Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131317 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhamad Yugo Hario Sakti Dua
"Latar Belakang. Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) masih menjadi masalah di Indonesia. Penanganan yang tepat serta identifikasi faktor-faktor yang dapat memengaruhi lamanya perawatan dapat mengurangi pembiayaan. Di Indonesia belum ada studi secara terkait faktor-faktor yang memengaruhi lamanya perawatan pasien dengan perdarahan SCBA.
Tujuan.Mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi lamanya perawatan pasien dengan perdarahan SCBA.
Metode. Desain penelitian kohort retrospektif dilakukanpada yang datang dengan perdarahan SCBA yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pengambilan sampel secara konsekutif dan dilakukan analisis bivariat menggunakan uji Mann Whitney, hasil yang signifikan dilanjutkan analisis multivariat regresi multiple linier.
Hasil. Penelitian melibatkan 133 subjek dengan rerata usia subjek 51 tahun (minimal 20 tahun, maksimal 83 tahun), subyek penelitian 57,1% subjek berjenis kelamin laki-laki. Analisis bivariat Endoskopi kurang dari 24 jam, Hemodinamik subyek, infeksi, gagal jantung, dan keganasan didapatkan memengaruhi lamanya perawatan pada pasien perdarahan SCBA. Analisis multivariat mendapatkan keganasan, hemodinamik, infeksi dan lama tunggu endoskopi merupakan variabel yang paling berpengaruh dengan R square: 0,374.
Kesimpulan. Endoskopi lebih dari 24 jam, hemodinamik subyek, infeksi selama perawatan, gagal jantung dan keganasan merupakan faktor-faktor yang memengaruhi lamanya perawatan pasien dengan perdarhan SCBA.

ABSTRACT
Background. Upper Gastrointestinal bleeding are prevalent cause of hospitalization. Risk factor identification of length of stay can minimize the cost. In Indonesia, there is no specific study about risk factor identification that prolong length of stay in upper Gastrointestinal bleeding patient.
Objectives. To identification factors that influence length of stay patient with upper gastrointestinal bleeding
Methods. This is a retrospective cohort study, analyzing medical record upper gastrointestinal bleeding patient in Cipto Mangunkusumo Hospital. Consecutive sampling was performed with bivariate analysis is performed by using Mann Whitney analysis and Multivariate analysis by Regression linier.
Result. A total of 133 subject enrolled in this study, withmedian age of subject was 51 years (minimal 20 years, maximal 83 years), male (57,1%). In bivariate analysis, late endoscopy (>24 hours), hemodynamic instability, nosocomial infection, heart failure, and malignancy in gastrointestinal tract influence the length of stay patient with upper gastrointestinal bleeding. Multivariate analysis found late endoscopy (>24 hours), hemodynamic instability, nosocomial infection and malignancy has major impact.
Conclusion. Late endoscopy (>24 hours), hemodynamic instability, nosocomial infection, and malignancy in gastrointestinal tract influence the length of stay patient with upper gastrointestinal bleeding."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristoforus Hendra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gagal jantung telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan seringkali diasosiasikan dengan tingginya frekuensi perawatan di rumah sakit dan lama rawat yang panjang. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satupun penelitian yang menggambarkan lama rawat serta profil pasien gagal jantung di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran lama rawat dan mendeskripsikan karakteristik demografis serta karakteristik klinis dari pasien-pasien gagal jantung yang dirawat di RSUPN-CM pada tahun 2012
Metode: Dilakukan suatu studi dengan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien gagal jantung di RSUPN-CM selama tahun 2012. Selanjutnya dilakukan pengolahan data secara deskriptif untuk kemudian ditampilkan.
Hasil: Terkumpul data 331 pasien gagal jantung yang dirawat selama tahun 2012. Median usia adalah 58 tahun, 62,2% di antaranya adalah pria, dan 42,9% menggunakan jaminan sosial Askes/In-Health. Tingkat pendidikan yang terbanyak adalah pendidikan SMU dan sederajat sebanyak 23,9%. Median lama rawat 8 hari didapat dari perhitungan yang dilakukan terhadap semua pasien (NYHA I – IV), namun pada mereka yang dirawat dengan kelas fungsional NYHA III – IV saja, median lama rawatnya 9 hari. Pada awal perawatan, median tekanan darah sistolik 124 mmHg, denyut nadi 90 kali permenit, edema perifer terdapat pada 36,9% pasien, hipertensi 57,1%, diabetes mellitus 33,2%, penyakit jantung iskemik 74,9%, gangguan fungsi ginjal pada 46,2%, penyakit saluran pernafasan akut pada 45,9%, dan skor CCI terbanyak adalah 3.
Kesimpulan: Median lama rawat pasien gagal jantung di RSUPN-CM adalah 8 – 9 hari. Sebagian besar pasien adalah pria, berpendidikan SMU, dan menggunakan jaminan Askes/In-Health dengan median usia 58 tahun.

ABSTRACT
Introduction: Heart failure has become global health issue worldwide, as it has been associated with high rate of readmissions and prolonged hospitalizations. Indonesia has never had any publication describing the profile and length of hospital stay of their heart failure patients. Hence, the aim of this study is to obtain the length of hospital stay and describe the demographic characteristic as well as clinical characteristic of heart failure patients in Cipto Mangunkusumo General Hospital hospitalized in the year of 2012.
Methods: A cross sectional study was designed using secondary data from heart failure patients’ medical records in Cipto Mangunkusumo General Hospital admitted during 2012. Furthermore, data were calculated and presented thereafter.
Results: Based on the medical records of the year 2012, 331 heart failure patients were included in the study. Median age was 58 years old, 62,2% were men, 42,9% used Askes/In-Health as their social insurance payor, and as many as 23,9% had graduated from senior high school level. Median length of stay was 8 days for all patients, while for patients admitted with NYHA functional class III – IV, the median length of stay was 9 days. When patients were admitted to hospital, median systolic blood pressure was 124 mmHg, pulse 90 beats per minute, peripheral edema was shown in 36,9% of patients, hypertension in 57,1%, diabetes mellitus in 33,2%, ischemic heart disease in 74,9%, renal impairment in 46,2%, acute respiratory conditions in 45,9% of patients, and the most frequent CCI score was 3.
Conclusions: Median length of stay for heart failure patients in Cipto Mangunkusumo GH is 8 – 9 days. Most patients were men, senior high school graduate, and used Askes/In-Health as their social insurance, with median age 58 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaira Utia Yusrie
"Latar Belakang: Keganasan saluran cerna bagian atas terutama esofagus dan gaster
merupakan penyebab kematian akibat kanker keenam dan ketiga di dunia. Beberapa
penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien pada
pasien keganasan esofagus, gaster dan duodenum dalam studi yang terpisah telah
banyak dilakukan, namun saat ini belum diketahui sepenuhnya faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi kematian pasien keganasan saluran cerna bagian atas di
Indonesia dengan pengembangan model prognostik.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prognostik kematian 1 tahun pada pasien
keganasan saluran cerna bagian atas di Indonesia.
Metode: Studi kohort retrospektif berbasis data rekam medis pasien keganasan
saluran cerna bagian atas di RSUPN Cipto Mangunkusumo (2015-2019). Analisis
bivariat dan multivariat dengan uji statistik Cox Proportional Hazards Regression
Model dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor independen yang
mempengaruhi kematian pasien keganasan saluran cerna bagian atas. Sistem skor
dikembangkan berdasarkan identifikasi faktor-faktor tersebut.
Hasil: 184 pasien dianalisis, sebagian besar laki-laki (58,7%), dengan rata rata
usia 54,5 tahun. Faktor-faktor independen yang berhubungan dengan kematian 1
tahun pasien keganasan saluran cerna bagian adalah usia > 60 tahun dengan HR
1,93 (IK95% 1,30-2,88), indeks massa tubuh < 20 dengan HR 2,04 (IK95% 1,25-
3,33), riwayat merokok dengan HR 1,77 (IK95%1,20-2,61), performa status ECOG
> 2 dengan HR 3,37 (IK95% 2,11-5,37), stadium tumor dengan stadium 4 dengan
HR 9,42 (IK95% 1,27-69,98) dan stadium 3 HR 9,78 (IK95% 1,31-72,69), dan
derajat diferensiasi tumor dengan HR 2,30 (IK95% 1,48-3,58) Kesintasan 1 tahun
adalah 39,7% dengan median survival 9 bulan. Skor prognotik kematian keganasn
saluran cerna bagian atas yang dikembangkan memiliki nilai AUC yang baik 0,918
Kesimpulan: Faktor-faktor independen yang berhubungan dengan kematian 1
tahun pasien keganasan saluran cerna bagian atas adalah usia, indeks masa tubuh,
riwayat merokok, performa status, stadium tumor, derajat diferensiasi tumor dan
keterlambatan intervensi. Kesintasan 1 tahun pasien keganasan saluran cerna bagian atas
adalah 39,7%. Telah dibuat sistem skor prediksi probabilitas kematian keganasan
saluran cerna bagian atas

Background: Upper gastrointestinal malignancy especially esophageal and gastric
cancer is the sixth and third leading cause of cancer-related deaths worldwide.
Some studies have been done separately to investigate factors which associated
with survival in patients with upper gastrointestinal malignancy, but not fully
evaluated which factors associated with mortality patients with upper
gastrointestinal malignancy regarding variables and prognostic score model.
Objective: To assess prognostic factors for one-year mortality in patients with
upper gastrointestinal malignancy in Indonesia
Methods: Retrospective cohort study using the hospital database of patients with
upper gastrointestinal malignancy at Cipto Mangunkusumo Hospital (2015-2019).
Bivariate and multivariate cox proportional hazards regression analysis were
performed to identify independent factors associated with mortality upper
gastrointestinal malignancy. Scoring system were developed based on the identified
factors.
Results: 184 patients were analyzed, mostly male (58,7%) with average ages 54,5
years old. Independent factors associated with one-year mortality were age > 60
years with HR 1,93 (95%CI 1,30-2,88), body mass index < 20 with HR 2,04 (95%CI
1,25-3,33), smoking history with HR 1,77 (95%CI 1,20-2,61), performance status
ECOG > 2 with HR 3,37 (95%CI 2,11-5,37), clinical stage which is 4th stage HR
9,42 (95%CI 1,27-69,98) and 3rd stage HR 9,78 (95%CI 1,31-72,69), and cellular
differentiation grade with HR 2,30 (95%CI 1,48-3,58). One-year survival rate was
39,7% with median survival was 9 months. The scoring system for predicting
mortality had AUC values of 0,918 respectively.
Conclusion: The independent factors associated with one-year mortality were age,
body mass index, smoking history, performance status, clinical stage of tumor,
cellular differentiation grade, and delay for start treatment. 1-year survival rate
was 39,7%. The mortality probability prediction scoring system has been developed
for upper gastrointestinal malignancy
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cholifatun Nisa
"Latar belakang: pada keadaan tertentu kuning pada bayi baru lahir bisa tidak hilang selama lebih dari dua minggu, namun karena kurangnya informasi pada orang tua, diagnosis kolestasis pada anak menjadi terlambat. Kolestasis memunculkan komplikasi, diantaranya sirosis hati, splenomegali, trombositopenia, hipertensi porta, dan varises esofagus yang merupakan faktor risiko perdarahan saluran cerna.
Tujuan: untuk mengetahui besar prevalensi dan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian langusng perdarahan saluran cerna pada anak dengan kolestasis.
Metode: penelitian ini menggunakan desain cohort retrospective dengan jumlah sampel 97 pasien anak kolestasis yang berobat ke RSCM dari tahun 2010-2015. Jenis uji Chi-square atau Fisher exact dan regresi logistik.
Hasil: hasil penelitian diperoleh 27,8% pasien anak kolestasis mengalami perdarahan saluran cerna. Proporsi splenomegali (OR 4,8; IK 95% 1,3-17,6; P=0,018), trombositopenia (OR 23,5; IK 95% 2,3-244,1; P=0,008), dan varises esofagus (OR 7,8; IK 95% 1,1-54,6; P=0,039) memiliki hubungan bermakna dengan kejadian perdarahan saluran cerna. Sedangkan, proporsi koagulopati tidak (p>0,05).
Kesimpulan: pasien anak kolestasis dengan splenomegali, trombositopenia, dan varises esofagus memiliki risiko terhadap kejadian langsung perdarahan saluran cerna.

Background: in a particular circumtances, jaundice may not disappear for more than two weeks. Due to lack information on parents, the diagnosis of cholestasis in children may be delayed. Cholestasis lead to complications, including liver cirrhosis, splenomegaly, thrombocytopenia, coagulopathy, portal hypertension, and esophageal varices as risk factor for gastrointestinal bleeding.
Purpose: aim of this study was to determine the prevalence and risk factor for gastrointestinal bleeding in children with cholestasis.
Methods: this study used a retrospective cohort design of 97 children with cholestasis who admitted to RSCM from 2010-2015.
Results: The result were obtained 97 samples and 27.8% had gastrointestinal bleeding. The proportion of splenomegaly (OR 4.8; 95% CI 1.3-17.6; P=0.018), thrombocytopenia (OR 23.5; 95% CI 2.3-244.1; P=0.008), and esophageal varices (OR 7.8; 95% CI 1.1-54.6; P=0.039) had significant correlation with the prevalence of gastrointestinal bleeding. Meanwhile, the proportion of coagulopathy was not (p>0.05).
Conclusion: children with cholestasis who suffered splenomegaly, trombocytopenia, and esophageal varices have a risk for gastrointestinal bleeding."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggreni Wiyono
"Memanjangnya lama rawat pra bedah pada pasien bedah secara umum dan pasien bedah tumor secara khusus merupakan masalah inefisiensi bagi rumah sakit. Di samping itu bagi pasien memanjangnya lama rawat ini menyebabkan bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan sehingga kepuasan terhadap rumah sakit akan berkurang. Masalah ini melatarbelakangi penulis melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang yang berpengaruh terhadap lama rawat pra bedah pasien tumor tersebut.
Penelitian dilakukan pada sampel .yang terdiri dari 71 kasus pasien bedah tumor yang dirawat di IRNA A kelas 3 pads bulan Januari sampai pertengahan Februari dan bulan Juni 1996. Pada seluruh sampel dilakukan operasi di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis dengan desain "cross sectional". Data sekunder diarnbil dari data rekam medis yang terdapat di IRNA A sebelum pasien dipulangkan. Selain itu juga dilakukan pengecekan di IBP pada saat pasien dioperasi.
Variabel bebas yang diteliti ialah kondisi medis pasien, jenis tindakan yang direncanakan, pemeriksaan penunjang yang dilaksanakan, keterlibatan dengan sub bagian lain, dan penundaan operasi. Variabel terikat ialah larva rawat pra bedah, yang terdiri dari 2 bagian, yaitu lama persiapan operasi dan lama menunggu jadwal operasi.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
Rata-rata lama rawat pra bedah pada keseluruhan sampel ialah 19,28 hari. Pada pasien dengan kondisi 1 tindakan medis berat ialah 24,92 hari, sedangkan pada pasien dengan kondisi 1 tindakan medis sedang ialah 11,47 hari.
Kesimpulan utama yang diperoleh adalah sebagai berikut :
1. Terdapat 4 faktor yang berhubungan dengan lama rawat pra bedah pada pasien secara keseluruhan , yaitu kondisi medis, jenis tindakan, keterlibatan sub bagian lain.
2. Faktor yang tidak berpengaruh terhadap lama rawat pra bedah pada keseluruhan sampel ialah pemeriksaan penunjang.
Saran yang diajukan oleh peneliti adalah sebagai berikut :
1. Membuat suatu alur pasien dari poliklinik bedah tumor sampai ke Instalasi Bedah Pusat, di mana pasien baru dapat dimasukkan ke IRNA A jika operasi sudah teijadwal. Pada keadaan ini tempat tidur di IRNA A sudah disiapkan. Alur ini diutamakan untuk pasien dengaan kondisi sedang, atau pasien yang tidak terlalu kompleks (dipakai pola dari SMF THT dan SMF Bedah Anak sebagai model).
2. Mengadakan upaya untuk menambah efisiensi dan utilisasi di Instalasi Bedah Pusat dengan mengacu pada hasil penelitian Duta Liana, 1966 dengan judul Analisis Faktor Faktor yang Berhubungan dengan Keterlambatan atau Pembatalan Operasi di Instalasi Bedah Pusat Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.

Efficiency is one of the most important parts in hospital management. Pre operative length of stay is a specific indicator for hospital efficiency. The increasing of length of stay causes the increasing cost which has to be born by patients and dissatisfaction among them.
This study was performed to 71 cases in hospitalized tumor patients to be operated in the third class of IRNA A in Cipto Mangunkusumo Hospital, from January until the middle of February and June 1996. This is a descriptive analytic study with the cross sectional design and based on the secondary data from the medical records in IRNA A wards after the surgeries.
The independent variables are : 1) The condition of the patients. 2) The type of the surgeries which are planned by the surgeons. 3) The waiting periods for the results of the laboratory tests or the waiting list for X ray tests in Radiology Department. 4) The consultations to other divisions. 5) Delayed or cancelled of the surgery. The dependent variables are the pre operative length of stay which is divided into 2 components, preparations time and waiting time for the surgeries.
The results of this study are: I) The average of pre operative length stay for all cases are 19.28 days. In the severe conditions are 24.92 days and in moderate cases 10.6 days.
The conclusions of the study are: There are relationships between condition of the patients, type of the surgeries, consultation to other divisions and delayed or cancelled of the surgeries. There is no relationship between waiting of the results of the laboratory tests or waiting lists for the radiology tests and pre operative length of stay.
The writer suggest that 1) The admission management has to be improved Surgeons should make the operation schedules in surgery room before patients are hospitalized. 2) Efficiency and utilization of the surgery department have to be increased, especially the delayed of the surgeries which caused by surgeries team not being on time (based on study of Liana, 1966)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Nurul Huda
"Latar belakang: Sepsis adalah penyebab kematian utama pada bayi dan anak. Tunjangan
nutrisi enteral (NE) dalam 48 jam pertama direkomendasikan untuk memenuhi kebutuhan
metabolik yang meningkat, sedangkan tunjangan nutrisi parenteral (NP) diberikan apabila
terdapat intoleransi atau kontraindikasi terhadap NE. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan antara tunjangan nutrisi dalam 72 jam pertama dengan
mortalitas dan lama rawat sepsis pada anak.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan menggunakan data rekam medis pasien anak
yang dirawat di RSCM tahun 2014-2019 dengan diagnosis sepsis menurut kriteria
konsensus sepsis anak internasional. Pasien dikelompokkan berdasarkan tipe tunjangan
nutrisi (NE, NP, atau kombinasi) yang diberikan dalam 72 jam pertama perawatan.
Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square dan uji Mann Whitney dilakukan untuk
membandingkan kejadian kematian dan lama rawat antara kelompok NP dengan
kelompok NE dan kombinasi (NE+NP).
Hasil: Terdapat 134 pasien yang diinklusikan dengan median usia 12 bulan dan sebagian
besar (59,7%) diberikan NP saja dalam 72 jam pertama. Fokus infeksi terbanyak adalah
paru-paru (59%) dan saluran cerna (36,6%). Sebanyak 96 (71,6%) pasien meninggal
dengan rerata lama rawat secara keseluruhan adalah 4 hari. Pemberian NP saja dalam 72
jam pertama (n=63; p=0,018; RR 1,78; IK 95% 1,06-3,00) dan NP pada hari ketiga (n=77;
p=0,006; RR 1,79; IK 95% 1,12-2,85) berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi
dibandingkan NE dan kombinasi. Tidak ditemukan hubungan antara tunjangan nutrisi 72
jam pertama dengan lama rawat (p=0,945).
Kesimpulan: Pada pasien sepsis anak, tunjangan nutrisi dalam 72 jam pertama
(parenteral saja dibandingkan enteral/kombinasi) berhubungan dengan mortalitas, namun
tidak berhubungan dengan lama rawat.

Background: Sepsis is the leading cause of death in pediatric population. Enteral
nutrition (EN) in the first 48 hours is recommended to meet the increased metabolic
demands, whereas parenteral nutrition (PN) is given if intolerance or contraindications to
EN was present. This study aims to determine the relationship between nutritional support
in the first 72 hours with mortality and length of stay (LOS) in pediatric sepsis.
Methods: A retrospective cohort study was conducted using medical record data of
pediatric patients admitted to RSCM in 2014-2019 with sepsis according to International
Pediatric Sepsis Consensus criteria. Patients were classified into groups based on the type
of nutrition (PN, EN, or combination) given in the first 72 hours of treatment. Bivariate
analysis using Chi-square test and Mann Whitney test is conducted to compare mortality
and average LOS between PN group and EN/EN+PN group.
Results: In total, 134 patients were included with a median age of 12 months and the
majority (59.7%) receiving PN alone in the first 72 hours. The most common site of
infection were lungs (59%) and gastrointestinal tract (36.6%). Overall, mortality rate was
71.6% and median LOS was 4 days. PN within the first 72 hours (n=63; p=0.018; RR
1.78; 95%CI 1.06-3.00) and PN on the third day (n=77; p=0.006; RR 1.79; 95%CI 1.12-
2.85) was associated with higher mortality compared to EN/EN+PN. There was no
significant difference in hospital LOS between PN and EN/EN+PN group (p=0.945).
Conclusion: In pediatric sepsis, nutritional support in the first 72 hours (PN vs
EN/EN+PN) is associated with mortality, but has no effect on LOS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fenny D`Silva
"Latar belakang. Transplantasi hati merupakan terapi definitif untuk penyakit hati tahap akhir baik pada dewasa maupun anak. Beberapa dekade terakhir, kemajuan dalam teknik bedah, perservasi, terapi imunosupresif, pemantauan dan pengobatan infeksi telah meningkatkan keberhasilan transplantasi hati. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan satu tahun pasien dan graft pasca-transplantasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif yang mengkarakterisasi pasien <18 tahun yang menjalani transplantasi hati selama periode tahun 2010 dan 2022. Sumber data melalui penelusuran rekam medis. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menggambarkan kesintasan pasien dan graft. Analisis statistik bivariat dan multivariat dilakukan dengan menggunakan uji log-rank dan Cox’s proportional hazards. Nilai p <0,05 dianggap signifikan pada analisis multivariat.
Hasil. Sebanyak 55 pasien anak yang menjalani transplantasi hati; 50,9% adalah lelaki dengan rerata usia 16 bulan. Atresia bilier merupakan penyebab terbanyak dari penyakit hati kronis tahap akhir yang menjalani transplantasi hati. Kesintasan satu tahun secara keseluruhan adalah 85,5%. Berdasarkan hasil analisis multivariat, skor pediatric end-stage liver disease (PELD) ≥20 (p = 0,011) dan durasi operasi ≥16 jam (p = 0,002) merupakan faktor yang berhubungan dengan kesintasan pasien dan graft yang lebih rendah.
Kesimpulan. Pemantauan khusus direkomendasikan pada pasien anak dengan skor PELD tinggi yang menjalani transplantasi hati dan durasi operasi yang lebih lama untuk meningkatkan kesintasan pasien dan graft. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan ukuran sampel yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang signifikan terhadap kesintasan pasien dan graft.

Background. Liver transplantation is the treatment of choice for end-stage liver in both adults and children. The last few decades, progress in terms of surgical techniques, preservation, immunosuppressive therapy, monitoring and treatment of infection have improved survival of liver transplantation. This study aims to identify factors that influence one-year post-transplant patient and graft survival at Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods. This is a retrospective cohort analysis characterizing patients transplanted between 2010 and 2022 included all recipients <18 years of age undergoing pediatric liver transplantation. Data sources included hospital medical records. Outcomes measures were overall patient and graft survival. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient and graft survival. Bivariate and multivariate statistical analysis was undertaken using log-rank test and Cox’s proportional hazards model. A p value <0.05 was considered significant at the multivariate level.
Results. A total of 55 pediatric patients underwent liver transplantation; 50,9% were boys and median age was 16 months. Biliary atresia were the most common causes of liver disease. Overall 1-year survival rates were 85.5%. According to multivariate analysis, pediatric end-stage liver disease (PELD) score ≥20 (p = 0.011) and operative duration ≥16 hours (p = 0,002) were factors associated with worse patient and graft survival.
Conclusion. Greater caution is recommended in pediatric patients with high PELD score undergoing liver transplantation and longer operative duration to improve patient and graft survival. Further research is needed with larger sample size to obtain a significant impact on patient and graft survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Laresi Indah Sonata BR
"Latar belakang: Salah satu masalah perempuan dengan epilepsi (PDE) saat ini adalah infertilitas. Prevalensinya sendiri mencapai sepertiga dari PDE. Penelitian ini bertujuan untuk mengentahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kejadian infertilitas, khususnya pada populasi PDE di RS Cipto Manungkusumo (RSCM).
Metode Penelitian: Studi potong lintang pada pasien PDE rawat jalan di poli epilepsi, dilakukan telusur rekam mendis dan pengisian kuesioner. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square dan Mann Whitney, dilanjutkan dengan analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Prevalensi PDE yang mengalami infertilitas di RSCM ada 51,1% dengan usia rata-rata 35,57 ± 5,53 tahun. Disfungsi seksual (p=0,020), gangguan orgasme (p=0,042) dan gangguan nyeri seksual (p=0,005) berhubungan dengan kejadian infertilitas pada PDE. Pada analisis multivariat regresi logistik, tidak didapatkan adanya faktor independen yang memengaruhi kejadian infertilitas pada PDE.
Kesimpulan: Prevalensi infertilitas pada PDE di RSCM cukup besar yakni 51,1%. Faktor yang memengaruhinya adalah disfungsi seksual, gangguan orgasme dan nyeri seksual. Oleh karena itu, penting bagi klinis untuk mendeteksi dini faktor-faktor tersebut pada PDE untuk mencegah dampak lebih lanjut yang dapat ditimbulkan.

Background: Infertility is one of the issues facing women with epilepsy (WWE) today. Its prevalence alone reaches one-third of WWE. The purpose of this study is ti determine what variables affect the prevalence of infertility, particularly in the group of WWE at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM)
Method: Outpatient WWE at epilepsy clinic were the subject of this cross-sectional study. A questionnaire was completed and medical records were searched. Chi square and Mann Whitney tests were employed in bivariate analysis before multivariate logistic regression analysis.
Results: In our study, the prevalence of WWE with infertility is 51,1%, and their average age is 35,57 ± 5,53 years old. Sexual dysfunction, orgasmic disorders and sexual pain disorders are associated with infertility in WWE. There were no independent factors affecting the infertility in WWE in multivariate logistic regression study.
Conclusion: 51,1% of WWE at RSCM are infertile, which is a significant prevalence. Sexual dysfunction, orgasmic disorders, and sexual pain are all factors that might affect it. In order to limit any negative effects such as infertility, it is crucial for clinicians to detect these factors early in WWE.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bonita Effendi
"Penegakkan diagnosis sepsis lebih dini perlu dilakukan agar tepat dalam inisiasi penatalaksanaan sepsis, terutama saat di instalasi gawat darurat. Insidens sepsis cenderung meningkat, di Indonesia mortalitas pada tahun 2000 mencapai 84,5%. Penyebab dari sepsis bersifat multifaktorial. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor yang memengaruhi peningkatan risiko mortalitas berdasarkan jumlah sumber infeksi, asal infeksi (komunitas atau nosokomial), jumlah komorbid, sistem skor, albumin, kalium, dan kreatinin darah pada pasien terdiagnosis sepsis. Desain studi adalah kohort retrospektif dengan data rekam medis RSCM dan penelitian sepsis Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Kriteria inklusi meliputi pasien dewasa berusia > 18 tahun terdiagnosis sepsis sesuai kriteria Surviving Sepsis Campaign 2012 (SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS) tahun 2012 dan dirawat inap di RSCM dari Januari 2014?Desember 2015. Studi dianalisis dengan SPSS ver 12.0. Dari 286 pasien, 75,9% memiliki jumlah sumber infeksi tunggal dan 53,5% berasal dari infeksi nosokomial. Selain itu, 80,8% dilaporkan dengan jumlah komorbid multipel. Dari pemantauan selama 28 hari, peningkatan kalium, skor qSOFA > 2, dan skor MSOFA > 11 meningkatkan risiko terjadinya mortalitas akibat sepsis dengan HR kalium > 5,0 mEq/l 1,91 (IK 95% 1,32?1,78, p 0,001) ; HR qSOFA > 2 1,19 (IK 95% 0,92-1,54, p 0,17) dan HR MSOFA > 11 1,38 (IK 95% 0,96?1,98, p 0,07). Median lama rawat inap dari pasien dengan sepsis hari ke-3 (IK 95% 2,53?3,47). Semakin lama pemantauan, maka probabilitas kesintasan akan semakin menurun. Kalium darah, skor qSOFA, dan skor MSOFA merupakan faktor yang memengaruhi mortalitas pasien sepsis di IGD dan dirawat di RSCM selama pemantauan 28 hari.

Early diagnosis of sepsis is essential to initiate sepsis management especially in emergency room. Sepsis incidence rate tends to increase, in Indonesia the mortality rate year 2000 reached 84.5%. The cause of sepsis is multifactorial. The objectives are to determine factors associated with increased mortality risk based on single/multiple infection sources and comorbidity, community/nosocomial infection, scoring system, albumin/potassium/creatinine concentration in patients with sepsis. This is a cohort retrospective study based on medical records and research tree of sepsis from Division of Tropic and Infection, Internal Medicine Department, FMUI-RSCM. Inclusion criteria includes patients aged > 18 years diagnosed with sepsis based on Surviving Sepsis Campaign 2012 (SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS), hospitalized in RSCM within January 2014- December 2015. Analysis is based on SPSS ver 12.0. From 286 patients, there were 75.9% suffered from single source of infection and 53.5% due to nosocomial infection. There were 80.8% of septic patients had > 1 comorbidities. Within 28 days, increased potassium, qSOFA score > 2, and MSOFA score > 11 tended to increase mortality risk due to sepsis with HR of potassium > 5,0 mEq/l 1.91 (95% CI 1.32?1.78, p .001) ; HR qSOFA > 2 1.19 (95% CI 0.92?1.54, p .17) dan HR MSOFA > 11 1.38 (95% CI 0.96?1.98, p .07). Median lifetime within 28 days was 3 days (95% CI 2.53?3.47). The longer the duration of survival analysis, the lower the probability of survival. Potassium, qSOFA and MSOFA scoring system were factors associated with increased risk of mortality in patients with sepsis admitted in emergency room and hospitalized in RSCM within 28 days of survival analysis."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46259
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Prabowo Wirjodigdo
"Diperkirakan sekitar 15% penderita diabetes akan mengalami diabetic foot ulcer (DFU). Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) terbukti lebih efektif dibandingkan dengan perawatan konvensional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor risiko yang memengaruhi lama rawat DFU dengan NPWT. Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan desain cross sectional analitik pada 105 subjek yang dirawat pada Januari 2016 sampai Desember 2018 di RS dr. Cipto Mangunkusumo. Lama rawat DFU dengan NPWT adalah 19,9 ± 19,3 hari. Faktor risiko yang mempengaruhi lama rawat adalah riwayat ulkus (r = 0,01; p = 0,034), kedalaman luka (r = 0,292; p = 0.003), Hb (r = 0,05; p = 0,039), HbA1c (r = 0,06; p = 0,033), albumin (r = 0,06; p = 0,017), PCT (r = 0,10; p = 0,035), dan lama menderita DM (r = 0,193; p = 0,009). Penelitian ini menunjukkan bahwa lama rawat DFU dengan NPWT dipengaruhi oleh faktor sitemik (lama menderita DM, Hb, HbA1c, albumin, dan PCT) dan faktor lokal (riwayat ulkus sebelumnya dan kedalaman luka). Kedalaman luka merupakan faktor yang paling berhubungan positif terhadap lama perawatan DFU pasca NPWT (r = 0,292, p = 0,003). Intervensi pada faktor risiko patut dilakukan untuk memaksimalkan penggunaan NPWT dan mengurangi lama perawatan.

It is estimated that around 15% of diabetic patients will experience diabetic foot ulcer (DFU). Negative Pressure Wound Therapy (NPWT) is proven to be more effective than conventional treatments. This study was conducted to determine the risk factors that affect the length of stay of DFU with NPWT. This research is a retrospective study with a cross-sectional analytic design of 105 subjects treated in January 2016 to December 2018 at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. The average length of stay of DFU with NPWT was 19.9 ± 19.3 days. Risk factors affecting the length of stay were history of ulcers (r = 0.01; p = 0.034), wound depth (r = 0.292; p = 0.003), Hb (r = 0.05; p = 0.039), HbA1c (r = 0.06; p = 0.033), albumin (r = 0.06; p = 0.017), PCT (r = 0.10; p = 0.035), and duration of DM (r = 0.193; p = 0.009). This study showed that the length of stay of DFU with NPWT was influenced by systemic factors (duration of DM, Hb, HbA1c, albumin, and PCT) and local factors (history of previous ulcers and wound depth). Depth of the wound was themost positively related factor to the length of stay in DFU post NPWT (r = 0.292; p = 0.003). Interventions on the risk factors may amplify the result of NPWT and reduce the length of treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>