Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147384 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gian Riyanto
"Peningkatan angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia masih belum diterima oleh kelompok sosial ekonomi rendah. Kondisi ini mendorong elemen masyarakat sipil melakukan gerakan pendidikan untuk memberikan akses kelompok sosial ekonomi rendah ke pendidikan tinggi. Salah satu elemen masyarakat sipil yang mampu melakukan gerakan pendidikan adalah paguyuban Satu Ikatan Mahasiswa Tegal Bersaudara (Sintesa). Studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa elemen masyarakat sipil mampu melakukan gerakan akhir pendidikan, tetapi masih belum menjelaskan apa dan bagaimana mobilisasi sumber daya yang digunakan dalam gerakan tersebut. Penelitian ini menjelaskan sumber daya apa saja yang digunakan serta bagaimana sumber daya tersebut dimobilisasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, menggunakan metode wawancara, observasi dan studi pustaka untuk mendapatkan data. Hasil dari penelitian ini membahas gerakan mobilitas yang dilakukan oleh Sintesa lebih banyak memikirkan hubungan agregasi. Kemudian, hasil gerakan ini juga memiliki peningkatan baik dalam peningkatan akses ke pendidikan tinggi bagi para peserta yang diintervensi.

Higher education participation rates in Indonesia are still not accepted by low socioeconomic groups. This condition encourages elements of civil society to carry out educational movements to provide access to low socioeconomic groups to higher education. One element of civil society that is able to carry out an educational movement is the Tegal Brothers Association (Sintesa). Previous studies have shown that elements of civil society are able to carry out the final movement of education, but still do not explain what and how the mobilization of resources used in the movement. This research explains what resources are used and how these resources are mobilized. This study uses qualitative methods, using interviews, observation and literature study to get data. The results of this study discuss the mobility movement carried out by Sintesa more concerned with the relationship of aggregation. Then, the results of this movement also had a good increase in access to higher education for the intervened participants.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Askabea Fadhilla
"[ABSTRAK
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang identik sebagai asosiasi elit
mulai melibatkan Civil Society Organizations (CSO) sebagai respon terhadap
dinamika yang terjadi di level domestik, regional maupun internasional. Komitmen
untuk menjadi lebih people-oriented ini dinyatakan dalam berbagai dokumen resmi
ASEAN. Tugas Karya Akhir ini menyoroti mekanisme pelibatan CSO dalam proses
regionalisme ASEAN dan kesesuaiannya dengan pernyataan-pernyataan formal yang
tercantum pada dokumen resmi ASEAN. Kajian literatur yang dilakukan
menunjukkan bahwa ASEAN menggunakan mekanisme bounded engagement yang
tercermin dari tiga indikator utama yaitu berdasarkan CSO yang dilibatkan, fungsi
yang diberikan kepada CSO, serta isu. Moda pelibatan tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi antara pernyataan normatif dan praktik yang terjadi.

ABSTRACT
Associations of South East Asian Nations (ASEAN) which is identical as an elite
association has started involving Civil Society Organizations (CSO) as the response
towards the dynamics in domestic, regional, or international level. The commitment
to become more people-oriented is stated in ASEAN official documents. This
literature-review highlights the CSO engagement mechanism in ASEAN regionalism
process and its compatibility with formal statements in ASEAN official documents.
This literature-review shows that ASEAN uses bounded engagement mechanism
reflected from three main indicators, namely participant-based engagement, functionbased
engagement,
and issue-based engagement. This engagement mode shows the inconsistency between normative statements and current practices. , Associations of South East Asian Nations (ASEAN) which is identical as an elite
association has started involving Civil Society Organizations (CSO) as the response
towards the dynamics in domestic, regional, or international level. The commitment
to become more people-oriented is stated in ASEAN official documents. This
literature-review highlights the CSO engagement mechanism in ASEAN regionalism
process and its compatibility with formal statements in ASEAN official documents.
This literature-review shows that ASEAN uses bounded engagement mechanism
reflected from three main indicators, namely participant-based engagement, functionbased
engagement,
and issue-based engagement. This engagement mode shows the inconsistency between normative statements and current practices. ]"
2015
TA-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
JPK 16:3(2010 )edkkusus
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ploeg, Tymen J. van der
Cambridge : Cambridge University Press, 2017
346.4 PLO c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Winarto
"Gerakan Reformasi 1998 mengawali terjadinya transisi demokrasi di Indonesia. Gerakan ini berhasil mengakhiri kekuasaan rejim otoriter Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun di Indonesia. Sebagai sebuah gerakan moral sekaligus gerakan politik yang melibatkan banyak aktor, Gerakan Reformasi 1998 berbasis pada kekuatan mahasiswa, kaum intelektual, aktivis NGO, aktivis civil society organizations (CSOS), dan para elit yang berada di luar pernerintahan.
Majelis Amanat Rakyat (MARA) merupakan salah satu aliansi yang berbasis para aktor Gerakan Reformasi yang beragam ini. MARA mcncerminkan sebuah aliansi civil society organizations (CSOS) yang muncul ke permukaan sebagai suatu reaksi terhadap situasi menjelang jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto. Keberhasilan MARA bersama elemen-elemen kaum reformis lainnya dalam melengserkan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah menandai berlangsungnya transisi dan rejim otoriter menuju era demokrasi di Indonesia.
Meskipun peranan para individu tokoh reformasi sangat menonjol dalam MARA, namun sebagai sebuah aliansi demokratik peranan MARA juga mencerminkan peranan organisasi-organisasi civil society di Indonesia. Ini merupakan sesuatu yang khas Indonesia, dimana kekuatan civil society yang telah dilemahkan oleh rejim Orde Baru, muncul ke permukaan dan bermanifestasi dalam peranan individual para tokoh reformasi yang merupakan kalangan elit.
Kehadiran MARA memiliki arti penting dalam rangka mengkaji proses demokratisasi di Indonesia. Pada dasarnya, proses demokratisasi di berbagai negara memiliki keunikan masing-masing karena terkait dengan situasi obyektif di negara tersebut. Di Indonesia, proses demokratisasi yang dimainkan oleh kaum reformis, seringkali memunculkan dimensi elitis. Hal ini untuk sebagian disebabkan karena linkage antara elit dan massa tidak memiliki sarana yang memadai. Political Society di era Orde Baru pada dasarnya tidak mencerminkan political society yang sesungguhnya, sehingga partai-partai politik gagal mengagregasikan kepentingan massa dengan balk karena terkooptasi oleh state. Pada waktu bersamaan, kekuatan civil society yang dilemahkan, telah mewariskan jaringan yang lemah, ketiadaan platform bersama, dan diliputi suasana saling curiga. Situasi semacam ini telah mengakibatkan Gerakan Reformasi 1998 sebagian besar bergantung kepada komitmen individual para tokoh reformis, selain desakan dari gerakan moral yang diusung mahasiswa.
Transformasi MARA menjadi partai politik merupakan salah satu proses memperkuat infrastruktur demokrasi di Indonesia pasca Soeharto. Proses transformasi ini merupakan fenomena yang unik karena sebagai aliansi demokratik yang bersifat elitis, MARA justeru berusaha mencari kaitan yang kuat dengan massa, dengan jalan bemietamorfosis menjadi partai politik. Proses ini merupakan terobosan besar karena MARA bertumpu pada platform pluralisme pada semua aspeknya.
Bagi studi tentang demokratisasi dalam kaitannya dengan Gerakan Reformasi 1998, transformasi dari MARA menjadi Partai Amanat Nasional (PAN) juga memberi perjelasan tentang peranan aktor (agency) dan tatanan (structure) dalam proses demokratisasi di Indonesia. Gerakan reformasi 1998, bagaimanapun, lebih banyak digerakkan oleh kekuatan agency, melalui sepak terjang para tokoh reformasi. Pada sisi lain, state yang menjadi tujuan utama untuk direformasi, menunjukkan resistensi yang kuat. Kekuatan status quo mampu mengkonsolidasikan diri dengan mengandalkan struktur kekuatan state, meskipun harus mengikuti mekanisme demokrasi berdasarkan agenda reformasi yang dirancang kaum reformis.
Salah satu titik terpenting dari transformasi MARA menjadi PAN adalah bahwa kekuatan reformasi telah berhasil ?memaksa? state untuk melakukan proses demokratisasi secara internal. Hal ini rnengakibatkan terjadinya demokratisasi ganda, karena demokmtisasi teijadi balk pada level society maupun state. Transformasi MARA ke PAN juga memberi kesempatan kembali kepada kelas menengah Indonesia untuk mengambil peranan lebih besar dalam proses memapankan demokrasi.
Tahap konsolidasi demokrasi yang telah dilalui dengau dua kali pemilu juga memberi pelajaran bahwa kekuatan reformasi turul menentultan jalannya konsolidasi demokrasi. Meski partai-partai politik yang dibentuk kaum reformis belum berhasil merebut suara mayotitas, namun kehadiran partai-partai itu turut menetukan arah sekaligus menyumbangkan peranan signiikan terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia. Meski demikian, penelitian ini tetap merekomendasikan perlunya mengkaji secara mendalam mengapa kekuatan demokrasi di Indonesia cenderung gagal dalam mengendalikan proses konsolidasi demokrasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22151
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melbourne: Trans Pacific Press, 2008
303.482 GLO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ruhul Amin
"Tesis ini membahas mengenai fenomena Aksi Bela Islam yang terjadi pada 4 November 2016 dan 2 Desember 2016. Aksi yang juga diikuti oleh warga atau eksponen dari Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi besar Islam di Indonesia. Penelitian ini menganilisa keterlibatan sumber daya dari Muhammadiyah dalam Aksi Bela Islam. Menggunakan kerangka konsep civil society dan gerakan sosial, serta teori mobilisasi sumberdaya, ditemukan bahwa Muhammadiyah sebagai salah satu civil society di Indonesia ikut berperan secara tidak langsung bagi kesuksesan Aksi Bela Islam. Ditemukan beberapa sumber daya material dari Muhammadiyah yakni massa dan fasilitas, lalu sumber daya non-materialnya berupa legitimasi, ketokohan, media komunikasi dan jaringan, serta komitmen moral dari warga Muhammadiyah yang terlibat dalam Aksi Bela Islam.

This thesis discusses Aksi Bela Islam movement from 4 November 2016 to 2 December 2016. The action also involved members of Muhammadiyah as one of largest Islamic organizations in Indonesia. This research analyses the mobilization of resources mobilization of the Muhammadiyah in Aksi Bela Islam. That Muhammadiyah as one of civil society power in Indonesia plays a significant role for Aksi Bela Islam success. Resources of the Muhammadiyah such as mass and facilities, and then non-material resources such as legitimacy, leadership, communication media, network and moral commitment of the Muhammadiyah’s member contributed largely to the Aksi Bela Islam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hasan Anshori
"Pada dasarnya, penelitian ini didorong oleh perubahan besar yang tengah terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini. Perubahan tersebut terkait erat dengan semangat reformasi dan otoda yang bermaksud untuk lebih mengurangi peran pemerintah dengan memberikan kesempatan yang lebih besar pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tabun 1999 tentang pemerintah daerah merupakan bentuk respons atas semangat perubahan tersebut. Dengan demikian penyelenggaraan otonomi daerah harus dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi, pemberdayaan masyarakat, partisipasi dan pemerataan. Akibatnya, paradigma pembangunan daerah juga mengalami perubahan, termasuk di antaranya perubahan sistem dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah.
Renstra merupakan sistem perencanaan pembangunan yang digunakan oleh kabupaten Gresik sebagai penerjemahan atas semangat otonomi daerah tersebut. Penyusunannya dilakukan dengan mengundang seluruh elemen masyarakat Gresik. Partisipasi mereka diharapkan akan memberikan informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan keinginan masyarakat Gresik secara keseluruhan.
Dalam penelitian ini, masyarakat tersebut direpresentasikan melalui unsur-unsur civil society yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten Gresik. Civil society sendiri merupakan elemen penting kekuatan masyarakat dan proses demokratisasi di Gresik. Keberadaan mereka sangat strategis dalam mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan dalam proses penyusunan renstra. Namun demikian, masalah yang seringkali muncul adalah berkenaan dengan kesiapan, kualitas isu, kebijakan, kuantitas dan kredibilitas mereka.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Tehnik pemilihan informan yang digunakan adaiah purposive. Informan-informan penting yang menjadi sampel penelitian ini adalah lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, asosiasi profesi, organisasi sosial-keagamaan/kemasyarakatan dan Bappeda sendiri. Sedangkan tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan para informan tersebut.
Partisipasi civil society adalah keterlibatan mereka secara langsung dan aktif dalam proses penyusunan renstra. Partisipasi mereka sendiri berada pada tataran decision making ( pengambilan keputusan kebijakan ). Dengan demikian renstra sendiri merupakan dokumen perencanaan yang akan dijadikan acuan atau referensi untuk kegiatan operasional kabupaten Gresik.
Temuan penting dalam penelitian ini adalah pemahaman dan pengetahuan civil society sendiri mengenai renstra sangat beragam dan kurang. Di antara satu civil society dengan lainya membawakan isu dan kebijakan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada perbedaan concern dan kajian masing-masing. Mekanisme pendukung ( enforcing mechanism ) partisipasi sendiri berupa mekansime formal yang dirancang dan difasilitasi pihak pemda. Mekanisme tersebut berbentuk seminar pendahuluan, sidang komisi dan diakhiri dengan rapat paripurna yang bersifat memberikan keputusan final."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Ibrahim
"Civil society merupakan istilah yang lahir dari Barat dan menyebar ke hampir seluruh negara di dunia, seiring dengan merebaknya konsep demokrasi. Munculnya istilah tersebut bukan tanpa problem, karena, dikalangan tokoh civil society sendiri seperti; Hobbes, Locke, Hegel, Adam Ferguson, Roussaue, Tacqueville dan Gramcsi telah terjadi pertentangan dalam memproposionalkan konsep civil society.
Bagi Negara-negara Arab, istilah civil society pertama kali dipopulerkan pada tahun 70-an oleh Burhan Ghaliyyun, seorang sosiolog asal Suriah. Kemudian tahun 80-an, mendapat perhatian yang sangat besar dari berbagai kalangan baik politisi, intelektual, akademisi, aktivis maupun birokrat dari kalangan pemerintah. Hal ini terbukti dengan apa yang dilakukan oleh Markaz ad-Dirasat al-Wihdah al Arabiyah (Pusat Kajian Uni Arab) yang berpusat di Libanon, dan Markaz Ibnu Khaldun Liddirasat Al-Inma'i (Pusat Kajian pengembangan dan pembangunan Ibnu Khladun) yang berpusat di Kairo. Puluhan buku telah diterbitkan dan berbagai seminar telah digelar oleh kedua pusat studi tersebut. Sejauh yang penulis teliti, setidaknya, telah dilakukan penelitian secara khusus terhadap 13 negara; Mesir, Kuwait, Libanon, Palestina, Suriab, Qatar, Somalia, Sudan, Yaman, Bahrain, Uni Emirat Arab, Yordania dan Train Civil society di Negara-negara Arab (Mesir, Suriah dan Kuwait) berkembang melalui dua faktor utama; pengaruh arus golobalisasi, dan sosial budaya dan sistem politik bangsa Arab yang bersifat diktator dan monarkhi. Baik di Mesir, Suriah dan Kuwait perkembangan civil society secara drastis berlangsung sejak tahun 80-an, dan difahami sebagai kerangka demokrasi.
Di Mesir, untuk menciptakan iklim demokrasi perlu penguatan civil society, diikenal dengan coraknya yang sekuler, telah membuka peluang besar untuk melakukan aktivitas-aktivitas orgnanisasi formal dan non formal, pemerintah dan non pemerintah. Sehingga pada 1993, organisasi di Mesir telah mencapai 14.000 lembaga. Namun, dominasi Partai Demokrasi Nasional atau Al-Hizb Al-Wathani Ad-Dimugraty, sebagai partai rezim penguasa, telah menjadi penghambat kebebasan partai-partai lain untuk menyuarakan suara rakyat.
Sementara di Kuwait, nampak hambatan-hambatan penerapan civil society yang lebih disebabkan oleh sistem pemerintahan yang kurang mendukung, Sistem Ke Emiran tidak sepenuhnya memberikan kebebasan kepada rakyatnya umtuk berkelompok dan berorganisasi. Contoh kasus, Partai menjadi kegiatan terlarang, karena tidak didukung oleh undang-undang yang berlaku. Namun fenomena civil society telah berlansung baik melalui pemberdayaan organisasi-organisasi dan asosiasi non formal atau non pemerintah. Karenanya, hingga 90-an hanya terdapat sekitar 50 lembaga dan asosiasi baik yang bersifat sosial maupun profesi.
Sedangkan di Suriah, civil society mengalami perjalanan yang lebih sulit bila dibandingkan dengan Mesir dan Kuwait. Meskipun diketahui bahwa tokoh yang pertama kali mempopulerkan istilah civil society adalah cendekiawan asal Suriah. Suriah telah menggunakan sistem partai tunggal, Partai Baath. Hanya Partai Baath-lah yang mendomiriasi segala bentuk kegiatan sipil di Suriah. Meskipun demikian, di Suriah terdapat 450 organiasi.
Singkatnya, perkembangan civil society di Negara-negara Arab dapat dikategorikan sebagai fase melampaui gelombang pertama menuju gelombang kedua, dimana proporsionalisasi pole civil society dalam fase ini sedang diupayakan legalitasnya dalam masyarakat Arab dan Timur Tengah. Meskipun ada yang menklaim, bahwa civil society dan demokratisasi di Timur Tengah adalah naif.
The Development of Civil Society In Arab States (Democratization Process in Egypt, Syria and Kuwait)Civil society that is term which born from west and disseminate to all state in the world, along disseminate conception democracy. Existence of the term non-without problem, because at figure of civil society like: Hobbes, Locke, Hegel, Adam Ferguson, Rousseau, Tacqueville and Gramsci have been happened opposition of substantive in conception civil society.
In Arabic States, term of civil society in the firs time popularized in 70s by Burhan Ghaliyyun, a sociologist from Syria, then, in 80s, profound interest from good everybody of politician, intellectual, academic, activist and also bureaucrat from government. Proven is by what conducted by Markaz ad-dirasat al-Wihdah Al-Arabiyah (Uni Arab Study Center) in Lebanon, and Markaz Ibnu Khaldun Lidirasaat al Inma'i (Development of Ibnu Khaldun and Study Center) In Cairo. Tens of books have been published and various seminars have been performed by second center Study. As far as in writer research, previous, have been a researched peculiarly to 13 state; Egypt, Kuwait, Lebanon, Palestine, Syria, Qatar, Somalia, Sudan, Yemen, Bahrain, Uni Emirate Arab, Jordan and Iraq. Civil society in Arab States (Egypt, Syria and Kuwait) expanding through two primary factor: influence of globalization current, and the political system nation Arab having character of dictator and monarchy. Either in Egypt, Syria and Kuwait growth civil society drastically takes place since 1980, and comprehended by as framework democratizes.
In Egypt, to create climate of democracy need support civil society recognized with its characteristic is secular, have opened big opportunity to (do/conduct) formal organizational activity and non-formal, government and non government. So those in 1993, organization in Egypt have reached 14.000 institutes. But, predominate Party of National Democratize or Al-Hizb AI-Wathany ad-Dimugraty, as party of power regime, have come to resistor freedom of other; dissimilar party to accommodate people aspiration.
For a while in Kuwait, applying resistance civil society what more because of system government which less support, emirate system is not full give freedom to his people to team and have the organization. Follow the example of case, party become forbidden activity, because is not supported by law going into effect. But phenomenon civil Society has taken place, goodness of through organizational enable ness and association of non formal or non government. Hence, till 1990 only there are about 50 association and institute of both for public spirited and also profession.
While in Syria, civil society experience of more difficult; journey if compared to Egypt and Kuwait. Though known that, the first figure multiply to popularize term civil society is origin Syria intellectual. Syria has used single party, Party Baath. Only Party Baath predominating all the form of the civil activity in Syria. Nevertheless, in Syria there are 450 organizations.
The conclusion from above opinion the growth of civil society in Arab can be categorized as first wave phase to second wave, where correct from of civil society in this phase is being strived its legality in Middle East and Arab Society. Though there is claiming, that civil society democratization and in Arab is not possible."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Mudatsir Mandan
"Studi tesis ini berjudul Kelas Menengah Kritis: Studi tentang Posisi Ornop (Organisasi Non Pemerintah) terhadap Negara dalam Perspektif Masyarakat Sipil (Civil Society), bertujuan merekonstruksikan suatu bangunan teoritik tentang kelas menengah serta identifikasi pengelompokan kelas tersebut. Fokus bahasannya pada kelas menengah kritis yang bersumber dari kalangan ornop, serta hubungannya dengan negara. Sedangkan topik yang dibahas, tentang kelas menengah secara umum, menurut pandangan teori klasik maupun kontemporer tentang negara dan masyarakat sipil; dan organisasi non pemerintah.
Studi menggunakan metode kualitatif dengan cara penelusuran riset kepustakaan (library research) sebagai data sekunder dan data dari BPS. Jumlah buku yang digunakan sebagai referensi sebanyak 89, dengan 3 buku utamanya. Pokok permasalahan yang diangkat pada intinya berkaitan dengan posisi masyarakat yang lemah di hadapan negara yang sangat kuat, terutama pada masa rezim orde baru. Dalam posisi seperti itu ornop (organisasi non pemerintah), berposisi sebagai pengimbang terhadap dominasi negara. Ornop 'dikatagorikan sebagai penggerak demokrasi, yang mengarah pada terwujudnya masyarakat sipil.
Dari studi ini didapatkan tiga kesimpulan utama, yaitu:
1. Kerangka analisis Weberian tentang kelas, yang menekankan pada pendekatan pluralistic approach dalam rangka diferensiasi sosial, dipandang lebih cocok sebagai alat analisis guna memahami munculnya kelas menengah Indonesia. Pandangan Marxian tentang kelas lebih bersifat simplistis deterministik dan bersifat uni demensional sehingga tidak cocok untuk analisis kelas di Indonesia.
2. Kemunculan kelas menengah Indonesia berlangsung secara lambat dan dalarn jangka waktu yang lama, dimulai sejak jarnan penj aj ahan Belanda. Sedangkan keberadaannya dapat diidentifikasi melalui kepentingan sosial, ekonomi, politik maupun ideologis. Sikap politik kelas menengah cenderung sangat beragam, tetapi dapat didikotomikan menjadi kelas menengah kooperatif dependen (jumlahnya cukup besar) dan kelas menengah kritis independen terhadap negara (jumlahnya relatif kecil). Kelas menengah kritis banyak berasal dari kalangan ornop.
3. Keberadaan kelas menengah kritis,mengindikasikan adanya suatu kelompok yang lebih otonom dari pemerintah serta merupakan elemen yang penting dari ideologi alternatif guna mencari format baru yang lebih demokratis menuju masyarakat sipil yang kuat. Kelas menengah kritis mengambil posisi berhadapan dengan negara, menjadi kekuatan kritis sebagai pengimbang dari idelogi pembangunanisme pemerintah; kekuatan kritis sebagai penekan atas hegemoni negara terhadap masyarakat sipil; dan kekuatan kritis sebagai kontrol sosial atas pelaksanaan pembangunan negara.
Studi merekomendasikan dilakukannya suatu model penelitian yang lebih konperhensip tentang kelas menengah kritis hubungannya dengan perubahan sosial yang sedang terjadi di Indonesia. Rekomendasi ini didasarkan atas adanya dugaan yang kuat bahwa: (1) Kelompok-kelompok independen yang kritis terhadap negara pada masa orde baru, terutama dari kalangan ornop, mempunyai peranan yang signifikan terhadap terjadinya proses reformas; (2) Arus reformasi yang mengarah pada percepatan proses demokratisasi menuju masyarakat sipil, akan terus bergulir dan mengakibatkan terjadinya perubahan mendasar di Indonesia; (3) Dengan demikian akan terjadi suatu pengelompokan atau tatanan sosial yang baru yang diakibatkan oleh perubahan mendasar yang terus didorong oleh arus kekuatan kekuatan pro-demokrasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T4254
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>