Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101654 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Michael Caesario
"ABSTRAK
Latar belakang : Dialisis peritoneal (DP) merupakan modalitas terapi pengganti ginjal utama pada pasien bayi yang menjalani operasi jantung kongenital. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi DP pascaoperasi serta menilai pengaruh karakteristik lama penggunaan mesin pintas jantung paru, kompleksitas operasi, usia, dan berat badan terhadap kejadian dialisis peritoneal pascaoperasi pada pasien bayi yang menjalani operasi jantung kongenital dengan mesin pintas jantung paru.
Metode : Dilakukan suatu studi cross sectional pada pasien bayi yang menjalani operasi koreksi penyakit jantung kongenital di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita dalam periode 1 Januari hingga 31 Desember 2018. Analisis statistik dilakukan pada faktor lama penggunaan mesin pintas jantung paru, kompleksitas operasi menurut kategori Risk Adjustment for Congenital Heart Surgery, usia, dan berat badan untuk menilai pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kejadian DP pascaoperasi.
Hasil : Sebanyak 181 pasien dilibatkan sebagai sampel penelitian. DP pascaoperasi dilakukan pada 13 (7,2%) pasien. Kelompok pasien yang menjalani DP memiliki median lama penggunaan mesin pintas jantung paru yang lebih tinggi (155 (44 - 213) vs 95,5 (13 - 279) menit; p = 0,008), rerata usia yang lebih muda (53 ± 54,79 vs 162 ± 88,59 hari; p < 0,001), serta median berat badan yang lebih rendah (3,6 (2,8 -4,5) vs 4,65 (2,6 - 11) kg; p < 0,001). Sebaran kompleksitas operasi antar kelompok yang tidak dilakukan DP dan kelompok yang dilakukan DP tidak berbeda bermakna (p = 0,11). hanya faktor lama penggunaan mesin pintas jantung paru > 90 menit yang secara bermakna memengaruhi kejadian DP (rasio odds 5,244 (1,128 - 24,382); p 0,02).
Simpulan : Prevalensi DP pascaoperasi adalah 7,2 %. Kelompok pasien yang menjalani DP pascaoperasi memiliki usia yang lebih muda, berat badan yang lebih rendah, dan lama penggunaan mesin pintas jantung paru yang lebih lama dibanding kelompok pasien yang tidak menjalani DP pascaoperasi. Penggunaan mesin pintas jantung paru > 90 menit memengaruhi kejadian DP pascaoperasi secara bermakna.

ABSTRACT
Introduction: Peritoneal dialysis (PD) is the method of choice for renal replacement therapy in babies underwent congenital heart surgery. This study aimed to asses the prevalence of postoperative PD and to examine the influence of cardiopulmonary bypasss (CPB) time, surgical complexity, age, and body weight to the occurence of postoperative PD among babies underwent congenital heart surgery with CPB.
Method: a cross sectional study was done on babies underwent congenital heart surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita from January 1st until December 31st 2018. Statistical analysis was done to CPB time, surgical complexity as classified according to Risk Adjusment for Congenital Heart Surgery categories, age, and body weight in order to asses the influence of those factors to the occurence of postoperative PD.
Results: one hundred and eighty one patients were included in the study. Postoperative PD was done in 13 (7,2%) patients. Postoperative PD group showed longer median CPB time (155 (44 - 213) vs 95,5 (13 - 279) minutes; p = 0,008), younger mean age (53 ± 54,79 vs 162 ± 88,59 days; p < 0,001), and lower median body weight (3,6 (2,8 -4,5) vs 4,65 (2,6 - 11) kg; p < 0,001). Distribution of surgical complexity between postoperative PD group and no postoperative PD group was not differ significantly (p = 0,11). Only CPB time > 90 minutes that significantly affect the occurence of postoperative PD (odds ratio 5,244 (1,128 - 24,382); p 0,02).
Conclusion: The prevalenve of postoperative PD was 7,2%. Patients underwent postoperative PD tend to be younger, had lower body weight, and had longer CPB time compared to those who did not underwent postoperative PD. CPB time > 90 minutes significantly affect the occurence of postoperative CPB."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tatu Meri Marwiyyatul Hasna
"Pasien CAPD mengalami berbagai perubahan baik dari progresifitas penyakit maupun dari proses dialisis yang memberikan dampak terhadap penurunan kualitas hidup yang memiliki hubungan erat dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pada pasien CAPD. Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 64 orang. Monitoring dan evaluasi terhadap tipe transpor membran peritoneum, adekuasi dialisis Kt/V, status cairan, status nutrisi dan status anemia dilakukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini mendapati terdapat hubungan yang signifikan antara adekuasi dialisis Kt/V, status cairan, status nutrisi dan status anemia (P<0.05) dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tipe transpor membran peritoneum dengan kualitas hidup (P>0.05). Simpulan dari penelitian ini adalah status anemia merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kualitas hidup yang buruk setelah dikontrol dengan status nutrisi, adekuasi dialisis Kt/V dan status cairan.

CAPD patients experience various changes, both from disease progression and from the dialysis process, which have an impact on decreasing quality of life and have a close relationship with increased morbidity and mortality. The purpose of this study is to identify the factors that affect the quality of life of CAPD patients. The research design was cross-sectional, with a total sample size of 64 people. Monitoring and evaluation of the type of peritoneal membrane transport, the adequacy of Kt/V dialysis, fluid status, nutritional status, and anemia status were carried out in this study. The results of this study found a significant relationship between Kt/V dialysis adequacy, fluid status, nutritional status, and anemia status (P 0.05), but no significant relationship between the type of peritoneal membrane transport and quality of life (P > 0.05). The conclusion of this study is that anemia status is the dominant factor affecting poor quality of life after being controlled by nutritional status, adequate Kt/V dialysis, and fluid status."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Suryo Aji
"Karyawan dengan End Stage - Chronic Kidney Disease (CKD) yang menerima terapi Peritoneal Disease (PD), khawatir untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik karena kondisi PD pada diri pasien. Pasien PD umumnya disarankan untuk menghindari latihan ketahanan yang berat. Latihan tertentu, terutama olahraga kontak, dapat menyebabkan trauma dan ketegangan pada kateter PD, dan peningkatan risiko infeksi, atau, yang jarang terjadi, ruptur kateter. Studi Evidence Based Case Report ini bertujuan untuk mengetahui potensi efek berbahaya dari latihan fisik pada pasien PD. Pencarian literatur dilakukan untuk menjawab pertanyaan klinis menggunakan basis data elektronik dari PubMed dan Embase. Kata kunci yang digunakan adalah Penyakit Peritoneal, Latihan, Kejadian yang tidak diinginkan, Infeksi, Risiko, dan Keamanan. Dua artikel diidentifikasi dalam penelitian literatur, satu berfokus pada kejadian yang tidak diinginkan terkait dengan latihan pada pasien PD dan yang lainnya pada studi yang menguji kelayakan program latihan untuk pasien PD. Studi Systematic Review mengungkap 50 kejadian yang tidak diinginkan terjadi selama intervensi latihan pada pasien PD dan studi Randomized Control Trial mengkonfirmasi keamanan dan kelayakan program latihan gabungan ketahanan dan kardiovaskular untuk pasien PD. Meskipun penelitian menunjukkan bahwa olahraga bermanfaat bagi pasien PD, dan memberikan informasi positif bagi karyawan dengan CKD yang menjalani PD, menjadi perhatian dari kurang memadainya studi perihal keragaman populasi dalam studi Systematic Review dan ukuran besar sampel dalam studi Randomized Control Trial. Karyawan yang menjalani PD dapat melakukan latihan fisik dengan aman; namun, penelitian lebih lanjut dengan keragaman yang lebih banyak dari populasi sampel dan ukuran sampel yang lebih besar diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan pada protokol latihan yang direkomendasikan.

End Stage Kidney Disease employee who is receiving Peritoneal Dialysis (PD) therapy, worried about participating in physical activities because of his PD conditions. This Evidence- Based Case Report study aims the potential harmful effects of exercise on PD patients. Two articles were identified in the literature research, one focusing on adverse events related to exercise in PD patients and the other on a study testing the feasibility of an exercise program for PD patients. Systematic review study uncovered 50 adverse events during exercise interventions in PD patients and randomized control trial study confirmed the safety and feasibility of combined resistance and cardiovascular exercise programs for PD patients. Although research indicates that exercise is advantageous for Peritoneal Dialysis patients, and provide positive information for employees with CKD who are receiving PD, the reporting are insufficient in studies regarding population diversity in systematic reviews study and sample size in randomized controlled trials study. Therefore, employees receiving PD should be able to engage in physical exercise; however, further research with more diversity and larger sample sizes is necessary to improve the recommended exercise protocol."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hamidah
"ABSTRAK
Penelitian ini berfokus pada pengalaman dan persepsi kualitas hidup pada pasien dengan
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). Disain kualitatif fenomenologi dipilih
untuk mendapatkan informasi yang individual dan mendalam. Tujuh orang partisipan
ditentukan dengan purposive sampling. Wawancara mendalam dilakukan menggunakan alat
perekam, panduan wawancara semiterstruktur, dan catatan lapangan. Pendekatan Colaizzi?s
Qualitative content analysis menghasilkan tema : Pengalaman ketidaknyamanan fisik dan
psikis saat menjalani Hemodialisis; Dukungan orang terdekat dan tenaga kesehatan dalam
menguatkan keyakinan membuat keputusan CAPD dan meningkatkan kemampuan selfcare;
Pertimbangan kenyamanan memilih CAPD; Mengalami komplikasi yang kemungkinan dapat
dicegah; Selfcare membutuhkan waktu; Adanya rentang konsep diri; Perasaan nyaman
dengan CAPD; Koping positif dalam menyikapi perubahan pola hidup; Keterbatasan di
pelayanan primer untuk CAPD dan Pengharapan untuk menjadi ?normal?. Pengalaman
partisipan merupakan suatu kontinum. Studi lanjutan diperlukan untuk melihat faktor
dominan yang mempengaruhi dalam pembuatan keputusan memilih modalitas CAPD

ABSTRACT
This study focuses on the experiences and perceptions of quality of life of patients with
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD). A Phenomenological qualitative design
was chosen to obtain personal and in-depth information. Seven participants were determined
using purposive sampling technique. An In-depth semi-structured interviews were tape
recorded. Theme emerged from the Colaizzi?s qualitative content analysis : Experience of
physical and psychological discomfort while undergoing Hemodialysis; Supports from the
closest persons and health care professionals strengthen confidence on making CAPD
decisions and improves selfcare abilities; Convinience reason for choosing CAPD;
Experience preventable complications; Selfcare takes time process; Positive coping in
response to changes in lifestyle; Existence of a range of self-concept; More comfort on
CAPD; Limited service of CAPD in Primary Care; and Hoping of being 'normal'.
Participant?s experience and quality of life perception laid in a continum. Further study
related to dominan factors in choosing CAPD is recommended."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42422
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Gamayana Trimawang Aji
"[ABSTRAK
Tindakan CAPD adalah salah satu terapi pengganti ginjal. Persepsi pasien yang
baik tentang CAPD dapat meningkatkan efikasi diri pasien yang menjalani
CAPD. Mayoritas pasien CAPD berawal dari pasien HD yang memiliki persepsi
pengalaman ketidaknyamanan baik fisik dan psikis. Tujuan penelitian mengetahui
hubungan antara persepsi tentang tindakan CAPD dan efikasi diri pada pasien
yang menjalani CAPD. Penelitian menggunakan pendekatan cross-sectional.
Jumlah sampel 75 responden dipilih dengan teknik consecutive sampling. Hasil
uji regresi logistik menunjukkan ada hubungan antara persepsi tentang tindakan
CAPD dan efikasi diri pada pasien yang menjalani CAPD dengan variabel
confounding yang mempengaruhi adalah variabel dukungan sosial.
Kesimpulannya, perawat perlu meningkatkan kemampuan saat mengkaji persepsi
pasien serta meningkatkan peran dukungan sosial, sehingga informasi yang
didapat menjadi dasar untuk meningkatkan efikasi diri pada pasien yang
menjalani CAPD.

ABSTRACT
Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) is one of renal replacement
therapies. Good perception of CAPD therapy could improve patients self-efficacy
who are undergoing CAPD. CAPD patients mostly came from HD patients who
had physical and psychological discomfort perception This study aimed to
determine relationship between the perception of CAPD therapy and patients selfefficacy.
A cross-sectional approach and 75 respondents selected using a
consecutive sampling technique. The results from logistic regression test showed
that there was a relationship between patients perception and self efficacy with
confounding variable was social support. In conclusion, nurses are required to
enhance the role of social support, so that the information obtained would become
the basis for improving self-efficacy in patients undergoing CAPD;Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) is one of renal replacement
therapies. Good perception of CAPD therapy could improve patients self-efficacy
who are undergoing CAPD. CAPD patients mostly came from HD patients who
had physical and psychological discomfort perception This study aimed to
determine relationship between the perception of CAPD therapy and patients selfefficacy.
A cross-sectional approach and 75 respondents selected using a
consecutive sampling technique. The results from logistic regression test showed
that there was a relationship between patients perception and self efficacy with
confounding variable was social support. In conclusion, nurses are required to
enhance the role of social support, so that the information obtained would become
the basis for improving self-efficacy in patients undergoing CAPD, Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) is one of renal replacement
therapies. Good perception of CAPD therapy could improve patients self-efficacy
who are undergoing CAPD. CAPD patients mostly came from HD patients who
had physical and psychological discomfort perception This study aimed to
determine relationship between the perception of CAPD therapy and patients selfefficacy.
A cross-sectional approach and 75 respondents selected using a
consecutive sampling technique. The results from logistic regression test showed
that there was a relationship between patients perception and self efficacy with
confounding variable was social support. In conclusion, nurses are required to
enhance the role of social support, so that the information obtained would become
the basis for improving self-efficacy in patients undergoing CAPD]"
2015
T43605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Yaruntradhani Pradwipa
"Latar Belakang: Kadar asam urat darah berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (PKV) serta meningkatkan angka kematian terutama pada populasi hemodialisis (HD) dan dialisis peritoneal (CAPD). Symmetric Dimethylarginine (SDMA) sudah sering dipakai dan diperiksa sebagai penanda PKV pada studi epidemiologi terutama pada populasi HD maupun CAPD. Pada populasi umum dewasa sehat dan HD, telah didapatkan adanya hubungan peningkatan kadar asam urat darah dengan peningkatan kadar SDMA. Namun pada populasi CAPD, peningkatan kadar asam urat darah terhadap peningkatan risiko yang terjadi masih menjadi kontroversi. 
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kadar asam urat darah dengan kadar SDMA pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani CAPD.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang yang dikerjakan pada bulan Juni 2021 sampai bulan Agustus 2021 pada pasien CAPD kronik > 3 bulan. Subjek dengan obat penurun asam urat, wanita hamil dan menyusui, dan pasien dengan riwayat keganasan tidak diikutsertakan pada penelitian ini. Kadar asam urat dan SDMA diambil saat pasien kontrol ke poli CAPD. Analisis bivariat dilakukan dengan analisis Mann – Whitney dan analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Total 55 subjek diikutsertakan pada penelitian ini. Didapatkan rerata kadar asam urat7.30 +1.59 mg/dl dan sebanyak 33 subjek (60%) dengan kadar asam urat > 7 mg/dl. Rerata kadar SDMA didapatkan sebesar 633.73 +231.54 ng/mL. Subjek dengan kadar asam urat > 7 mg/dl memiliki peningkatan kadar SDMA secara signifikan bila dibandingkan pada kelompok asam urat <7 mg/dl (721.58 + 220.57 vs 501.95 +182; P < 0.001). Didapatkan cut – off SDMA 536 ng/ml berdasarkan kurva ROC dengan Sensitivitas 81.8%, Spesifisitas 63.6%, PPV 77.78% dan NPV 73.68%. Setelah dilakukan adjustifikasi terhadap faktor perancu didapatkan bahwa DM (OR: 7.844; CI95%: 1.899 – 32.395: P value: 0.004) dan dyslipidemia (OR: 6.440; CI95%: 1.483 – 27.970; P value: 0.013) sebagai faktor risiko.
Simpulan: Terdapat hubungan kadar asam urat darah > 7 mg/dl dengan peningkatan kadar SDMA pada pasien yang menjalani CAPD. Diabetes melitus dan dyslipidemia merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kadar asam urat dengan peningkatan kadar SDMA.

Background and Objectives: Uric Acid (UA) levels are associated with increased risk of cardiovascular events and mortality in hemodialysis (HD) and Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) patients. Symmetric dimethylarginine (SDMA) is a known marker of cardiovascular disease in a number of epidemiological studies, including in the HD and CAPD patient population. In a study with a population of healthy young adults and HD there was a correlation between high blood uric acid levels and blood SDMA level. However, in CAPD population, there are still conflicting data on the mechanism of increased risks related to uric acid levels. This study aimed to assess the association between uric acid levels and SDMA in the subjects undergoing CAPD.
Materials and Methods: This was a cross – sectional study conducted in all the adults who underwent CAPD for at least three months in tertiary hospital in Jakarta, Indonesia. Subjects already on uric lowering therapy, pregnant or lactating women, and those with a history of malignancy were excluded. Uric acid and SDMA level were measured at the same time patients controlled to outpatient clinic. Bivariate analysis was performed using the Mann – Whitney test and multivariate analysis performed using logistic regression test.
Results: A total of 55 subjects were included. The median level of UA was 7.30 +1.59 mg/dl and 33 subjects (60%) had UA levels of 7 mg/dl or higher. The median SDMA level was 633.73 +231.54 ng/mL. Subjects with UA levels > 7 mg/dl had significantly higher SDMA levels compared to subjects with UA levels <7 mg/dl (721.58 +220.57 vs 501.95 +182; P < 0.001). The cut – off value of SDMA 536 ng/mL was obtained from the receiver operating characteristic (ROC) curve with sensitivity 81.8%, specificity 63.6%, PPV 77.78% and NPV 73.68%. After fully adjusted with the confounders, the determinant factors in this study were diabetes mellitus (OR: 7.844; CI95%: 1.899 – 32.395: P value: 0.004) and dyslipidemia (OR: 6.440; CI95%: 1.483 – 27.970; P value: 0.013) as risk factors.
Conclusion: In CAPD patients, UA levels above 7 mg/dl were associated with increased SDMA levels. This study demonstrates the determinant factors regarding association between UA level and SDMA in CAPD patients were diabetes mellitus and dyslipidemia. The cut – off value of SDMA above 536 ng/mL were significant to increased risk of cardiovascular events.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sevrima Anggraini
"Penyakit Gagal Ginjal Kronik GGK merupakan suatu keadaan dimana ginjal mengalami kelainan struktural atau gangguan fungsi yang sudah berlangsung lebih dari 3 bulan. Penyakit ginjal kronik bersifat progresif dan irreversible, pada tahap lanjut tidak dapat pulih kembali. Diperlukan terapi pengganti ginjal untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengatur keseimbangan cairan tubuh. Terdapat beberapa risiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik seperti hipertensi, diabetes mellitus, pertambahan usia, pernikahan, pekerjaan dan IMT. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui hubungan terapi hemodialis dan peritonial dialisis terhadap ketahanan hidup pasien gagal ginjal kronik di RSCM tahun 2012-2017. Desain studi dalam penelitian ini adalah kohort retrospektif. Jumlah total sampel penelitian ini adalah 110. Dari studi ini diketahui sebanyak 49 pasien yang menjalani hemodialisis meninggal dan 29 pasien yang menjalani CAPD meninggal. Pengaruh jenis terapi terhadap ketahanan hidup pasien GGK setelah dikontrol variabel kovariat didapatkan bahwa variabel umur berinteraksi dengan jenis terapi dimana pasien hemodialis yang berumur ge;60 tahun berisiko untuk lebih cepat meninggal sebesar 4 kali dibandingkan pasien yang menjalani CAPD 95 CI 1,3-13. Disarankan kepada pasien GGK yang berumur ge;60 untuk mempertimbangkan menggunakan CAPD sebagai alternatif dialisis.

Chronic Kidney Disease CKD is a condition in which the kidneys have structural abnormalities or functional disorders that have lasted more than 3 months. CKD is progressive and irreversible, in the later stages can not be recovered. Kidney replacement therapy is needed to remove metabolic waste products and regulate body fluid balance. There are several risks that can cause CKD such as hypertension, DM, age, , marriage, BMI ,work. The purpose of this study was to determine the relationship between hemodialis therapy and dialysis peritoneal on the survival of patients with CKD at RSCM 2012 2017. The study design in this study was a retrospective cohort. The total sample of this study was 110. From this study it was found that 49 of patients undergoing hemodialysis died and 29 of patients who underwent CAPD died. The effect of this type of therapy on survival of CKD patients after controlled by covariate variables found that the age variable interacted with the type of therapy where hemodialis patients aged ge 60 years are at risk for more rapid death 4 times than patients CAPD 95 CI 1.3 13 . It is recommended to patients aged ge 60 to consider using CAPD as an alternative to dialysis."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riki Satya Nugraha
"Coronary Arteri Bypass Graft masih menjadi tindakan bedah jantung terbanyak yang dilakukan diseluruh dunia, Komplikasi yang terjadi paska prosedur CABG dapat dikategorikan menjadi dua yaitu mayor dan minor. Salah satu komplikasi mayor adalah infeksi daerah operasi. Factor preoperasi yang mungkin dapat memicu infeksi daerah operasi mulai dari usia, status gizi, DM, kebiasaan merokok, durasi operasi dan penggunaan benang penutup operasi menjadi factor pre operasi yang harus diperhatikan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi daerah operasi pada pasien operasi coronary artery bypass graft di RS Jantung Jakarta. Penelitian ini menggunakan analitik observasional. Desain yang digunakan adalah case-control study. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien CABG di kamar bedah RS.Jantung Jakarta periode 2019-2021. Sampel yang dipeorleh yaitu 64 sampel, 32 kasus infeksi, 32 non infeksi. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara usia, DM, riwayat merokok, status gizi, lama operasi dengan kejadian infeksi daerah operasi pada pasien pascaoperasi CABG di RS Jantung Jakarta. Dan tidak ada hubungan antara peggunaan benang penutup luka operasi dengan kejadian. Bagi pelayanan keperawatan diharapkan dilakukan skrining yang lebih yang lebih lengkap untuk pasien-pasien yang akan dilakukan operasi CABG.

Coronary artery bypass grafting is still the most common heart surgery performed worldwide. The complications occurring after the CABG procedure can be categorized into two types, namely major and minor complications. One of the major complications is infection at the surgical site. Age, nutritional status, diabetes mellitus, smoking habits, surgery duration, and the use of surgical sutures are all pre-operative risk factors that can lead to infection in the operating room. Those are preoperative risk factors that must be considered. The purpose of this study is to determine the factors that influence the incidence of surgical site infection in coronary artery bypass graft surgery patients at the Jakarta Heart Hospital. This study employs observational analytic techniques. The design research study is a case-control study. The population in this study were CABG patients in the operating room of the Jakarta Heart Hospital for the 2019–2021 period. 64 samples were collected, 32 of which were infected and 32 of which were not. The results showed that there is a relationship between age, diabetes mellitus, smoking history, nutritional status, the duration of surgery, and the incidence of surgical site infection in post-operative CABG patients at the Jakarta Heart Hospital. As a result, there is no link between the use of threads to cover surgical wounds and incidents. For nursing services, it is hoped that more comprehensive screening will be carried out for patients who will undergo CABG surgery."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Estu Rudiktyo
"ABSTRAK
Latar Belakang. Penyakit jantung katup masih banyak ditemui di Indonesia, akan tetapi karena keterbatasan fasilitas kesehatan, banyak pasien yang terlambat mendapatkan intervensi. Keterlambatan intervensi akan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Beberapa studi besar seperti EuroSCORE dan STS telah mengembangkan model prediksi mortalitas pasca pembedahan katup jantung, akan tetapi sedikit sekali studi terkait yang dilakukan di Indonesia, padahal terdapat perbedaan karakteristik pasien. Studi ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor kejadian mortalitas di rumah sakit pada pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.
Metode. Studi kohort retrospektif dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.
Karakteristik demografi, parameter klinis, data laboratorium, ekokardiografi dan teknis operasi merupakan kategori dari variabel yang dikumpulkan melalui rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Data kemudian diolah dengan analisis multivariat menggunakan metode regresi logistik.
Hasil. Sebanyak 305 sampel berhasil dikumpulkan, dengan 24 diantaranya mengalami kematian (7.9%). Variabel yang berkaitan dengan mortalitas adalah kelas fungsional, riwayat diabetes, endokarditis aktif, riwayat operasi jantung sebelumnya, kadar hemoglobin, TAPSE dan durasi CPB dan jenis operasi. Uji diskriminasi dan kalibrasi dari model menunjukkan hasil yang baik.
Kesimpulan. Beberapa variabel telah diidentifikasi merupakan prediktor mortalitas pasca operasi katup jantung. Informasi ini diharapkan dapat membantu menentukan strategi tatalaksana selama intervensi dan perawatan

ABSTRAK
Background. Valvular heart disease still become one of the leading heart disease in Indonesia. Unfortunately, because of very limited cardiac centres, many patients diagnosed late. Delay in intervention would increase the morbidity and
mortality rate if intervention ultimately performed. Several surgical mortality prediction models such as EuroSCORE and STS had been developed. However, until now, there is no specific mortality risk assessment in our population, despite very different in patients characteristics. Aim of this study is to identify risk factors to predict in-hospital mortality in patient underwent heart valve surgery Methods. A retrospective cohort study, done in National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in patients underwent heart valve surgery. Categories for data obtained was basic characteristics, clinical examinations, echocardiography and operation procedure. Statistical analysis was done using multivariat analysis using logistic regression method.
Result. 305 subjects fit the inclusion and exclusion criteria. Mortality event occured in 24 patients (7.9%). The variables are functional class III or IV, diabetes, active endocarditis, previous open heart surgery, hemoglobin level, TAPSE, CPB time and type of operation. Calibration and discrimination test of prediction model shows good result.
Conclusion. Several variables has been identified as predictor of in-hospital mortality after heart valve surgery. These information are expected to be helpful in deciding intervention and treatment strategies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Faisal Adam
"Latar belakang: EuroSCORE II (European System for Cardiac Operative Risk Evaluation) banyak digunakan sebagai model prediksi resiko mortalitas intrahospital dan juga mulai diteliti sebagai prediktor kesintasan jangka panjang untuk operasi jantung. Namun penggunaannya pada pembedahan katup jantung memilki nilai uji validasi yang buruk. TAPSE (Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion), sebagai salah satu parameter fungsi ventrikel kanan diketahui menjadi salah satu prediktor pasien yang menjalani pembedahan jantung.
Tujuan: Mengetahui perbandingan kemampuan prediksi mortalitas intrahospital dan kesintasan jangka panjang antara EuroSCORE II dengan kombinasi EuroSCORE II dan TAPSE (EuroSCOREII+TAPSE) dan kombinasi modifikasi variabel EuroSCORE II+TAPSE (Modified Euro-TAPSE-Score) pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.
Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap 1842 pasien yang menjalani pembedahan katup jantung pada periode 2018-2021. Analisis bivariat dan multivariat antara nilai EuroSCORE II, variabel EuroSCORE II, dan TAPSE untuk mortalitas intrahospital dan kesintasan 4,5 tahun. Uji validasi dilakukan terhadap semua model prediksi resiko.
Hasil: Mortalitas intrahospital yang diobservasi adalah 9,0 % dan untuk mortalitas jangka panjang adalah 18,8%. Sebagai prediktor mortalitas intrahospital, Modified Euro-TAPSE Score dan EuroSCOREII+TAPSE memilki nilai uji validasi yang lebih baik [(AUC 0,730; uji H-L p:0,988) vs (AUC 0,681; uji H-L p:0,065)] dibandingkan EuroSCORE II saja (AUC 0,686; uji H-L p:0,028). EuroSCORE II secara signifikan berhubungan dengan kesintasan jangka panjang (p<0,0001), namun TAPSE tidak dapat digunakan sebagai prediktor (p: 0,643) sehingga modifikasi EuroSCORE II dengan TAPSE tidak dapat dilakukan.
Kesimpulan: Modified Euro-TAPSE-Score dan EuroSCOREII+TAPSE memiliki nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan EuroSCORE II untuk mortalitas intrahospital pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.

Background: EuroSCORE II (European System for Cardiac Operative Risk Evaluation) is widely used as a risk predictive model for intrahospital mortality and has been studied as a predictor of long-term survival for cardiac surgery. However, its use in valvular heart surgery (VHS) has poor validation test values. TAPSE (Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion), as a parameter of right ventricular function is known to be one of the predictors of patients undergoing cardiac surgery
Objective: To compare the predictive ability of intrahospital mortality and long-term survival between EuroSCORE II with EuroSCORE II and TAPSE combination (EuroSCOREII+TAPSE) and EuroSCORE II variable modification with TAPSE (Modified Euro-TAPSE-Score) in patients undergoing VHS.
Metds: A retrospective cohort study was conducted on 1842 patients undergoing VHS in 2018-2021 period. Bivariate and multivariate analyzes of EuroSCORE II, EuroSCORE II variables, and TAPSE for intrahospital mortality and 4,5 year survival. Validation tests were carried out on all risk prediction models.
Results: The observed intrahospital mortality was 9,0% and long-term mortality was 18,8%. As predictors of intrahospital mortality, Modified Euro-TAPSE Score and EuroSCOREII+TAPSE have better validation test values [(AUC 0,,730; H-L test p:0,988) vs (AUC 0,681; H-L test p:0,065)] compared to EuroSCORE II (AUC 0,686; H-L test p:0,028). EuroSCORE II was significantly associated with long-term survival (p<0.0001), but TAPSE could not be used as a predictor (p:0,643) so EuroSCORE II modification with TAPSE could not be performed.
Conclusion: Modified Euro-TAPSE-Score and EuroSCOREII+TAPSE have a better prognostic value than EuroSCORE II for intrahospital mortality in patients undergoing VHS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>