sectional with a sampling population of 141 people.
The result of this research is the exposure of respirable dust over NAB is 5%, while those exposed below NAB (3mg/m3) is 95%, also respondents having subjective respiratory complaint is 40,4%. Respirable dust concentration was associated with subjective respiratory complaints with p value 0.001 (95% CI, 0.300-0.465) with a PR of 2,680. While other risk factors sex, age, employment, BMI, smoking habits, exercise habits and use of PPE are not associated with subjective respiratory complaints. Key words ceramic industry, respirable dust, respiratory complaints.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
T47973
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Mardiani Sasqiaputri
"Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan, dimana tugas yang tidak mudah dengan suasana kerja yang terkesan monoton, bergaul dengan penghuni lapas yang sulit dan bermasalah, bekerja dikelilingi tembok tinggi dan tertutup merupakan situasi yang harus dihadapi oleh petugas pemasyarakatan. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran bahaya dan risiko psikososial dari faktor – faktor psikososial (lingkungan pekerjaan, rumah, sosial, dan individu) serta gejala psikososial (perilaku, fisiologis, kognitif, dan emosional) pada petugas pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan pemuda kelas IIA Tangerang tahun 2020. Dengan desain penelitian cross sectional dan cara pengambilan data melalaui penyebaran kuesioner. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini menunjukan bahwa tingkat risiko psikososial pada lingkungan pekerjaan, rumah, sosial, dan individu termasuk kedalam katagori tingkat risiko psikososial rendah dengan sumber bahaya dari lingkungan pekerjaan (27), lingkungan rumah (7), lingkungan sosial (10), dan individu (14). Selain itu, hasil dari gejala psikososial (perilaku, fisiologis, kognitif, dan emosional) termasuk kedalam katagori tingkat risiko psikososial rendah. Dilihat dari persebaran responden risiko psikososial dari lingkungan pekerjaan, sosial, dan individu secara statistik lebih mengeluhkan gejala psikososial kognitif, sedangkan risiko psikososial lingkungan rumah didapatkan lebih mengeluhkan gejala psikososial emosional.

Correctional is a place to carry out the formation of prisoners and correctional students, where the task is not easy with a monotonous work atmosphere, associating with prisoners who are difficult and problematic, working surrounded by high walls and closed is a situation that must be faced by correctional officers. The purpose of this study was to determine the psychosocial hazards and risks from psychosocial factors (work environment, home, social, and individual) as well as psychosocial symptoms (behavioral, physiological, cognitive, and emotional) in correctional facilities at class IIA Tangerang youth penitentiary 2020. With a cross sectional research design and data collection methods through questionnaires. The results obtained in this study indicate that the level of psychosocial risk in the work environment, home, social, and individuals included in the category of low psychosocial risk levels with sources of danger from the work environment (27), home environment (7), social environment (10), and individuals (14). In addition, the results of psychosocial symptoms (behavioral, physiological, cognitive, and emotional) are included in the category of low psychosocial risk. Judging from the distribution of respondents psychosocial risks from the work environment, social, and individuals statistically more complaining of cognitive psychosocial symptoms, while psychosocial risk of the home environment is found to be more complaining of emotional psychosocial symptoms.

 

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>