Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143042 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Desy Angraini
"Black Panther (2018) adalah film superhero kulit hitam pertama dari Marvel Cinematic Universe yang dijadikan sebagai momentum untuk selebrasi kebudayaan orang kulit hitam dengan cara menampilkan kehebatan dan superioritas mereka. Berdasarkan film Hollywood sebelumnya, orang kulit hitam selalu digambarkan dengan cara yang negatif, disaat orang kulit putih digambarkan dengan cara yang lebih positif. Dengan menggunakan konsep supremasi kulit putih dari Leonardo (2004), konsep imperialisme dari Narayan dan Huggins (2017), dan juga konsep kolonialisme dari Emerson (1969), penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana ide-ide supremasi orang kulit putih digambarkan dalam film Black Panther. Dalam penelitian ini ditemukan bagaimana ide-ide dari supremasi orang kulit putih digunakan dalam film Black Panther sebagai selebrasi orang kulit hitam, pada awalnya hal tersebut dikritisi oleh film ini. Penelitian ini berkontribusi untuk studi kebudayaan orang kulit hitam, khususnya dalam kritik terhadap supremasi kulit putih dalam film kulit hitam dengan menunjukan bagaimana dan mengapa hal ini bermasalah.

Black Panther (2018) is the first black superhero film from Marvel Cinematic Universe that was
used as a momentum to celebrate black culture by showing the greatness and superiority of black people. Throughout previous Hollywood films, Black people were usually portrayed negatively, while White people would be depicted more positively. Using Leonardos (2004) method of white supremacy, Narayan and Hugginss (2017) method of imperialism, and Emersons (1969) method of colonialism, this research aims to analyse how white supremacy ideas reflected in Black Panther. The finding of this research is that Black Panther used the ideas of white
supremacy to celebrate black culture, which at first had been criticized by this film. This research contributes to black culture studies on criticisms towards white supremacy in black films by showing how and why this issue is problematic.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Eka Febriana
"Film merupakan sebuah media penyampaian pesan yang dapat membentuk dan mempengaruhi khalayak berdasarkan muatan pesan yang terkandung di dalamnya. Salah satu tujuan dalam pembuatan sebuah film ialah merepresentasikan kejadian-kejadian yang ada di dunia nyata dengan menyelipkan ideologi dari para pembuatnya, seperti halnya dengan film Black Panther. Menggunakan metode studi literatur, tulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana representasi kelompok kulit hitam yang terdapat dalam film Black Panther. Representasi tersebut dapat dilihat dari segi budaya, bahasa (aksara) dan identitas dari kelompok mereka. Tulisan ini juga menjelaskan bagaimana identitas dari kelompok mereka yang ditampilkan dalam film dan kehidupannya di dunia nyata, serta persepsi dari masyarakat dunia mengenai kulit hitam itu sendiri.

Film is a medium for delivering messages that can shape and influence audiences based on the messages that contained in them. One of the goals in making a film is to represent the events that exist in the real world by using the value of the ideology of the makers, such as discussing the film Black Panther. Using the literature study method, this paper is intended to see how the representation of black skin in the Black Panther film. The representation can be seen in terms of culture, language (script) and the identity of their group. This paper also explains how the identities of their groups are involved in film and life in the real world, as well as peoples perceptions of blacks themselves."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ra'idah Azyyati Fauziyah
"Tesis ini mengkaji dua film produksi Hollywood, The Great Wall (2016) dan Doctor Strange (2016), yang memperlihatkan gejala supremasi kulit putih di dalamnya. Untuk mengkaji kedua film sebagai teks, tesis ini menggunakan pendekatan cinema studies yang menganalisis aspek naratif dan sinematografis (Boggs & Petrie, 2008). Selanjutnya, digunakan teori semiotik struktural dari Roland Barthes untuk membaca simbol-simbol yang mendukung penghadiran supremasi kulit putih dalam teks. Penelitian ini menunjukkan bahwa logika cerita dibentuk melalui peristiwa-peristiwa penting dalam teks yang memperlihatkan keunggulan tokoh kulit putih. Penokohan tampak di dalam teks melalui konstruksi tokoh kulit putih yang hadir secara dominan dalam tataran peristiwa dan interaksi dengan tokoh lainnya. Tempat-tempat yang dihadirkan di dalam kedua teks tidak sekadar menjadi latar yang melengkapi unsur naratif film, tapi berperan pula sebagai ruang ideologis yang memperlihatkan dominasi tokoh kulit putih. Sementara itu, simbol-simbol dan objek-objek dominan yang hadir di dalam teks dapat dibaca sebagai penanda supremasi kulit putih. Supremasi kulit putih menjadi ideologi teks The Great Wall dan Doctor Strange.

This thesis examines two Hollywood films, The Great Wall (2016) and Doctor Strange (2016), which show symptoms of white supremacy in them. To study the two films as texts, this thesis uses a cinema studies approach which analyzes narrative and cinematographic aspects (Boggs & Petrie, 2008). Next, Roland Barthes' structural semiotic theory is used to read symbols that support the presence of white supremacy in the text. This research shows that the logic of the story is formed through important events in the text that show the superiority of white characters. Characterization appears in the text through the construction of white characters who are dominantly present at the level of events and interactions with other characters. The places presented in the two texts do not just serve as backgrounds that complement the film's narrative elements, but also act as ideological spaces that show the dominance of white characters. Meanwhile, the dominant symbols and objects present in the text can be read as markers of white supremacy. White supremacy is the ideology of the texts of The Great Wall and Doctor Strange."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farul Ivan Pradana
"[Penerapan fotografi hitam dan putih saat ini, sudah berbeda dengan adanya fotografi digital yang menggunakan berbagai macam warna pada foto. Perkembangan teknologi fotografi digital dalam faktor warna, optik dan resolusi memungkinkan foto mendekati gambaran realitas. Bagaimana halnya dengan fotografi hitam dan putih saat ini? Pada skripsi ini akan dibahas lebih dalam mengenai teknologi digital fotografi hitam dan putih dan penerapannya dalam fotografi arsitektur.

, At this time, the implementation of black and white photography is different in the presence of digital photography that using different colors on the photo. The development of digital photography technology in term of color, optics and resolution allows photograph become the picture of reality. What about the black and white photography at the moment? In this thesis will be discussed more in the digital technology of photography in black and white and the application in architectural photography.
]
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S61814
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosida Erowati
"Film merupakan ekspresi seni yang diciptakan secara massal oleh sekelompok seniman dengan berbagai keahlian. Sebagai ekspresi seni, film selalu berbicara' tentang sesuatu. Film memiliki pesan yang dibicarakan melalui penyajian naratif dan bentuknya. Film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran secara keseluruhan ingin menyampaikan pesan tentang perdamaian yang seharusnya dapat tercipta di antara agama, generasi, gender dan negara melalui upaya untuk memahami dan memposisikan diri secara fleksibel dengan melakukan perjalanan melintas batas.
Dalam teks ini, peneliti mempertanyakan kondisi multikultur dan pesan perdamaian yang ditampilkan. Bagaimana keduanya dibicarakan, siapa yang membicarakannya dan bagaimana strategi-strategi untuk menciptakan perdamaian dalam kondisi multikultur muncul di dalam naratif dan bentuk film. Analisis terhadap kondisi multikultur dan pesan perdamaian di dalam film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran dengan menggunakan teori tentang struktur film, representasi, dan identitas yang cair menunjukkan bahwa film ini membicarakan kondisi multikultur dan perdamaian dalam konteks hubungan antara pusat dan pinggiran dalam wacana kebudayaan. Pusat dalam film ini adalah Prancis-Eropa, Yahudi, maskulin dan generasi tua. Sementara pinggiran adalah Turki-Mediterania, Islam, feminin dan generasi muda.
Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan pusat-pinggiran mengalami pergeseran dan akhir film yang berupa alur siklik membuka interpretasi tentang pembalikan kritis dalam hubungan tersebut. Di tengah perbincangan tentang hubungan Barat dan Timur yang didominasi isu terorisme atas nama agama, film ini dapat dipertimbangkan memiliki alternatif visi untuk menilai kembali hubungan Barat dan Timur, pusat dan pinggiran.

Film is an art expression that is created collectively by a group of artists with various individual skills. As an art expression, film always "speaks" something. Film has messages that are "spoken" and conveyed through narrative presentation and its own form. As a whole, the Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran film wants to deliver a message about peace that is supposed to be able to be created among religions, generations, gender, and countries through some attempts to understand and position ourselves flexibly by committing a borderless journey.
In this text, the researcher questions the multicultural condition and the peace message presented. How these are spoken, who speaks about them, and how the strategies to create peace in a multicultural condition appear in the narration and film form. Analysis on the multicultural condition in the Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Comm film, using the theories of film structure, representation, and identity which is liquid, shows that this film talks about the multicultural condition and peace in relation between the periphery and center context in the cultural discourse. The center in this film is France-Europe, Jewish, masculine, and old generation. On the other hand, the periphery is Turkish-Mediterranean, Moslem, feminine, and young generation.
The analysis result shows that the center-periphery relation undergoes a shifting and the end of the movie, which is cyclical, opens an interpretation about critical reversal in that relation. Among many discourses about the relation between the West and East that is dominated by terrorism issue based on religion, this film can be considered as having the alternative vision to re-value the relation between the West and East, the center and periphery."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Corrigan, Timothy
Glenview: Scott, Foresman and Company, 1989
808.066 COR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Isna Siskawati
"Belakangan ini muncul tren baru dalam dunia persinetronan Indonesia, yaitu sinetron yang dikemas religius dengan cerita habis sekali tayang. Tidak hanya di bulan Ramadhan, sinetron yang dikemas religius digemari pemirsa dan membawa berkah bagi stasiun televisi. Awalnya, memang tidak pernah diperhitungkan. Namun, ketika TPI meraih sukses menyajikan sinetron Rahasia Ilahi, dan Takdir llahi, sejumlah stasiun televisi pun beriomba-lomba menyajikan sinetron yang dikemas serupa tapi tak sama. Jika diamati memang benar tayangan demikian dapat memberi kesadaran religius. Sepintas terlihat sinergi yang sangat ideal antara pilihan stasiun televisi mengedepankan program religius dengan kebutuhan pemirsa akan siraman rohani, yang tujuannya adalah meneguhkan keimanan hingga membuat pelaksanaan ibadah berlangsung optimal. Namun yang juga mulai dikhawatirkan, adanya visualisasi hantu, setan, jin, arwah penasaran dan macam-macam lagi yang cukup banyak di sinetron yang dikemas religius tersebut.
Masalah mulai muncul tatkala perubahan orientasi nilai-nilai agama menjadi bisnis mengandung sejumlah konsekuensi. Bisnis bagaimanapun akan berurusan dengan pangsa pasar tertentu. Bisnis juga berurusan dengan komoditas yang dijual untuk dikonsumsi. Dalam kaitannya dengan permasalahan komersialisasi agama, agama di sini menjadi komoditas yang dijual dengan membidik target pangsa pasar tertentu melalui sinetron religius. Nilai-nilai agama dengan demikian dikomodifikasi ke dalam wilayah-wilayah bisnis.
Fokus tesis ini adalah mengungkap bagaimana proses komodifikasi nilai-nilai agama melalui sinetron Takdir Ilahi yang ditayangkan TPI dan melihat bagaimana kapitalisme mewujudkan nilai guna ke nilai tukar dalam sinetron Takdir llahi dengan teknis analisis Fairclough. Teori yang mendasari penelitian ini adalah ekonomi politik yang mengkhususkan pada praktek komodifikasi. Dan teori ekonomi politik tersebut, penulis juga mengaitkannya dengan teori media sebagai industri budaya dan industri ekonomi. Dalam level teks, penulis memfokuskan analisa pada teks-teks yang memiliki tanda hipersemiotika, karena penulis mencurigai tanda-tanda tersebutlah yang menjadi nilai tukar. Pada level produksi teks, penulis mewawancarai produser pelaksana dan penulis naskah, sutradara, ustad, dan pihak TPI yang diwakili oleh Programme Acquisition Dept. Head. Untuk konsumsi teks, penulis mewawancari dua orang wanita yang merupakan target audience dari TPI sendiri yaitu masyarakat menengah ke bawah dan seorang tokoh ulama yang memahami hadist, sebagai pembanding. Sedangkan untuk level sosial budaya, data diperoleh melalui studi literatur balk dari buku, intemet, dan media massa audio visual lainnya.
Penelitian ini menyimpulkan hasil-hasil sebagai berikut : (1) Pada level teks, terlihatnya adanya penekanan pada visualisasi wujud-wujud gaib sebagai daya tank sinetron sekaligus dengan memasukkan unsur humor, agar penonton terhibur. Tema-tema yang diangkat menjadi sinetron kemudian didramatisir agar menarik khalayak untuk menyentuh mereka secara emosional dan individual. (2) Pada level produksi teks, pengaruh ektemal media, berupa rating dan share, dan kepentingan stasiun televisi menentukan performa dari sinetron tersebut. Bukti yang menunjukkan bahwa (3) Pada level konsumsi teks, berdasarkan wawancara mendalam, adanya multi plot membingungkan informan mengenai jaian cerita episode tersebut. Penulis juga pada level ini menunjukkan dengan membanjirnya iklan yang mendukung sinetron ini sehingga mendorong pihak TPI untuk memperpanjang durasi menjadi 90 menit. (4) Pada level sosial kultural, penulis mengamati pada level situasional, bagaimana program-program pada televisi Indonesia saat ini. Sehingga terjadi perubahan selera pemirsa terhadap program-program televisi yang selama ini dipenuhi tentang kekerasan, seks, dan mistik. Pada level institusi, penulis memaparkan tentang profit TPI yang mengganti imej yang lekat dengan kata pendidikan, berubah dengan lebih mementingkan unsur hiburan layaknya televisi-televisi swasta lainnya. Sedangkan pada level sosial, penulis melihat faktor-faktor sosial apa saja yang menyebabkan masyarakat menyukai sinetron yang dikemas religi.
Pada kesimpulan, penulis melihat praktek komodifikasi nilai-nilai agama menjadi sebuah sinetron yang di kemas religius, sesungguhnya merupakan refleksi dari fenomena industri media televisi sebagai sebuah institusi bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Hasil penelitian ini memperlihatkan implikasi akademis komodifikasi program televisi yang bertema religius dengan menggunakan tanda-tanda hipersemiotika, dimana industri lebih mengutamakan keuntungan sebagai tujuan utamanya. Dari segi subjek penelitian, studi ini relatif memberikan ruang dan kesempatan kepada peneliti lainnya untuk mengeksplorasi dua entry point ekonomi politik komunikasi di luar komodifikasi, yakni spesialisasi dan strukturasi yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Dengan demikian, penemuan-penemuan berikutnya akan lebih memperkaya studi terhadap ketiga entry point tersebut, khususnya kajian ekonomi-politik media televisi.
Dalam rekomendasi penulis mengungkapkan, diantara industri dalam mengembangkan kesamaan onentasi media, haruslah berfihak kepada masyarakat dalam program-program religiusnya, tidak hanya memperhatikan tinggi rendahnya rating agar tidak menyesatkan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22039
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurbaya
"Persaingan antar media televisi telah mendorong pelaku media untuk berlomba-lomba menciptakan suatu suguhan yang menarik pemirsa untuk tetap berada di posisi yang menguntungkan. Berawal dari kesuksesan sinetron Si Doel Anak Sekolahan inilah yang mengundang hadimya sejumlah pilihan sinetron Betawi dengan tema yang hampir seragam. Salah satunya cerita dan gambaran dari sinetron berlatar belakang kehidupan masyarakat Betawi yang berjudul Kecil kecil Jadi Manten, gambaran Betawi yang identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, pinggiran, muncul melalui karakter tokoh yang memang bodoh, "bloon", suka kawin, sangat primitif dan tidak berbudaya serta berdialog dengan bahasa komunikasi yang dangkal. Hubungan sosial yang diungkapkan Iewat sinetron itu sudah menyimpang, kadang tidak lagi mengindahkan norma agama dan etika sosial.
Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dan dengan metode kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui proses produksi budaya yang terjadi dalam sinetron tersebut dan mengungkap alasan yang melatarbelakanginya. Untuk mengetahui proses produksi yang berlangsung dan alasan dibalik proses pembuatannya, maka tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan pihak produksi yang terdiri dari producer, sutradara sinetron kecil kecil jadi manten serta kru-kru yang terlibat secara langsung dalam proses produksi sinetron tersebut termasuk juga di dalamnya kepala unit manager dan beberapa pemain utamanya. Selain itu, wawancara juga dilakukan terhadap budayawan Betawi dan praktisi Betawi untuk mengetahui gambaran dari realitas sosial yang sebenarnya.
Penelitian ini menyimpulkan hasil atas wacana sinetron berlatar belakang budaya Betawi di televisi, memperlihatkan adanya penggambaran budaya Betawi yang termarjinalisasi dalam sinetron tersebut. Terdapat perbedaan persepsi tentang budaya Betawi yang ditampilkan oleh media dalam sebuah sinetron yaitu sinetron kecii kecil jadi manten dengan gambaran masyarakat Betawi yang sebenarnya. Karena tidak hanya terdapat pada masyarakat Betawi saja melainkan stereotype seperti itu juga ada pada masyarakat manapun. Tidak terkecuali masyarakat Jawa, Sumatera atau Madura. Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa produksi sinetron kecil-kecil jadi manten hanyalah melanggengkan dan mengukuhkan ideologi dominan yang sudah ada yaitu ideologi yang menampilkan realitas imajiner bukan berdasarkan realitas faktual seperti pada kenyataan berdasarkan pada kebenaran. Dapat dikatakan bahwa produksi sinetron ini tidak memiliki keunikan secara substansial tentang nilai-nilai budaya Betawi namun hanya sekedar mencoba menampilkan keunikan setting atau nuansa cerita yang secara kebetulan mengambil nuansa ke-Betawi-an. Hal ini tampak jelas pada dialek para tokohnya dan gaya arsitektur bangunan rumahnya dan kesenian-kesenian yang mewamai jalan ceritanya.
Meski sutradara berupaya keras menjaga rasionalitas alur cerita dengan menampilkan konflik-konflik yang dibuat menjadi seakan-akan wajar dan tidak berlebihan, namun secara keseluruhan tidak ada penggambaran makna dari subtansi nilai-nilai budaya Betawi yang sebenamya. Kondisi ini terjawab dengan melihat pada temuan di lapangan antara lain tidak ada konsep cerita yang diambil berdasarkan riset atau pengamatan mendalam terhadap nilai-nilai budaya Betawi yang sebenamya, pemilihan para pemain yang tidak memiliki standar jelas untuk menampilkan nilai-nilai budaya Betawi. Dan penulis cerita itu sendiri sekaligus merangkap sebagai sutradara bukan orang dengan latar belakang Betawi. Hal ini yang menyebabkan penggambaran tentang budaya dan kehidupan Betawi tidak sesuai dengan realitas seperti yang kebanyakan ada dalam kehidupan masyarakat Betawi yang sebenarnya.
Pada akhirnya, semua ini memperlihatkan bahwa realitas media tidaklah muncul begitu saja, melainkan telah dibentuk melalui interaksi di antara para pelaku produksi yang kemudian dipengaruhi oleh struktur. Relasi-relasi yang terlibat dalam suatu proses produksi yang secara struktural pemilik modal adalah yang paling dominan, tetapi dalam penelitian ini pemilik modal tidak lagi menentukan proses pengambilan keputusan dengan kata lain tidak ada intervensi. Aktorlah yang secara leluasa menetukan performance suatu hasil karya produksi. Di sini yang menjadi dominan adalah persepsi di mana hasil persepsi tersebut akan menampakkan hasil produksi yang termarjinalisasi. Dengan demikian produksi wacana dalam sinetron Betawi kecil-kecil jadi manten yang berlatar belakang historis, sosial, dan ideologi tertentu akan rnmunculkan wacana tertentu pula dan bukan tidak mungkin akan berdampak secara kultural dan ideologis pada pengetahuan pemirsanya."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Nurul Amaliah Darwis
"Penelitian ini membahas agensi tokoh kulit hitam dalam novel Washington Black (2018) karya Esi Edugyan. Teks dianalisis dengan pendekatan naratif teks dari Mieke Bal dan teori praktik sosial Pierre Bourdieu dengan konsep habitus, ranah, dan modal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wacana rasisme dan struktur sangat berpengaruh pada agensi tokoh kulit hitam yang dihasilkan melalui praktik sosialnya. Analisis naratif teks membuktikan kehadiran rasisme sebagai momok yang menakutkan bagi kulit hitam sehingga adanya suatu tindakan memperoleh kebebasan. Selanjutnya, posisi tokoh Wash dikaji lebih lanjut menggunakan analisis dari konsep Pierre Bourdieu tekait habitus, ranah, modal. ditemukan fakta bahwa tokoh Wash diobjektifikasi oleh kulit putih dengan memberdayakan serta memanfaatkan kecerdasan intelektual Wash. Selanjutnya, ditemukan kompleksitas yang menyebabkan terhambatnya agensi Wash melalui faktor eksternal yang datang dari sikap ambivalensi kulit putih serta struktur rasisme yang masih dipertahankan, sedangkan internal berasal dari perasaan emosional Wash terhadap Titch tanpa melihat perbedaan ras. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya Wash dalam memperoleh kebebasan intelektual dan fisiknya hanya sampai batas tertentu dikarenakan adanya struktur yang membatasi proses tersebut.

he research explains the black agency portrayed in Esi Edugyan’s Washington Black (2018). The texts were analyzed using Mieke Bal’s narrative text approach and Pierre Bourdieu’s social practice theory comprising habitus, field, and capital. The results showed that the discourse of racism and structure strongly affects the black agency as a result of the social practice. The narrative text analysis proved the existence of racism as a fear for black people resulting in the act of pursuing their race’s freedom. Furthermore, the position of the character named Wash was deeply studied by applying the analysis of Pierre Bourdieu’s concept regarding habitus, field, and capital. It depicts the fact that Wash was objectified by the white as his intelligence was utilized. It also depicts complexity which causes the agency resistance of Wash through external factor derived from the white’s ambivalence and the maintained racism structure and the internal factor which come from Wash’s emotional status towards Titch with the absence of racial disparities. The result shows that Wash’s effort in pursuing his intellectual and physical freedom is restricted due to the structures which limit the process."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yani Osmawati
"Tesis ini membahas mengenai perbedaan citra ras kulit hitam, kulit putih dan Hispanik yang direpresentasikan dalam serial drama Orange is the New Black. Serial drama ini menampilkan tahanan-tahanan perempuan yang bergabung ke dalam sebuah kelompok berdasarkan identitas ras. Dalam tesis ini, kelompok yang direpresentasikan dalam serial drama tersebut dilihat sebagai kelompok pseudo-family, kelompok yang khas di dalam penjara perempuan, yang mereplikasi hubungan yang ada di dalam sebuah keluarga. Pseudo-family sering dijelaskan sebagai sesuatu memberikan manfaat bagi tahanan perempuan di dalam penjara karena hubungan yang saling mendukung dan melindungi. Namun dalam Orange is the New Black, pseudo-family juga diperlihatkan sebagai sesuatu yang bersifat manipulatif dan mempengaruhi anggotanya melakukan pelanggaran hukum. Hal tersebut terutama ketika tayangan ini menggambarkan pseudo-family dari kelompok tahanan kulit hitam. Namun, kelompok Hispanik digambarkan lebih positif dengan penggambaran pseudo-family yang bersifat memberdayakan anggotanya.

This thesis examines the difference of black, white, and Hispanic images who were represented by drama series tittled Orange is the New Black. This drama series represents women prisones who join prison group based on their race identity. In this thesis, the groups who are represented by this drama series refered as pseudo family, typically prisoner group in women prison. Pseudo family is often explained as group that gives benefit for women prisones who are join in group because they support and protect each member. Yet, in Orange is the New Black, Pseudo family is depicted as group that manipulative and influence their members to break the law, especially when the drama depicted black pseudo family. In the other hand, Hispanic group is depicted to be more positive by showing Hispanic pseudo family that empower their member."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
T49152
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>