Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186801 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Martin Susanto
"ABSTRAK
Trauma merupakan penyebab kematian tertinggi pada populasi manusia berusia kurang dari 40 tahun. Adapun cedera kepala merupakan penyumbang kematian yang cukup besar, yaitu mencakup 30% di mana apabila disertai dengan kelainan koagulasi/koagulopati maka mortalitas pada cedera kepala dapat lebih tinggi lagi. Koagulopati dapat menyebabkan lesi perdarahan baru atau penambahan lesi perdarahan yang sudah ada (pada kasus hipokoagulopati) ataupun iskemia/thrombosis intravaskular (pada kasus hiperkoagulopati). Studi mengenai koagulopati pada cedera kepala telah banyak dilakukan tapi sampai saat ini belum dapat dengan jelas dipaparkan.
Evaluasi status koagulasi secara konvensional dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan trombosit, PT. dan APTT. Namun saat ini, terdapat pemeriksaan yang menilai koagulasi secara menyeluruh dengan melihat viskoelastisitas bekuan darah, yaitu thromboelastografi (TEG).
Penelitian ini merupakan studi pilot pertama yang bersifat prospektif untuk mengevaluasi adanya gangguan koagulasi pada pasien cedera kepala sedang di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo menggunakan TEG dan pemeriksaan hemostasis konvensional dan hubungannya dengan luaran klinis pasien berupa lama rawat inap dan mortalitas.
Dua puluh pasien dengan cedera kepala sedang yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan hemostasis konvensional rutin dan dari sampel darah tersebut, diambil sebanyak 0,3 mL untuk pemeriksaan dengan TEG. Dari hasil pemeriksaan, didapatkan bahwa terdapat 60% pasien dengan status koagulasi yang tidak normal dari pemeriksaan TEG, sedangkan dari pemeriksaan hemostasis konvensional hanya didapatkan 5% pasien yang sama dengan status koagulasi yang tidak normal. Selain itu dari hasil TEG, diketahui bahwa mayoritas koagulopati yang terjadi adalah hiperkoagulopati. Lalu dari sisi luaran yang dinilai dari lama rawat inap (LOS) dan mortalitas, didapatkan tidak adanya mortalitas dalam studi ini. Lalu didapatkan perbedaan antara pasien dengan status TEG yang tidak normal dengan yang normal (7 hari berbanding dengan 5,5 hari). Namun setelah dilakukan uji statistik dari masing-masing variabel yang ada, tidak didapatkan kemaknaan secara statistik. Dalam prosesnya, didapatkan data sekunder berupa hasil CT scan kepala yang setelah dilakukan analisa dengan komponen TEG, ternyata didapatkan parameter R time dan alpha angle memiliki kemaknaan statistik dengan temuan CT scan (p<0,001 dan p=0,028).
Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa hiperkoagulopati merupakan kelainan status koagulasi tersering yang didapatkan pada cedera kepala sedang. Adapun terdapat perbedaan hasil pemeriksaan status koagulasi dengan TEG dan pemeriksaan konvensional serta perbedaan LOS antara pasien dengan status TEG yang normal dan tidak normal, meksipun tidak didapatkan adanya kemaknaan secara statistik. Hal ini dapat dianalisa dengan lebih baik nantinya dengan menambahkan jumlah sampel yang lebih banyak. Selain itu, dapat dipertimbangkan penggunaan data CT scan sebagai salah satu variabel penelitian yang ikut diteliti.

ABSTRACT
Trauma is the leading cause of death in population with age less than 40 year old. Traumatic brain injury (TBI) contribute to 30% in overall mortality that is caused by traumatic event. Traumatic brain injury that is accompanied by coagulopathy is known to have higher mortality rate. Coagulopathy in TBI could cause rebleeding or new bleeding lesion in hypocoagulopathy cases or could cause ischemia or intravascular thrombosis in hypercoagulopathy cases. Many studies have been done regarding coagulopathy in TBI but up until now it is still now clear enough. Platelet count, PT. and APTT test are usually used in the evaluation of coagulation status, but currently, it can be done with viscoelastisity test using thromboelastography (TEG).
This is the first prospective pilot study that try to evaluate coagulation status in moderate TBI and it's outcome (length of stay and mortality) in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital using TEG and conventional hemostasis test using platelet count, PT. and APTT.
Twenty patients with moderate TBI that is enrolled in this study has passed the inclusion and exclusion criteria. We collect 0,3 mL of their blood sample that is being used initially for conventional hemostasis test. We found that 60% patient with abnormal coagulation status from TEG, but from the same patient using conventional test, we only got 5% with abnormal result. Majority of abnormal coagulation status are hypercoagulopathy. From the outcome that is measured by LOS and mortality, we found zero mortality and that there is difference in LOS between patient with normal and abnormal TEG test (7 days compare with 5,5 days). From the statistical analysis we got the result that are not statistically significant. We also got secondary data, which is CT scan of the patient and after we tried to do the statistical analysis we found that there are 2 parameters of TEG (R time and alpha angle) that is highly significant with abnormality on CT scan (p<0,001 dan p=0,028).
From this study, we can conclude that hypercoagulopathy is the most common coagulopathy that can be found in moderate TBI. We also found that there is a difference result between TEG test and conventional hemostasis test. From the outcome's perspective, we also found a difference between LOS of the patient that has abnormal TEG and normal TEG results. Higher sample in future study might be helpful in the analysis of the statistical test's result in this study and CT scan could also be a better additional variable to be studied."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beauty Rose Mawargany
"Latar belakang: Cedera kepala merupakan kegawatan di bidang Neurologi yang sering menyebabkan kematian dan kecacatan. Prognosis yang dapat dibuat diawal terjadinya cedera kepala akan membantu klinisi dalam memberikan tatalaksana yang tepat. Penelitian faktor prognostik pada cedera kepala dengan luaran skor GOSE yang dilakukan dalam tiga waktu pemantauan yang berbeda belum pernah dilakukan di RSUPN. Cipto Mangunkusumo.
Metode penelitian: Penelitian ini merupakan uji prognostik dengan disain kohort prospektif dan retrospektif untuk mengetahui faktor prognostik luaran GOSE pasien cedera kepala sedang dan berat pada hari 90 sebagai luaran primer, juga luaran pada hari 14 dan 30. Populasi yaitu pasien cedera kepala di RSUPN. Cipto Mangunkusumo selama bulan Oktober 2019- Maret 2021. Analisis data bivariat dengan chi-square dilanjutkan analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Dari 139 sampel cedera kepala sedang dan berat didapatkan data demografik yaitu 81.3% sampel merupakan laki-laki dan usia rerata 40±44. Didapatkan sebaran klinis, SKG 3-8 16 sampel (11.5%), hipotensi 20 sampel (14.4%), Hipoksia sebanyak 11 sampel (7.9%), Anemia sebanyak 13 sampel (9.4%), hiperglikemi sebanyak 30 sampel ( 21.6%), skor ISS > 24 sebanyak 6 sampel (4.3%), skor Rotterdam > 4 sebanyak 56 sampel (45.2%). Pupil tidak reaktif bilateral 3.6%, reaktif unilateral 7.2%, reaktif bilateral 89.2%
Untuk luaran GOSE hari 90 sebagai luaran primer yaitu luaran baik 60.4% dan luaran buruk 39.6%. Luaran hari 30 luaran baik 46.8% dan luaran buruk 53.2%. Luaran fase awal yaitu hari 14 luaran baik 31.7% dan luara buruk 68.3%.
Analisis multivariat didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran pada hari 14 yaitu usia di atas 60 tahun dan skor Rotterdam > 4. Analisis multivariat luaran hari 30 tidak didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran GOSE. Pada hari 90 didapatkan faktor yang signifikan mempengaruhi luaran GOSE yaitu hipotensi < 100 mmHg.
Kesimpulan: Didapatkan faktor prognostik pada hari 14 yaitu usia dan skor Rotterdam dan faktor prognostik pada hari 90 yaitu hipotensi.

Background: Brain injury is an emergency in Neurology that often causes death and disability. Prognosis that can be made early in the occurrence of head injury will assist clinicians in providing appropriate management. The study of prognostic factors in head injury with GOSE score outcome that was conducted in three different monitoring times had never been done in RSUPN. Cipto Mangunkusumo.
Research method: Prognostic test with a prospective and retrospective cohort design to determine the prognostic factors for GOSE outcome in moderate and severe brain injury patients on day 90 as the primary outcome, as well as outcomes on days 14 and 30. The population was brain injury patients at the RSUPN. Cipto Mangunkusumo during October 2019-March 2021. Bivariat analysis with chi-square was followed by multivariate analysis with logistic regression.
Results: 139 samples of moderate and severe brain injury, demographic data were obtained, 81.3% of the sample were male and the mean age was 40±44. Obtained clinical distribution, SKG 3-8 16 samples (11.5%), hypotension 20 samples (14.4%), Hypoxia in 11 samples (7.9%), Anemia in 13 samples (9.4%), hyperglycemia in 30 samples (21.6%), ISS score > 24 for 6 samples (4.3%), Rotterdam score > 4 for 56 samples (45.2%). Bilateral unreactive pupils 3.6%, unilateral reactive 7.2%, bilaterally reactive 89.2%
For the 90 day GOSE outcome as the primary outcome, 60.4% good outcome and 39.6% bad outcome. The 30 day output is 46.8% good and 53.2% bad. The output of the initial phase was on day 14, good outcome was 31.7% and bad outcome was 68.3%.
Multivariate analysis found that the factors that significantly affected the outcome on day 14 were age over 60 years and Rotterdam score > 4. Multivariate analysis on day 30 did not find any significant factor influencing the outcome of GOSE. On day 90, it was found that a significant factor affecting the outcome of GOSE was hypotension < 100 mmHg.
Conclusion: In patients with moderate and severe brain injury, there were different prognostic factors for monitoring GOSE outcomes on days 14, 30 and 90.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dharmawita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pasien cedera kepala sedang (CKS) dan cedera kepala berat (CKB) memerlukan perawatan di rumah sakit sehingga beresiko terkena infeksi nosokomial seperti pneumonia yang dapat memperburuk keluaran. Karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi keluaran pasien cedera kepala dengan pneumonia, diperlukan suatu sistem skoring untuk menilai derajat keparahan pneumonia.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah sistem skoring CURB-65 dapat dipakai untuk memprediksi keluaran pasien CKS dan CKB yang mengalami pneumonia.
Metode: Penelitian ini merupakan studi prospektif. Subjek penelitian adalah seluruh pasien CKS dan CKB yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta selama periode penelitian. Diagnosis pneumonia ditegakkan sesuai kriteria The Center for Disease Control (CDC). Penilaian derajat keparahan pneumonia dilakukan dengan skoring CURB-65. Keluaran yang dinilai adalah hidup atau meninggal.
Hasil: Dari 176 pasien CKS dan CKB, terdapat 26 pasien yang menderita pneumonia. Rentang usia subjek penelitian adalah 15 - 71 tahun. Sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dan berusia < 65 tahun. Nilai maksimal dari CURB-65 pada penelitian ini adalah 3. Sedangkan nilai yang terbanyak adalah 2. Nilai CURB-65 ditemukan tidak bermakna sebagai prediktor keluaran pasca cedera kepala. Keluaran pasien cenderung dipengaruhi variabel usia, penurunan kesadaran, peningkatan kadar BUN, dan peningkatan frekuensi napas. Diantara 5 pasien yang meninggal, ada 2 pasien yang memiliki nilai CURB-65 = 3, sehingga tampak adanya kecenderungan peningkatan mortalitas pada pasien-pasien dengan nilai CURB-65 = 3.
Kesimpulan: Walaupun skoring CURB-65 tidak bermakna sebagai prediktor keluaran pada pasien CKS dan CKB dengan pneumonia, penelitian pendahuluan ini menemukan adanya kecenderungan pengaruh masing-masing komponen CURB-65 (penurunan kesadaran, frekuensi napas, kadar BUN, serta usia) terhadap resiko kematian pasien

ABSTRACT
Background: Patients with moderate and severe traumatic brain injury (TBI) require hospitalization, therefore they have higher risk in developing nosocomial infections such as pneumonia which can worsen their outcomes. Since there are many factors that can affect outcome of head-injured patients with pneumonia, a scoring system for evaluating the severity of pneumonia is needed.
Objective: To know whether the CURB-65 scoring system can be used to predict the outcome of moderate and severe TBI patients who developed pneumonia during hospitalization.
Methods: This was a prospective study. The study subjects were all moderate and severe TBI patients who had been hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital during the research period. Diagnosis of pneumonia was confirmed if the patient fulfiled the criteria from The Center for Disease Control (CDC). The severity of pneumonia was determined by using CURB-65 scoring system. The outcome would either be dead or alive.
Results: Of 176 patients with moderate and severe TBI, there were 26 patients who developed pneumonia. The age of the subjects ranged between 15 to 71 years. Most of them were male and over the age of 65. The maximum score of CURB-65 was 3. The mode of CURB-65 score was 2. CURB-65 was shown to be not useful in predicting outcome of head-injured patients with pneumonia. The outcome was seemingly associated with age, loss of consciousness, BUN, and respiratory rate. Among 5 patients who were dead, there were 2 patients who had a CURB-65 score of 3, thus there was a trend of increasing mortality in patients with a CURB-65 score of 3.
Conclusions: Although the CURB-65 scoring system was not found to be useful in predicting outcome of moderate and severe TBI patients, this preliminary study have found that there were a tendency that each component of CURB-65 (loss of consciousness, respiratory rate, BUN, age) have some effects on mortality. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petonengan, Don Augusto Alexandro
"Latar Belakang: Trauma kepala (cedera otak traumatika) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, bahkan kematian. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah instrumen yang umum digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pada kondisi medis akut dan trauma serta sekaligus untuk memantau kondisi pasien selama perawatan. Setelah menjalani perawatan, luaran pada pasien pun dapat dinilai menggunakan beberapa instrument seperti Glassgow Outcome Scale. Modified Rankin Scale adalah suatu instrument untuk mengukur tingkat disabilitas pasien yang biasanya terkena stroke, tujuan penelitian ini untuk melihat GCS sebagai prediktor terhadap luaran pasien trauma menggunakan GOS dan mRS.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif potong lintang. Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada subjek pasien yang mengalami cedera otak traumatika yang dioperasi maupun tidak dioperasi dan pernah menjalani perawatan di Intensive Care Unit periode Januari 2017 hingga Desember 2020.
Hasil: Dalam kurun waktu dilakukan penelitian terdapat 90 (sembilan puluh) subjek pasien yang mengalami cedera otak traumatika, didapatkan 21,1%, 44,4% dan 34,4% pasien dengan GCS 3-8; 9-12;13-15 secara berurut pada saat masuk IGD. Terdapat 24,4%, 48,9%, 26,7% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat preoperasi. Terdapat 41,1%, 35,6%, dan 23,3% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat pascaoperasi. Terdapat 18,9%, 24,4%, dan 56,7% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat keluar dari ICU. Terdapat 17,8%, 22,2% dan 60% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat rawat jalan dan terdapat 20%, 8,9% dan 71,1% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat 6 bulan pasca rawat jalan.
Kesimpulan: Pasien yang masuk ke IGD dengan GCS 3-8 masih memiliki peluang sekitar 50% untuk memperoleh luaran yang baik dengan manajemen yang adekuat. Terjadi peningkatan GCS yang signifikan dan luaran yang baik terjadi pada pasien dengan modal GCS 9-12 maupun 13-15 saat keluar dari ICU, jika pasien keluar ICU dengan GCS 3-8 maka sekitar 90% pasien akan memiliki luaran yang buruk. MRS memiliki hasil luaran yang hampir serupa dengan GOS sehingga dapat digunakan sebagai penilaian luaran pasien cedera otak traumatika.

Background: Traumatic Brain Injury (TBI) is a type of mechanical trauma that occurs direct or indirectly hit the brain and can disturb neurological function until dead. Glassgow Coma Scale (GCS) is an instrument that commonly used to measure level of consciousness in an acute medical situation such as trauma and to monitor the level of consciousness while in the hospital. After getting discharged , the outcome is measured by some instrument such as Glassgow Outcome Scale. Modified Rankin Scale also a type of instrument measures disability level that usually applied on stroke patients. The goal of this study is to look GCS for an instrument to predict outcome of traumatic brain injury patients using GOS and mRS as outcome measurement scale.
Methods: This study is a cross-sectional retrospective study that conducted in Neurosurgery Department FKUI-RSCM on patients that experienced traumatic brain injury, operated or not, and treated in the Intensive Care Unit start from January 2017 until December 2020.
Results: There were 90 patients that experienced traumatic brain injury. We got 21,1%, 44,4% and 34,4% patients with GCS 3-8; 9-12;13-15 respectively when arrived at emergency room. There were 24,4%, 48,9% and 26,7% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively in preoperative period. There were 41,1%, 35,6%, and 23,3% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively in postoperative period. There were 18,9%, 24,4% and 56,7% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively when discharged from ICU. There were 17,8%, 22,2% and 60% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively discharged from hospital and there were 20%, 8,9% dan 71,1% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively in 6 months postoperative follow-up.
Conclusion: Patient admitted to emergency room with GCS 3-8 still have an equal chance of survival around 50% of good outcome with adequate management. There were significant escalation of GCS and good outcome happened with patients that had GCS 9-12 and 13-15 when they discharged from ICU. If patient discharge from ICU with GCS 3-8 then they would have gone to a bad outcome (90%). MRS had a similar results with GOS, therefore it can be a useful tool to measure an outcome for traumatic brain patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farell Hwardaya Putraprasetyo
"Latar Belakang: Cedera Otak Traumatik (COT) mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan temuan radiologi TBI dengan angka kecacatan dan kematian di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis, dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang diambil dari rekam medis dan arsip pasien yang disediakan oleh Departemen Neurologi FKUI-RSCM yang telah didiagnosis menderita COT sedang dan berat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari hingga Desember 2021. Hasil CT diklasifikasikan menggunakan skor CT Rotterdam. GOSE digunakan sebagai outcome prediktor dimana penilaian dilakukan pada hari ke 14, 30, dan 90. Analisis bivariat akan dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square dan uji Mann-Whitney. Hasil: TBI sedang menjadi dominan (88,5%) dan SAH menjadi kelainan CT paling umum di RSCM (57,6%). Usia ditemukan menjadi faktor signifikan dalam perkembangan hasil yang lebih buruk pada hari ke-14 pasca-trauma (p= 0,026). Keparahan juga ditemukan sebagai faktor yang signifikan terlepas dari kapan skor GOSE diambil (hari ke-14 p= 0,004, hari ke-30 p= <0,001, hari ke-90 p=<0,001). SAH merupakan prediktor hasil yang signifikan pada hari ke-14 (p=0,030), hari ke-30 (p=0,010), dan hari ke-90 (p = 0,009). DAI (p= 0,048) dan edema serebral (p=0,009) memainkan peran penting terhadap hasil pada hari ke-90. Skor CT Rotterdam memiliki hubungan yang signifikan terhadap prediksi hasil pada hari ke-14 (p=0,009), hari ke-30 (p <0,001), dan hari ke- 90 (p <0,001). Kesimpulan: Tingkat keparahan COT, SAH, DAI, dan edema serebral mempunyai peran penting dalam prediksi hasil akhir penelitian.

Introduction: TBI affects millions of individuals around the world. This research aims to explore the relationship between radiological findings of TBI and the disability and mortality rate in Cipto Mangunkusumo Hospital Methods: This is a descriptive analytical research, done in a retrospective way by the usage of secondary data extracted from medical records of patients that had been diagnosed with TBI in Cipto Mangunkusumo hospital in 2021. GOSE was used as an outcome predictor in which assessment was done at the 14th, 30th, and 90th day. Analysis was done using Chi-square test and Mann-Whitney test Results: Moderate TBI to be predominant (88.5%) and SAH to be the most prevalent CT abnormality in Cipto Mangunkusumo hospital (57.6%). Age was found to be a significant factor in the development of worse outcomes in the 14th day post-trauma (p= 0.026). Severity was found to be a significant factor also regardless of when the GOSE score was taken (14th day p= 0.004, 30th day p= <0.001, 90th day p=<0.001). SAH was a significant predictor of outcome at the 14th day (p=0.030), 30th day (p=0.010), and 90th day (p = 0.009). DAI (p= 0.048) and cerebral edema (p=0.009) played a significant role on the outcome at the 90th day. Rotterdam CT score had a significant association in outcome prediction at the 14th day (p=0.009), 30th day (p < 0.001), and 90th day (p < 0.001). Conclusion: Severity, Rotterdam CT score, SAH, DAI, and cerebral edema had a significant role in prediction of outcome at the end of the study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizqi Adhi Primaputra
"Pendahuluan: Cedera pleksus brachialis traumatik merupakan cedera pada ekstremitas atas yang menimbulkan disabilitas motorik dan sensorik yang berakhir pada penurunan kualitas hidup. Prosedur pembedahan saraf atau otot masih menjadi terapi pilihan untuk menangani cedera pleksus brachialis, akan tetapi belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Penelitian mengenai luaran pasien dengan cedera pleksus brachialis traumatik pasca prosedur pembedahan, khususnya di Indonesia, belum pernah dilakukan. Prosedur pembedahan cedera pleksus brachialis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sudah berlangsung sejak tahun 2010, namun belum ada hasil luaran yang terdokumentasikan dengan baik. Studi ini diharapkan menjadi gambaran awal mengenai hasil luaran klinis dan fungsional pasien cedera pleksus brachialis setelah dilakukan tindakan pembedahan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan metode potong lintang. Data pasien diambil minimum follow up 6 bulan pasca pembedahan. Luaran klinis dinilai dengan mengukur kekuatan motorik (Medical Research Council Scale) dan ruang lingkup gerak dari sendi abduksi bahu dan fleksi siku. Luaran fungsional dinilai melalui sistem skoring Disabilities of the Arm, Shoulder, and Hand (DASH). Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk mencari hubungan antara berbagai faktor (usia, jenis kelamin, penyebab cedera, awitan cedera, tipe cedera, tindakan pembedahan, rehabilitasi) dengan luaran klinis dan fungsional (skor DASH dan perubahan skor DASH).
Hasil Penelitian: Sebanyak 67 dari 139 pasien cedera pleksus brachialis traumatik yang menjalani pembedahan di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode 2010-2017 dimasukkan ke dalam penelitian dengan rerata waktu follow up 28 bulan pasca pembedahan. Laki-laki (82,2%) dengan nilai rerata usia 26 tahun dengan penyebab cedera tumpul karena kecelakaan lalu lintas. Tipe cedera terbanyak adalah postganglionik tipe total (56,7%). Sebagian besar subjek (65,7%) menjalani rehabilitasi. Rerata skor DASH 71,7 dengan perubahan skor DASH sebesar 17,5.
Diskusi: Luaran klinis dan fungsional pada pasien cedera pleksus brachialis traumatik baik dipengaruhi oleh awitan cedera, tipe cedera, jenis tindakan pembedahan, dan rehabilitasi pasca pembedahan. Analisis multivariat menunjukkan bahwa rehabilitasi menjadi faktor prediktor terhadap seluruh luaran klinis, sementara rehabilitasi dan tipe cedera dapat digunakan untuk memprediksi skor DASH.

Introduction: Traumatic brachial plexus injury (TBPI) is a disease that cause disability in motoric and sensory upper extremity that leads to decrease in quality of life. Nerve or muscle surgeries are still the treatment of choice for treating brachial plexus injury, despite the result is still not satisfying. Study on the outcomes of brachial plexus injury after surgical procedures, especially in Indonesia, has not been conducted. Surgical procedure for brachial plexus injury in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo has been performed since 2010, but no study had recorded outcome result yet. This study aim to give a brief clinical and functional outcome of patient with brachial plexus injury after surgical procedure.
Methods: We performed an observational analytic study using cross-sectional method. Data was taken with minumum follow up 6 months after surgery. Clinical outcome was measured with motoric strengh using Medical Research Council Scale and range of motion shoulder abduction and elbow flexion. Functional outcome was assessed through DASH scoring. Bivariate and multivariate analysis was performed to find relationships between various factors (age, sex, injury onset, type of injury, type of surgery, rehabilitation) and clinical and functional outcomes (DASH score and change in DASH score).
Results: A total of 67 from 139 traumatic brachial plexus injury patients had surgery at Cipto Mangunkusumo General Hospital from 2010-2017 with mean of follow up for 28 months. Male contributed major patient (82.2%) and had median age of 26 years. The most common type of brachial plexus injury was postganglionic total type (56.7%). Most subjects (65.7%) underwent rehabilitation. Mean DASH score was 71,7 with DASH score changed 17,5.
Discussion: Clinical and functional outcomes in TBPI patients who underwent surgery were influence with onset, type of TBPI, choice of surgery performed, and rehabilitation after surgery. Multivariat analysis showed rehabilitation is the main predictor factor in determine clinical outcome. Rehabilitation and type of injury can be predicted for DASH score. Multivariate analysis showed that rehabilitation was predictive of shoulder abduction ROM and motoric function, and also elbow flexion ROM and motoric function. Rehabilitation and type of injury can be used to predict DASH scores.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rakean Ahmad Kiansantang
"Latar Belakang
Cedera otak traumatis atau traumatic brain injury (TBI) merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan yang umum terjadi pada anak-anak, orang dewasa hingga umur 24 tahun, dan lansia dengan umur >75 tahun.1–3 Di Amerika Serikat terdapat sekitar 2,87 juta kasus pasien cedera otak traumatis, dimana 2,5 juta pasien masuk ke Instalasi Gawat Darurat, termasuk lebih dari 812.000 pasien anak-anak. Di Indonesia sendiri, menurut Riskesdas 2018, prevalensi kejadian cedera kepala di Indonesia berada pada angka 11,9%.2 Pada penelitian ini, akan dilakukan pengumpulan serta pengolahan data terkait profil diagnosis cedera kepala yang dioperasi. Data yang terkumpul dapat digunakan oleh pihak terkait untuk menilai resiko, prevalensi, diagnosis, dan tatalaksana operatif cedera kepala.
Metode
Metode penelitian melibatkan data retrospektif terhadap pasien yang menjalani tatalaksana operatif akibat cedera kepala di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2016 hingga 2020. Desain penelitian ini menggunakan desain deskriptif observasional dengan metode consecutive sampling.
Hasil
Populasi yang masuk dalam kriteri studi berjumlah 219 pasien. Terdiri dari, 176 pria (80,37%) dan 43 wanita (19,63%) dengan rata-rata umur 28,66. Kelompok umur terbanyak adalah kelompok umur remaja akhir (17-25 tahun) (Tabel 1 & 2). Diagnosis tersering yang ditemukan adalah epidural hematoma sebesar 54,34% (n = 119). Jenis tatalaksana tersering adalah kraniotomi (54,74%; n = 120). Dari 219 mengenai GCS dan penyebab trauma tersedia untuk 80 pasien. GCS 14-15 atau mild TBI adalah pasien terbanyak (43,59%; n = 34), dengan penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas (63,75%; n = 51)
Kesimpulan
Pasien cedera kepala yang dioperasi di RSCM pada tahun 2016-2020, umumnya mengalami mild TBI (GCS 14-15). Peneybab tersering adalah akibat kecelakaan lalu lintas. Jumlah pasien laki-laki dibandingkan perempuan adalah 4 : 1. Rata-rata umur pasien adalah 28,66. Kelompok umur terbanyak adalah kelompok umur 17-25 tahun. Epidural hematoma adalah diagnosis yang tersering yang ditemukan pada populasi studi. Kemudian jenis tatalaksana yang tersering adalah kraniotomi.

Background
Traumatic brain injury (TBI) is a common cause of death and disability in children, adults up to 24 years of age, and elderly people aged >75 years. 1–3 In the United States there are approximately 2, 87 million cases of traumatic brain injury patients, of which 2.5 million patients were admitted to the Emergency Department, including more than 812,000 pediatric patients. In Indonesia itself, according to Riskesdas 2018, the prevalence of head injuries in Indonesia is 11.9%.2 In this research, data will be collected and processed regarding the diagnosis profile of head injuries that are operated on. The collected data can be used by related parties to assess the risk, prevalence, diagnosis and operative management of head injuries.
Methods
The research method involved retrospective data on patients who underwent operative treatment for head injuries at Cipto Mangunkusumo Hospital from 2016 to 2020. This research design used an observational descriptive design with a consecutive sampling method.
Results
The population included in the study criteria was 219 patients. Consisting of 176 men (80.37%) and 43 women (19.63%) with an average age of 28.66. The largest age group is the late teenage age group (17-25 years) (Table 1 & 2). The most common diagnosis found was epidural hematoma at 54.34% (n = 119). The most common type of treatment was craniotomy (54.74%; n = 120). Of the 219 questions regarding GCS and causes of trauma were available for 80 patients. GCS 14-15 or mild TBI was the most common patient (43.59%; n = 34), with the most common cause being traffic accidents (63.75%; n = 51).
Conclusion
Head injury patients operated on at RSCM in 2016-2020 generally experienced mild TBI (GCS 14-15). The most common cause is a traffic accident. The number of male patients compared to female is 4: 1. The average age of patients is 28.66. The largest age group is the 17-25 year age group. Epidural hematoma was the most common diagnosis encountered in the study population. Then the most common type of treatment is craniotomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Rizqy Afriyanti
"Latar Belakang: Waktu penanganan sejak penentuan tatalaksana operasi hingga ruang operasi bisa diukur dan digunakan untuk melihat efektivitas dari proses pelayanan kesehatan,  Penelitian bertujuan untuk melihat hubungan antara waktu tersebut dengan Glasgow Coma Scale awal pasien dan diagnosis kerja pasien. 
Metode: Desain penelitian adalah retrospective cross sectional. Pengambilan sampel dari rekam medis pasien, menggunakan metode consecutive sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 90 sampel.
Hasil: Hubungan antara waktu door-to-operating room dengan Glasgow Coma Scale awal pasien tidak signifikan (OR, 1,763; CI 0,18-16,5; P 0,579) dan hubungan antara waktu door-to-operating room dengan diagnosis kerja pasien tidak signifikan (P > 0,999). 
Kesimpulan: Tidak ada hubungan signifikan antara waktu door-to-operating room dengan Glasgow Coma Scale awal pasien dan diagnosis kerja pasien.

Introduction: The time from determining surgical management to the operating room can be measured and used to see the effectiveness of the health service process. The research aims to see the relationship between this time and the patient's initial Glasgow Coma Scale and the patient's working diagnosis. 
Methods: The research design is retrospective cross sectional. Sampling was taken from patient medical records, using the consecutive sampling method, with a total sample of 90 samples.
Results The relationship between door-to-operating room time and the patient's initial Glasgow Coma Scale was not significant (OR, 1.763; CI 0.18-16.5; P 0.579) and the relationship between door-to-operating room time and the patient's working diagnosis was not significant (P > 0.999). 
Conclusion: There was no significant relationship between door-to-operating room time and the patient's initial Glasgow Coma Scale and the patient's working diagnosis, indicated by a p-value > 0.05.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mousavi, Adel
"Latar Belakang. Virchow pada 1851 mendefinisikan kraniosinostosis sebagai penutupan prematur sutura kranialis. Pasien kraniosinostosis tidak hanya mengalami kelainan kalvaria, tetapi juga gangguan lainnya. Hingga saat ini, belum ada evaluasi baku pascaoperasi. Studi ini bertujuan mengajukan metode evaluasi pascaoperasi menggunakan volume otak dari CT Scan dan aspek tumbuh kembang. Metode. Studi bersifat retrospektif menggunakan data rekam medis dan radiologis pasien kraniosinostosis yang dilakukan operasi. Variabel independen mencakup jenis kelamin, usia saat operasi, jenis kraniosinostosis, dan sutura yang terlibat. Variabel dependen mencakup volume otak dan status perkembangan. Hasil. Terdapat delapan pasien memenuhi kriteria. Nilai median usia pasien saat menjalani operasi adalah 9,5 bulan, terdiri dari lima laki-laki (62%) dan tiga perempuan (38%). Seluruh pasien mengalami peningkatan volume otak dengan rentang 0,4% hingga 29%. Terdapat lima pasien (62%) memiliki volume otak sesuai usianya dan tiga pasien lainnya memiliki volume otak yang tidak sesuai usia pascaoperasi. Tiga pasien dengan volume otak tidak normal ditemukan mencapai volume normal pascaoperasi. Tidak ada perubahan tumbuh kembang pascaoperasi. Kesimpulan. Studi ini dapat menjadi referensi bagi studi lainnya untuk mengevaluasi volume otak dan tumbuh kembang pascaoperasi pasien kraniosinostosis. Evaluasi volume otak berdasarkan CT scan dan status tumbuh kembang pasien dapat digunakan sebagai salah satu pilihan standar dalam manajemen kraniosinostosis.

Background. Craniosynostosis defined by Virchow as premature closure of cranial sutures. These patients not only have abnormal calvaria, but also other disorders. Until now, postoperative evaluation has not been standardized. This study aims to describe postoperative evaluation using brain volume and development aspects of the patients. Methods. This is a retrospective study using records and radiological examinations of patients who underwent surgery. The Independent variables are sex, age of operation, type of craniosynostosis and sutures involved. The dependent variables assessed are brain volume and developmental aspects. Results. This study includes 8 patiens. Age during surgery has median of 9.5 months that consists of 5 male (62%) and 3 female (38%). All patients experienced increased brain volume with changes from 0.4% to 29%. There were 5 patients (62%) with normal brain volume and 3 patients with abnormal brain volume at postoperative control. There were 3 patients that had preoperative abnormal brain volume who achieved normalization. There was no change in developmental aspects postoperatively. Conclusion. This study can be used as reference for assessing brain volume and growth in craniosynostosis. Study of brain volume evaluation based on CT scans and developmental status can be used as standard procedures in management of craniosynostosis."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeffri Harisman
"Latar belakang: Status epileptikus non konvulsif (SENK) dapat ditemukan pada
cedera kepala sedang-berat (CKS-B). Timbulnya kejang pascatrauma dapat
memperberat cedera otak yang sudah terjadi, sehingga dapat mempengaruhi luaran.
Gejala klinis SENK tidak spesifik, sehingga membutuhkan pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG) dalam penegakkan diagnosis. Penelitian ini bertujuan
mengetahui angka kejadian SENK, faktor yang mempengaruhi, gambaran demografi
(usia, jenis kelamin dan luaran), gejala klinis, gambaran pencitraan dan EEG pada
pasien CKS-B dengan SENK.
Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan sampel
terdiri dari data primer, yaitu semua CKS-B dari bulan Juli-Desember 2019 secara
consecutive sampling dan data sekunder, yaitu subjek CKS-B dengan klinis kecurigaan
SENK dari bulan Januari 2017-Juni 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo (RSUPNCM), Jakarta. Penegakkan diagnosis SENK dilakukan melalui
kriteria modified salzburg consensus criteria for non convulsive status epilepticus
(mSCNC).
Hasil penelitian: Sebanyak 39 sampel CKS-B masuk ke dalam penelitian yang terdiri
dari 14 data primer dan 25 data sekunder. Sebanyak 19 dari 39 sampel terdiagnosis
SENK. Proporsi insiden SENK pada CKS-B dari Juli-Desember 2019 sebesar 21,4% (3
dari 14 sampel). Pada kelompok SENK didapatkan usia lebih tua, laki-laki lebih banyak
dari perempuan (3:1) dan kecelakaan lalu lintas sebagai mekanisme utama. Manifestasi
klinis SENK, antara lain penurunan kesadaran (23,1%), agitasi psikomotor (12,8%),
delirium (5,1%) dan gangguan persepsi (5,1%). Lobus frontal dan SAH merupakan
daerah lokasi cedera dan patologi terbanyak. Hanya didapatkan 2 sampel dengan kriteria
definit SENK dan selebihnya possible SENK. Sebagian besar bangkitan SENK berasal
dari lobus temporal. Analisis multivariat menunjukkan lokasi cedera lobus temporal
bermakna berhubungan dengan kejadian SENK (p = 0,036, OR 11,45 (95% IK 1,17-
111,6).
Kesimpulan: Proporsi insiden SENK pada CKS-B di RSUPNCM sebesar 21,4%.
Penurunan kesadaran merupakan gejala klinis SENK terbanyak. Lobus temporal
merupakan faktor yang berhubungan terhadap kejadian SENK.

Background: Non convulsive status epilepticus (NCSE) can be accounted by moderatesevere
traumatic brain injury (TBI). Posttraumatic seizure can aggravate the previous
injury and produce poor outcome. Electroecephalography (EEG) was employed as
diagnostic tool because unspecified clinical symptoms. This study was aimed to find
incidence proportion, associated risk factors, demographic profiles (age, gender,
outcome), clinical symptoms, imaging and EEG patterns of NCSE in moderate-severe
TBI patients.
Method: Cross-sectional design was applied ini this study. Data is consist of primary
data which include all moderate-severe TBI since July-December 2019 by consecutive
sampling and secondary data which include moderate-severe TBI since January 2017-
June 2019 with highly suspicious NCSE symptoms in Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta. EEG was employed as diagnostic tool by using modified salzburg consensus
criteria for non convulsive status epilepticus (mSCNC) as a criteria.
Result: Of 39 samples, 19 moderate-severe TBI samples (14 primary data, 25
secondary data) were diagnosed as NCSE. Incidence proportion of NCSE from July-
December 2019 is 21,4% (3 from 14 samples). Older age, man gender, traffic accident
and worse outcome are the most common NCSE demographic profiles. Loss of
consciousness (23,1%) is a main symptom, followed by psychomotor agitation (12,8%),
delirium (5,1%) dan perception disturbance (5,1%). Frontal lobe and SAH are
consecutively as the most common injury location and pathologic finding. Only 2
samples have definite NCSE diagnosis and the remaining as possible NCSE. Most of
NCSE discharges were originated from temporal lobe. Temporal lobe injury location
has significance relation toward SENK occurance (p = 0,036, OR 11,45 (95% CI 1,17-
111,6).
Conclusion: Incidence proportion of NCSE in moderate-severe TBI is 21,4%. Loss of
consciousness is the most finding symptoms. Temporal lobe is a factor relates to NCSE
occurance."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>