Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 119994 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bella Islamia
"Krisis kemanusiaan yang terjadi pada Rohingya adalah suatu bentuk pengabaian HAM dikarenakan penegakan kedaulatan. Kedaulatan dijadikan alasan untuk menunda HAM terutama terhadap kasus Rohingya, padahal HAM ialah suatu bentuk kesegeraan. Kegentingan isu Refugee selalu berbenturan dengan kedaulatan. HAM akan selalu terancam jika kedaulatan terus menjadi prioritas. Formalitas dasar negara dapat mengusik hak asasi manusia. Penghilangan hak atas Rohingya adalah hasil campur tangan kedaulatan. Metode fenomenologi Arendtian digunakan untuk dapat menganalisis krisis HAM yang menimpa Refugee. Rohingya tercabut hak asasi manusianya karena keluar dari komunitas atau negara. Penelitian ini juga menggunakan pemikiran Kwame Appiah untuk menjelaskan konsep rekognisi Etnis. Rohingya sebagai solusi dan rekomendasi dari kelanjutan teori Arendt. Multikulturalisme Appiah yang merupakan penerimaan akan hak orang asing, berguna untuk menerima perbedaan. Artikel ini adalah kritik terhadap kendurnya jaminan hak asasi warga negara. Dipertentangkanya HAM dengan kedaulatan menyebabkan prevalensi pelanggaran terhadap HAM tersebut.


The humanitarian crisis that occurs in the Rohingya is a form of human rights neglect due to the enforcement of sovereignty. Sovereignty was used as an excuse to delay human rights, especially in the Rohingya case, even though human rights were a form of immediacy. The issue of Refugee always clashes with sovereignty. Human rights will always be threatened if sovereignty continues to be a priority. Basic state formalities can interfere with human rights. The removal of rights to the Rohingya is the result of interference from sovereignty. The Arendtian phenomenology method is used to be able to analyze the human rights crisis that befell Refugee. Rohingyas human rights are deprived of being out of the community or country. This study also uses Kwame Appiahs thoughts to explain the concept of Ethnic recognition. Rohingya as a solution and recommendation from the continuation of Arendts theory. Appiah multiculturalism, which is the acceptance of the rights of foreigners, is useful for accepting differences. This article is a criticism of the slackness in guaranteeing the rights of citizens. The opposition of human rights to sovereignty caused the prevalence of violations against human rights."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Steven UN
"Tesis ini membahas tentang relasi komplementer kedua dimensi. Dalam pemikiran Arendt, terdapat dimensi universal hak asasi manusia antara lain pembelaan kepada martabat manusia, kondisi manusia, aksi, initium dan kebebasan. Sementara dimensi partikular nyata melalui penekanan terhadap adanya komunitas politik tertentu sebagai penjamin terlaksananya hak asasi universal. Gagasan inti Arendt adalah hak untuk mempunyai hak-hak. Hak untuk berada dalam komunitas politik tertentu yang menjamin terlaksananya hak-hak asasi universal.

The focus of this study is on the complementary relationship between two dimensions. In the thought of Arendt, there is a universal dimension of human rights such as human dignity, human condition, action, initium, and freedom. Particular dimension in the thought of Arendt such as the emphasizing on the political community as the guarantee of the application of the universal human rights. Core idea of Arendt is a right to have rights. A right to join a political community is the way to run the universal human rights.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T41720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marieta Nurnissa
"Hak asasi manusia dianggap sebagai hak yang inheren dan tidak dapat diambil secara sewenang-wenang. Namun, kenyataannya seringkali hak tersebut dirampas dari mereka yang tidak dianggap sebagai warga negara di suatu negara. Stateless persons sebagai sekumpulan individu yang tidak diakui oleh negara manapun seringkali mengalami pelanggaran atas hak asasi manusianya serta tidak mendapatkan perlindungan dari negara tempat mereka tinggal. Salah satu contoh stateless persons ialah kaum etnis Rohingya yang dianggap sebagai the most persecuted ethnic minority in the world. Skripsi ini menganalisis berbagai hak asasi manusia bagi stateless persons, khususnya kaum Rohingya; seperti hak untuk memiliki kewarganegaraan; serta tanggapan dari pemerintah Myanmar dan masyarakat internasional atas krisis tersebut. Kesimpulan yang diperoleh ialah hak asasi manusia yang paling utama bagi kaum etnis Rohingya ialah hak untuk memiliki kewarganegaraan sebagai the right to have rights. Namun, terlepas dari tidak adanya status warga negara tersebut, penegakan atas hak asasi manusia bagi kaum etnis Rohingya sebagai hak yang inheren tetap harus dijalankan.

Human rights are considered inherent and cannot be arbitrarily deprived from one individual. However, the fact shows that many individuals are still arbitrarily deprived from their rights. Stateless persons, as certain individuals who are not considered as a citizen by the country they currently residing in, often experience the violation of their human rights and are not bound to any protection. One of the examples is the ethnic community of Rohingya whom UN considered as the most persecuted minority ethnic in the world. This thesis addresses the problem of human rights of stateless persons, especially the Rohingyas such as the right to nationality also, responses from the Myanmar government and the international community. The conclusion of the thesis is that the main right that should be given to the Rohingyas is the right to nationality, as the right to have rights. Nevertheless, despite of their status as stateless persons, their inherent human rights as human beings should still be enforced.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The rediscovery of Arendt's 1929 disertation, Der Liebesbegriff bei augustin, forces a modification of the standard of interpretation of arendt's relationship both to the Cristian philosophic tradition and to Martin Heidegger...."
300 RJES 14:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia, translator
"Konsep pengampunan dimulai dari pemikiran Yesus dari Nazareth, pengampunan ini disebut sebagai pengampunan murni. Dari konsep pengampunan murni ini dikembangkan lagi menjadi pengampunan tanpa logika bersyarat model Jacques Derrida dan pengampunan dengan logika bersyarat model Hannah Arendt. Pengampunan tanpa logika bersyarat berusaha menghilangkan Tuhan dalam konsep pengampunannya dan melandaskan diri pada hak korban. Pengampunan dengan logika bersyarat yang berdasarkan pada kesalahan yang terampuni yang bersumber pada hukum. Teori pengampunan Arendt dilandaskan pada lima konsep penting yakni konsep tentang waktu, cinta, kesalahan, penyesalan, dan pembalasan. Fenomenologi pengampunan Arendt dielaborasi dari kelima konsep tersebut, yakni pembahasan tentang peranan beban masa lalu, kemampuan manusia untuk memaafkan, konflik internal dalam proses pengampunan, penghalang proses pengampunan, dan apakah pengampunan itu hak korban atau hukum. Teori pengampunan Arendt merupakan wujud dari tindakan memaafkan yang berarti suatu tindakan melupakan efek buruk dari kesalahan yang wajar dapat diperbuat manusia dalam kesehariannya. Dalam pengampunan Arendt, relasi yang mutlak ada adalah relasi penyesalan, pengampunan, dan pembalasan. Suatu relasi yang harus ada agar pengampunan itu dapat terjadi, dan tidak mutlak ada dalam pengampunan tanpa logika bersyarat. Pengampunan Arendt terjebak dalam perang antara pikiran dan perasaan, karena ia mencoba menggeneralisasikan persoalan pengampunan dari sesuatu yang bersifat universal absolut ke dalam bentuk yang partikural plural. Konsep pengampunan dengan menggunakan logika bersyarat tidak akan pernah tuntas menyelesaikan persoalan pengampunan, karena mengurangi makna pengampunan itu sendiri. Tindakan memaafkan hanya bisa dilakukan jika sejumlah syarat-syarat yang ada di dalamnya terpenuhi. Bila persyaratan itu tidak terpenuhi, maka pengampunan itu tidak bisa dijalankan. Ini yang menjadi persoalan yang tidak terselesaikan sewaktu menggunakan logika bersyarat dalam pengampunan. Pengampunan harus dilepaskan dari otoritas Tuhan, dogma agama, ataupun hukum yang berlaku. Pengampunan adalah hubungan personal antara pelaku dan korban. Orang-orang yang berada di luar itu tidak bisa turut campur. Memberikan dan menerima pengampunan bukan merupakan perkara mudah. Baik memberi dan menerima, keduanya memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Karena itulah, pengampunan harus dikembalikan pada domain privat masing-masing orang. Dengan begitu, pengampunan tadi dapat dilaksanakan dengan lebih baik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S16011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Politic is not a simple word. Aristotle identifies it with human togetherness. In line with this identification, Hannah Arendt suggests that politics is not a kind of dominating actions, but the way in which the human beings promote freedom of actions in the public sectur. The essence of politics, then is communication. In this line of thought, power can be understood as one' ability to act/behave with and within others / in togetherness with others on base of a given mandate."
300 RJES 14:1 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Skripsi ini berusaha memaparkan pada pembaca mengenai salah satu tema dalam sekian banyak buah pikiran Hannah Arendt. Berada dalam proses yang bertujuan untuk memahami pemikiran Hannah Arendt, menjadikan penulis sadar bahwa kebernasan pemikiran perempuan ini tidak tegak diatas satu argumen tunggal, tidaklah terbentang tanpa lipatan, linear, walaupun berwujud naratif yang mesra dan penuh kasih. Namun dibalik kerumitan tersebut, paling tidak ada hal yang dapat penulis cerna, yaitu kekritisannya terhadap realitas alam politik serta kepedulian optimistiknya akan masa depan manusia. Lebih lanjut dapat ditelaah upaya Hannah Arendt (yang dibentengi oleh keyakinannya) untuk menyingkapkan mekanisme tersembunyi dalam sejarah yang menjadikan alam politik (serta keseluruhan peradaban modern) kehilangan nilai-nilai khasnya, sehingga tidak dapat dipahami dan menjadi tidak berguna bagi kehidupan manusia, disamping tentunya sederet malapetaka kemanusian yang telah tercatat. Dalam bukunya The Human Condition, perempuan ini menarnpilkan sebuah refleksi berkenaan dengan alam politik, dunia publik, dan beberapa kekuatan yang menghancurkan kehidupan manusia modern (yang terkandung dalam nilai modemitas itu sendiri). Ia menyelami menentang arus pelupaan dan mengangkat apa yang dikatakannya sebagai nilai-nilai yang pemah hilang, seperti keniscayaan natality dan keagungan dari action. Tetap yang menjadi agenda utamanya adalah mengedepankan kebebasan sebagai kebutuhan kemanusiaan manusia, dalam kerangka politik sebagai sarana untuk mewujudkan kebebasan dalam keseharian, dan sekaligus menjaganya dari ancaman kehancuran yang terkandung dalam praktek-praktek anti-politik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S16085
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahdityo Jati Endarji
"ABSTRAK
Melalui kerangka pikir Chantal Mouffe dalam teori politiknya, yang
mengonsepkan kondisi masyarakat sebagai bentuk pluralisme yang tidak dapat
terhubung satu sama lain ke dalam sebuah kesepakatan dan kesamaan, pluralisme
radikal, berkonsekuensi pada tidak mungkin tercapainya sebuah bentuk ruang
publik Hannah Arendt yang bersifat asosiatif mampu mengakomodir suatu tujuan
kolektif.

ABSTRACT
Through Chantal Mouffe framework in her political theory, which conceptualized
the condition of society as pluralism form that can not be connected to each other
into an unanimity and similarity, radical pluralism. As a consequence, Hannah
Arendt’s concept of public realm form which are associative and able to
accomodate a collective goal is impossible."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S55949
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chicago : The University of Chicago Press, 1995
809.933 5 IDE (1);809.933 5 IDE (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Setiawan
"Penelitian tugas akhir ini bertujuan untuk mengintegrasikan konsep action dari filsafat politik yang digagaskan oleh seorang filsuf asal Jerman bernama Hannah Arendt dengan teori keadilan prosedural. Tujuan dari penulisan tugas akhir ini yaitu guna menciptakan pemahaman yang lebih komprehensif tentang keadilan prosedural. Latar belakang tulisan ini berangkat dari ketertarikan penulis untuk mempertanyakan kembali hakikat dari implementasi keadilan prosedural. Konsep yang relevan dalam perspektif filsafat politik Hannah Arendt membantu pembaca untuk memahami lebih dalam keberadaan dari teori keadilan prosedural. Analisis filosofis terhadap konsep Action Arendt dapat menawarkan perspektif baru untuk memperkuat otonomi individu. Penguatan prinsip keadilan prosedural menggunakan teori filsafat Hannah Arendt memungkinkan pembentukan sistem politik yang lebih harmonis, yang mampu mengakomodasi kebutuhan akan partisipasi aktif dan tanggung jawab dalam prosedur keadilan yang adil. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengeksplorasi bagaimana kedua domain tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi dalam menciptakan struktur politik yang adil dan dinamis.

This article aims to integrate the concept of action from the political philosophy argued by a German philosopher named Hannah Arendt with the theory of procedural justice. The purpose of writing this final assignment is to create a more comprehensive understanding of procedural justice. The background of this writing starts from the author's interest in re-questioning the authenticity of the implementation of procedural justice. A relevant concept is present in the theory of procedural justice in order to understand more in-depth relevance of the Theory of Procedural Justice, through the perspective of Hannah Arendt's political philosophy. A philosophical analysis of the concept of Action Arendt can offer a new perspective to strengthen the autonomy of the individual. The research uses qualitative research methods to explore how the two domains are interrelated and interact in creating a just and dynamic political structure."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>