Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50690 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Toto Suryo Efar
"Latar Belakang: Diagnosis dan tatalaksana osteoartritis lutut sementara ini lebih berfokus pada sendi tibiofemoral dan kesegarisan di bidang tersebut, yang hanya memberikan asosiasi lemah dengan nyeri dan disabilitas. Sementara itu, masih sangat minim studi yang mempelajari kesegarisan patela pada osteoartritis lutut, terutama hubungannya dengan derajat keparahan penyakit secara radiografis, defek kartilago, dan juga nyeri dan disabilitas.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang diikuti oleh pasien RSUPN Cipto Mangunkusumo yang terdiagnosis osteoartritis lutut. Subjek menjalani pemeriksaan radiografis dan magnetic resonance, dari situ dievaluasi kesegarisan patela, grade Kellgren-Lawrence (KL), dan defek kartilago yang dinilai dengan grade International Cartilage Regeneration and Joint Preservation Society(ICRS). Kesegarisan patela dinilai dari sulcus angle(SA), congruence angle(CA), trochlear angle(TA), lateral trochlear inclination(LTI), trochlear depth(TD), bisect offset(BO), patellar displacement(PD), lateral patellar tilt angle(LPTA), dan lateral patellofemoral angle(LPFA).Pasien juga diukur skor WOMAC yang menilai nyeri dan disabilitas.
Hasil: Ditemukan korelasi antaraTA (r = -0,397; p < 0,001), LTI (r = -0,333; p = 0,004), BO (r = 0,268; p = 0,020), dan PD (r = 0,299; p = 0,009) dengan grade KL patelofemoral. TA juga berkorelasi juga dengan grade KL tibiofemoral (r = -0,246; p = 0,033). TA (r = -0,246; p = 0,033) juga berkorelasi dengan grade KL tibiofemoral. Tidak ditemukan parameter kesegarisan patela yang berkorelasi dengan grade ICRS. Sementara itu SA (r = 0,238; p = 0,039), LTI (r = -0,235; p = 0,042), TD (r = -0,374; p = 0,001), BO (r = 0,257; p = 0,026) dan LPTA (r = 0,267; p = 0,021) berkorelasi dengan nyeri. LTI (r = -0,229; p = 0,048), TD (r = -0,251; p = 0,030) dan LPTA (r = 0,314; p = 0,006) berkorelasi terhadap disabilitas.
Kesimpulan: Kesegarisan patela axial berkorelasi dengan keparahan radiografis osteoartritis lutut, tidak hanya pada kompartemen patelofemoral tetapi juga tibiofemoral. Kesegarisan patela juga berkorelasi dengan nyeri dan disabilitas.

Background: Diagnosis and treatment of knee osteoarthritis has been focused on the tibiofemoral joint and its alignment, even though they provide little contribution to pain and disability. The aim of this study is to evaluate the axial patellar alignment in patients with knee osteoarthritis, especially its association with the radiographic findings, cartilage defect on magnetic resonance, as well as pain and disability.
Methods: Patients with knee osteoarthritis underwent radiographic and magnetic resonance examinations. Patellar alignment was represented by sulcus angle (SA), congruence angle (CA), trochlear angle (TA), lateral trochlear inclination (LTI), trochlear depth (TD), bisect offset (BO), patellar displacement (PD), lateral patellar tilt angle (LPTA), dan lateral patellofemoral angle (LPFA). We evaluated the association between patellar alignment and Kellgren-Lawrence (KL) grade of the radiographs, International Cartilage Regeneration and Joint Preservation Society (ICRS) grade of the cartilage defect on magnetic resonance images, and the Western Ontario and McMaster Universities Arthritis Index (WOMAC) score.
Results: Radiographically, TA  (r = -0,397; p < 0,001), LTI (r = -0,333; p = 0,004), BO (r = 0,268; p = 0,020), and PD (r = 0,299; p = 0,009) were correlated with patellofemoral KL grade. TA was also correlated with tibiofemoral KL grade (r = -0,246; p = 0,033). However, no patellar alignment index was found to be correlated with ICRS grade. Furthermore SA (r = 0,238; p = 0,039), LTI (r = -0,235; p = 0,042), TD (r = -0,374; p = 0,001), BO (r = 0,257; p = 0,026) and LPTA (r = 0,267; p = 0,021) were correlated with pain score in WOMAC. Meanwhile, LTI (r = -0,229; p = 0,048), TD (r = -0,251; p = 0,030) and LPTA (r = 0,314; p = 0,006) were correlated with disability score in WOMAC.
Conclusion: Axial patellar alignment was correlated with radiographic severity of knee osteoarthritis, not only in patellofemoral compartment but also in tibiofemoral compartment. Patellar alignment was also associated with pain and disability.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheena R Angelia
"Osteoartritis OA adalah penyakit sendi kronis yang merupakan penyebab utama disabilitas menahun di dunia saat ini. Salah satu faktor yang berperan penting dalam patogenesis OA adalah terjadinya stres oksidatif berlebih, yang menginduksi kerusakan kondrosit akibat dan ditandai dengan peningkatan kadar malondialdehid MDA . Asam lemak omega-3 memiliki peran dalam menghambat terjadinya stres oksidatif, namun sebaliknya asam lemak omega-6 memiliki fungsi yang berlawanan. Kedua asam lemak ini bersifat esensial di dalam tubuh, dan kadarnya ditentukan oleh asupan dari bahan makanan sumber. Rasio antara asupan asam lemak omega-6/omega-3 yang optimal dapat mengurangi terjadinya stres oksidatif dalam tubuh. Tujuan penelitian ini untuk melihat hubungan antara rasio asupan asam lemak omega-6/omega-3 terhadap kadar MDA plasma pada pasien OA lutut. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan di poli ortopedi RS Bhayangkara Tk I RS. Sukanto dan RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, terhadap pasien OA lutut derajat 2-4, berusia 40-60 tahun, pada bulan April-Mei 2018. Asupan asam lemak omega-3 dan omega-6 untuk 1 bulan ke belakang didapatkan dengan menggunakan semi-quantitative food frequency questionnaire. Besarnya rasio asupan asam lemak omega-6/omega-3 dihitung dengan cara membagi rata-rata asupan harian asam lemak omega-6 total dengan rata-rata asupan harian asam lemak omega-3 total. Kadar MDA plasma diukur dengan metode spektrofotometri. Dari 57 subjek yang mengikuti penelitian, didapatkan rerata usia 50 tahun, sebanyak 87,7 adalah subjek perempuan, serta sebagian besar 89,5 masuk dalam kategori obesitas. Persentase asupan kedua asam lemak masih kurang bila dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi AKG , dengan nilai tengah asupan asam lemak omega-3 total subjek adalah 0,864 0,351-2,200 g/hari, sedangkan asupan asam lemak omega-6 total sebesar 6,830 3,066-19,110 g/hari. Didapatkan rerata rasio asupan asam lemak omega-6/omega-3 yaitu 8,8:1, dan rerata kadar MDA plasma pada subjek sebesar 0,773 0,199 nmol/mL. Setelah mengontrol faktor usia, IMT dan skor aktivitas fisik dengan uji regresi linear ganda, didapatkan hasil setiap kenaikan 1 unit rasio asupan asam lemak omega-6/omega-3 dapat meningkatkan kadar MDA plasma sebesar 0,023 nmol/mL = 0,023, 95 CI = 0,004 ndash; 0,042, p = 0,017 . Rasio asupan asam lemak omega-6/omega-3 yang tinggi berhubungan dengan peningkatan kadar MDA plasma pada pasien OA lutut derajat II-IV. Oleh karena itu diperlukan edukasi untuk mendapatkan rasio yang optimal sehingga dapat mecegah peningkatan progresivitas OA lutut.

Osteoarthritis OA is a chronic disease characterized by joint pain, and is a major cause of disability in the patient. One of several factors in the pathogenesis of OA is the generation of oxidative stress, inducing chondrocytes apoptosis due to lipid peroxidation, characterized by the increasing of malondialdehyde MDA level. Omega 3 fatty acids have role in inhibiting the oxidative stress, meanwhile omega 6 hold contradicting role. Both fatty acids are essential in human body, and their levels are determined by the intake from the food sources. The omega 6 omega 3 ratio should be optimal in order to reduce the oxidative stress. This study aims to investigate the association between the ratio of omega 6 omega 3 fatty acids intake to MDA plasma level in patients with knee OA. This was a cross sectional study, conducted at orthopedic clinic at Bhayangkara RS. Sukanto Hospital and Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, in patients with II IV grade Kellgren Lawrence of knee OA, aged between 40 60 years. The 1 month history of omega 3 and omega 6 intake was obtained by using semi quantitative food frequency questionnaire. The omega 6 omega 3 ratio was calculated by dividing the average daily intake of total omega 6 fatty acids by the average daily intake of total omega 3 fatty acids. The MDA plasma level was measured by spectrophotometry method. Of 57 subjects participated, the mean age was 50 years, 87,7 were female, and mostly 89,5 were obese. The percentage of both fatty acids intake was below the Recommended Dietary Allowance RDA , the median for omega 3 and omega 6 intake were 0,864 0,351 2,200 g day and 6,830 3,066 19,110 g day. Thus the ratio of omega 6 omega 3 intake was 8,8 1, and the mean MDA plasma level was 0,773 0,199 nmol mL. The age, BMI, and physical activity score variables were then controlled through multiple linear regression test. The results found were the increase of 1 unit of omega 6 omega 3 intake ratio would increase MDA level of 0,023 nmol mL 0,023, 95 CI 0,004 ndash 0,042, p 0,017 . A high ratio of omega 6 omega 3 intake is associated with elevated plasma MDA level in knee OA patients. Therefore, a subsequent education is necessary in achieving optimal ratio thus prevent the progressivity of knee OA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusy Erawati
"Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang sering dijumpai dan salah satu penyebab disabititas serta nyeri. Osteoartritis banyak menyerang sendi penumpu berat badan seperti lutut, panggul dan tulang belakang. Prevalensi penyakit ini meningkat tajam pada usia lebih dan 55 tahun. Dan beberapa sendi penumpu berat badan, OA lutut paling sering dikeluhkan terutama pada wanita dan penderita obesitas. Pada suatu studi yang dilakukan oleh Mannoni dkk, prevalensi OA lutut di Italia diperkirakan 29,8%.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Cushnaghan dan Dieppe, dan seluruh gejala OA yang sirntomatik, 41,2% melibatkan sendi Iutut. Berdasarkan penelitian di Malang, diperkirakan masalah OA di Indonesia lebih besar jika dibandingkan negara barat. Lebih dari 85% penderita OA di Indonesia terganggu aktivitasnya terutama kesulit-in dalam jongkok, naik turun tangga dan berjalan. Pada suatu studi yang dilakukan oleh Bristol, menyatakan bahwa 15% subyek pada populasi yang berusia diatas 55 tahun terdapat keterbatasan aktivitas karena nyeri lutut yang terjadi hampir setiap hari dalam satu bulan selama satu tahun terakhir.
Konsep inflamasi sebagai salah satu patogenesis OA akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Salah satu bukti yang mendukung konsep tersebut adalah ditemukannya peningkatan protein fase akut seperti C-Reactive Protein (CRP) serum penderita OA pada penelitian Spector dkk. Pada penelitian Kertia dkk ditemukan peningkatan jumiah lekosit, peningkatan ringan kadar protein, viskositas yang turun serta peningkatan berbagai mediator proinflamasi pada penderita OA. Ditemukannya ekspresi sitokin pada membran sinovial pasien OA lutut membuktikan peranan inflamasi pada patogenesis OA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuri Annisa Iqbal
"Latar Belakang Osteoartritis (OA) merupakan kondisi degeneratif sendi kronis yang umum terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Nyeri adalah gejala predominan OA yang memengaruhi kualitas hidup pasien. Penyebab OA bersifat multifaktorial dan berat badan berlebih ataupun obesitas merupakan faktor risiko OA yang dapat diubah dan paling berpengaruh. OA bersifat nonreversibel sehingga tata laksananya saat ini berfokus pada manajemen rasa nyeri yang ditimbulkan. Penelitian ini utamanya bertujuan untuk mengetahui hubungan indeks massa tubuh dengan nyeri lutut pada pasien obesitas dengan osteoartritis genu. Metode Penelitian ini dilakukan dengan desain studi potong lintang analitis. Populasi penelitian merupakan pasien obesitas dengan osteoartritis lutut di Indonesia. Data subjek penelitian didapatkan dari rekam medis pasien yang menjalani rehabilitasi di Poli Rehabilitasi Medik RSCM. Hasil data dianalisis dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk uji normalitas data. Analisis hubungan variabel dilakukan dengan menggunakan uji Spearman. Hubungan dinyatakan bermakna apabila p<0.05. Hasil Hubungan indeks massa tubuh dengan nyeri lutut memiliki nilai p<0.001 dan nilai r=0.457. Kesimpulan Rerata indeks massa tubuh pasien obesitas dengan osteoartritis genu Poli Rehabilitasi Medik RSCM adalah 30.17 kg/m2. Rerata skor nyeri lutut yang dialami pasien adalah 3.9 dengan semua pasien mengalami nyeri. Terdapat hubungan bermakna antara indeks massa tubuh dan nyeri lutut pada pasien obesitas dengan osteoartritis genu.

Introduction Osteoarthritis (OA) is a common chronic degenerative joint condition that occurs worldwide, including in Indonesia. Pain is the predominant symptom of OA that affects the quality of life of patients. The causes of OA are multifactorial, and excess body weight or obesity is a modifiable and influential risk factor for OA. OA is nonreversible, so current management focuses on addressing the pain it causes. The main aim of this study is to determine the relationship between body mass index and knee pain in obese patients with knee osteoarthritis. Method This research was conducted with an analytical cross-sectional study design. The study population consisted of obese patients with knee osteoarthritis in Indonesia. Subject data were obtained from the medical records of patients undergoing rehabilitation at the Medical Rehabilitation Clinic of RSCM. Data results were analyzed using the Kolmogorov-Smirnov test for data normality. Variable relationships were assessed using the Spearman test. The relationship was considered significant when p<0.05. Results The relationship between body mass index and knee pain has a p-value of <0.001 and an r-value of 0.457. Conclusion The mean body mass index of obese patients with knee osteoarthritis at the Medical Rehabilitation Clinic of RSCM is 30.17 kg/m2. The mean knee pain score experienced by patients is 3.9, with all patients experiencing pain. There is a significant relationship between body mass index and knee pain in obese patients with knee osteoarthritis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 20023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herikurniawan
"Latar Belakang: Obesitas merupakan faktor risiko utama osteoartritis (OA). Penelitian terdahulu mendapatkan bahwa faktor mekanik saja tidak cukup untuk menjelaskan hubungan OA dengan obesitas. Saat ini faktor metabolik yang berkaitan dengan massa lemak tubuh dianggap memiliki peranan penting, tetapi lemak mana yang paling berperan masih kontroversial apakah lemak viseral atau lemak subkutan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan korelasi antara distribusi lemak tubuh dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada penderita OA lutut dengan obesitas yang berobat di poliklinik Reumatologi, Geriatri dan Penyakit Dalam RSCM periode Januari-Maret 2016. Diagnosis OA lutut berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1986. Pemeriksaan distribusi lemak tubuh menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA). Pemeriksaan radiologi lutut menggunakan radiologi konvensional (foto polos) untuk menilai lebar celah sendi tibiofemoral medial. Analisis statistik bivariat digunakan untuk mendapatkan korelasi antara distribusi lemak tubuh dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial.
Hasil: Sebanyak 56 orang pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan bersedia ikut dalam penelitian, mayoritas subjek berjenis kelamin perempuan (73,2%). Median kadar lemak viseral adalah 12% (7.5-16,5) median lemak subkutan adalah 30,2% (16,5-37,9) dan median rasio lemak viseral/subkutan adalah 0,40 (0,26-0,80). Rerata lebar celah sendi tibiofemoral medial adalah 2,34 mm (SB 0,78). Korelasi antara lemak viseral dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial (r: -0,474 p: < 0,001). Tidak didapatkan korelasi antara lemak subkutan dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial (r: -0,187 p: 0,169) serta tidak didapatkan korelasi antara rasio lemak viseral/subkutan dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial (r: -0,225 p: 0,09).
Simpulan: Lemak viseral berkorelasi negatif sedang dengan lebar celah sendi tibiofemoral medial (r: -0,474 p: < 0,001). Tidak didapatkan korelasi antara lemak subkutan dan rasio lemak viseral/subkutan dengan lebar celah sendi tibiofemoral.

Background: Obesity is a major risk factor for knee osteoarthritis. The relationship between obesity and OA may not simply due to mechanical factor. Evidence suggests that metabolic factors related to body fat play important roles, but the specific type of fat that contributes to OA is unclear. The objective of this study was to examine the possible correlation between body fat distributions with knee OA.
Method: This study was a cross sectional study in OA patients with obesity visiting Rheumatology, Geriatric, Internal Medicine clinics in Cipto Mangunkusumo Hospital between January-March 2016. Samples were collected using consecutive sampling method. Knee OA was diagnosed from clinical and radiologic evaluation based on American College of Rheumatology 1986 criteria. Body fat distribution was measured by bioelectrical impedance analysis (BIA). Radiographs of the knee was measured by conventional radiography to evaluate joint space narrowing (JSN). The correlation between body fat distributions with joint space width was analyzed by bivariate analysis.
Result: A total of 56 subjects were recruited, with majority of subjects were women (73,2%). Median of visceral fat was 12% (7.5-16,5), median of subcutaneous fat was 30,2% (16,5-37,9) and median of visceral to subcutaneous fat ratio was 0,40 (0,26-0,80). Mean of medial tibiofemoral joint space width was 2,34 mm (SB 0,78). In bivariate analysis we found correlation between visceral fat and medial tibiofemoral joint space width (r: -0,474 p: < 0,001). There is no correlation between subcutaneous fat and medial tibiofemoral joint space width (r: -0,187 p: 0,169) and also visceral to subcutaneous fat ratio and medial tibiofemoral joint space width (r: -0,225 p: 0,09).
Conclusion: Visceral fat is correlated with medial tibiofemoral joint space width (r: -0,474 p: < 0,001). There is no correlation between neither subcutaneous fat nor visceral to subcutaneous fat ratio and medial tibiofemoral joint space width.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Saleh Harris
"Diabetes melitus dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang menyebabkan hendaya, salah satunya adalah ulkus kaki diabetikum (UKD). Kadar vitamin D diketahui berhubungan dengan penyembuhan luka dan resistensi insulin. Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara kadar vitamin D serum dan derajat keparahan UKD. Tiga puluh pasien UKD dengan nilai ankle brachial index normal dikelompokkan sesuai derajat keparahannya sesuai klasifikasi Wagner diikutkan dalam studi ini. Kadar vitamin D serum diperiksa menggunakan metode immunoassay. Hubungan antara kedua variabel dianalisis. Pasien terdiri dari 18 orang laki-laki (60%) dan 12 orang perempuan (40%) dengan rerata usia 57 tahun. Rerata kadar vitamin D serum adalah 10,58 ng/mL. Korelasi kuat ditemukan antara kadar vitamin D serum dan derajat keparahan UKD (p<0,001, r=0,901). Pemeriksaan penyaring kadar vitamin D serum pada pasien UKD menunjukkan hasil yang rendah dan berkorelasi kuat dengan derajat keparahan UKD

Diabetes mellitus can cause various disabilitating complications including diabetic foot ulcer (DFU). Vitamin D levels are known to be correlated with wound healing and insulin resistance. This cross-sectional study aimed to determine the correlation between serum level of vitamin D and the severity degree of DFU. Thirty DFU patients with normal ankle brachial index, grouped into degrees according to the Wagner classification, were included in this study. Their serum level of vitamin D were examined using the chemiluminescent immunoassay method. Correlation between these two variables was analyzed. Patients were 18 males (60%) and 12 females (40%) with an average age of 57 years. The average serum level of vitamin D was 10.58 ng/mL. Strong correlation was found between serum level of vitamin D and the severity of DFU (p<0.001, r=0.901). Serum level of vitamin D screening in DFU patients were low and were strongly correlated with the degree of DFU."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55522
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Fadjriansyah
"Latar Belakang: Kebocoran plasma merupakan penanda derajat keparahan penyakit infeksi virus dengue. Kadar natrium menurun seiring dengan terjadinya kebocoran plasma.
Tujuan: Mengetahui hubungan natrium pada pasien infeksi DENV dengan derajat keparahan penyakit.
Metode: Jumlah sampel pada penelitian ini sebesar 43 pasien. Sebanyak lima pasien di eksklusi sehingga 38 sampel yang dapat digunakan pada penelitian ini. Sampel berasal dari data sekunder pasien infeksi DENV pada komunitas di Jakarta. Kadar natrium diambil pada hari ketiga dan keempat demam pada pasien, karena kebocoran plasma yang signifikan terjadi pada hari tersebut sebagai awal fase kritis pasien. Penegakan derajat infeksi DENV menggunakan klasifikasi WHO tahun 1997 yang terbagi atas Undifferentiated fever, DD, dan DBD. Namun, pada penelitian ini kelompok infeksi DENV yang diteliti terbagi atas DD dan DBD. Kadar natrium dan derajat keparahan penyakit akan dianalisis menggunakan uji nonparametrik yaitu Uji Mann-Whitney.
Hasil: Nilai median kadar natrium hari ketiga demam pada kelompok pasien DBD (132 mEq/L) lebih rendah dibandingkan kelompok pasien DD (135 mEq/L). Secara statistik tidak ada perbedaan bermakna kadar natrium pada pasien DD dan DBD di hari ketiga demam (p=0,057). Hasil yang sama didapatkan pada hari keempat demam yaitu nilai median kadar natrium kelompok pasien DBD (133 mEq/L) lebih kecil dibandingkan kelompok pasien DD (136 mEq/L). Namun, secara statistik terdapat perbedaan bermakna pada kelompok DD dan DBD (p 0,011).
Kesimpulan: Kadar natrium mengalami penurunan pada kelompok pasien DBD dibandingkan dengan DD yaang signifikan pada hari keempat demam tetapi tidak bermakna pada hari ketiga. Sehingga terdapat hubungan antara kadar natrium dengan derajat keparahan penyakit pasien infeksi virus dengue.

Background: Plasma leakage is used to determine the severity of dengue virus infection. Natrium level decreases along with plasma leakage.
Objective: To understand the association of Natrium level in patients with DENV infection to the degree of disease severity.
Methods This study used 43 samples. Five patients excluded, there are 38 samples remained in this study. Samples derived from secondary data of patients with DENV infection in the community in Jakarta. Natrium level had taken at the third and fourth days of fever, due to a significant plasma leakage that occurred as the beginning of a critical phase of the patient. Enforcement degree of DENV infection using the 1997 WHO classification, divided into an undifferentiated fever, Dengue Fever (DF), and Dengue Haemmorrhagic Fever (DHF). However, this study examined groups of DENV infection that divided into DF and DHF. Natrium Level and the degree of disease severity will be analyzed using a nonparametric test, the Mann-Whitney test.
Results: The median value of the natrium level on the third day of fever in the DHF patient group is (132 mEq/L) lower than the DF patient group (135 mEq/L). There is no statistically significant difference in natrium levels in DF and DHF patients on the third day of fever (p = 0,057). The same results obtained on the fourth day of fever is the median value of the natrium DHF group (133 mEq/L) is smaller than the group of DF (136 mEq/L). However, there is a significant difference between the DF and DHF group (p 0,011).
Conclusion: Natrium levels decreased in the DHF patient group compared to the DF group which indicate significance on the fourth day of the Fever, but not on the third day. So, there is a association between Natrium Level and the degree of Disease Severity in Patients with Dengue Virus Infection in Jakarta, Indonesia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cinthia Christina Dewi Jzt
"Latar Belakang: Psoriatic arthritis (PsA) merupakan inflamasi muskuloskeletal yang progresif. Psoriasis kuku merupakan faktor prediktor kuat PsA dengan prevalensi mencapai 87%. Skor modified nail psoriasis severity index (mNAPSI) merupakan salah satu penilaian derajat keparahan psoriasis kuku dengan reliabilitas interrater yang baik. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara skor mNAPSI dengan PsA serta kerusakan sendi interfalang distal, sehingga dipikirkan bahwa derajat keparahan kuku dapat dijadikan sebagai penapisan kejadian PsA serta kaitannya dengan aktivitas penyakit PsA.
Tujuan: Menilai hubungan derajat keparahan kuku menggunakan skor mNAPSI dengan kejadian PsA dan korelasi skor mNAPSI dengan derajat keparahan PsA menggunakan skor clinical disease activity for psoriatic arthritis (cDAPSA). Sebagai hasil tambahan, dilakukan penilaian korelasi skor psoriasis area severity index (PASI) dan cDAPSA. Secara deskriptif menilai proporsi kelainan psoriasis kuku secara klinis maupun dermoskopi pada pasien PsA dan tanpa PsA.
Metode: Penelitian observasional analitik. Setiap subyek penelitian (SP) dengan psoriasis kuku yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan perhitungan mNAPSI, diagnosis PsA menggunakan classification criteria for psoriatic arthritis (CASPAR), dan menentukan derajat keparahan PsA dengan cDAPSA. Analisis statistik yang sesuai untuk membuktikan hipotesis penelitian. Nilai p <0,05 dianggap signifikan secara statistik.
Hasil: Di antara 34 SP terdapat 15 SP yang mengalami PsA. Hubungan antara skor mNAPSI dengan kejadian PsA dianalisis menggunakan ROC dengan hasil nilai area under ROC curve (AUC) 0,58. Korelasi antara skor mNAPSI dengan cDAPSA adalah 0,217 (p=0,437). Terdapat korelasi positif antara PASI dan cDAPSA (r=0,621; p=0,013). Kelainan kuku terbanyak pada penelitian ini adalah onikolisis (72,6%), leukonikia (19,6%), diikuti dengan oil drop dan crumbling masing-masing 12,8%. Seluruh kelainan kuku lebih mudah dilihat dengan dermoskopi, kecuali pitting dan Beau’s line.
Kesimpulan: Skor mNAPSI memiliki hubungan lemah dengan kejadian PsA, sehingga tidak dapat digunakan sebagai penapisan kejadian PsA. Selain itu, mNAPSI memiliki korelasi lemah dengan cDAPSA, sehingga derajat kerusakan kuku tidak mencerminkan derajat keparahan PsA.

Background: Psoriatic arthritis (PsA) is a progressive musculoskeletal inflammation. Nail psoriasis is a strong predictor of PsA with a prevalence of 87%. The modified nail psoriasis severity index (mNAPSI) score is an objective score for evaluating the severity of nail psoriasis and has excellent interrater reliability. Several studies have shown a correlation between mNAPSI scores and PsA and distal interphalangeal joint damage, so it is thought that the severity of the nail can be used as a screening for the incidence of PsA.
Objective: This study aims to assess the relationship between nail severity using the mNAPSI score with the incidence of PsA and to assess the correlation between the mNAPSI score with PsA severity using the clinical disease activity for psoriatic arthritis (cDAPSA) score. In addition, the correlation between psoriasis area severity index (PASI) and cDAPSA scores was also carried out as additional results. This study also descriptively assessed the proportion of psoriasis nail abnormalities both clinically and dermoscopy in patients with PsA and without PsA.
Methods: This research is an analytic observational. All research data are recorded in the research status. Each subject met the inclusion and exclusion criteria, calculated the mNAPSI score, diagnosed PsA using the classification criteria for psoriatic arthritis (CASPAR) score, and determined the severity of PsA with the cDAPSA score. Appropriate statistical analysis was performed to prove the research hypothesis. P value < 0.05 was considered statistically significant.
Results: Among 34 subject, 15 (44%) experienced PsA. The relationship between the mNAPSI score and the incidence of PsA was analyzed using ROC. Based on this analysis, the area under ROC curve (AUC) value was 0.58. The correlation between mNAPSI and cDAPSA scores was 0.217 (p=0.437). There was a positive correlation between the PASI value and cDAPSA and it was statistically significant (r=0.621; p=0.013). The most common nail abnormalities in this study were onycholysis (72.6%), leukonychia (19.6%), followed by oil drop and crumbling (12.8%). All nail abnormalities are easier to see with dermoscopy, except for pitting and Beau's line.
Conclusion: The mNAPSI score has a weak relationship with the incidence of PsA, so it cannot be used as a screening for the incidence of PsA. In addition, this score also has a weak correlation with the cDAPSA score, so the degree of nail damage does not reflect the severity of PsA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nirmala
"Latar Belakang: Infeksi virus dengue (DENV) dapat menyebabkan manifestasi klinis seperti demam berdarah (DD) dan demam berdarah dengue (DBD). Kedua kelompok tersebut dapat dibedakan melalui terjadinya kebocoran plasma sehingga kebocoran plasma dapat menjadi salah satu penanda dari derajat keparahan penyakit infeksi DENV. Kebocoran plasma ini dapat mempengaruhi kadar elektrolit, seperti kalium, dalam darah.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar kalium pada pasien infeksi DENV dengan derajat keparahan penyakit.
Metode: Peneliti menggunakan desain studi kohort dari data sekunder komunitas di Jakarta pada tahun 2010. Sampel merupakan populasi usia ≥ 14 tahun dengan riwayat demam ≤ 48 jam, didiagnosis demam dengue berdasarkan klasifikasi WHO 1997, dan memiliki hasil uji NS1 postif. Besar sampel adalah 43 orang dengan total 38 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Data kadar kalium yang digunakan yaitu data pada demam hari ke-3 dan ke-4. Hasil pemeriksaan dianalisis menggunakan Uji T Independen.
Hasil: Hasil analisis hubungan antara kadar kalium serum hari ke-3 dan hari ke-4 pada kelompok DD dan DBD menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (hari ke-3, p = 0,487) (hari ke-4, p = 0,614).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kadar kalium serum dengan derajat keparahan penyakit pada pasien infeksi DENV.
Background: Dengue virus infection (DENV) can cause clinical manifestations such as dengue fever (DF) and dengue hemorrhagic fever (DHF). The two groups can be distinguished by the occurrence of plasma leakage so that plasma leakage can be a marker of the severity of DENV infection. Plasma leakage can affect electrolyte levels, such as potassium, in the blood.
Objective: Knowing the association of potassium levels in patients with DENV infection with the disease severity.
Methods: Author used a cohort study design from secondary community data in Jakarta in 2010. The sample was a population aged ≥ 14 years with a history of fever ≤ 48 hours, diagnosed with dengue based on WHO 1997 classification, and had positive NS1 test results. The sample size was 43 people with a total of 38 people who met the inclusion criteria. Potassium levels data used are data on the 3rd and 4th day fever. The examination results were analyzed using an Independent T Test.
Results: The results of the analysis of the association between serum potassium levels on day 3 and day 4 in the DD and DHF groups showed insignificant difference (day 3, p = 0.487) (day 4, p = 0.614).
Conclusion: There is no association between serum potassium levels with the disease severity in patients with DENV infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Clarisa Rumora Abigail
"Latar Belakang: Kebocoran plasma merupakan salah satu penanda dari derajat keparahan penyakit infeksi virus dengue (DENV). Kadar fibrinogen mengalami perubahan seiring dengan terjadinya kebocoran plasma. Tujuan: Mengetahui hubungan kadar fibrinogen pada pasien infeksi DENV dengan derajat keparahan penyakit.
Metode: Peneliti menggunakan desain studi kohort dari data sekunder komunitas di Jakarta pada tahun 2010. Jumlah sampel penelitian adalah 43 orang dengan total 38 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Kadar fibrinogen yang digunakan yaitu data pada demam hari ketiga dan keempat dari total tujuh hari ke tiga pemeriksaan, karena merupakan perkiraan hari terjadinya kebocoran plasma. Derajat keparahan penyakit infeksi DENV ditentukan berdasarkan klasifikasi WHO 1997 dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Hasil pemeriksaan kadar fibrinogen pada demam hari ketiga dan keempat dianalisis menggunakan Uji T Independen.
Hasil: Hasil pemeriksaan demam hari ketiga menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada kelompok DD dan DBD (p=0,993), namun rata-rata kadar fibrinogen kelompok DBD (253,8 mg/dL) lebih rendah dibandingkan kelompok DD (253,9 mg/dL). Hasil pemeriksaan kadar fibrinogen demam hari keempat juga menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pada kelompok DD dan DBD (p=0,437), namun rata-rata kadar fibrinogen DBD (218,7 mg/dL) lebih rendah dibandingkan DD (235,4 mg/dL).
Kesimpulan: Kadar fibrinogen DBD lebih rendah dibandingkan DD namun tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna sehingga tidak terdapat hubungan antara kadar fibrinogen dengan derajat keparahan penyakit pada pasien infeksi DENV.

Background: Plasma leakage is one of the degree of severity disease determinants in patients with dengue virus (DENV) infection. Fibrinogen levels changes due to plasma leakage in DENV infection. Objective: Investigate the association of fibrinogen level and the degree of severity disease in patients with DENV infection in Jakarta, Indonesia. Methods: Author used a cohort study from secondary data on community in Jakarta at the year of 2010. The total sample is 43 persons, of whom 38 persons met the inclusion criteria. Next, author chose the third and fourth days of a total of seven days fever examination of fibrinogen levels because these days are the estimated days of plasma leakage. The severity of DENV infection is determined based on the 1997 WHO Classification which is divided into two group namely Dengue Fever (DF) and Dengue Haemorrhagic Fever (DHF). The results of examination of fibrinogen levels on the third and fourth day of fever were analyzed using the Independent T Test Results: The results in the third day of fever were no significant difference in the DD and DHF groups (p = 0.993), but the fibrinogen levels in the DHF group (253.8 mg/dL) were lower than those in the DF group (253.9 mg/dL). The results of the examination of fibrinogen levels on the fourth day of fever were also analyzed using the Independent T Test, the results were no significant difference in the DF and DHF groups (p = 0.437), but DHF fibrinogen levels (218.7 mg / dL) were lower than DF (235.4 mg / dL). Conclusion: Fibrinogen levels in DHF were lower than DF but did not show a significant difference so there was no association between fibrinogen levels with the severity of the disease in patients with DENV infection.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>