Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120883 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Luhur Pribadi
"Latar belakang: Kondisi hipoksia masih merupakan potensi paling berbahaya pada saat terbang, dan berhubungan dengan angka kejadian kecelakaan pesawat baik saat latihan atau tugas operasi. Deteksi dini terhadap efek fisiologis hipoksia sangat penting untuk mencegah bencana dalam penerbangan sipil dan militer.1Saat ini ada beberapa penelitian mengenai efek fisiologi pada hipobarik hipoksia terutama di bidang vascular. Fungsi endotel perifer vaskular dapat dinilai melalui pengukuran fungsi vasomotor. Tes non-invasif untuk menilainya dapat menggunakan pemeriksaan flow mediated dilation (FMD). Sejauh belum ada penelitian yang mencari hubungan antara fungsi endotel pembuluh darah perifer terhadap hipoksia sebagai acuan awal deteksi dini faktor risiko terjadinya hipoksia hipobarik pada awak pesawat.
Tujuan: Untuk mengetahui manfaat pemeriksaan disfungsi endotel terhadap hipoksia hipobarik
Metode: Sebanyak 59 awak pesawat TNI AU yang melakukan pemeriksaan kesehatan berkala dan latihan uji latih hipoksia d LAKESPRA SARYANTO dilakukan pemeriksaan FMD kemudian dihubungkan dengan menggunakan uji statisik antara WSE dan FMD.
Hasil: Didapatkan proporsi yang mengalami disfungsi endotel sebesar 23.7 %. Sedangkan proporsi subjek dengan WSE yang tidak normal sebesar 32%.Tidak terdapat hubungan bermakna antara disfungsi endotel dengan WSE (p=0,357) dan nilai r = 0,111.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara disfungsi endotel dengan WSE.

Background: Hypoxia is still the most dangerous potential during flight, and is associated with the incidence of aircraft accidents both during training or operating duty. Early detection of physiological effects of hypoxia is very important to prevent mishap in civil and military flights. Currently there are several studies on the physiological effects of hypobaric hypoxia especially in the vascular. Vascular peripheral endothelial function can be assessed through measurement of vasomotor function. Non-invasive tests to assess can use flow mediated dilation (FMD). As far as there has been no research looking for a relationship between peripheral vascular endothelial function and hypoxia as an initial reference to early detection of risk factors for hypobaric hypoxia in aircrew
Objective: To determine the relationship between endothelial dysfunction examined by FMD against hypoxia with time of useful consciousness (TUC) parameters.
Methods: A total of 59 Indonesian Air Force crews conducting periodic medical examinations and hypoxic training in LAKESPRA SARYANTO were performed FMD examination and analyzed by correlation statistics between FMD and TUC.
Results: There was a proportion of 23.7% endothelial dysfunction. While the proportion of subjects with abnormal TUC was 32%. There was no significant relationship between endothelial dysfunction and TUC (p = 0.357) and r value = 0.111
Conclusion: There is no significant relationship between endothelial dysfunction and time of useful consciousness
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58739
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albertus Raditya Danendra
"Latar belakang: Hipoksia hipobarik seringkali terjadi pada orang yang terbiasa berada di tempat berketinggian rendah dan tiba-tiba berpindah ke tempat yang tinggi, seperti penerbang pesawat militer dan pendaki gunung. Kondisi hipoksia menginduksi stress oksidatif. Salah satu molekul yang dapat terdampak oleh stress oksidatif adalah protein, menyebabkan peningkatan kadar karbonil melalui proses karbonilasi protein. Otot rangka adalah jaringan yang sangat rentan mengalami stress oksidatif pada kondisi hipoksia, terutama yang melibatkan karbonilasi protein, mengingat kandungan protein dan kebutuhan oksigen yang tinggi pada jaringan tersebut. Peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh induksi hipoksia hipobarik intermiten terhadap kadar karbonil pada hewan coba tikus.
Metode: Sebuah penelitian eksperimental in vivo dilakukan dengan mengkondisikan empat kelompok tikus pada keadaan hipoksia hipobarik di dalam hypobaric chamber sebanyak satu kali (I), dua kali (II), tiga kali (III), dan empat kali (IV). Satu kelompok berperan sebagai kontrol. Musculus gastrocnemius semua tikus diambil untuk diukur kadar karbonilnya. Karbonil dimodifikasi oleh 2,4-dinitrofenilhidrazin (DNPH) sebelum diukur kadarnya dengan spektrofotometri. One-Way ANOVA digunakan untuk analisis data.
Hasil: Rata-rata kadar karbonil pada kelompok kontrol, I, II, III, dan IV secara berturut-turut adalah 2.801±0.1198, 3.909±0.3172, 5.577±0.3132, 3.823±0.3038, dan 3.731±0.2703 nmol/ml. Rata-rata kadar karbonil masing-masing kelompok I, II, III, dan IV berbeda signifikan (p < 0,05) dengan kelompok kontrol (kelompok yang tidak memperoleh paparan hipoksia hipobarik intermiten).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kadar karbonil yang signifikan antara musculus gastrocnemius tikus Sprague-Dawley yang diberi perlakuan hipoksia hipobarik intermiten dan yang tidak diberi perlakuan hipoksia hipobarik intermiten.

Introduction: Hypobaric hypoxia often occurs in people who are used to low altitudes and suddenly move to high places, such as military airplane pilots and mountain climbers. Hypoxic conditions induce oxidative stress. Oxidative stress can affect proteins, causing increased carbonyl levels through protein carbonylation. Skeletal muscle is susceptible to oxidative stress under hypoxic conditions, especially those involving protein carbonylation, given the high protein content and oxygen demand. We are interested in examining the effect of intermittent hypobaric hypoxia induction on carbonyl levels in rats.
Method: An in vivo experimental study was carried out by conditioning four groups of rats in a hypobaric hypoxic state in a hypobaric chamber once (I), twice (II), three times (III), and four times (IV). One group acted as control. Carbonyl content of gastrocnemius muscle of all rats was measured. The carbonyl is modified by 2,4-dinitrophenylhydrazine (DNPH) before its concentration is measured by spectrophotometry. One-Way ANOVA was used for data analysis.
Result: The average carbonyl content in the control group, I, II, III, and IV were 2.801±0.1198, 3.909±0.3172, 5.577±0.3132, 3.823±0.3038, and 3.731±0.2703 nmol/ml, respectively. The average carbonyl levels of each group I, II, III, and IV were significantly different (p < 0.05) with the control group (the group that did not receive intermittent hypobaric hypoxia exposure).
Conclusion: There was a significant difference in carbonyl levels between the gastrocnemius muscle of Sprague-Dawley rats treated with intermittent hypobaric hypoxia and those not treated with intermittent hypobaric hypoxia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Novia Putri
"ABSTRAK

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Salah satu komplikasi yang banyak ditemukan adalah neuropati perifer. Neuropati perifer menyebabkan perubahan pada biomekanik pasien sehingga terjadi keterbatasan mobilitas fisik yang dapat menurunkan kemampuan melakukan aktivitas fisik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati perifer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penghalang yang berhubungan dengan aktivitas fisik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati perifer. Penelitian ini merupakan penelitian analisis korelatif dengan desain cross sectional pada 77 orang sampel di Poliklinik Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu DKI Jakarta. Uji statistik yang digunakan untuk melihat hubungan dua variabel adalah chi square dan uji multivariat dengan logistik berganda untuk melihat faktor yang paling dominan. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan antara nyeri neuropati, sensasi kaki, dan deformitas kaki dengan aktivitas fisik jalan kaki dan peregangan statis. Malas dan pengetahuan berhubungan dengan aktivitas fisik peregangan statis pada responden, dimana malas merupakan faktor dominan. Sedangkan pengetahuan, status fungsional, dan rasa takut berhubungan dengan aktivitas fisik jalan kaki responden, dimana status fungsional merupakan faktor dominan. Aktivitas fisik jalan kaki dan peregangan statis merupakan jenis aktivitas fisik yang direkomendasikan pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan neuropati perifer, dimana jalan kaki merupakan aktivitas fisik yang paling banyak dilakukan pasien karena sederhana, tidak membutuhkan alat, mudah, dan dapat dilakukan kapan saja.


ABSTRACT

 


Diabetes mellitus is a chronic disease that can cause various complications. One of complication that commonly found is peripheral neuropathy. Peripheral neuropathy causes changes in the biomechanics, resulting limited physical mobility which can reduce the ability to perform physical activity in type 2 diabetes melitus patients with peripheral neuropathy. This study aimed to determine the barriers related to physical activity in type 2 diabetes mellitus with peripheral neuropathy. This study was a correlative analysis study with a cross sectional design in 77 people sampled at government hospital of Pasar Minggu Jakarta. The statistical test used to see the relationship between two variables is chi square and multivariate test with multiple logistics to see the most dominant factors. The results indicate that there is no relationship between neuropathic pain, foot sensation, and foot deformity with physical activity of walking and static stretching. Laziness and knowledge are related to the physical activity of static stretching, which laziness is the dominant factor. While knowledge, functional status, and fear are related to the physical activity of walking, which functional status is the dominant factor. Physical activity of walking and static stretching are type of physical activity that recommended in type 2 diabetes mellitus with peripheral neuropathy, where walking is a the most frequent of physical activity in patients as it is simple, no tools requirement,  easy, and can be done at any time.

 

"
2019
T53919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Jefry Ka`Arayeno
"ABSTRAK
Nama : Arie Jefry Ka rsquo;arayenoProgram Studi : Magister Ilmu Keperawatan Universitas IndonesiaJudul : Pengaruh Latihan Pernapasan Buteyko Terhadap Saturasi Oksigen Perifer Dan Arus Puncak Ekspirasi Pada Pasien Asma Asma sebagai penyakit jalan napas obstruktif dengan penyempitan jalan napas, cenderung diikuti dengan peningkatan laju pernapasan. Konsep dasar teori Buteyko adalah mengajarkan cara bernapas yang benar pada pasien asma. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi pengaruh latihan pernafasan Buteyko terhadap nilai saturasi oksigen perifer dan arus puncak ekspirasi pada pasien asma. Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen, pretest dan posttest dengan kelompok kontrol. Responden penelitian berjumlah 24 orang, terdiri dari 12 orang yang melakukan latihan pernapasan Buteyko pada kelompok intervensi dan 12 orang pada kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang bermakna terhadap arus puncak ekspirasi pada kelompok intervensi p value = 0.001 . Namun tidak terdapat pengaruh yang bermakna terhadap saturasi oksigen perifer p value = 0,082 . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latihan pernapasan Buteyko dapat diberikan sebagai terapi pelengkap, bagian dari perawatan pada pasien asma. Kata kunci: arus puncak ekspirasi, asma, buteyko breathing exercise, saturasi oksigen perifer

ABSTRACT
Name Arie Jefry Ka 39 arayenoStudy Program Master of Nursing Science, University of IndonesiaTitle Effect of Buteyko Breathing Exercises Against Peripheral Oxygen Saturation And Peak expiratory flow in patients with Asthma Asthma is a disease with obstructive airway constriction of the airway, tend to be followed by an increase in respiratory rate. The basic concept of the Buteyko theory is taught how to breathe correctly in asthma patients. The purpose of this study is to identify the Buteyko breathing exercises influence on the value of peripheral oxygen saturation and peak expiratory flow in patients with asthma. The research design is quasi experimental, pretest and posttest with control group. Respondents totaling 24 people, consisting of 12 people doing Buteyko breathing exercises in the intervention group and 12 in the control group. The results showed a significant effect on peak expiratory flow in the intervention group p value 0.001 . However, there is no significant effect on peripheral oxygen saturation p value 0.082 . The results of this study indicate that the Buteyko breathing exercises can be administered as complementary therapies, part of the treatment in patients with asthma.Keywords asthma, buteyko breathing exercise, peak expiratory flow, peripheral oxygen saturation"
2017
T49672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Nugroho Danang Puruboyo
"Latar belakang. Salah satu komplikasi paling umum dari diabetes mellitus (DM) adalah penyakit arteri perifer (PAD). Diperkirakan PAD mempengaruhi sebanyak 20% orang di atas 65 tahun. Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya PAD. Golongan darah merupakan faktor risiko yang dikatakan mempengaruhi keparahan PAD namun belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan golongan darah ABO dengan derajat keparahan PAD pada pasien DM tipe II.
Metode. Studi cross-sectional dilakukan pada pasien DM tipe II yang didiagnosis dengan PAD dan datang ke Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo, Indonesia selama periode Januari 2022 hingga Juni 2022. Diagnosis PAD didasarkan pada pengukuran indeks pergelangan kaki-brakialis. (ABI). Tingkat keparahan PAD dikelompokkan menjadi PAD ringan (ABI 0,7-0,9) dan PAD sedang-berat (ABI <0,7). Pasien dikategorikan menurut golongan darah ABO menjadi golongan darah O dan golongan darah non-O (A, B, dan AB).
Hasil. Sebanyak 366 subjek dilibatkan dalam penelitian ini (A = 108, B = 52, AB = 12, O = 194). Tidak ada perbedaan kejadian PAD pada pasien PAD golongan darah O dan non golongan darah O (p = 0,780). PAD lebih parah pada golongan darah non-O (p = 0,041). Faktor risiko PAD yang lebih berat adalah periode diabetes yang lebih lama (OR 10,325 (95% CI 5,108-20,871), p < 0,001) dan hipertensi (OR 4,531 (95% CI 1,665-
12,326), p < 0,003).
Kesimpulan. Golongan darah ABO tidak berhubungan dengan terjadinya PAD. Golongan darah non-O dikaitkan dengan PAD yang lebih buruk di antara pasien DM tipe II. Faktor risiko lain untuk PAD yang lebih parah adalah periode diabetes dan hipertensi yang lebih lama.

Introduction. One of the most common complications of diabetes mellitus (DM) is peripheral artery disease (PAD). It is estimated that PAD affects as many as 20% of people over 65 years. Many factors are associated with the occurrence of PAD. Blood type is a risk factor that is said to influence the severity of PAD but has not been widely studied. This study aims to evaluate the relationship between ABO blood group type and the severity of PAD in DM type II patients.
Method. A cross-sectional study was performed on DM type II patients who was diagnosed with PAD and came to Cipto Mangunkusumo National Hospital, Indonesia during the period of January 2022 to June 2022. The diagnosis of PAD was based on the measurement of ankle-brachial index (ABI). The severity of PAD was grouped into mild PAD (ABI 0.7-0.9) and moderate-severe PAD (ABI <0.7). The patients were categorized according to the ABO blood group into O blood type and non-O (A, B, and AB) blood type
Results. A total of 366 subjects were included in the study (A = 108, B = 52, AB = 12, O= 194). There was no difference of PAD occurrence in O blood type and non-O blood type PAD patients (p = 0.780). The PAD was more severe in non-O blood type (p = 0.041). The risk factors of more severe PAD were longer period of diabetes (OR 10.325 (CI95% 5.108-20.871), p < 0.001) and hypertension (OR 4.531 (CI95% 1.665-12.326), p
< 0.003).
Conclusion. The ABO blood type was not associated with the occurrence of PAD. The non-O blood type was associated with worse PAD among DM type II patients. Other risk factors of more severe PAD were longer period of diabetes and hypertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Rathariwibowo
"Kondisi kritis iskemia tungkai merupakan manifestasi dan stadium akhir penyakit arteri perifer (PAP) yang dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi bagi penderitanya. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kondisi kritis iskemia tungkai pada penderita PAP. Beberapa faktor tersebut diantaranya faktor usia, jenis kelamin, penyakit diabetes mellitus, hipertensi, kebiasaan merokok dan penyakit chronic kidney disease dengan tujuan agar pencegahan dan pelayanan terhadap pasien penderita PAP dapat ditingkatkan. Metode penelitian adalah studi potong lintang.
Hasil penelitian dengan analisis regresi logistik biner menunjukkan kejadian kondisi kritis iskemia tungkai pada penderita PAP berhubungan secara signifikan oleh faktor diabetes mellitus (OR=3,5; 95% CI=1,431-8,533), hipertensi (OR=2,62; 95% CI=1,064-6,442), dan kebiasaan merokok (OR=2,92; 95% CI=1,059-8,035). Usia, jenis kelamin, dan chronic kidney disease tidak berhubungan signifikan terhadap kondisi kritis iskemia tungkai pada penderita PAP.

Critical limb ischemia is the manifestation dan the last stage of perifer artery disease (PAD) which improves high risk of morbidity and mortality for its patient. Thus its needed to perform a research about factors related to critical limb ischemia in perifer artery disease’s patients, including age, gender, diabetes mellitus, hypertension, smoking habit, and chronic kidney disease in purpose to increase prevention and treatment satisfactory of PAD’s patients. The research method is cross-sectional study.
The result with binary logistic regression analysis shows that critical limb ischemia in PAD's patients significantly related by diabetes mellitus (OR=3,5; 95% CI=1,431-8,533), hypertension (OR=2,62; 95% CI=1,064-6,442), and smoking habit (OR=2,92; 95% CI=1,059-8,035). Age, gender, and chronic kidney disease are not significantly related to critical limb ischemia in PAD’s patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pujiwati
"Latar Belakang: Penyakit vaskular aterosklerotik merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pasien penyakit ginjal kronik PGK, terutama penyakit ginjal tahap akhir PGTA yang menjalani dialisis. Perbedaan potensial antara tindakan hemodilisis HD dengan Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis CAPD dapat memberi efek berbeda terhadap faktor risiko penyakit kardiovaskular PKV dan dalam mempengaruhi timbulnya PKV. Salah satu faktor yang mendorong timbulnya PKV pada pasien PGTA ialah retensi produk toksin uremik, di antaranya Beta-2 mikroglobulin b2M yang dihubungkan secara independen dan bermakna dengan PKV pada pasien aterosklerosis asimtomatik. Ketebalan tunika intima-media karotis KIMK merupakan petanda aterosklerosis pada pasien PGK.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kadar b2M serum dan KIMK antara pasien HD dibandingkan pasien CAPD, dan korelasi antara kadar b2M serum dengan KIMK.
Metode: Penelitian dilakukan secara potong lintang. Subjek adalah pasien PGTA yang rutin menjalani HD atau CAPD dan memenuhi kriteria penelitian, dilakukan pengumpulan data berupa karakteristik subjek, pemeriksaan fisik, pemeriksaan kadar b2M serum dan pemeriksaan KIMK dengan ultrasonografi. Dilakukan perbandingan rerata kadar b2M serum, rerata KIMK kanan, rerata KIMK kiri antara kelompok pasien HD dan CAPD dengan uji t tidak berpasangan dan uji Mann Whitney, serta uji korelasi Pearson antara kadar b2M serum dengan KIMK.
Hasil: Dari 62 subjek penelitian yang terdiri 36 pasien HD dan 26 pasien CAPD, didapatkan kadar b2M serum pasien HD lebih tinggi tetapi tidak bermakna p 0,167; IK95 2,041-11,508, KIMK kanan lebih tebal bermakna pada pasien CAPD p 0,006, KIMK kiri lebih tebal tetapi tidak bermakna p 0,770, dan tidak didapatkan korelasi antara kadar b2M serum dengan KIMK kanan maupun kiri r 0,085 p 0,514 ; r 0,082 p 0,529.
Kesimpulan: Kadar b2M serum tidak berbeda bermakna antara pasien HD dengan CAPD, KIMK kanan lebih tebal bermakna pada pasien CAPD, KIMK kiri tidak berbeda antara pasien HD dengan CAPD, tidak didapatkan korelasi antara kadar b2M serum dengan KIMK.

Background: Atherosclerotic vascular disease is a main cause of morbidity and mortality in chronic kidney disease patients, especially end stage renal disease undergoing dialysis. Potensial difference between hemodialysis HD and continuous ambulatory peritoneal dialysis CAPD treatment could have a different effect on cardiovascular risk factors and may differentially influence the risk of developing CVD. One of the risk factors can induce CVD is uremic toxin retention. Beta 2 microglobulin b2M is a middle molecule uremic toxin independently and significantly related to CVD in patients with asymptomatic carotid atherosclerosis. Carotid intima media thickness CIMT is a surrogate marker of atherosclerosis in chronic kidney disease patients.
Objectives: To know the difference of serum b2M level and CIMT in HD patients group compared to CAPD patients group, and to determine correlations between serum b2M level with CIMT.
Methods: We conducted a cross sectional study. Subjects were ESRD patients undergoing HD or CAPD which fulfilled study criteria were included in study. Data collection included subjects characteristics, physical examination, laboratory examination of serum b2M level, and measurement of CIMT by Doppler ultrasound. We used non pair student t test and Mann Whitney test to compare the mean of serum b2M level and the mean of left and right CIMT between HD group and CAPD group, and Pearson correlation test to serum b2M level and CIMT.
Results: Of 62 subjects, consisted of 36 HD patients and 26 CAPD patients, we found non significant higher serum b2M level in HD patients p 0,167 95 CI 2,041 11,508, significant thicker right CIMT in CAPD patients p 0,006, non significant thicker left CIMT in HD patients p 0,770, and there was no correlation between serum b2M level with right or left CIMT r 0,085 p 0,514 r 0,082 p 0,529.
Conclusions: Serum b2M level was not significant different between HD and CAPD patients, right CIMT was thicker in CAPD patients, left CIMT was not different between HD and CAPD patients, and no correlation between serum b2M level and CIMT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronica Galih Gunarsih
"Latar belakang : Hipoksia merupakan bahaya potensial dalam penerbangan. Waktu sadar efektif (WSE) merupakan waktu ketika seorang penerbang atau awak pesawat mulai terpajan hipoksia sampai sebelum mengalami inkapasitansi. Selama rentang waktu tersebut seorang penerbang dapat membuat keputusan atau tindakan yang tepat. Hemoglobin sangat berpengaruh terhadap saturasi O2 yang menentukan oksigenasi jaringan tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi WSE yaitu pada calon dan awak pesawat militer di Indonesia.
Metode: Desain penelitian dengan potong lintang, pengambilan sampel secara purposif. Data diambil dari hasil pelaksanaan Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) di Lakespra Saryanto selama Januari-Mei 2014. Subyek penelitian adalah calon dan awak pesawat militer. Lama WSE diperoleh dengan demonstrasi hipoksia dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR) pada simulasi ketinggian 25000 kaki. Nilai kesamaptaan jasmani ditentukan dengan VO2maks. Analisis regresi linier digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko WSE.
Hasil: Calon dan awak pesawat militer yang melaksanakan ILA sebanyak 183 orang. Duapuluh lima subyek dikeluarkan karena tidak melaksanakan demonstrasi hipoksia di RUBR atau uji latih jantung, 158 subyek memenuhi kriteria inklusi. Faktor dominan yang memperpanjang WSE adalah Hb, sedangkan yang mempersingkat adalah IMT dan umur. Setiap 1 g/dL Hb menambah WSE 14,7 detik [koefisien regresi (β) = 14,677 ; p = 0,010].
Simpulan: Kenaikan IMT 1 kg/m2 mengurangi WSE 3,3 detik [β = -3,274; 95% interval kepercayaan (CI) = -8,287;1,738 ; p = 0,199]. Penambahan umur 1 tahun mengurangi WSE 3,9 detik (β = -3,917; p = 0,000).

Background: Hypoxia is potential hazard in aviation. Time of useful consciousness (TUC) is time during when a pilot or aircrew exposed hypoxia before experiencing incapacitation. During the span of time, a pilot can make the right decision or action. Haemoglobin (Hb) influences the oxygen saturation that determines oxygenation of the body tissue. This study aims to identify the factors affect WSE on candidates and military aircrew in Indonesia.
Methods: Study designed was cross sectional with purposive sampling. Data taken from the result of Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) in Lakespra Saryanto Jakarta during January to May 2014. Research subjects were candidates and military aircrews. Time of useful consciousness was obtained from hypoxia demonstration in hypobaric Chambers at 25000 feet altitude simulation. The value of physical fitness was determined by VO2max. Linear regression analysis was used to identify risk factors of TUC.
Results: Candidates and military aircrew carried out the ILA were 183 persons. Twenty-five subjects were excluded because of not carried out hypoxia demonstration in hypobaric chamber or treadmill test. The dominant factors that extend TUC were Hb. while shortening were BMI and age. Each 1 g/dL Hb extend TUC 14.7 seconds [regression coefficient (β) = 14.677 ; p = 0.010]. Increasing BMI of 1 kg/m2 shorten TUC 3.3 seconds [(β) = -3.274; 95% confidence interval (CI) = -8.287;1.738 ; p = 0.199]. Addition of age 1 year shorten TUC 3.3 seconds (β= -3.917 ; p = 0.000).
Conclusion: Increasing Hb extends TUC, while gain BMI and addition age shorten TUC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Faisal Habib
"Latar Belakang: Perempuan dengan preeklampsia memiliki resiko tinggi terhadap penyakit kardiovaskuler 5-15 tahun pasca kehamilan. Disfungsi endotel diperkirakan menjadi patogenesis manifestasi klinik preeklampsia dan penghubung antara preeklampsia dan kejadian kardivaskular setelah kehamilan. Nilai flow mediated vasodilation (FMD) dari arteri brakhialis pada sebagian subset preeklampsia tetap rendah 3-10 tahun pasca-melahirkan. Proteinuria pada preeklampsia secara etiologi juga berhubungan dengan disfungsi endotel glomerulus. Namun, tidak seperti pada populasi hipertensi dan diabetes mellitus, sampai saat ini belum diketahui bagaimana korelasi antara nilai proteinuria dengan nilai FMD pada populasi preeklampsia.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan/korelasi antara proteinuria terhadap nilai FMD pada preeklampsia sebelum dan sesudah melahirkan.
Metode: Studi prospektif dilakukan di tiga rumah sakit. Subyek preeklampsia yang akan diterminasi dan sesuai kriteria inklusi dan eksklusi diperiksa nilai FMD dan rasio protein-kreatinin urinnya (RPKU) sebelum melahirkan, 48-72 jam setelah melahirkan dan pasca-nifas. Data kemudian diolah dengan analisis bivariat dan multivariat untuk mengetahui korelasi antara rasio protein-kreatinin urin dengan nilai FMD dan perubahannya sebelum dan setelah melahirkan.
Hasil Penelitian: Sebanyak 30 perempuan preeklampsia diikutsertakan dalam penelitian ini. Rerata nilai FMD sebelum melahirkan, 48-72 jam pasca-melahirkan dan follow up pasca-nifas adalah 5.46 ± 0.27 ,, 6.10 ± 0.35 dan 8.14 ± 2.48 ( p <0.001). Ditemukan 40 % subyek masih dengan FMD < 7 saat pemeriksaan pasca-nifas (40-60 hari). Uji korelasi bivariat menunjukkan korelasi dengan arah negatif yang kuat antara proteinuria (RPKU) pasca-nifas dengan nilai FMD pascanifas (r= -0.73, p <0.001) , dan nilai RPKU sebelum melahirkan berhubungan dengan rendahnya FMD pasca-nifas dan perubahan (delta) FMD sebelum-sesudah melahirkan. Tidak diperoleh korelasi bermakna antara proteinuria dan nilai FMD sebelum melahirkan. Analisis multivariat dengan regresi linier membuktikan korelasi yang independen antara proteinuria dan nilai FMD pasca-nifas dan delta FMD.
Kesimpulan: Studi ini menegaskan korelasi yang kuat yang arahnya negatif antara nilai proteinuria pasca-melahirkan dengan nilai flow mediated dilation pasca melahirkan pada subyek preeklampsi dan semakin tinggi nilai proteinuria sebelum melahirkan berhubungan dengan rendahnya perubahan FMD sebelum dan sesudah melahirkan.

Background: Endothelial dysfunction was associated with both of the predisposition of preeclampsia and the later development of vascular disease. Flow mediated dilation (FMD) was reduced in preeclamptic women and persist after delivery in several cases. Proteinuria in preeclampsia was also a manifestation of endothelial dysfunction in kidney, but there was no data untill now showing the correlation of FMD and the level of proteinuria in preeclamptic woman.
Objectives: To asses the correlation between urine protein-creatinine ratio and flow mediated dilation (FMD) before and after delivery in preeclamptic women.
Methods: Women with a diagnosis of preeclampsia and planned for termination were enrolled for the study. History of hypertension before 20 weeks of gestation, diabetes mellitus, chronic kidney disease became exclusion criterias. The FMD was studied through the use of high resolution vascular ultrasound examination of brachial artery for 3 times; before delivery, 48-72 hours after delivery and 40-60 days after delivery. Urine protein-creatinine ratio (UPCR) was measured twice; prior to delivery and 40-60 days after delivery. Correlation between them was then evaluated.
Results: Thirty patients were enrolled in this study. The mean ages was 29.5±6,4 years old. FMD was improved after delivery, 5.46 ± 0.27 % (before delivery) & 8.14 ± 2.48 % ( p <0.001) 40-60 days after delivery. Bivariates analysis showed that after delivery, there was an inverse correlation between UPCR with FMD (r=0,735 p<0,0001). UPCR prior to delivery also has inverse correlation with FMD after delivery (r= -0.55.p=0.002) and with the change of FMD before and after delivery (r= -0.45 with p =0.01). Multivariate analysis showed that correlation between UPCR after delivery with FMD after delivery was independent.
Conclusion: This study demonstrated there was a moderate-strong correlation between urinary protein prior and after delivery with flow mediated vasodilatation of brachial artery after delivery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andre Iswara
"ABSTRAK
Gangguan saraf fasialis prefer unilateral merupakan suatu gangguan pada saraf fasialis akibat kelumpuhan otot sebagian atau seluruh wajah. Dalam menangani kasus saraf fasialis perifer unilateral, setiap klinisi dapat menggunakan beberapa modalitas pemeriksaan seperti pemeriksaan motorik sistem Freyss, House-Brackmann, uji topognostik (schirmer, refleks stapedius, gustatometri) dan pemeriksaan elektrofisiologis (kecepatan hantaran saraf, refleks blink, jarum EMG) dalam menentukan derajat kerusakan saraf dan letak lesi berdasarkan onset, derajat kerusakan saraf dan etiologi dalam membantu menegakkan diagnosis dan memperkirakan prognosis. Sangat penting dalam menyampaikan informasi yang tepat dan efektif antar klinisi mengenai keadaan saraf fasialis yang mengalami paresis saraf fasialis dalam menentukan tatalaksana selanjutnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif cross-sectional dengan pengambilan subjek penelitian secara consecutive sampling di poliklinik Neurotologi THT dan poliklinik EMG Neurologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Agustus 2012 sampai dengan Mei 2013 dan didapatkan sebanyak 44 subjek penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna dan kesesuaian yang cukup (Kappa R =0,5, p<0,05) pada 32 subjek penelitian dengan onset lama dengan derajat kerusakan sedang dan berat antara pemeriksaan motorik sistem Freyss, House-Brackmann dengan pemeriksaan elektrofisiologis. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna dan kesesuaian yang baik (Kappa R=0,011, p=0,935) dalam menentukan letak lesi antara pemeriksaan uji topognostik dengan pemeriksaan elektrofisiologis. Tiga belas subjek penelitian tidak dapat ditentukan letak lesi berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologis pada onset kronis dengan derajat kerusakan sedang dan berat sedangkan pemeriksaan uji topognostik mampu menentukan letak lesi pada onset akut maupun kronis. Untuk daerah-daerah yang tidak memiliki modalitas pemeriksaan elektrofisiologis, pemeriksaan motorik sistem Freyss dan House-Brackmann dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis.

ABSTRACT
Unilateral peripheral facial nerve palsy is a disturbance in facial nerve caused by partial or complete muscle paralysis. Clinician can use multiple examination modality such as Freyss system, House-Brackmann, topognostic test (schirmer, stapedius reflex, gustatometry) and electrophysiology (nerve conduction velocity, blink reflex, EMG needle) to establish diagnosis and prognosis. It is very important to deliver right and effective information between clinician about facial nerve condition and paralysis to determine further management. Achieve conformity between Freyss system, House-Brackmann, topognostic study and electophysiologic examination in diagnosis and prognosis. This study used descriptive cross-sectional method by taking study subject with consecutive sampling in Neurotology division of ENT department and EMG division of Neurology Department outpatient-clinic and 44 study subjects.
According to study result, there is significance and conformity (Kappa R =0,5, p=0,005) for 32 subjects late onset with detriment degree moderate severe between motoric examination Freyss, House-Brackmann and electrophysiologic examination. In this study there is no significanceand conformity (Kappa R=0,011, p=0,935) between determining lesion site between topognostic test and electrophysiology examination. Thirteen study subjects could not be determined for lesion site, due to chronic onset with moderate severe damage by electrophysiology examination, whereas topognostic test can determine lesion site in acute nor chronic onset. In region without facility for electrophysiologic examination, Freyss and House-Brackmann motoric system can be used in establishing diagnosis and determining prognosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>