Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166227 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Noor Diah Erlinawati
"Stroke iskemik pada pasien geriatri meningkatkan risiko malnutrisi yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu disfagia, tipe stroke, masalah gastrointestinal, disabilitas fisik,
penyakit komorbid dan psikologis. Tujuan utama intervensi nutrisi adalah membantu
pemulihan fungsi neurokognitif dan mencegah defisit energi dan protein. Pasien pada
serial kasus ini adalah pasien geriatri berusia di atas 65 tahun dengan diagnosis stroke
iskemik yang dirawat di RSCM pada bulan Agustus-September 2019. Terapi medik gizi
diberikan pada keempat pasien sesuai dengan kondisi klinis masing-masing pasien
melalui jalur enteral. Satu pasien dapat makan melalui jalur oral di akhir perawatan.
Suplementasi mikronutrien yang diberikan adalah vitamin B6, vitamin B12, vitamin C,
asam folat dan seng. Hasil yang didapatkan selama perawatan sebanyak tiga pasien
mencapai kebutuhan energi total (KET)dan satu pasien mencapai kebutuhan 83% KET.
Asupan protein mencapai target 1,2 g/kg BB atau lebih pada tiga orang pasien.
Suplementasi mikronutrien mencapai nilai AKG bagi usia di atas 65 tahun. Mikronutrien
belum mencapai AKG yaitu vitamin E, vitamin D, kalium, magnesium. Nutrien spesifik
omega-3 dan kolin yang diperoleh dari asupan makan pada sebagian pasien belum
memenuhi AKG. Lama perawatan pasien di rumah sakit 10 hingga 33 hari. Nilai severitas
stroke dengan NIHSS dan kapasitas fungsional dengan FIM di akhir perawatan
menunjukkan perbaikan. Keempat pasien pulang ke rumah dengan keadaan klinis
perbaikan. Kesimpulan yang didapatkan yaitu terapi medik gizi yang adekuat berperan
memperbaiki derajat keparahan dan kapasitas fungsional pasien geriatri dengan stroke
iskemik.

The geriatric patient with ischemic stroke increased risk of malnutrition, which because
various causes including dysphagia, type of stroke, gastrointestinal problems, physical
disability, comorbid disease and psychological problem. The main purpose of nutrition
intervention is to help restore neurocognitive function and prevent energy/protein deficits.
Patients in this case series were geriatric patients aged over 65 years with a diagnosis of
ischemic stroke who were treated at the Cipto Mangunkusumo General Hospital in
August-September 2019. Medical nutrition therapy was given to all four patients,
according to the clinical condition of each patient through the enteral route. One patient
could eat by oral route at the end of treatment. Patients have given oral micronutrient
supplementation consisting of vitamin B6, Vitamin B12, vitamin C, folic acid and zinc.
The results obtained as many as three patients achieved total energy requirements and one
patient reached 83% energy requirements. Protein intake reached the target of 1,2 g/kg
body weight just in three patients. Supplementation micronutrients oral reached RDA
values for people over 65 years. Micronutrients that have not yet reached the RDA were
vitamin E, vitamin D, potassium, magnesium. Omega-3 and choline obtained from food
intake in some patients do not meet the RDA. The length of stay in the hospital was around
10-33 days. The value of stroke severity with NIHSS and functional capacity with FIM
at the end of treatment showed improvement. All four patients returned home with
improvement. The conclusion obtained is that adequate nutritional medical therapy plays
a role in improving the severity and functional capacity of geriatric patients with ischemic
stroke."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Erlangga Luftimas
"Meningitis tuberkulosis (MeTB) merupakan manifestasi klinis berat dari infeksi TB yang menyerang sistem saraf pusat (SSP) dan menyebabkan pasien mengalami penurunan asupan nutrisi karena menurunnya kemampuan makan dan selera makan. Asam amino rantai cabang (AARC) diketahui memiliki efek meningkatkan selera makan dan protektif terhadap massa otot. Pemenuhan kebutuhan AARC berpotensi memperbaiki kapasitas fungsional pasien sehingga menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien MeTB. Empat pasien MeTB dipantau selama perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pencatatan asupan makanan pasien dilakukan dengan metode FFQ semi kuatitatif dan 24h dietary recall. Selama masa perawatan diberikan terapi medik gizi sesuai kondisi klinis pasien, dilakukan pemantauan harian termasuk penilaian kapasitas fungsional pasien hingga pasien selesai perawatan. Semua pasien menunjukkan tanda malnutrisi berdasarkan kriteria klinis menurut American Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Belum ada rekomendasi terapi medik gizi khusus MeTB yang dapat digunakan, namun pada pasien dengan masalah infeksi disertai masalah neurologis rekomendasi tatalaksana TB paru dan stroke dapat menjadi acuan untuk tatalaksana pasien. Pemberian asupan kalori 35-40 kkal pada pasien dengan protein minimal 1,5 g/kgBB berpotensi meningkatkan kapasitas fungsional pasien dan mencegah perburukan penyakit. Tiga pasien mendapatkan asupan AARC diatas rekomendasi dan didapatkan peningkatan kapasitas fungsional dengan menggunakan indeks Barthel. Terapi medik gizi dengan pemberian protein dan AARC yang lebih tinggi dari rekomendasi IOM pada pasien MeTB dapat meningkatkan kapasitas fungsional pasien.

Tuberculous Meningitis (TBM) has been the most severe manifestation of Tuberculosis infection attacking central nervous system (CNS) and causes the risk of malnutrition in patients due to decrease the ability of eating and loss appetite. Branched chain amino acid (BCAA) has been known having effects in appetite and protection of muscle mass. Fulfilling BCAA requirement is potential to improve patient functional capacity, furthermore lowering the morbidity and mortality of TBM patient. Four TBM patients has been observed during hospitality in Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM). Patient’s dietary intake was collected using semiquantitative FFQ and 24h dietary recall. During hospitality, medical nutrition therapy was administered based on patient clinical condition, daily observation including patient functional capacity was done until patient was discharged. All patients showed malnutrition signs based on clinical criteria according to American Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN). Recommendation of nutrition therapy on TBM patient still not exist, however in patient with infection and neurological problem, guideline of nutrition therapy in TB infection and stroke can be used. Intake of 35-40 kcal/kgBW calories and 1,5 g/kgBW of protein can be potential to increase patient functional capacity and prevent further morbidity. Three patient can fulfill their BCAA beyond the requirement and there were increase in patient functional capacity using Barthel Index. Medical nutrition therapy using protein and BCAA administration above the IOM recomendation in TBM patient can improve functional capacity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arinta Dwi Komala
"Stroke iskemik merupakan obstruksi yang terjadi di pembuluh darah menuju otak akibat adanya sumbatan thrombus ataupun emboli. Pasien dengan Stroke iskemik mengalami penurunan sistem neurologi, salah satu tanda gejalanya adalah terganggunya kemampuan kognitif. Studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis penerapan intervensi reminiscence therapy pada pasien stroke iskemik dengan gangguan kognitif. Metode yang diberikan adalah memberikan tiga sesi terapi reminiscence dengan tema yang dapat menstimulasi memori pasien. Waktu pemberian 15-60 menit sesuai dengan ambang focus pasien dalam terapi.  Hasil yang di dapatkan adalah terdapat perbaikan prognosis kognitif pada pasien ditunjukkan oleh peningkatan nilai MoCA dari 15 menjadi 23 setelah intervensi.  Efektifitas yang ditunjukkan reminiscence therapy ini dapat dijadikan sumber informasi dalam penerapan evidence based care pada praktik mandiri perawat dalam mengatasi masalah gangguan kognitif pada pasien stroke iskemik.

Ischemic stroke is an obstruction of blood vessel to the brain due to blockage of thrombus or embolism. Patient with ischemic stroke experience neurological deficit, one of major symptoms is cognitive impairment. The purpose of this paper is to analyze application of reminiscence therapy in ischemic stroke patient with cognitive impairment. The study case method is provide three session of therapy with a theme that can stimulate pastient memory. The administration time 15 – 60 minute according to patient focus. The result shows there is an improvement in the cognitive prognosis in patients as indicated by increasing MoCA score from 15 to 23 after intervenstion. The effectiveness shown by reminiscence therapy can be used as evidence based nursing care in patients ischemic stroke with cognitive impairment."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nugrahayu Widyawardani
"Latar Belakang:
Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan penyakit infeksi yang bersifat kronis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Perubahan metabolisme akibat infeksi Mycobacterium Tuberkulosa(M.TB) dan aktivasi sistem neurohormal turut berperan terhadap terjadinya malnutrisi, yang dapat memberikan efek negatif terhadap prognosis pasien dengan TB Paru. Penderita TB Paru mengalami penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Terapi Medik Gizi sejak awal diagnosis ditegakkan, akan mendukung proses pemulihan pasien TB.
Kasus :
Dalam serial kasus ini, dipaparkan empat kasus pasien TB Paru dengan berbagai faktor risiko, diantaranya adalah penyakit TB Paru, TB Miliar, PPOK et causa TB Paru, Meningitis TB. Pada awal pemeriksaan didapatkan adanya defisiensi asupan makronutrien dan mikronutrien, hipoalbuminemia, CRP yang meningkat, hemoglobin (Hb) yang turun, penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Terapi medik gizi diberikan secara individual, sesuai dengan kondisi klinis, hasil pemeriksaan laboratorium, dan analisis asupan makan terakhir.
Hasil:
Tiga dari empat pasien mengalami peningkatan asupan, perbaikan kondisi klinis, dan kapasitas fungsional serta kualitas hidup pasien. Status nutrisi pasien tidak mengalami perburukan selama perawatan,
Kesimpulan:
Terapi Medik gizi yang adekuat pada pasien TB dapat mempertahankan status nutrisi pasien dan mendukung perbaikan kondisi klinis, kapasitas fungsional, serta kualitas hidup pasien.

Background:
Pulmonary tuberculosis (pulmonary TB) is a chronic infectious disease with high morbidity and mortality. Changes in metabolism due to infection with Mycobacterium Tuberculosis and activation of the neurohormal system contribute to the occurrence of malnutrition, which can have a negative effect on the prognosis of patients with pulmonary TB. Patients with pulmonary TB have decreased functional capacity and quality of life.Early medical nutrition therapywill support the recovery process of pulmonary TB patients.
Case :
In this case series, four cases of pulmonary TB patients were presented with various risk factors, including pulmonary TB disease, miliar TB, COPD et causa lung TB, and TB meningitis. Deficiency of macro and micronutrient intake, hypoalbuminemia, increased CRP, decreased hemoglobin (Hb), decreased functional capacity and quality of life were found at the beginning of examination. Nutrition medical therapy is given individually, according to clinical conditions, results of laboratory examinations, and analysis of recent food intake.
Result :
Three out of four patients experience increased intake, improvement of clinical conditions, functional capacity and quality of life. The nutritional status of patients did not experience worsening during treatment.
Conclusion:
Adequate nutritional medical therapy in TB patients can maintain patient nutritional status and support improvement of clinical conditions, functional capacity, and quality of life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59146
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basith Halim
"Menurut World Health Organization (WHO) ada sekitar 46,6 juta penderita stroke yang mengalami disabilitas. Selama ini dalam menentukan program rehabilitasi medik yang tepat dengan memperhatikan dominansi tangan pasien pasca stroke masih belum dilakukan, sehingga penentuan dominansi tangan ini penting untuk dilakukan. Berbagai studi meneliti mengenai hubungan lateralisasi otak dan dominansi tangan namun masih jarang yang meneliti hubungan sisi hemiparesis pada pasien stroke dengan dominansi tangan dan menghubungkannya dengan pemulihan fungsi anggota gerak atas. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan mengetahui variasi perubahan dominansi tangan pasca stroke yang diukur dengan Edinburgh Handedness Inventory - Short Form (EHI-SF) dan fungsi anggota gerak atas pasca stroke yang diukur dengan Fugl-Meyer Upper Extremity (FMA-UE) dan Chedoke Arm and Hand Activity Inventory (CAHAI). Penelitian observasional prospektif dengan desain cross sectional ini dilakukan di Poli Rehabilitasi Medik Neuromuskular RSCM pada bulan September 2021 sampai Oktober 2022. Populasi subjek adalah pasien stroke iskemik fase subakut dan kronik dengan hemiparesis yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Dominansi tangan ditentukan dengan EHI-SF, sedangkan fungsi anggota gerak pasca stroke diukur dengan FMA-UE dan CAHAI. Penelitian ini melibatkan 62 orang subjek yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dominan ipsilateral (n=27) dan dominan kontralateral (n=35). Didapatkan hubungan bermakna antara sisi hemiparesis dengan dominansi tangan (p < 0,001). Selain itu, didapatkan hubungan bermakna antara pemulihan fungsi anggota gerak dengan dominansi tangan pasca stroke. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara pemulihan fungsi anggota gerak dengan sisi hemiparesis. Kesimpulan penelitian ini adalah dominansi tangan berhubungan dengan sisi hemiparesis dan pemulihan fungsi anggota gerak, dan pemulihan fungsi anggota gerak tidak berhubungan dengan sisi hemiparesis.

According to the World Health Organization (WHO) there are around 46.6 million stroke sufferers who experience disability. So far, determining the right medical rehabilitation program based on hand dominance in post-stroke patients has not been carried out. Various studies have examined the relationship between brain lateralization and hand dominance, but the relationship between the side of hemiparesis in stroke patients with hand dominance and their correlation with the recovery of upper limb function has not been established. This study aims to answer this question by knowing the variations in post-stroke hand dominance as measured by the Edinburgh Handedness Inventory - Short Form (EHI-SF) and post-stroke upper limb function as measured by Fugl-Meyer Upper Extremity (FMA-UE) and Chedoke Arm and Hand Activity Inventory (CAHAI). This prospective observational study with cross-sectional design was conducted at the Neuromuscular Medical Rehabilitation Polyclinic, Cipto Mangunkusumo Hospital from September 2021 to October 2022. The study population was subacute and chronic ischemic stroke patients with hemiparesis who met the inclusion and exclusion criteria. Hand dominance was determined by EHI-SF, while post-stroke limb function was measured by FMA-UE and CAHAI. This study involved 62 subjects who were divided into two groups, namely the dominant ipsilateral group (n=27) and the dominant contralateral group (n=35). A significant relationship was found between the side of the hemiparesis and hand dominance (p <0.001). In addition, a significant relationship was found between the recovery of limb function and hand dominance after stroke. No significant relationship was found between the recovery of limb function and the side of the hemiparesis. The conclusion of this study is hand dominance is associated with the side of the hemiparesis and recovery of limb function, and recovery of limb function is not associated to the side of hemiparesis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Herry
"

Tujuan penelitian ini untuk membandingkan efektivitas latihan Graded Repetitive Arm Supplementary Program (GRASP) dengan modified Constraint-Induced Movement Therapy (mCIMT) terhadap fungsi anggota gerak atas pada pasien stroke iskemik fase subakut. Desain penelitian ini adalah randomized controlled trial dengan subjek penelitian adalah pasien stroke iskemik fase subakut serangan pertama yang mengalami hemiparesis satu sisi. Total 18 subjek yang dibagi 9 subjek per kelompok latihan; GRASP-Group (GG) dan mCIMT-Group (CG). Latihan dilakukan di rumah selama 4 minggu. Fungsi anggota gerak atas dinilai menggunakan Fugl-Meyr Assessment Upper Extremity (FMA-UE) dan Chedoke Arm and Hand Activity Inventory (CAHAI). Analisa statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok setelah 2 minggu latihan (T1), perbaikan mean difference (MD) nilai FMA-UE GG= 3,67±1,94 dan CG= 3,11±1,54 (p= 0,510); perbaikan MD nilai CAHAI pada GG= 5,33±3,46 dan CG= 3,11±1,27 (p= 0,050). Setelah 4 minggu latihan (T2) antara kedua kelompok juga tidak terdapat perbedaan bermakna dengan perbaikan MD nilai FMA-UE pada GG= 8,67±4,47 dan CG= 8,56±2,07 (p= 0,489); perbaikan MD nilai CAHAI pada GG= 13,44±4,85 dan CG= 10,11±2,62 (p= 0,088). Disimpulkan bahwa latihan GRASP sama efektifnya dengan latihan mCIMT dalam meningkatkan fungsi anggota gerak atas.


The purpose of this study was to compare the effectiveness of the Graded Repetitive Arm Supplementary Program (GRASP) exercise with modified Constraint-Induced Movement Therapy (mCIMT) on upper limb function in subacute ischemic stroke patients. This is randomized controlled trial with recruitment of subacute phase first attack ischemic stroke patients who had one-sided hemiparesis. A total of 18 subjects were divided into 9 subjects per exercise group; GRASP-Group (GG) and mCIMT-Group (CG). Exercise was done at home for 4 weeks. Upper limb function was assessed using the Fugl-Meyr Assessment Upper Extremity (FMA-UE) and Chedoke Arm and Hand Activity Inventory (CAHAI). Statistical analysis showed no significant differences between two groups after 2 weeks of training (T1), mean difference improvement (MD) FMA-UE GG=3,67±1,94 and CG=3,11±1,54 (P= 0,510) and MD improvement CAHAI on GG=5,33±3,46 and CG=3,11±1,27 (P= 0,050). After 4 weeks of training (T2) between the two groups there were also no significant differences with MD improvement FMA-UE on GG=8.67 ± 4.47 and CG=8.56 ± 2.07 (P= 0.489); MD improvement CAHAI score on GG=13.44 ± 4.85 and CG=10.11 ± 2.62 (P= 0.088). It was concluded that GRASP exercise was as effective as mCIMT exercise in improving upper limb function.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Ghassani
"Menelan merupakan mekanisme neurologis dan perilaku kompleks dikontrol oleh otak. Kemampuan menelan memerlukan fungsi kognitif yaitu atensi, memori dan fungsi eksekusi. Disfagia pada stroke disebabkan oleh hilangnya jaringan konektivitas menelan karena berkurangnya aktivasi regio yang terkena dan hemisfer kontralateral. Pada stroke iskemik, lesi otak yang terkena dapat mempengaruhi menelan dan fungsi kognitif. Penurunan fungsi kognitif dapat mempengaruhi fungsi menelan dengan berkurangnya fungsi lipseal, pergerakan otot-otot lidah yang mengakibatkan adnya residu sehingga menjadi disfagia oral. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional pada 72 subjek stroke subakut-kronik stroke iskemik. Subjek dengan nilai MoCA <26 akan dilakukan pemeriksaan disfagia dengan FEES (Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing). Hasil penelitian didapatkan 38 subjek dengan disfagia dan 34 orang dengan non-disfagia, dengan rata-rata nilai MoCA INA 23. Domain yang paling terganggu adalah visuospasial/fungsi eksekutif, memori dan atensi. Kesimpulan penelitian ini adalah tidak didapatkan hasil yang signifikan hubungan fungsi kognitif terhadap kejadian disfagia.

Swallowing is a complex neurological and behavioral mechanism controlled by the brain. Swallowing ability requires cognitive function consists attention, memory and execution function. Dysphagia in stroke is caused by loss of swallowing tissue connectivity due to decreased activation of the affected and contralateral hemispheres. In ischemic stroke, the affected brain lesion can simultaneously affect swallowing and cognitive function. Decreased cognitive function can affect swallowing function which decreased lipseal function, impaired movement of the tongue muscles affected residues in the mouth and result in oral phase dysphagia. The research method used was a cross-sectional on 72 subacute-chronic ischemic stroke subjects. Subjects with MoCA INA results <26 will be assessed for their dysphagia using FEES (Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing). Of the 72 subjects with MoCA INA score <26, 38 subjects had dysphagia and 34 Non-dysphagia. The mean value of the MoCA INA was 23. The most impaired of cognitive domains was visuospatial/executive function, memory and attention. There is no significant relationship between cognitive function and the incidence of dysphagia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Florencia Wirawan
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rehabilitasi berbasis Realitas Virtual Imersi Penuh pada pemulihan motorik anggota gerak atas pasien stroke iskemik kronik dengan hemiparesis. Penelitian ini merupakan studi serial kasus pada pasien stroke yang datang berobat ke Poliklinik Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan dengan pengambilan data baseline berupa nilai Fugl-Meyer Upper Extremity (FM-UE) dan Chedoke Arm, Hand Activity Inventory (CAHAI), dan Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). Pasien mendapat perlakuan reahabilitasi fisik selama 18 kali pertemuan, 3 kali seminggu, 30 menit per sesi selama 6 minggu. Pasca tindakan, dilakukan kembali pengambilan data FM-UE, CAHAI dan BDNF ulang untuk melihat fenomena pemulihan motorik atas. Subjek penelitian terdiri dari 2 pria dan 3 wanita dengan rentang usia 45 – 59 tahun, 4 hemiparesis kiri dan 1 hemiparesis kanan, rentang Brunnstrom IV – VI. Setelah diberikan intervensi, terdapat peningkatan pada ketiga parameter FM-UE (median difference: 2, min – max: 1 – 19 MCID: 5,25), CAHAI (median difference: 2, min – max : 1-18, MCID: 6,3), dan BDNF (median difference: 16.68, min – max : 9,76 - 46,8). Kesimpulan penelitian ini adalah rehabilitasi berbasis realitas virtual imersi penuh menunjukan fenomena peningkatan positif yang menjanjikan pada pemulihan motorik anggota gerak atas pasien stroke iskemik kronik setelah 6 minggu intervensi.

This study aims to determine the effect of Full Immersion Virtual Reality-based rehabilitation on upper limb motor recovery in chronic ischemic stroke patients with hemiparesis. This research is a case series study in stroke patients who come for treatment at the Medical Rehabilitation Polyclinic of Cipto Mangunkusumo General Hospital. Patients were examined by taking baseline data in the form of Fugl-Meyer Upper Extremity (FM-UE) and Chedoke Arm, Hand Activity Inventory (CAHAI), and Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) values. Patients received physical rehabilitation treatment for 18 meetings, 3 times a week, 30 minutes per session for 6 weeks. After the action, FM-UE, CAHAI and BDNF data were collected again to see the phenomenon of upper motor recovery. The study subjects consisted of 2 men and 3 women with an age range of 45 – 59 years, 4 left hemiparesis and 1 right hemiparesis, Brunnstrom IV – VI range. After the intervention was given, there was an increase in all three parameters FM-UE (median difference: 2, min – max: 1 – 19, MCID: 5.25), CAHAI (median difference: 2, min – max: 1-18, MCID: 6 .3), and BDNF (median difference: 16.68, min – max: 9.76 - 46.8). The conclusion of this study is that full immersion virtual reality-based rehabilitation shows a promising positive improvement phenomenon in upper limb motor recovery in chronic ischemic stroke patients after 6 weeks of intervention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Jessica
"Latar Belakang: Stroke iskemik merupakan penyebab kematian terbanyak kedua dan penyebab utama disabilitas di seluruh dunia. Beberapa faktor risiko yang sudah diketahui diantaranya pola hidup, penyakit komorbid, usia, jenis kelamin, dan ras. Namun, kadar serum vitamin D yang kurang ternyata juga dikaitkan dengan penyakit neurodegeneratif, serta luaran klinis yang lebih buruk. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan pada stroke iskemik yang dinilai berdasarkan NIHSS. Pada penelitian ini juga akan menilai asupan vitamin D serta pajanan sinar matahari.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien stroke iskemik di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Universitas Indonesia. Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, faktor risiko, penyakit komorbid dengan komplikasi, asupan protein, asupan lemak, asupan vitamin D, pajanan sinar matahari, kadar serum vitamin D, serta derajat keparahan. Dilakukan analisis korelasi kadar serum vitamin D dengan derajat keparahan berdasarkan NIHSS.
Hasil: Terdapat 59 subjek dengan diagnosis stroke iskemik dengan rerata usia 63 tahun dan mayoritas laki-laki (62,7%). Faktor risiko terbanyak adalah hipertensi (83,1%), berat badan lebih dan obesitas (64,4%), merokok (57,6%), dan diabetes melitus (42,4%). Penyakit komorbid dengan komplikasi tersering yang ditemukan adalah gangguan jantung (35,6%). Sebanyak 79,7% subjek penelitian memiliki asupan protein yang kurang, sedangkan asupan lemak seluruhnya tergolong cukup. Sebagian besar (52,5%) subjek penelitian memiliki status asupan vitamin D kurang, 5 orang mengonsumsi suplementasi vitamin D secara rutin, derajat pajanan sinar matahari rendah (89,8%). Sebanyak 59,3% memiliki status kadar serum vitamin D defisiensi dengan derajat keparahan terbanyak adalah skor NIHSS 5-15 (76,3%). Terdapat korelasi antara asupan vitamin D dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,307, p 0,018).
Kesimpulan: Kadar serum vitamin D memiliki korelasi dengan derajat keparahan stroke iskemik (r -0,469, p <0,001). Kadar serum vitamin D yang kurang berbanding terbalik dengan skor NIHSS yang didapatkan pada penderita stroke iskemik onset akut.

Background: Ischemic stroke is the second leading cause of death and the leading cause of disability worldwide. Some of the known risk factors include lifestyle, comorbid diseases, age, gender, and race. However, deficient serum vitamin D levels are also associated with neurodegenerative diseases, as well as worse clinical outcomes. This study was conducted to determine the correlation of serum vitamin D levels with severity in ischemic stroke as assessed by the NIHSS. This study will also assess vitamin D intake and sunlight exposure.
Methods: This study is a cross-sectional study on ischemic stroke patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and University of Indonesia Hospital. Characteristics of the study subjects included age, gender, risk factors, comorbid diseases with complications, protein intake, fat intake, vitamin D intake, sun exposure, serum vitamin D levels, and severity. Correlation analysis of serum vitamin D levels with severity based on NIHSS was conducted.
Results: There were 59 subjects with a diagnosis of ischemic stroke with an average age of 63 years and the majority were male (62.7%). The most common risk factors were hypertension (83.1%), overweight and obesity (64.4%), smoking (57.6%), and diabetes mellitus (42.4%). Comorbid disease with the most common complication found were cardiac disorders (35.6%). A total of 79.7% of the study subjects had insufficient protein intake, while the fat intake was entirely considered adequate. Most (52.5%) of the study subjects had deficient vitamin D intake status, 5 people took vitamin D supplementation regularly, the degree of sun exposure was low (89.8%). A total of 59.3% had vitamin D deficiency serum level status with the most severity being NIHSS score 5-15 (76.3%). There was a correlation between vitamin D intake and ischemic stroke severity (r -0,307, p 0,018).
Conclusion: Serum vitamin D levels have a correlation with ischemic stroke severity (r -0,469, p <0,001). Insufficient serum vitamin D levels are inversely proportional to the NIHSS score obtained in patients with acute onset ischemic stroke.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Bagus Ngurah Nuartha
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>