Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175982 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andry Hartanto
"Intervensi yang sedang populer di kalangan perempuan sebagai rekonstruksi wajah tanpa operasi yaitu tanam benang atau tarik benang. Akupunktur tanam benang adalah salah satu jenis tindakan akupunktur yang memanfaatkan benang yang dapat diserap, yang melekat pada jarum. Kerusakan jaringan akibat penusukan dan penyisipan benang menghasilkan reaksi inflamasi aseptik dan akhirnya mendorong regenerasi jaringan sekitar. Meskipun akupunktur tanam benang telah banyak dilakukan untuk kasus-kasus tertentu, terutama untuk kasus kosmetika, namun masih kurangnya bukti mengenai keamanannya baik di Korea, yang merupakan negara yang mempopulerkan teknik ini. Infeksi, reaksi terhadap benang yang dianggap benda asing oleh tubuh, nodul subkutan atau eritem, gatal, reaksi inflamasi akibat mikrotrauma saat penusukan dan penyisipan adalah hal-hal yang mungkin terjadi dalam tindakan akupunktur tanam benang ini. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa ada 4 subyek (30,77%) yang merasakan 1 jenis tanda kardinal inflamasi, 3 subyek (23,08%) yang merasakan 3 jenis tanda inflamasi, 5 subyek (38,46%) yang merasakan 4 jenis tanda kardinal inflamasi dan 1 subyek (7,69%) yang merasakan semua jenis tanda kardinal inflamasi. Bila dilihat dari tanda kardinal, maka 100% pasien mengalami dolor, 6 pasien mengalami kalor, 7 pasien mengalami rubor dan tumor, serta 5 pasien mengalami fungsio lesa. Nilai FACE-Q untuk domain penampilan wajah dan kualitas hidup terkait dengan kesehatan cukup tinggi reratanya, sedangkan untuk dampak buruk cukup rendah reratanya. Untuk uji korelasi antara perubahan kerutan nasolabial dengan nilai FACE-Q tidak ada korelasi. Dapat disimpulkan bahwa prosedur akupunktur tanam benang relatif aman dan minimal efek samping serta memberi penilaian subyektif yang tinggi.

An intervention that is popular with women as face reconstruction without surgery is planting threads or pulling threads. Thread acupuncture is one type of acupuncture that utilizes absorbable thread attached to the needle. Tissue damage due to puncturing and insertion of threads results in aseptic inflammatory reactions and ultimately encourages the regeneration of surrounding tissue. Although yarn acupuncture has been used for certain cases, especially for cosmetics, there is still a lack of evidence regarding its safety either in Korea, which is a country that popularized this technique. Infection, reactions to threads that are considered foreign bodies by the body, subcutaneous nodules or erythema, itching, inflammatory reactions due to microtrauma during pricking and insertion are things that might occur in this thread acupuncture action. The results showed that there were 4 subjects (30.77%) who felt 1 type of cardinal inflammation sign, 3 subjects (23.08%) who felt 3 types of inflammatory sign, 5 subjects (38.46%) who felt 4 types of signs cardinal inflammation and 1 subject (7.69%) who felt all kinds of inflammatory cardinal signs. When viewed from the cardinal sign, then 100% of patients experience color, 6 patients experience heat, 7 patients experience rubles and tumors, and 5 patients experience fatigue. The FACE-Q value for the domain of facial appearance and quality of life associated with health is quite high, while for adverse effects it is quite low. For the correlation test between changes in nasolabial wrinkles with the FACE-Q value there is no correlation. It can be concluded that the thread acupuncture procedure is relatively safe and minimizes side effects and gives a high subjective assessment."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Arumsari Asmara
"ABSTRAK
Kerutan nasolabial merupakan salah satu tanda penuaan wajah yang menonjol. Upaya mengurangi tanda penuaan wajah dengan metode invasif minimal belakangan semakin marak. Akupunktur tanam benang Polydioxanone (PDO) sering dipraktekkan untuk mengurangi kerutan, namun penelitian yang menilai efek obyektif akupunktur tanam benang terhadap perbaikan kerutan masih sedikit. Uji klinis open-label prospektif lengan tunggal dilakukan terhadap wanita usia 30-49 tahun, dengan Skala Glogau II-III. 13 subyek menerima 1 sesi akupunktur tanam benang dengan penjabaran sesuai Revised STandards for Reporting Interventions in Clinical Trials of Acupuncture (STRICTA). Penilaian utama yaitu perbedaan jarak kerutan nasolabial dilakukan 4 kali pada sebelum, tepat sesudah, 2 minggu dan 4 minggu sesudah tindakan. Penilaian sekunder adalah skor Modified Fitzpatrick Wrinkle Score (MFWS) dan skor kepuasan subyek. Tidak ada subyek yang dinyatakan gugur. Penilaian utama menunjukkan penurunan jarak rerata kerutan nasolabial kanan yang signifikan pada tepat sesudah (6.43 ± 7.15), 2 minggu (6.53 ± 6.07), dan 4 minggu (15.32 ± 6.21) dibandingkan dengan nilai awal (p<0.05), serta penurunan jarak rerata kerutan nasolabial kiri pada tepat sesudah (7.05 ± 5.23), 2 minggu (7.52 ± 4.29), dan 4 minggu (15.65 ± 6.25) dibandingkan dengan nilai awal (p<0.05). Didapatkan penurunan signifikan rerata skor MWFS pada 4 minggu dibandingan nilai awal baik pada kerutan nasolabial kanan maupun kiri. Sebelas subyek (84.62%) merasa sangat puas dengan tindakan akupunktur tanam benang PDO, sementara 2 subyek lainnya merasa cukup puas. Efek samping yang ditemui berupa eritema, hematoma, edema, gatal, dan nyeri, bersifat sementara dan menghilang tanpa intervensi. Akupunktur tanam benang PDO terbukti mengurangi jarak kerutan nasolabial kiri dan kanan, dimana pengurangan jarak kerutan lebih besar setelah 2 Minggu.

ABSTRACT
Nasolabial folds are one of the most prominent facial aging signs. There is a growing trend on minimally invasive procedures to correct facial aging signs. While Polydioxanone (PDO) thread embedding acupuncture are often practiced in wrinkle treatment, the clinical trials with objective measurements are scarce. A single arm, prospective, open-label clinical trial was done to women aged 30-49 years, with Glogau scale II-III. Thirteen participants each receive a single thread embedding acupuncture reported according the Revised STandards for Reporting Interventions in Clinical Trials of Acupuncture (STRICTA). The primary outcome, length of nasolabial fold, were oberved 4 times; before, right after, 2 weeks, and 4 weeks after procedure. The secondary outcomes are Modified Fitzpatrick Wrinkle Score (MFWS) and patient satisfaction score. There was no dropout. Primary outcome analisis shows significant improvement in every mean difference of dextra nasolabial folds right after (6.43 ± 7.15), 2 weeks (6.53 ± 6.07), and 4 weeks (15.32 ± 6.21), as well on sinistra nasolabial folds right after (7.05 ± 5.23), 2 weeks (7.52 ± 4.29), and 4 weeks (15.65 ± 6.25) compared to baseline (p<0.05). Significant improvement in MWFS score was also observed in 4 week for both right and left nasolabial folds compared to baseline. Eleven participants (84.62%) scored very satisfied, while the rest scored quite satisfied. Side effects found were erythema, bruising, edema, itchiness, and pain were all brief and self limiting. PDO thread emnbedding acupuncture are effective in reducing both right and left nasolabial length, with higher decrease 2 weeks after post treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yolanda Teja
"Latar belakang: Seiring bertambahnya usia, kerut nasolabial (nasolabial fold /NLF) merupakan salah satu area wajah yang menjadi prioritas untuk dikoreksi. Diperlukan modalitas peremajaan wajah yang efektif dengan sesi terapi minimal untuk mengurangi jumlah kunjungan, salah satunya adalah akupunktur tanam benang (thread embedding acupuncture/TEA) Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas satu sesi TEA dibanding dengan 6 sesi terapi manual akupunktur (MA) untuk mengurangi NLF. Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal dilakukan pada total 30 wanita yang memenuhi kriteria inklusi. Peserta penelitian dialokasikan dalam 2 kelompok yaitu kelompok TEA yang mendapat 1 sesi terapi dan MA yang mendapat 6 sesi terapi. Dilakukan pengukuran panjang NLF menggunakan caliper vernier, skala Wrinkle Severity Rating Scale (WSRS) dan penilaian kepuasan hasil terapi menggunakan skala visual analogue scale (VAS). Pengukuran dilakukan pada saat sebelum memulai terapi, setelah menyelesaikan terapi, follow- up (FU) minggu ke-2 dan 4. Data diolah menggunakan SPSS 2.0 Hasil: Perbandingan perbedaan rerata luaran antara kelompok TEA dan MA pada saat menyelesaikan terapi menunjukkan hasil perbaikan yang bermakna pada perubahan panjang NLF (Uji T Tidak Berpasangan, p <0,001), WSRS (Uji Mann Whitney, p <0,001), dan kepuasan (Uji T Tidak Berpasangan, p <0,001). Pada FU minggu kedua, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar kedua kelompok berdasarkan pengukuran panjang NLF (Uji T Tidak Berpasangan, p 0,170), dan kepuasan (Uji T Tidak Berpasangan, p 0,991), serta perbedaan bermakna pada WSRS (Uji Mann Whitney, p 0,018). Pada FU minggu keempat, tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar kedua kelompok berdasarkan pengukuran panjang NLF (Uji T Tidak Berpasangan, p 0,079), WSRS (Uji Mann Whitney, p 0,082), dan perbedaan yang bermakna pada kelompok TEA pada skor kepuasan (Uji Mann Whitney, p 0,036). Kesimpulan: Perbaikan NLF pada TEA semakin baik dari waktu ke waktu, sementara MA menunjukkan perbaikan paling tinggi pada saat tepat setelah menyelesaikan terapi. Pada FU minggu ke 4 didapatkan hasil yang sama baik pada kedua kelompok untuk perbaikan panjang NLF dan WSRS. Namun demikian, nilai kepuasan kelompok TEA pada FU minggu ke 4 memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding MA. Selain itu, TEA memiliki keunggulan hanya memerlukan 1 sesi terapi sehingga dapat meminimalisir sesi kunjungan.

Background: As we age, the nasolabial fold (NLF) become one of the areas of the face as a priority for correction. An effective facial rejuvenation modality such thread embedding acupuncture (TEA) is needed with minimal therapy sessions to reduce visit numbers. This study was conducted to see the effectiveness of one session of TEA compared to 6 sessions of manual acupuncture (MA) to reduce NLF . Methods: A single-blind randomized controlled clinical trial was conducted on a total of 30 women who met the inclusion criteria. Participants were allocated into 2 groups: TEA group with single session of therapy, and MA group with 6 sessions of therapy. The outcomes of the study were the length of NLF measured by vernier caliper, WSRS scale and satisfaction score using visual analogue scale (VAS). Measurement was carried out before starting therapy, right after completing therapy, 2 weeks and 4 weeks of follow-up (FU). Data processed using SPSS 20.0 Result: Comparison of the mean difference in outcomes between the TEA and MA groups at the time of completion of therapy showed significant improvements in changes of NLF length (Independent T-Test, p <0.001), WSRS (Mann Whitney test p <0.001), and satisfaction (Independent T-Test, p <0.001). In the second week of FU, there was no significant difference between groups based on the measurement of NLF length (Independent T-Test, p 0.170), and satisfaction (Independent T-Test, p: 0.991), and a significant difference in WSRS (Mann Whitney test, p 0.018). At the fourth week of FU, there was no significant difference between the two groups based on the measurement of the length of the NLF (Independent T-Test, p 0.079), WSRS (Mann Whitney test, p 0.082), and a significant difference in the TEA group in satisfaction scores (Mann Whitney test, p 0.036). Conclusion: The improvement of TEA group in NLF reduction showed a pattern of getting better from time to time, while MA group showed the best improvement at the time after completing therapy. At the fourth week of FU, the results for improvement in the length of NLF and WSRS were same in both groups. However, the satisfaction score of TEA group at fourth week of FU has higher value than the MA. In addition, TEA only requires 1 session so that it is expected to be able to minimize sessions"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marshellia Setiawan
"Pendahuluan: Endometriosis merupakan salah satu kondisi ginekologi yang sering dijumpai. Nyeri dapat mengganggu keseharian penderita endometriosis dan menurunkan kualitas hidup. Terapi untuk nyeri endometriosis yang terdiri dari hormon, non hormon, dan pembedahan, memiliki risiko dan efek samping. Akupunktur telah terbukti mengurangi nyeri endometriosis melalui efek analgesik, menurunkan estradiol, memodulasi neurotransmiter, memperkuat sel imun, dan mengurangi inflamasi. Akupunktur tanam benang (ATB) memiliki keuntungan yaitu stimuli kontinu titik akupunktur sehingga dapat mengurangi frekuensi kunjungan ke dokter. ATB telah terbukti efektif pada berbagai penyakit, namun efek ATB pada kasus endometriosis masih jarang dipublikasi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek dari kombinasi ATB dengan terapi standar pada endometriosis.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu uji klinis pretest-posttest satu kelompok yang dilakukan pada pasien endometriosis di unit rawat jalan RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari bulan Desember 2023 sampai Mei 2024. Subjek penelitian adalah yang telah mengkonsumsi dienogest sebagai terapi standar untuk nyeri endometriosis selama minimal 1 bulan, namun masih mengalami nyeri dengan skor Numeric Rating Scale (NRS) ≥ 4. Subjek kemudian mendapatkan terapi ATB sebanyak satu kali, yang dikombinasikan dengan dienogest sebagai terapi standar selama 8 minggu. Luaran yang dinilai adalah intensitas nyeri dengan skor NRS, serta skor kualitas hidup dengan kuesioner Endometriosis Health Profile-30 (EHP-30). Skor dasar NRS dan EHP-30 saat subjek hanya mendapat terapi standar, dibandingkan dengan skor NRS dan EHP-30 4 dan 8 minggu setelah mendapat kombinasi ATB dengan terapi standar. Hasil: Terdapat penurunan rerata skor NRS yang signifikan dari sebelum terapi (5,25 ± 1,16) hingga 4 minggu setelah terapi (1,84 ± 2,09; p = 0,001) dan 8 minggu setelah terapi (1,47 ± 2,04; p < 0,001). Terdapat penurunan rerata skor EHP-30 yang signifikan pada subskala nyeri dari sebelum terapi (43,18 ± 23,93) hingga 4 minggu setelah terapi (25,85 ± 22,36; p = 0,039) serta subskala kontrol dan rasa tidak berdaya dari sebelum terapi (45,83 ± 30,54) hingga 4 minggu setelah terapi (25,52 ± 25,24; p = 0,035). Penurunan skor EHP-30 setelah 4 minggu terapi bermakna secara klinis pada subskala nyeri, kontrol dan rasa tidak berdaya, serta kesehatan mental; sementara setelah 8 minggu terapi bermakna secara klinis pada seluruh subskala. Kesimpulan: Kombinasi ATB dengan terapi standar dapat menurunkan intensitas nyeri endometriosis 4 minggu setelah terapi dan bertahan hingga 8 minggu; serta meningkatkan kualitas hidup penderita endometriosis pada aspek nyeri serta kontrol dan rasa tidak berdaya 4 minggu setelah terapi.

Introduction: Endometriosis is a common gynecologic condition in everyday practice. Pain in endometriosis can be disabling, thus reducing quality of life. Management strategy for pain in endometriosis includes hormones, non-hormonal therapy, and surgery; each one has its own risks and side effects. Acupuncture has been proven to be effective in reducing endometriosis-related pain through its analgesic effect, modulating estradiol and neurotransmitters, enhancing immune cells, and reducing inflammation. Thread embedding acupuncture (TEA) has advantage in term of continuous stimulation of acupuncture points, thereby reducing frequency of visits to doctor. TEA has been proven to be effective in various medical condition, but still not much explored in endometriosis publications. This study was conducted to analyze the effect of TEA combination with standard therapy on endometriosis.
Methods: This study was a one group pretest-posttest clinical trial conducted on RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo outpatient endometriosis patients from December 2023 until May 2024. Subjects included in this study had been consuming dienogest as standard therapy for endometriosis pain at least for 1 month, but still felt pain with Numeric Rating Scale (NRS) score ≥ 4. Subjects then went through TEA once, combined with dienogest as standard therapy for 8 weeks forward. Outcomes assessed were pain intensity using NRS score and quality of life score using Endometriosis Health Profile-30 (EHP-30). Baseline NRS and EHP-30 scores when subjects only received standard therapy, were compared with 4 and 8 weeks after subjects went through the combination of TEA with standard therapy.
Result: There were significant decline in mean NRS scores from baseline (5,25 ± 1,16) to 4 weeks after therapy (1,84 ± 2,09; p = 0,001) and 8 weeks after therapy (1,47 ± 2,04; p < 0,001). There were significant decline in mean EHP-30 scores on pain subscale from baseline (43,18 ± 23,93) to 4 weeks after therapy (25,85 ± 22,36; p = 0,039), control and powerlessness subscale from baseline (45,83 ± 30,54) to 4 weeks after therapy (25,52 ± 25,24; p = 0,035). EHP-30 score declines in 4 weeks after therapy were clinically meaningful on subscales : pain, control and powerlessness, mental health; 8 weeks after therapy : on all subscales. Conclusion: Combination of TEA with standard therapy could decrease endometriosis pain intensity 4 weeks after therapy and remained until 8 weeks; and could improve quality of life in pain and control & powerlessness aspects 4 weeks after therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Emilia Puspitasari Winarno
"Pendahuluan: Nyeri miofasial yang ditandai dengan titik pemicu (TP) miofasial merupakan penyebab umum nyeri muskuloskeletal dan penyebab utama dari nyeri leher maupun bahu pada populasi pekerja, terutama pekerjaan kantor yang berhubungan dengan komputer berisiko lebih tinggi akibat gerakan berulang, postur tubuh statis, lamanya berada di depan komputer, serta peningkatan penggunaan perangkat genggam. Bila penanganan nyeri miofasial gagal dilakukan tepat waktu, maka dapat mengakibatkan disfungsi, kecacatan, dan kerugian finansial bagi pasien. Akupunktur tanam benang (ATB) merupakan modalitas akupunktur baru yang dapat memberikan stimulasi jangka panjang yang bertujuan memperpanjang efek terapeutik yang sama dengan akupunktur konvensional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek terapi ATB terhadap skor nyeri, Neck Disability Index (NDI), dan ambang nyeri tekan (ANT) pada nyeri miofasial otot upper trapezius.
Metode: Desain penelitian pada penelitian ini adalah sebuah uji klinis acak tersamar ganda. Penelitian ini diikuti oleh 44 orang subjek penelitian yang dibagi kedalam kelompok ATB (n=22) dan sham ATB (n=22). Pasien dengan nyeri miofasial otot upper trapezius TP laten di kedua kelompok akan menerima satu kali terapi ATB menggunakan benang polydioxanone monofilamen merk CARA ukuran 29G x 50 mm atau sham ATB (benang dibuang) pada satu titik pemicu di otot upper trapezius yang akan di follow up pada 3 hari, 1 minggu, 4 minggu, dan 8 minggu setelah terapi.
Hasil: Kedua kelompok terdapat perbaikan intensitas nyeri, disabilitas, dan ANT yang bermakna pada 3 hari, 1 minggu, 4 minggu, maupun 8 minggu setelah terapi (p<0,001). Terapi ATB memiliki efektivitas yang lebih baik terhadap perbaikan intensitas nyeri pada 4 minggu (p=0,007) dan 8 minggu setelah terapi (p=0,004), penurunan skor NDI pada 8 minggu setelah terapi (p=0,004), dan peningkatan nilai ANT pada 4 minggu (p=0,04) dan 8 minggu setelah terapi (p=0,002) dibandingkan sham ATB.
Kesimpulan: ATB memperbaiki intensitas nyeri, disabilitas, dan ANT pasien nyeri miofasial otot upper trapezius.

Introduction: Myofascial pain characterized by myofascial trigger point (MTrP) is a common cause of musculoskeletal pain and the main cause of neck and shoulder pain in the working population, especially computer-related office work which is at higher risk due to repetitive movements, static body postures, and long periods in front of the computer, as well as increased use of handheld devices. If myofascial pain treatment fails to be carried out promptly, it can result in dysfunction, disability, and financial loss for the patient. Thread embedding acupuncture (TEA) is a new modality that can provide long-term stimulation to prolong the same therapeutic effect as conventional acupuncture. This study aimed to determine the effect of ATB therapy on pain scores, Neck Disability Index (NDI), and pressure pain threshold (PPT) in upper trapezius muscle myofascial pain.
Method: The research design in this study was a double-blind, randomized clinical trial. This study was attended by 44 research subjects divided into TEA group (n=22) and sham TEA group (n=22). Patients with latent MTrP in the upper trapezius muscle in both groups will receive once TEA therapy using CARA brand monofilament polydioxanone thread 29G x 50 mm or TEA sham (thread removed) at one TrP in the upper trapezius muscle which will be followed up on 3 days, 1 week, 4 weeks, and 8 weeks after therapy. Results: Both groups experienced significant improvements in pain intensity, disability, and PPT at 3 days, 1 week, 4 weeks, and 8 weeks after therapy (p<0.001). TEA therapy had better effectiveness in improving pain intensity at 4 weeks (p=0.007) and 8 weeks after therapy (p=0.004), NDI scores at 8 weeks after therapy (p=0.004), and PPT at 4 weeks (p=0.04) and 8 weeks after therapy (p=0.002) compared to sham ATB. Conclusion: TEA improves pain intensity, disability, and PPT for patients with myofascial pain in the upper trapezius muscle.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Notonegoro
"Pendahuluan: Obesitas dinyatakan sebagai suatu epidemik dan prevalensinya masih meningkat di negara ekonomi berkembang.  Kondisi obesitas dapat mempengaruhi hampir seluruh fungsi fisiologis tubuh dan menyebabkan ancaman signifikan terhadap kesehatan masyarakat.  Penanganan obesitas seringkali sulit dan membutuhkan biaya mahal.  Terapi farmakologi banyak memiliki efek samping.  Akupunktur sebagai salah satu terapi non-farmakologi telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam terapi obesitas.  Elektroakupunktur dan akupunktur tanam benang merupakan modalitas yang dapat digunakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efek terapi elektroakupunktur dengan akupunktur tanam benang PDO terhadap penurunan berat badan, lingkar pinggang, dan kadar leptin plasma pada pasien obesitas yang menjalani intervensi diet.
Metode: Desain penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar tunggal.  Sebanyak 34 subjek dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok elektroakupunktur dengan intervensi diet (EA) dan kelompok akupunktur tanam benang dengan intervensi diet (ATB). Pada kelompok EA, akupunktur dilakukan 3 kali seminggu. Sedangkan pada kelompok ATB, akupunktur dilakukan hanya 1 kali.  Berat badan dan lingkar pinggang diukur sebelum terapi, hari ke-3, 7, 14, 21, dan ke-28.  Sedangkan kadar leptin plasma diukur sebelum terapi dan hari ke-28.
Hasil: Terdapat penurunan yang bermakna pada rerata berat badan dan lingkar pinggang pada kedua kelompok sebelum dan setelah terapi (p < 0,001), serta penurunan kadar leptin plasma pada kelompok EA (p = 0,012) dan pada kelompok ATB (p = 0,001).  Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok baik terhadap selisih penurunan berat badan (p = 0,342), penurunan lingkar pinggang (p = 0,826), dan penurunan kadar leptin plasma (p = 0,784).
Kesimpulan: Elektroakupunktur dan akupunktur tanam benang PDO yang disertai intervensi diet memiliki efektivitas yang sama baiknya terhadap penurunan berat badan, lingkar pinggang, dan kadar leptin plasma pada pasien obesitas.  Akupunktur tanam benang memiliki efisiensi waktu dibandingkan dengan elektroakupunktur karena hanya dilakukan satu kali.

Introduction: Obesity is declared as an epidemic and its prevalence is still increasing in developing countries.  Obesity can affect almost all physiological functions of the body and create a significant threat to public health.  Treatment of obesity is often difficult and expensive.  Pharmacological therapy has many side effects.  Acupuncture as a non-pharmacological therapy has shown promising results in the treatment of obesity.  Electroacupuncture and thread embedding acupuncture are modalities that can be used.  The aim of this study was to analyze therapeutic effects of electroacupuncture  with PDO thread embedding acupuncture on weight loss, waist circumference, and plasma leptin levels in obese patients with dietary intervention.
Methods: This study design was a single blind randomized clinical trial. A total of 34 subjects were divided into 2 groups: electroacupuncture with dietary intervention group (EA) and thread embedding acupuncture with dietary intervention group (TEA).  In EA group, acupuncture was performed 3 times a week.  While in TEA group, acupuncture was performed only once.  Body weight and waist circumference were measured before treatment, on the 3rd, 7th, 14th, 21st, and 28th days. Meanwhile, plasma leptin levels were measured before treatment and on the 28th day.
Results: There was a significant decrease in body weight and waist circumference in both groups before and after treatment (p < 0.001), and also a significant decrease in plasma leptin level in EA group (p = 0,012) and TEA group (p = 0,001).  There was no significant difference between the two groups in term of weight loss (p = 0.342), waist circumference (p = 0.826), and plasma leptin levels (p = 0,784).
Conclusion: Electroacupuncture and PDO thread embedding acupuncture with dietary intervention have the same effectiveness in reducing body weight, waist circumference, and plasma leptin levels in obese patients.  However, thread embedding acupuncture has better time efficiency than electroacupuncture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanggoro Laka Bunawan
"Pendahuluan: Tukak lambung merupakan salah satu penyakit tersering pada saluran pencernaan yang mempunyai angka kekambuhan yang cukup tinggi. Penanganan tukak lambung seringkali sulit dan membutuhkan biaya mahal. Terapi farmakologi memiliki banyak efek samping. Akupunktur sebagai salah satu terapi non-farmakologi telah menunjukkan hasil yang baik dalam terapi dan sebagai protektif terhadap tukak lambung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan efek protektif elektroakupunktur dengan akupunktur tanam benang terhadap indeks ulkus lambung dan kadar serum Malondialdehyde (MDA) pada tukak lambung.
Metode: Penelitian dilakukan pada bulan November - Desember 2021 di Puslitbangkes Biomedik, Kementerian kesehatan Republik Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat. Desain penelitian adalah studi eksperimental dengan Randomized posttest design. 30 hewan coba tikus dibagi menjadi 5 kelompok: kelompok normal, kontrol tukak lambung (TL), omeprazole (OME), elektroakupunktur (EA) dan akupunktur tanam benang (ATB). Kelompok OME diberikan omeprazole oral 20 mg/kg dan EA pada ST36 Zusanli dan CV12 Zhongwan dengan frekuensi 2 Hz, intervensi pada OME dan EA dilakukan setiap 2 hari sekali selama 12 hari. Kelompok ATB 1 kali intervensi di hari pertama. Skor indeks ulkus lambung dan kadar serum MDA diukur setelah induksi tukak lambung dilakukan pasca 12 hari perlakuan. Semua hasil data diolah menggunakan SPSS versi 20.
Hasil: Skor indeks ulkus tidak berbeda bermakna antara kelompok EA dengan ATB (uji Mann Whitney, p = 0,523), namun skor indeks ulkus kelompok EA dan ATB lebih rendah bermakna dibandingkan kelompok TL (uji Mann Whitney, p < 0,05). Kadar serum MDA lebih rendah bermakna pada kelompok EA versus TL (uji post-hoc, p < 0,001) dan pada kelompok ATB versus TL (uji post-hoc, p < 0,05). Kelompok EA versus ATB, kadar MDA tidak berbeda bermakna (uji post-hoc, p = 1,000).
Kesimpulan: Elektroakupunktur dan akupunktur tanam benang memiliki efek protektif terhadap tukak lambung yang sama baiknya terhadap skor indeks ulkus lambung dan kadar serum MDA. Akan tetapi akupunktur tanam benang memiliki efisiensi waktu [sw1] dibandingkan dengan elektroakupunktur.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ainil Masthura
"Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu kondisi kembalinya cairan lambung ke esofagus. Terapi akupunktur tanam benang telah menjadi salah satu terapi yang digunakan untuk alternatif terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kadar Nitrit Oksida (NO) serum setelah terapi akupunktur tanam benang dan medikamentosa. Uji acak tersamar tunggal dilakukan pada 50 responden dengan GERD yang di bagi kepada kelompok akupunktur tanam benang dan medikamentosa dibandingkan dengan kelompok akupunktur sham dan medikamentosa. Pemeriksaan kadar NO menjadi parameter yang dinilai pada saat sebelum perlakuan dan 30 hari setelah 2 kali terapi dengan durasi 15 hari sekali.
Hasil penelitian menunjukkan terjadi kenaikan kadar NO pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok sham namun tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Kesimpulan penelitian ini akupunktur tanam benang belum terbukti secara statistik mempengaruhi kadar NO pada pasien GERD.

OksidaGastroesophageal reflux disease (GERD ) is a condition that causes the return of gastric fluid into the esophagus. Catgut embedding acupuncture has become one of the therapies used for alternative therapies. This study aimed to determine changes in serum Nitric Oxide (NO) levels after catgut embedding acupuncture therapy and conventional medicine. Single -blind randomized trials is used on 50 respondents with GERD were divided to group catgut embedding acupuncture therapy and conventional medicine compared with sham acupuncture group and medicine. The level of NO into the parameters assessed at the time before treatment and 30 days after treatment with 2 times the duration of 15 days.
The results showed increased levels of NO in catgut embedding acupuncture therapy and conventional medicine group compared with sham acupuncture group and medicine but there was no significant difference between the two groups. The conclusion of this study catgut embedding acupuncture has not been proven statistically in influencing the levels of NO in patients with GERD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edith Anggina
"Detrusor underactivity DU adalah berkurangnya kekuatan dan/atau durasi kontraksi yang mengakibatkan pengosongan kandung kemih yang memanjang atau inkomplit. Sebanyak enam pasien dengan diagnosis DU diinklusikan dalam penelitian ini. Akupunktur tanam benang dilakukan dengan menggunakan polydioxanone PDO yang ditusukkan di titik akupunktur BL33 dan CV3 dengan teknik penetrating needling. Akupunktur tanam benang dilakukan sebanyak satu kali. Transcutaneous tibial nerve stimulation TTNS dilakukan sebanyak 3 kali seminggu selama 4 minggu.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata volume berkemih sebelum 72,00 70,48 dan setelah 158,17 139,58 akupunktur tanam benang dan TTNS, p = 0,115, namun didapatkan peningkatan dengan rerata 86,17 110,80. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara nilai PVR sebelum 164,00 173,69 dan setelah 74,83 126,28 terapi, p = 0,151, namun didapatkan penurunan sebesar 89,17 129,07. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata Qmax sebelum 4,12 3,28 dan setelah 12,35 9,20 , p = 0,085, namun didapatkan peningkatan sebesar 8,23 9,41. Terdapat perbedaan bermakna antara skor kualitas hidup sebelum dan setelah terapi dengan p = 0,017.
Kesimpulan : akupunktur tanam benang dan TTNS dapat meningkatkan volume berkemih, menurunkan PVR, dan meningkatkan Qmax penderita DU, dan dapat memperbaiki kualitas hidup penderita DU secara signifikan.

Detrusor underactivity DU is a contraction of reduced strength and/or duration resulting in prolonged and/or incomplete bladder emptying. A total of six DU patients were included in this research. We did thread-embedding acupuncture by inserting polydioxanone PDO into BL33 and CV3 acupuncture points with penetrating needling techniques. Thread-embedding acupuncture was given once. Transcutaneous tibial nerve stimulation TTNS was given 3 times in a week during 4 weeks.
The results showed no significant differences between before and after treatment on voided volume 72,00 70,48 and 158,17 139,58, p = 0,115, but there was improvement with mean 86,17 110,80. There was no significant difference between before and after treatment on PVR 164,00 173,69 and 74,83 126,28, p = 0,151, but there was improvement with mean 89,17 129,07. There was no significant difference between before and after treatment on Qmax 4,12 3,28 and 12,35 9,20 , p = 0,085, but there was improvement with mean 8,23 9,41. There was significant difference between before and after treatment on quality of life scoring with p = 0,017.
Conclusion : thread embedding acupuncture and TTNS increase voided volume, and Qmax, decrease PVR, improve quality of life in in detrusor underactivity patients significantly
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Priscilla Mutiara Tjan
"Obesitas merupakan suatu keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan. Diperkirakan lebih dari 500 juta orang dewasa di seluruh dunia mengalami obesitas dan 1,5 miliar mengalami masalah kelebihan berat badan. Pada obesitas terdapat peningkatan jaringan adiposa dimana jaringan adiposa dapat mensintesis dan mensekresi sitokin pro-inflamasi seperti interleukin-6 (IL-6). Akupunktur telah lama dikenal sebagai salah satu terapi tambahan dalam menangani obesitas. Akupunktur dapat menurunkan respon inflamasi pada jaringan adiposa dengan menurunkan infiltrasi makrofag ke dalam jaringan adiposa pada obesitas sehingga jumlah makrofag yang merupakan sumber produksi adipokin pro-inflamasi menjadi lebih sedikit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi akupunktur tanam benang catgut dan intervensi diet terhadap perubahan kadar IL-6 dan indeks massa tubuh pada pasien obesitas. Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 36 pasien obesitas yang dialokasikan ke dalam kelompok akupunktur tanam benang catgut dan intervensi diet atau kelompok akupunktur tanam benang sham dan intervensi diet. Akupunktur tanam benang dilakukan 2 kali pada titik CV12 Zhongwan, ST25 Tianshu, CV6 Qihai, dan SP6 Sanyinjiao setiap 2 minggu. Kadar IL-6 dalam plasma darah dan indeks massa tubuh digunakan untuk mengukur keluaran penelitian. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan bermakna rerata kadar IL-6 awal dengan akhir dalam kelompok akupunktur tanam benang catgut (p = 0.01; 95% IK: 0.03 sampai 0.23) dan rerata selisih IMT lebih rendah 0.33 pada kelompok akupunktur tanam benang catgut dibandingkan dengan kelompok akupunktur tanam benang sham (p = 0.02; 95% IK: 0.05 sampai 0.61). Kesimpulan penelitian adalah terapi kombinasi akupunktur tanam benang catgut dan intervensi diet lebih efektif dalam menurunkan kadar IL-6 dan indeks massa tubuh pada pasien obesitas.

Obesity is a condition with abnormal fat accumulation or excessive adipose tissue so it can disturb our health. It is estimated that over 500 million adults worldwide are obese and 1.5 billion are having problems with overweight. In obese there is an increased adipose tissue which can synthesize and secrete pro-inflammatory cytokines such as interleukine-6 (IL-6). Acupuncture has long been known as an adjunctive therapy for obesity. Acupuncture can reduce inflammatory responses in adipose tissue by reducing macrophage infiltration into adipose tissue in obesity so that the number of macrophages, which are the source of production of proinflammatory adipokines become fewer. A double blind randomized controlled trial involved 36 obesity patients randomly allocated into catgut embedding acupuncture group with diet intervention or sham embedding acupuncture group with diet intervention. Catgut embedding therapy was given two times at CV12 Zhongwan, ST25 Tianshu, CV6 Qihai, and SP6 Sanyinjiao every two weeks. Interleukine-6 level in blood plasma and body mass index (BMI) is used to measure research output. There was a statistically significant difference within catgut embedding group with levels of IL-6 (p = 0.01; 95% CI: 0.03 to 0.23) and lower mean BMI difference of 12.33 in catgut embedding group compared with sham embedding group (p = 0.02; 95% CI: 0.05 to 0.61). The result suggest that acupoint-catgut embedding therapy combined with diet intervention is more effective in reducing IL-6 levels and BMI in obese patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>