Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 187114 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saskia Tuksadiah
"Skripsi ini membahas mengenai tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit dalam tindakan emergency orthopaedi. Selain itu juga membahas peranan informed consent dalam tindakan emergency orthopaedi. Penulis mempertajam penelitian ini dengan menganalisis Putusan No.11/PDT.G/2015/PN.KWG dan No.96/PDT.G/2017/PT.BDG. Permasalahan dalam skripsi ini, yaitu bagaimana tanggung jawab dokter dan rumah sakit serta peranan informed consent dalam tindakan emergency orthopaedi. Sri Lestari mengajukan gugatan perbuatan
melawan hukum atas dasar malpraktek sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUHPerdata. Dalam skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian, yaitu deskriptif. Untuk dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum, maka harus memenuhi unsurunsur sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Selain itu, untuk menentukan seorang dokter dan rumah sakit dapat bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi, erat hubungannya antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan. Sehingga dalam kasus ini, dokter dan rumah sakit tidak dapat bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Sri Lestari. Dari hasil penelitian ini, disarankan perlu adanya pengawasan dari pihak rumah sakit terhadap segala tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk
menghindari terjadinya kesalahan dalam melakukan penanganan terhadap pasien.
This thesis discusses the legal responsibilities of doctors and hospitals in orthopedic emergency actions. It also discusses the role of informed consent in orthopedic emergency action. The author sharpens this research by analyzing Decision No.11/PDT.G/2015/PN.KWG and No.96/PDT.G/2017/PT.BDG. The problem in this thesis, namely how the responsibility of doctors and hospitals and the role of informed consent in orthopedic emergency action. Sri Lestari filed a lawsuit against the law on the basis of malpractice as regulated in Articles 1365, 1366, and 1367 of the Civil Code. In this thesis, the research method used is normative juridical with the type of research, namely descriptive. To be categorized as an unlawful act, it must meet the elements as regulated in Article 1365 of the Civil Code. In addition, to determine that a doctor and hospital can be responsible and provide compensation, there is a close relationship between errors and losses caused. So in this case, doctors and hospitals cannot be held responsible for the losses suffered by Sri Lestari. From the results of this study, it is suggested that there is a need for supervision from the hospital on all medical actions taken by health workers to
avoid errors in handling patients."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saskia Tuksadiah
"Skripsi ini membahas mengenai tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit
dalam tindakan emergency orthopaedi. Selain itu juga membahas peranan
informed consent dalam tindakan emergency orthopaedi. Penulis mempertajam
penelitian ini dengan menganalisis Putusan No.11/PDT.G/2015/PN.KWG dan
No.96/PDT.G/2017/PT.BDG. Permasalahan dalam skripsi ini, yaitu bagaimana
tanggung jawab dokter dan rumah sakit serta peranan informed consent dalam
tindakan emergency orthopaedi. Sri Lestari mengajukan gugatan perbuatan
melawan hukum atas dasar malpraktek sebagaimana yang diatur di dalam Pasal
1365, 1366, dan 1367 KUHPerdata. Dalam skripsi ini, metode penelitian yang
digunakan adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian, yaitu deskriptif. Untuk
dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum, maka harus memenuhi unsurunsur
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Selain itu,
untuk menentukan seorang dokter dan rumah sakit dapat bertanggung jawab dan
memberikan ganti rugi, erat hubungannya antara kesalahan dan kerugian yang
ditimbulkan. Sehingga dalam kasus ini, dokter dan rumah sakit tidak dapat
bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Sri Lestari. Dari hasil
penelitian ini, disarankan perlu adanya pengawasan dari pihak rumah sakit
terhadap segala tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam melakukan penanganan terhadap pasien.

This thesis discusses the responsibilities of doctors and hospitals in emergency
orthopaedic measures. It also discusses the role of informed consent in such
measures. The author sharpens this research by analyzing verdict No.11 / PDT.G /
2015 / PN.KWG and No. 96 / PDT.G / 2017 / PT.BDG. Problems tackled in this
thesis include the responsibilities of doctors and hospitals as well as informed
consent in orthopaedic emergency measures. Sri Lestari filed a torts lawsuit in the
form of malpractice as stipulated in Articles 1365, 1366, and 1367 of the
Indonesian Civil Code. Emergency action is said to be against the law if it fulfills
the elements in Article 1365 of the Civil Code. Furthermore, to determine whether
a doctor and hospital can be held responsible and are obliged to provide
compensation, it is essential to discern the relation between the tort done and
losses incurred. In this thesis, the research method used is normative juridical with
descriptive research. From the results of this study, it is suggested that there is a
need for supervision from the hospital regarding all medical actions taken by health workers to avoid errors in handling patients.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Ananda Putri
"Penolakan tindakan medis pada dasarnya adalah hak asasi seseorang untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya sendiri. Penolakan tindakan medis sama pentingnya dengan persetujuan tindakan medis, namun belum banyak orang yang memahaminya karena hanya terfokus pada persetujuan tindakan medis saja. Skripsi ini meneliti mengenai pengaturan penolakan tindakan medis, tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit terhadap pasien jika terdapat penolakan tindakan medis di rumah sakit serta pengaturan dan tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit terkait penolakan tindakan medis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM.
Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada hukum positif yaitu UU No. 36 Tahun 2009, UU No. 29 Tahun 2004, UU No. 44 Tahun 2009 dan PERMENKES No. 290 Tahun 2008. Di RSCM, ketentuan penolakan tindakan medis mengacu pada hukum positif tersebut dan diatur pula dalam peraturan internal yaitu Keputusan Direktur Utama KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04/XI.3/0015/2017 dan petunjuk pelaksanaan atas peraturan internal tersebut yaitu KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04/XI.3/20341/2015 dan Standar Prosedur Operasional Penolakan Tindakan Kedokteran No. Dokumen 55/TU.K/79/2012. Tanggung jawab hukum dokter dan rumah sakit terhadap pasien yang melakukan penolakan tindakan medis gugur sepanjang pasien tersebut sebelumnya sudah sepenuhnya memahami penjelasan dokter mengenai tindakan medis tersebut.
Di akhir penelitian ini, penulis menyarankan bahwa pemerintah perlu menetapkan batas usia dewasa bagi pasien yang dapat melakukan penolakan tindakan medis yaitu 18 tahun ke atas dan penolakan tindakan medis seharusnya juga dapat dilakukan dengan advance care directive, RSCM perlu mengganti penggunaan frasa ldquo;tingkat keberhasilan tindakan kedokteran supaya tidak bertentangan dengan makna perjanjian terapeutik, serta Majelis Kehormatan Etik Kedokteran MKEK sebaiknya lebih sering melaksanakan seminar, simposium, pelatihan maupun penyuluhan untuk membuat para dokter lebih memahami substansi Kode Etik dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hukum Kesehatan. Selain itu, dokter juga sebaiknya selalu berusaha untuk memperbaharui ilmu pengetahuan yang dimilikinya yakni dengan cara rajin mengikuti seminar, simposium, pelatihan maupun penyuluhan yang dibuat oleh MKEK tersebut.

Informed refusal in fact is human rights of someone to determine what will be done to themselves. Informed refusal is as important as informed consent, nonetheless not a lot of people really understand about such concept because they only focus to informed consent. This thesis examines the regulation of informed refusal, legal responsibility of the doctor and the hospital if there are some informed refusals that are done in the hospital and the regulation and legal responsibility of the doctor and the hospital related to informed refusal in Cipto Mangunkusumo Hospital RSCM .
The research method is normative juridical which is based on the positive norms which are UU No. 36 Tahun 2009, UU No. 29 Tahun 2004, UU No. 44 Tahun 2009 and PERMENKES No. 290 Tahun 2008. In RSCM, informed refusal is based on those positive norms and is also regulated in the internal regulation which is Keputusan Direktur Utama KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04 XI.3 0015 2017 and the operational guidelines of the internal regulation which are KEPDIRUT RSCM Nomor HK 02.04 XI.3 20341 2015 and Standar Prosedur Operasional Penolakan Tindakan Kedokteran No. Dokumen 55 TU.K 79 2012. The doctor and the hospital will no longer be legally responsible of the patient who has done an informed refusal, as long as earlier the patient has understood very well the informed of the medical treatment.
By the end of this research, the writer suggests that the government should regulate that the legal age of a patient who will do an informed refusal is 18 years old and informed refusal should also be able to be done by advance care directive, RSCM needs to change the use of the phrase 'the successful rate of the medical treatment' so it won rsquo t be against the definition of Therapeutic Contract, and Honorary Council of Medical Ethics MKEK should hold a seminar, simposium, training or counseling session more often to make the doctors more aware of the substance of Code of Ethics and the regulations of Health Law. Besides, the doctors should also make effort to update their knowledges by attending some seminars, symposiums, trainings or counseling sessions held by MKEK.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Raihan
"Suntik filler merupakan salah satu perawatan kecantikan non bedah yang memasukkan sejenis cairan atau zat ke dalam kulit dengan menggunakan jarum dan bertujuan untuk menyamarkan akibat penuaan atau mempercantik penampilan seseorang. Pemulihan tindakan suntik filler tidak memerlukan waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan bedah plastik estetika, membuat lonjakan terhadap penggunaan suntik filler oleh berbagai kalangan terus meningkat setiap tahunnya. Pastinya tindakan ini memiliki risiko dan komplikasi yang mungkin saja dapat terjadi. Maraknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh dokter akibat tidak adanya pemberian persetujuan tindakan kedokteran dalam melakukan tindakan medis perlu dibahas lebih lanjut. Oleh karena itu, setiap tindakan kedokteran harus memberikan persetujuan tindakan kedokteran dengan terlebih dahulu dokter menjelaskan kepada pasiennya secara rinci dan lengkap, karena persetujuan tindakan medis termasuk ke dalam bagian etik profesi kedokteran. Hal ini bertujuan mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh dokter sebagaimana penelitian ini yang tidak memberikan persetujuan tindakan medis secara tertulis dalam memberikan tindakan suntik filler berdasarkan Putusan Nomor 1441/Pid/Sus/2019/PN Mks. Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan bahan data sekunder sebagai pendukung. Data ini diperoleh dari studi dokumen maupun wawancara yang dilakukan dengan narasumber. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pemberian persetujuan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dengan melakukan suntik filler untuk kecantikan belum diterapkan secara maksimal sesuai dengan hukum kesehatan.

Filler injections are one of the non-surgical beauty treatments that involve injecting a substance or fluid into the skin using a needle, with the aim of minimizing signs of aging or enhancing a person's appearance. As opposed to aesthetic plastic surgery, filler injections have a shorter recovery period, which has resulted in an annual rise in the number of individuals who use them. However, it is important to acknowledge that such procedures carry risks and potential complications. The prevalence of violations committed by doctors due to the lack of informed consent in medical procedures needs to be further discussed. Therefore, it is necessary for every medical procedure to obtain the patient's informed consent, wherein the doctor provides a detailed and comprehensive explanation beforehand, as obtaining informed consent is an ethical requirement in the medical profession. This is aimed at preventing violations committed by doctors, such as the case discussed in this research, where written informed consent was not obtained for administering filler injections based on Court Decision Number 1441/Pid/Sus/2019/PN Mks. This research employs a normative juridical approach with secondary data as supporting evidence. The data was obtained from document studies and interviews conducted with pertinent sources, and it was then analyzed using qualitative analysis methods. Based on the findings of this research, it is evident that the practice of obtaining informed consent from patients for filler injections in aesthetic procedures has not been maximally implemented in accordance with health laws."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai penyelenggaraan dan peranan informed consent
pada tindakan medis bedah hewan di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (RSH FKH IPB). Dalam skripsi ini
akan dibahas mengenai definisi informed consent dan keberlakuannya sesuai
dengan Hukum perjanjian yang berlaku. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana penyelenggaraan dan peranan informed consent antara
pasien dan dokter hewan, dimana pasien disini diwakili oleh klien sebagai pemilik
hewan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan bentuk penelitian hukum
yuridis-normatif. Hasil dari penelitian ini adalah penyelenggaraan informed
consent yang dilakukan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Peranan dari lembar informed consent ini terkait dengan pertanggungjawaban
rumah sakit hewan apabila terjadi sengketa dan klien menderita kerugian akibat
tindakan dokter hewan dikarenakan masih belum adanya peraturan hukum terkait
dengan praktik kedokteran hewan, sehingga peran informed consent sebagai dasar
perjanjian antara kedua belah pihak sangat penting.

ABSTRACT
The essay mainly discusses about the practices and roles of informed consent in
veterinary surgery medical act at the Faculty of Veterinary Institute of Agriculture
Bogor Animal Hospital. In this essay, the discussion about the definition of
informed consent and its enforceability according to the legal agreement that is
used. The objective of this research is to find out how the practices and roles of
informed consent between the patient and the vet, where the patient is represented
by the client as a pet owner. This research is a qualitative one with the form of
research is juridical ? normative. The output of this research is a practices of
informed consent which corresponds to the regulation rules. The roles of informed
consent sheet is connected to the responsibility of the animal hospital if the client
suffers loss done by the vet because there is yet a legal law in veterinary practice,
hence the role of informed consent as a base agreement between both parties is
crucial;"
2016
S65399
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nidya Ari Andini
"

ABSTRAK

 

Nama               : Nidya Ari Andini

NPM               : 1606830530

Program Studi : S1 Reguler

Judul                 : Penerapan Informed Consent Dalam Tindakan Operasi Implan Gigi (Analisis Putusan Nomor 11/Pdt.G/2016/Pn.Jkt.Brt, 669/Pdt/2016/Pt.Dki, Dan 3203k/Pdt/2017)

 

 

Hukum Kesehatan mengenal prinsip informed consent yaitu kewajiban seorang dokter gigi untuk terlebih meminta persetujuan pasien apabila akan melakukan suatu tindakan medis. Berkaitan dengan pengimplementasian prinsip tersebut maka skripsi ini akan membahas permasalahan mengenai kompetensi dan kewenangan dokter gigi dalam tindakan implan gigi yang didasari pada analisis putusan nomor: 11/PDT.G/2016/PN.JKT.BRT, 669/PDT/2016/PT.DKI, dan 3203K/PDT/2017. Selanjutnya membahas mengenai pengaturan dan penerapan informed consent dalam tindakan implan gigi didasari pada analisis putusan nomor: 11/PDT.G/2016/PN.JKT.BRT, 669/PDT/2016/PT.DKI, dan 3203K/PDT/2017. Terakhir membahas tanggung jawab hukum dokter gigi dalam penerapan informed consent pada tindakan implan gigi didasari pada analisis putusan nomor: 11/PDT.G/2016/PN.JKT.BRT, 669/PDT/2016/PT.DKI, dan 3203K/PDT/2017. Pada skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti peraturan perundang-undangan atau data sekunder untuk penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Berdasarkan permasalahan yang telah dianalisis terdapat beberapa kesimpulan yakni, pertama drg. Yus Andjojo D.H., selaku Tergugat memiliki kewenangan dalam melakukan tindakan impalan gigi. Kedua Indonesia saat ini belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai informed consent dalam tindakan implan gigi. Ketiga bentuk tanggung jawab hukum atas kelalai penerapan informed consent, dokter gigi dapat dikenakan pasal 1366 KUHPerdata. Berdasarkan analisis penulis memiliki beberapa saran yakni, pertama dokter gigi yang akan melakukan tindakan medis khususnya tindakan implan gigi agar dapat lebih cermat memahami kompetensi dan kewenangan yang dimiliki, kedua Majelis Hakim harus lebih cermat dalam mempertimbangkan unsur-unsur dalam pasal yang diduga telah dilanggar oleh Tergugat, terakhir perlu dilakukan sosialisasi oleh Persatuan Dokter Gigi Indonesia maupun organisasi atau perkumpulan dokter gigi lainnya mengenai tanggung jawab hukum bagi dokter gigi dalam melakukan tindakan medis salah satunya implan gigi.

 

 

Kata Kunci: Hukum kesehatan, Informed consent, Implan gigi.

 


ABSTRACT

 

Name               : Nidya Ari Andini

NPM               : 1606830530

Study Program : S1 Reguler

Title                   : Application Of Informed Consent In Dental Implant Surgery (Analisys Of Decision Number: 11/Pdt.G/2016/Pn.Jkt.Brt, 669/Pdt/2016/Pt.Dki, and 3203k/Pdt/2017)

 

 

Health Law recognizes the principle of informed consent, which is the obligation of a dentist to first seek the patient’s consent when he will take a medical action. In connection with the implementation of these principles, this thesis will discuss issues regarding the competence and authority of dentists in dental implant actions based on the analysis of decision number: 11/PDT.G/2016/PN.JKT.BRT, 669/PDT/2016/PT.DKI, and 3203K/PDT/2017. Next discuss about regulation and application of informed consent in the dental implant procedure based on analysis of decision number: 11/PDT.G/2016/PN.JKT.BRT, 669/PDT/2016/PT.DKI, and 3203K/PDT/2017. And finally discussing the dentist’s legal responsibility in applying informed consent to the dental implant action based on the analysis of decision number: 11/PDT.G/2016/PN.JKT.BRT, 669/PDT/2016/PT.DKI, and 3203K/PDT/2017. At this thesis the author uses the method of normative legal research that is legal research conducted by examining legislation or secondary data for research relating to the problem under study. Based on the problems that have been analyzed there are several conclusions, namely, firstly drg. Yus Andjojo, D.H., as the defendant has the authority to carry out dental implant. Second, Indonesia currently does not yet have legislation that specifically regulates informed consent in the dental implant procedure.  The third form of legal responsibility for negligence of the application of informed consent, the dentist can wear article 1366 of the Civil Code.  Based on the analysis of the researcher has several suggestions, firstly, dentists who will perform medical actions, especially dental implants in order to more accurately understand their competence and authority, secondly, the panel of judges must be more careful in considering the elements in the article which the defendant allegedly violated, finally, the Indonesian Dentist Association and other dentist organizations or associations need to do socialization regarding the legal responsibility of dentists in carrying put medical procedures, one of which is dental implants.

 

 

Keyword: Health law, Informed consent, Dental implants.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhatu Anggraini Dangkeng
"Pendahuluan: Salah satu penilaian akreditasi adalah hak dan kewajiban pasien membuat keputusan medis. Penelitian dilakukan untuk mengetahui mutu kelengkapan dan ketepatan pelaksanaan persetujuan tindakan medis di Rumah Sakit Royal Taruma sebagai bentuk hak pasien dan kewajiban rumah sakit.
Metode: menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan metode cross sectional. Data primer wawancara 11 orang pihak rumah sakit. Data sekunder random sampling, 96 sampel rekam medis ditelaah didalamnya 4 jenis persetujuan tindakan medis (tindakan anestesi, operasi, darah dan produk darah, tindakan berisiko tinggi), didapatkan total 174 sampel persetujuan tindakan medis.
Hasil dan kesimpulan: dari telaah dokumen pada 5 aspek dalam formulir persetujuan tindakan medis, yaitu bagian identifikasi pasien, identifikasi dokter, identifikasi pemberi persetujuan, informasi penting dan autentikasi masih ditemukan ada beberapa bagian dalam persetujuan tindakan medis yang terlewat dan tidak diisi dengan lengkap. Rata-rata identifikasi pasien terisi 86.59% dan tidak terisi 13.41%. Rata-rata identifikasi dokter terisi 83.91% dan tidak terisi 16.09%. Rata-rata 78.44% identifikasi pemberi persetujuan terisi dan 21.56% tidak terisi. Rata-rata 52.11% informasi terisi dan 47.89% tidak terisi. Rata-rata 86.98% bagian autentikasi terisi, namun masih terdapat 13.02% bagian yang tidak terisi. Regulasi serta desain formulir yang berlaku mengacu pada undang-undang dan standar akreditasi, namun masih perlu diperbaiki. Dokter dan karyawan rumah sakit royal taruma mengetahui dan bersikap positif terhadap persetujuan tindakan medis. Cara komunikasi dokter dalam pelaksanaan persetujuan tindakan medis sudah sesuai dengan aturan tata cara. Kendala yang dikeluhkan oleh dokter adalah tingkat pemahaman pasien dan penundaan pemberian keputusan oleh pasien atau keluarga pasien.

Introduction: one of accreditation judgement point is patient rights and obligations to make a medical decisions. this study done to know quality of completeness and
implementation accuracy of medical informed consent in Royal Taruma Hospital as patient right and hospital obligation.
Methode: this study use qualitative and quantitative approachment with cross sectional methode. primary data by interviewed 11 hospital employer. Secondary data done by random sampling, 96 medical records reviewed inside by 4 type of informed consent (anesthetic procedure, operation procedure, blood dan blood product, and high risk procedure) to total 174 sample of informed consent form.
Result and conclusion: from 5 aspects in medical procedures approval form reviewed,
identification of patients, identification of doctor, approver identification, important
information and autentication was still not with completed. The average identification
patients 86.59% filled and 13.41% not filled. The average doctor identification 83.91% filled and 16.09% not filled. The average identification approver occupied 78.44% filled
and 21.56% did not filled. The average health information filled 52.11% and 47.89 % did not filled. The average 86.98% autentication filled but 13.02% did not filled. Regulation
and form design made based on stated bills and accreditation standart, but still need to fix. Doctor and employer have knowledge and show positif reaction toward informed consent regulation. Doctors communication on implementation informed consent are refer to hospital regulation. Obstacles that are complained by doctors are patients level of understanding and postponement decision by the patient or the patient family.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fajri
"Transaksi terapeuti k (pengobatan) merupakan salah satu bentuk penting dalam hubungan pelayanan medis yang terjadi antara pasien dengan dokter. Pelayanan terapeutik pada dasarnya dilandasi dengan sua sana saling percaya (konfidensial) antara sipasien dengan dokter, namun seiring be rkernba ngnya i lmu pengetahuan dan penyebaran arus informasi yang ada dalam masyarakat awam mengenai ilmu kedokteran maka pasien tidak lagi berperan sebagai pihak yang pasif arau dikontrol dokter dalam suatu pelayanan pengobatan. Berubahnya pola hubungan antara dokter dengan pasien tersebut menjadi suatu penyebab lahirnya suatu bentuk persetujuan medis yang dinamakan dengan informed consent. Sekarang, di dalam dunia kedokteran era modern, pelaksanaan Informed consent dalam pelayanan terapeutik menjadi suatu hal penting yang menimbulkan akibat hukum yang fundamental dalam aspek hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter. Pihak pasien memiliki kepentingan dimana transaksi terapeutik yang ia lakukan menjadi suatu pelayanan yang semestinya ia dapatkan baik dalam hal pelaksanaan maupun dari segi hasil dari pengobatan yang di jalankan, sedangkan pihak dokter memiliki kepentingan agar pelayanan medis yang ia lakukan bebas dari ancaman tuntutan hukum dari pihak pasien apabila terjadi masalah kegagalan pengobatan yang dilakukan terhadap pasien . Mengingat dewasa ini masih banyak terjadi tuntutan hukum terhadap dokter yang berupa dugaan malpraktik membuktikan bahwa masih kurang kuatnya pengaruh informed consent dalam pelaksanaan pelayanan terapeutik, sehingga diperlukan suatu bentuk formulir prosedur yang baku dan representatif yang mendukung keberadaan informed consent dalam dunia pelayanan kesehatan di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21304
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Erdiawati
"Seseorang atau pasien datang kepada bidan, baik bidan yang berpraktik pada sarana kesehatan atau praktik perorangan, bertujuan untuk mendapatkan, atau memenuhi kebutuhannya dalam bidang pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan dari seorang bidan, yang diharapkan oleh seseorang atau pasien yang mendatanginya, diantaranya meliputi, pelayanan kebidanan, pelayanan keluarga berencana, pelayanan kesehatan masyarakat. Dalam hubungan antara bidan dengan pasien, sebelum bidan melakukan sesuatu tindakan terhadap pasien dikenal istilah informed consent. Maksud dari informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau walinya yang berhak terhadap bidan untuk melakukan suatu tindakan kebidanan bagi pasien sesudah memperoleh informasi lengkap dan yang dipahaminya mengenai tindakan itu. Informed consent, merupakan toestemming (kesepakatan/perizinan sepihak) dari pasien kepada bidan, dimana persetujuan atau izin itu dilandasi oleh suatu informasi yang cukup dari bidan kepada pasien. Cara memberi informasi, isi dari informasi, pihak-pihak yang berhak menerima informasi maupun cara meminta persetujuan dan pihak yang berhak memberikan persetujuan adalah hal yang harus mendapat perhatian dari bidan. Tanpa adanya informasi yang sah dan cukup serta adequat mengenai tindakan yang akan diambil terhadap diri pasien serta tanpa adanya persetujuan terhadap tindakan tersebut, maka transaksi tersebut tidak akan terjadi. Bila bidan tetap melakukan suatu tindakan terhadap diri pasien yang tidak ada persetujuan pasien, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum,baik hukum perdata,hukum pidana maupun hukum administrasi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21167
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Suryani
"Informed consent pada pasien paliatif, adalah sangat berperan sekali didalam pengambilan keputusan setiap dilakukan tindakan medik. Bermasalahan persetujuan tindakan medik yang timbul pada pasien ini tidak terlepas dari norma hukum yang berlaku khususnya hukum perdata karena mengingat kondisi atau keadaan penyakit pasien yang tidak dapat disembuhkan bila dihubungkan dengan tindakan medik yang dilakukan tidak sesuai dengan penyembuhan penyakit yang diharapkan pasien tindakan medik pada pasien paliatif hanya untuk meningkatkan quality of life dan meringankan penderitaan pasien sehingga pasien merasa nyaman dan tenang didalam menghadapi penyakitnya. Informed consent dalam Perjanjian therapeutik yang telah di sepakati dikenal dengan asas konsensualitas yaitu pasal 1320 KUHPer merupakan syarat sahnya suatu perjanjian sehingga mengikat secara hukum untuk kedua belah pihak bila dilakukan dengan itikad baik (pasal 1338 KUHPer). Bila terjadi penyimpangan dari perjanjian yang dilakukan, maka pihak tersebut dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Secara yuridis dalam pasal 50 dan 53 ayat 2 Undang-Undang No. 23 tahun 1992 bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya bertugas menyelenggarakan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan standar profesinya serta mematuhi hak pasien antara lain hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan. Kedua hak tersebut berkaitan dengan informed consent dalam transaksi therapeutik. Pasien memiliki hak untuk mengetahui semua keadaan penyakitnya, pengobatan, tetapi tidak semua kebenaran dari informasi harus disampaikan apabila hal tersebut dapat merugikan pasien yang bersangkutan. informed consent dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum yang timbal balik, baik untuk pasien sendiri yang meminta dan menerima pelayanan kesehatan serta dokter yang melakukan tindakan medik pada pasien. Informed consent bukan hanya kewajiban moral tetapi juga kewajiban hukum yang berhubungan dengan hak-hak seseorang dan tanggungjawab individu atas pelayanan kesehatan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S20455
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>