Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59659 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bram Michael Joshua
"Tidak semua masyarakat di Indonesia memiliki akses ke perbankan, sehingga timbul berbagai penghimpunan dana masyarakat yang berbasis lembaga keuangan non-bank dan lembaga keuangan lainnya yang dapat membantu permasalahan perolehan dana dari bank serta diikuti dengan sistem teknologi dan informasi yang mulai berkembang pesat di Indonesia. Salah satu bentuk yang muncul ditengah kebutuhan masyarakat dalam akses perolehan dana, yaitu peer-to-peer lending.
Akhir - akhir ini ramai diberitakan oleh media bahwa muncul masalah terkait penetapan suku bunga Peer-to-peer lending. Hal ini disebabkan oleh penetapan bunga yang dilakukan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dirasa cukup tinggi, yakni 0,8 % per hari. Penetapan bunga pinjaman peer-to-peer lending diteteapkan oleh asosiasi yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan penetapan bunga yang menjadi kewenangan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang mana adalah pelaku usaha penyelenggara usaha Peer-to-peer lending yang menjadi anggota asosiasi, dapat membuat celah bagi pelaku usaha untuk melakukan praktik usaha tidak sehat, khususnya praktik kartel. Adapun jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam tulisan ini adalah
penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis. Dari peneletian ini penulis berpendapat tindakan penetapan bunga pinjaman yang dilakukan oleh AFPI tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli ataupun terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Otoritas Jasa Keuangan memang mebiarkan penetapan bunga peer-topeer lending diserahkan kepada asosisasi dan masing – masing penyelenggara karena peer-to-peer lending di Indonesia masih tergolong baru dan masih dalam tahap awal, sehingga dibutuhkan keleluasaan dalam menjalankan usahanya sehingga usaha peer-to-peer lending dapat berkembang dan maju kedepannya di Indonesia
Not all people in Indonesia have access to banks, resulting in a variety of public fund raising based on non-bank financial institutions and other financial institutions that can help with the problem of obtaining funds from banks and followed by technology and information systems that are starting to develop rapidly in Indonesia. One form that arises in the midst of community needs in access to funding is peer-to-peer lending. Lately, it has been widely reported by the media that there are problems with setting Peer-to-peer lending rates. This is caused by
the determination of the interest made by the Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) which is considered quite high, which is 0.8 percent per day. The determination of peer-to-peer lending lending rates is determined by an association appointed by the Financial Services Authority (OJK). With the determination of the interest that becomes the authority of the Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) which is a Peer-to-peer lending business organizer that is a member of the association, it can create a gap for business actors to carry out unhealthy business practices, especially cartel practices. The type of research used by the authors in this paper is normative juridical research, namely research that emphasizes the use of written legal norms. From this research, the author is of the opinion that the determination of loan interest by the AFPI does not result in monopolistic practices or unfair business competition. The Financial
Services Authority does indeed allow the determination of peer-to-peer lending rates to be submitted to the association and each organizer because peer-to-peer lending in Indonesia is still relatively new and is still in the initial stages, so that flexibility is needed in conducting its business so that the peer-to business peers lending can develop and move forward in Indonesia"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajri Kurniawan
"Penelitian ini bertujuan menganalisis determinan pinjaman didanai dari tujuh peer-to-peer lending di Indonesia yang terdaftar dan memiliki izin di Otortias Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019. Sejak 2016, jumlah borrower meningkat jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lender sejak terbitnya regulasi oleh pemerintah mengenai transaksi peer-to-peer lending oleh OJK. Meningkatnya jumlah pinjaman disalurkan, membuat perkembangan industri peer-to-peer lending sangat pesat. Penelitian ini mengamati faktor-faktor tertentu yang memengaruhi pinjaman didanai secara penuh. Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah funded loan, loan amount, loan period, interest rate, gender, dan loan history. Menggunakan 1006 sampel pinjaman, metode regresi logistik digunakan untuk mengestimasi signifikansi pengaruh variabel-variabel tersebut pada pinjaman didanai. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa loan amount, loan period, dan loan history memiliki pengaruh signifikan terhadap pinjaman didanai pada peer-to-peer lending di Indonesia.

This study analyzes determinants of loans funded from peer-to-peer lending in Indonesia registered and licensed in the Financial Services Authority (OJK) in 2019. Since 2016, the number of borrowers has increased far more than the number of lenders since the issuance of regulations by the government regarding peer-to-peer lending transactions by OJK. The increasing number of loans is channeled, making the development of the peer-to-peer lending industry rapidly. Using 1006 loans, this research looks at certain factors that influence loans to be fully funded. The variables used in this study are funded loans, loan amounts, loan periods, interest rates, gender, and loan history. The logistic regression method is used to estimate the significance of the effect of these variables on funded loans. The results of this study indicate that the loan amount, loan period, and loan history giving a significant influence on whether loans funded in peer-to-peer lending in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessenia Agnes Salim
"Tulisan ini akan membahas mengenai ada tidaknya pengaturan penagihan pinjaman di Indonesia, khususnya pinjaman melalui Perusahaan Fintech Peer-to-Peer Lending serta apakah pengaturan tersebut telah mengakomodasi perlindungan penerima pinjaman sebagai konsumen dari perusahaan fintech Peer-to-Peer Lending terhadap tindakan penagihan yang tidak beretika. Penulis menemukan bahwa saat ini Indonesia memiliki peraturan dalam tingkat Pedoman Perilaku Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang mengatur secara umum mengenai penagihan dan peraturan tersebut berprinsip pada perlindungan konsumen meskipun tidak diatur secara rinci dan khusus. Akan tetapi, tidak ditemukan sanksi yang dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku penagihan yang tidak beretika.

This paper will discuss whether there is a debt collection regulation in Indonesia, especially loans through the Fintech Peer-to-Peer Lending Company and whether the regulation has accommodated the protection of debtors as consumers of the Fintech Peer-to-Peer Lending Company against unethical debt collection. The author finds that Indonesia currently has regulations in the Code of Conduct of the Pedoman Perilaku Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) which regulates in general terms about debt collection and the regulation is based on consumer protection even though it is not regulated in detail and specifically. However, no sanctions were found that could have a deterrent effect for those who conduct unethical debt collection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Alexandra
"Kehadiran teknologi finansial memudahkan masyarakat untuk mengakses produk dan jasa keuangan. Salah satu jenis teknologi finansial, yaitu layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (LPMUBTI) menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan bagi individu dan pelaku usaha kecil. Dalam LPMUBTI, pemberi pinjaman menghadapi berbagai macam risiko. Penelitian ini membahas dua permasalahan. Pertama, membahas bagaimana pengaturan perlindungan hukum bagi Pemberi Pinjaman dalam LPMUBTI di Indonesia berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang LPMUBTI dan peraturan terkait lainnya. Kedua, membahas bagaimana implementasi perlindungan hukum bagi pemberi pinjaman dan bagaimana tanggung jawab penyelenggara LPMUBTI terhadap pemberi pinjaman dalam LPMUBTI di Indonesia. Bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian yang didapatkan adalah, berdasarkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016, Penyelenggara LPMUBTI wajib melakukan perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif dan represif tersebut mampu memberikan perlindungan secara komprehensif bagi pemberi pinjaman dari risiko gagal bayar dan memberikan perlindungan secara mendasar bagi pemberi pinjaman dari risiko kebocoran data. Dalam prakteknya, Penyelenggara juga menyediakan opsi asuransi untuk melindungi Pemberi Pinjaman dari gagal bayar. Penelitian ini memberikan dua saran untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi pemberi pinjaman. Pertama, menyarankan agar dibentuk suatu badan pusat data yang mengelola dan melindungi data pribadi dan data transaksi para pengguna LPMUBTI. Kedua, menyarankan agar dibuat pengaturan hukum yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan data pribadi untuk lebih melindungi Pemberi Pinjaman dalam LPMUBTI.

Emergence of financial technology democratizes access to financial products and services. Peer to peer lending (P2P Lending), an application of financial technology, becomes an accessible alternative for individuals and small businesses in Indonesia to obtain financing. In P2P Lending, lenders may face various risks. This research examines two problems. First, it examines the legal protection for lenders in P2P Lending based on Financial Services Authority’s Regulation (POJK) no. 77/POJK.01/2016 on P2P Lending Services and other related regulations is examined. Second, it examines the implementation of legal protection for lenders and the responsibilites of P2P Lending companies to lenders. The method used in this research is juridical-normative with descriptive-analytical typology. On the regulatory problem, this research shows that, according to POJK no. 77/POJK.01/2016 and other related regulations, P2P Lending companies must implement preventive and repressive measures. These preventive and repressive measures comprehensively cover default risk and rudimentarily cover data breach risk. On the implementation problem, P2P companies have been offering insurance and provision fund to minimize lenders’ risk of loss. This research provides two suggestions to improve legal protection for lenders. First, creation of an institution that manages and protects P2P Lending participants’ personal and transactional data. Second, creation of regulations to comprehensively cover the issues of data privacy to improve the protection of lenders in P2P Lending"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arief
"Tesis ini membahas perlindungan hukum bagi penerima pinjaman terhadap pelanggaran mekanisme penagihan dalam peer to peer lending dengan mengkaji peraturan apa saja yang mengatur mengenai peer to peer lending di Indonesia, dan bagaimana perlindungan hukum bagi penerima pinjaman terhadap pelanggaran mekanisme penagihan dalam peer to peer lending. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dengan teknik pengolahan data secara kualitatif sehingga menghasilkan penelitian dalam bentuk deskriptif analitis. Dalam hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan Pengaturan mengenai peer to peer lending di Indonesia adalah sebagai perlindungan hukum bagi pengguna dan penyelenggara dari jasa P2P Lending tersebut. Hal tersebut diatur secara khusus dalam POJK 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, POJK 13/POJK.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, SEOJK 18/SEOJK.02/2017 Tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, dan SEOJK 21/SEOJK.02/2019 tentang Regulatory Sandbox. Perlindungan hukum penerima pinjaman P2PLending dalam hal terjadinya pelanggaran saat penagihan dapat dibedakan sebagai berikut: Perlindungan bagi penerima pinjaman pada penyelenggara P2PLending legal, yaitu berdasarkan POJK Nomor 18/POJK.07/2018 tentang layanan Pengaduan Konsumen Sektor Jasa Keuangan maka, penerima pinjaman yang merasa dirugikan disaat penagihan dapat terlebih dahulu mengajukan penyelesaian kepada penyelenggara P2P Lending, apabila tidak mendapat kesepakatan maka penerima pinjaman dapat melakukan upaya hukum melalui litigasi maupun non litigasi dan apabila tidak ada upaya hukum non litigasi dapat melakukan pengaduan ke Otoritas Jasa Keuangan. Perlindungan bagi Penerima pinjaman pada P2P Lending illegal tidak mengikuti aturan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan, sehingga tidak tersedia lembaga khusus untuk menampung pengaduan penerima pinjaman, maka bentuk perlindungan hukum yang diberikan akan menyesuaikan dengan tindakan pelanggaran petugas penagihan terhadap peraturan perundangan-undangan yang ada.

This thesis discusses the legal protection for loan recipients against the violations of the peer to peer lending (P2P Lending) billing mechanism by examining the regulations governing the P2P lending in Indonesia, and the legal protection for loan recipients against the violations of billing mechanisms in P2P lending. The method used is a normative juridical literature method with qualitative data processing techniques, resulting in descriptive-analytical research. The result concluded that the regulation regarding peer to peer lending in Indonesia serves as legal protection for users and operators of the P2P Lending service. This is specifically regulated in POJK 77/POJK.01/2016 regarding Information Technology-Based Borrowing and Lending Services, POJK 13/POJK.02/2018 regarding Digital Financial Innovation in the Financial Services Sector, SEOJK18/SEOJK.02/2017 regarding Governance and Information Technology Risk Management in Information Technology-Based Borrowing and Lending Services, and SEOJK 21/ SEOJK.02/2019 regarding Regulatory Sandbox. The legal protection for P2P Lending loan recipients in the event of a violation during the billing process can be distinguished as follows: Protection for loan recipients at legal P2P Lending operators based on POJK Number 18 / POJK.07 / 2018 regarding Consumer Complaint services in the Financial Services Sector. The loan recipients who feel disadvantaged during the billing process can first submit a settlement to the P2P Lending organizer. If there is no agreement, the loan recipient can take legal action through litigation and non-litigation, and if there is no non-litigation legal remedy, he can file a complaint with the Financial Services Authority (Otoritas Jasa Keuangan, OJK). Protection for loan recipients in illegal P2P lending does not follow the rules set by the Financial Services Authority. Therefore, no institution will accommodate complaints from loan recipients. Thus, the form of legal protection provided will be adjusted to the actions conducted by billing officers that violated the existing laws and regulations"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Wahyuningtyas
"Tesis ini membahas tentang perbandingan hukum atas peraturan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi di Indonesia dan Inggris (Studi Kasus: Peer To Peer Lending). Metode penelitian yang digunakan adalah perbandingan hukum. Saat ini di Indonesia layanan ini sedang marak yang biasa dikenal dengan pinjaman online. Adapun perbandingan dengan memilih negara Inggris karena negara ini salah satu pelopor dari trend teknologi finansial di dunia. Dengan melakukan penelitian ini maka diketahui peraturan terkait dengan layanan ini baik di Indonesia diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, sedangkan di Inggris diatur dalam Peraturan Financial Conduct Authority, sehingga dapat diperoleh perbandingan pelaksanaan layanan ini.

This thesis discusses the legal comparison of information technology-based money lending service regulations in Indonesia and the United Kingdom. The research method used is legal comparison. At present in Indonesia this service is on the rise, commonly known as online loans. The comparison by choosing the United Kingdom because this country is one of the pioneers of the trend on financial technology in the world. By conducting this research, it is known that the regulations related to this service, in Indonesia are regulated by Otoritas Jasa Keuangan Regulation, while in the UK it is regulated in the Financial Conduct Authority Regulation, so that a comparison of the implementation of this service can be obtained.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52661
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardo Lance Lentini
"Bank Umum dalam memenuhi kewajiban pemberian kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dapat melakukan pola channeling dengan penyelenggara Peer to Peer Lending (P2P Lending). Akan tetapi, dalam melakukan pola channeling tersebut, Bank Umum perlu menerapkan prinsip kehati-hatian karena masih dihadapkan oleh suatu risiko. Skripsi ini membahas mengenai implementasi prinsip kehati-hatian oleh Bank Umum dalam melakukan pola channeling dengan penyelenggara P2P Lending, dengan studi pada PT Bank Central Asia Tbk sebagai salah satu Bank Umum yang telah melakukan pola channeling dengan penyelenggara P2P Lending. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana implementasi prinsip kehati-hatian Bank Umum dalam melakukan pemilihan terhadap penyelenggara P2P Lending yang akan melakukan pola channeling dengan Bank Umum dan bagaimana implementasi 5C of Credit Bank Umum dalam memberikan kredit melalui pola channeling dengan penyelenggara P2P Lending. Bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan sifat penelitian deskriptif-analitis dan data yang digunakan adalah data sekunder yang didukung dengan wawancara. Hasil penelitian adalah Bank Umum perlu menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan pola channeling dengan penyelenggara P2P Lending. Hal tersebut dilakukan oleh Bank Umum sebelum bekerja sama dengan penyelenggara P2P Lending dengan melakukan due diligence terhadap penyelenggara P2P Lending. Selain itu, dalam memberikan kredit melalui pola channeling dengan penyelenggara P2P Lending, Bank Umum perlu melakukan analisis kredit dengan tetap memperhatikan 5C of Credit, di mana analisis 5C of Credit dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan sesudah bekerja sama dengan penyelenggara P2P Lending. Penelitian ini menyarankan agar dibentuk Pusat Data Fintech Lending untuk meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggara P2P Lending sehingga mengurangi keraguan dari Bank Umum untuk bekerja sama dengan penyelenggara P2P Lending dan agar memberikan akses pada Fintech Data Center kepada Bank Umum untuk meningkatkan manajemen risiko sebelum memberikan keputusan kredit.

Commercial Banks can utilize the channeling pattern with Peer to Peer Lending (P2P Lending) in fulfilling their obligations to give credit to Micro, Small and Medium Enterprises (MSME). However, in using this channeling pattern, commercial banks need to apply the prudential banking principle due to being faced with a risk. This thesis discusses the implementation of prudential baking principle by Commercial Banks in conducting channeling pattern with P2P Lending platforms, by conducting studies on PT Bank Central Asia Tbk as one of the commercial banks that has conducted the channeling pattern with P2P Lending platforms. The problem formulation in this thesis are how the implementation of the prudential banking principle by commercial banks in selecting P2P Lending platforms who will conduct channeling pattern with commercial banks and how the implementation of the 5C of Credit by Commercial Banks in giving credit through channeling pattern with P2P Lending platforms. The research method used in this thesis is juridical-normative with the descriptive-analytical research typology and the data used are secondary data supported by interviews. The result of this research is commercial banks need to implement the prudential banking principle in conducting channeling pattern with P2P Lending platforms. This was done by commercial banks before cooperating with P2P Lending platforms by conducting due diligence on P2P Lending platforms. In addition, in giving credit through a channeling pattern with P2P Lending platforms, commercial banks need to carry out credit analysis with regards to 5C of Credit, in which the 5C of Credit analysis is carried out twice, namely before and after cooperating with P2P Lending platforms. This research recommends that a Fintech Lending Data Center should be formed to increase surveillance of P2P Lending platforms so as to reduce doubts from Commercial Banks to cooperate with P2P Lending platforms and to provide access to the Fintech Data Center for Commercial Banks to increase risk management before granting credit decisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henrietta Sarah Mega
"Kegiatan berinvestasi untuk menumbuhkan aset merupakan hal penting dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu platform investasi yang menjadi pilihan populer adalah platform peer-to-peer lending dengan janji tingkat pengembalian atau return yang tinggi. Namun tingkat pengembalian investasi yang tinggi ini juga diikuti dengan risiko gagal bayar yang tinggi pula. Selain risiko gagal bayar, layanan peer-to-peer lending juga memiliki berbagai risiko operasional yang terdapat dalam penyelenggaraannya. Oleh karena itu dibutuhkan kepastian hukum untuk menjamin penyelenggaraan peer-to-peer lending berjalan dengan efisien dan aman. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan regulasi penyelenggaraan peer-to-peer lending di Indonesia, tanggung jawab penyelenggara atas risiko yang ada dalam layanan peer-to-peer lending, dan perlindungan hukum bagi investor dan penerima pinjaman yang menggunakan layanan peer-to-peer lending. Penelitian ini menemukan bahwa regulasi layanan peer-to-peer lending diatur dalam peraturan-peraturan yang dibuat oleh Bank Indonesia dan OJK sebagai lembaga yang memiliki wewenang regulasi. Walau telah diatur untuk menjamin keamanan penyelenggaraannya, risiko dalam layanan ini tetap ada dan kerugian yang diderita pengguna akibat risiko tersebut menjadi tanggung jawab dari penyelenggara. Lebih lanjut, investor maupun penerima pinjaman memerlukan perlindungan hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap haknya sebagai pengguna.

Investment activities to grow assets are important for economic growth. One of the investment platforms that has become a popular choice is the peer-to-peer lending platform with the promise of a high rate of return. However, this high rate of return on investment is also accompanied by a high risk of default. In addition to the risk of default, peer-to-peer lending services also have various operational risks involved in their business. Therefore, legal certainty is needed to ensure that the business of peer-to-peer lending runs efficiently and safely. The research method used in this research is normative juridical. This study aims to explain the regulations for peer-to-peer lending services in Indonesia, the responsibility of the company for the risks involved in peer-to-peer lending services, and legal protection for investors and loan recipients who use peer-to-peer lending services. This study finds that the regulation of peer-to-peer lending services is regulated in the rules made by Bank Indonesia and OJK as institutions that have regulatory authority. Even though it has been regulated to ensure the security of its implementation, risks in this service still exist and the losses suffered by the users due to these risks are the responsibility of the peer-to-peer lending company. Furthermore, investors and loan recipients need legal protection in the event of a violation of their rights as users."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ami Fitri Utami
"Perusahaan Teknologi Finansial Pendanaan atau sering disebut sebagai FinTech Peer to Peer Lending di Indonesia memiliki peran penting dalam mendukung pemerataan kebutuhan akses pendanaan secara nasional. Namun, terdapat ketimpangan antara kinerja perusahaan dari sisi jumlah pengguna serta jumlah pendanaan yang terdistribusi dibandingkan dengan potensi pasar yang ada. Hal ini disebabkan banyaknya kompleksitas yang terjadi termasuk adanya kekurangan sumber-daya internal, tekanan dari regulator, hingga tekanan dari keraguan pasar untuk menggunakan produk. Dalam menyingkapi masalah tersebut, para pemain melakukan berbagai macam kolaborasi dengan berbagai pihak untuk dapat menghasilkan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan pasar, regulasi dan perkembangan teknologi. Penelitian ini berforkus pada dinamika dalam kolaborasi antara para FinTech Peer to Peer Lending dengan jejaringnya. Dalam penelitian ini konsep sistem memori transaktif pada level perusahaan dengan rekan kolaborasinya menjadi kunci dalam memahami dinamika yang ada. Diprediksikan bahwa karakteristik rekan kolaborasi dari sisi spesialisasi pengetahuan, kepercayaan perusahaan akan kredibilitas pengetahuan rakennya serta koordinasi dengan rekan rekan yang dimiliki dianggap dapat berperan dalam peningkatan inovasi serta kinerja perusahaan.

Peer to Peer (P2P) lending FinTech firms in Indonesia possess a major role in enhancing the country’s financial inclusion that leads to a better national’s economy condition. Despites of its’ massive growth in terms of players, investors, as well as innovations; number of national’s P2P lending FinTech adopters are still low which pivotal as it resemblance their performance. This occur as P2P lending FinTech firms facing various challenges both internal and externally due to the newness of the industry. To become more effective, current players tend to collaborate with various parties in deciphering the industrial dynamics. This research focusing on how firm might entrench benefits from its’ collaboration through the concept of Transactive memory system in the inter-firm collaboration level. This research argued that the availability of TSM among the P2P lending FinTech firm and its collaborative might enhance the firm’s competitive advantage such innovation which leads to a better performance in the market. This research mainly contributes to the TMS research field where the concept of TMS mainly used in a small group, and never been investigated in the context of inter-firm collaboration. Current study also contributes to the TMS field as it goes to the dimensional level rather than uses TMS as second order factor construct."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alvito Rizki
"Perkembangan perusahaan teknologi keuangan (fintech) yang sangat pesat mendorong industri perbankan untuk tetap berkembang guna bersaing dengan perusahaan teknologi keuangan. Industri perbankan berdaptasi dengan menerbitkan layanan baru yaitu Bank Digital. Untuk mengurangi persaingan dengan perusahaan teknologi keuangan, Bank Digital juga melakukan kolaborasi dengan perusahaan teknologi keuangan Peer to Peer Lending. Salah satu bentuk kerja sama antara Bank Digital dengan perusahaan Peer to Peer Lending yaitu kerja sama penyaluran kredit. Penelitian ini membahas dua permasalahan. Pertama, membahas bagaimana pengaturan kegiatan usaha Bank Digital dalam hal penyaluran kredit. Kedua, membahas permasalahan hukum dan non-hukum apa saja yang timbul pada kerja sama antara Bank Digital dan perusahaan Peer to Peer Lending dalam penyaluran kredit. Bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian yang didapatkan adalah kerja sama penyaluran kredit yang dilakukan oleh Bank Digital dan Perusahaan Peer to Peer Lending harus didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (“POJK”) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 77/2016”). Kerja sama penyaluran kredit antara Bank Digital dan Perusahaan Peer to Peer Lending diawali dengan perjanjian kerja sama antara Bank Digital dengan perusahaan Peer to Peer Lending dan setelah perjanjian setujui oleh kedua pihak, perusahaan Peer to Peer Lending melakukan perjanjian pinjam meminjam dengan peminjam. Dalam kerja sama antara Bank Digital dan perusahaan Peer to Peer Lending juga terdapat permasalahan hukum dan non-hukum. Permasalahan yang timbul dari kerja sama antara Bank Digital dan perusahaan Peer to Peer Lending adalah penerima pinjaman yang gagal bayar dan Bank Digital menuntut perusahaan Peer to Peer Lending untuk mengganti kerugian dari penerima pinjaman yang gagal bayar sedangkan permasalahan non-hukum yang timbul adalah penyalahgunaan pinjaman, kesalahan penanggalan pada pencatatan Bank Digital dan Perusahaan Peer to Peer Lending, dan pengembalian dana yang telat oleh perusahaan Peer to Peer Lending. Penelitian ini memberikan saran kepada OJK untuk menerbitkan panduan kerja sama antara Bank Digital dengan perusahaan Peer to Peer Lending dan kepada Bank Digital untuk membuat klasifikasi perusahaan teknologi keuangan yang dapat diajak bekerja sama.

The rapid development of financial technology (fintech) companies encourages the banking industry to continue to grow to compete with financial technology companies. The banking industry is adapting to issuing a new service, namely Digital Bank. To reduce competition with financial technology companies, Digital Bank collaborates with financial technology company Peer to Peer Lending. One form of cooperation between Digital Bank and Peer to Peer Lending companies is credit channeling cooperation. This study addresses two issues. First, analyze how the regulation of business activities of Digital Bank in terms of credit channeling. Second, discuss what legal and non-legal issues arise in the cooperation between Digital Bank and Peer to Peer Lending companies in lending. The form of research used is normative juridical with an analytical descriptive research type. The results of the research obtained are credit channeling cooperation conducted by Digital Bank and Peer to Peer Lending Companies must be based on Financial Services Authority Regulation ("POJK") Number 77/POJK.01/2016 on Information Technology-Based Lending Services ("POJK 77/2016"). The credit channeling cooperation between Digital Bank and Peer to Peer Lending Company begins with a cooperation agreement between Digital Bank and Peer to Peer Lending company and after the agreement is agreed by both parties, Peer to Peer Lendingcompanies conduct loan agreements with borrowers. In cooperation between Digital Bank and Peer to Peer Lending companies there are also legal and non-legal issues. Problems arising from the cooperation between Digital Bank and Peer to Peer Lending companies are recipients of loans that default and Digital Bank demands Peer to Peer Lending companies to compensate for losses from defaulted loan recipients while non-legal problems that arise are loan abuse, dating errors on the recording of Digital Banks and Peer to Peer Lending Companies, and late refunds by Peer to Peer Lending companies. This research provides advice to OJK to issue cooperation guidelines between Digital Bank and Peer to Peer Lending companies and to Digital Bank to make a classification of financial technology companies that can be invited to cooperate."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>