Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89187 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adistya Sari
"Latar Belakang : Tuberkulosis endobronkial (TBEB) adalah salah satu bentuk TB yang terus menjadi masalah kesehatan karena komplikasi berupa bronkostenosis yang tetap terbentuk walaupun sudah mendapatkan obat antituberkulosis (OAT). Gejala dan tanda pernapasan yang tidak khas menyebabkan sering terjadi keterlambatan dan kesalahan diagnosis. Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional (RSRRN) Persahabatan belum memiliki data mengenai keberhasilan pengobatan TBEB setelah pemberian OAT.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif pada pasien dengan diagnosis TBEB berdasarkan data bronkoskopi dan rekam medis sejak bulan Januari 2013 sampai Desember 2017. Diagnosis TBEB ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi, histopatologi atau berdasarkan kombinasi gejala klinis, radiologis dan tampilan lesi bronkoskopi. Pengobatan TBEB dianggap berhasil bila terdapat perbaikan klinis disertai perbaikan atau jumlah lesi TBEB tidak berkurang dan tampilan radiologi.
Hasil :Sampel penelitian terdiri dari 30 subjek. Mayoritas subjek adalah perempuan (86,7%), usia <20-39 tahun (73,3%), berpendidikan tinggi (90%), tidak bekerja (56,6%), status gizi kurang (58,3%), belum pernah mendapat OAT (63,3%), tidak ada riwayat kontak TB (83,4%), tidak merokok (86,7%) dan tidak ada komorbid (76,6%). Sesak napas (83,3%) merupakan gejala respirasi yang paling sering dikeluhkan pasien. Stridor dan ronki merupakan tanda yang paling sering didapat (36,7%).Infiltrat, fibroinfiltrat dan konsolidasi merupakan gambaran radiologis yang paling sering didapat pada foto toraks (26,6%). Sedangkan pada CT scan toraks paling banyak didapatkan gambaran konsolidasi (45%). Lesi TBEB terbanyak didapatkan di trakea (60%) dan berbentuk fibrostenosis 86,7%). Tujuh puluh persen pasien mendapat pengobatan OAT jenis non KDT, mendapat steroid inhalasi (73,3%) dengan median lama pengobatan TBEB adalah 12 bulan. Keluhan membaik setelah pemberian OAT dari klinis pada 76% pasien, bronkoskopi 20% pasien, foto toraks 23% pasien dan CT scan 16,6% pasien.
Kesimpulan: Keberhasilan pengobatan TBEB adalah 43%, sebanyak 17% keluhan membaik disertai sekuele dan 40% tidak dapat dinilai.

Background: Endobronchial tuberculosis (EBTB) is a special form of respiratory tuberculosis that continues to be a health problem because bronchostenosis may develop as a serious complication despite efficacious antituberculosis chemotherapy. The EBTB has nonspesific signs and symptoms, therefor it may cause misdiagnosis and delayed diagnosis. Persahabatan National Respiratory Referral Hospital doesnt have data about successful treatment of EBTB
Method: This was a retrospective study of EBTB patients based from the medical record and confirm with bronchoscopy data from January 2013 to December 2017. Endobronchial tuberculosis diagnosed based from microbiology, histopathology examination or based on combination of clinical symptoms, radiology and bronchoscopy lesion appearance. Endobronchial tuberculosis treatment considered successful if there is improvement in clinical symptoms, microbiological conversion, accompanied by improvement or no change in the number of lesions or the radiological appearance.
Results: The study sample consisted of 30 subjects. Majority of the subjects were female (86,7%), age <20-39 years (73,3%), highly educated (90%), not working (56,6%), malnutrition (58,3%), never received antituberculosis medication (63,3%), not smoking (86,7%) and has no comorbidities (76,6%). Shortness of breath (83.3%) is the most complained symptom. Stridor and rhonchi are the most frequent signs (36.7%). Infiltrate, fibroinfiltrates and consolidation are the most common radiological images on chest X-ray (26.6%). Whereas most chest CT scans obtained a consolidated picture (45%). Most EBTB lesions were fibrostenosis (86,7%) found in the trachea (60%). Seventy percent of patients received non fix dose combination (FDC) type antituberculosis treatment (ATT), received inhaled steroids (73.3%) with a median duration of TBEB treatment was 12 months. Complaints improved after administration of ATT in clinical symptoms in 76% of patients, bronchoscopy 20% patients, chest X-ray 23% patients and CT scans 16.6% patients.
Conclusion: The success of EBTB treatment is 43%, as many as 17% of complaints improve with sequels and 40% cannot be assessed.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55542
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Rinaldy Panusunan
"Latar belakang dan tujuan: Petugas kesehatan adalah populasi yang rentan terhadap infeksi Tuberkulosis (TB). Salah satu penilaian dalam kontrol infeksi TB adalah melakukan evaluasi pada petugas kesehatan, terutama yang kontak dengan pasien TB. Interferon gamma release assays (IGRA) adalah suatu alat untuk pemeriksaan infeksi TB laten. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menetapkan angka proporsi infeksi TB laten pada petugas kesehatan di Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang dilakukan pada 95 subjek dengan cara concecutive sampling. Subjek akan dilakukan anamnesis, foto toraks dan Xpert MTB/RIF untuk menyingkirkan diagnosis TB aktif dan TB MDR.
Hasil: Hasil IGRA positif didapatkan pada 37 subjek (38,9%) dan negatif pada 58 subjek (61,1%). Tidak ditemukan kasus TB aktif atau TB MDR. Didapatkan hubungan yang signifikan antara hasil pemeriksaan IGRA dengan lokasi kerja (P = 0,004).
Kesimpulan: Proporsi infeksi TB laten pada petugas kesehatan di Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan dengan pemeriksaan IGRA adalah 38,9%.

Background: Healthcare workers (HCW) are group of population that are prone to tuberculosis (TB) infection. One of the tuberculosis infection control measure is the evaluation of HCW, especially those who have contact with TB patient. Interferon gamma release assays (IGRA) is a method for diagnosing latent TB infection (LTBI). The aim of this trial is to determine the proportion of LTBI in HCW in Persahabatan Hospital, a high burden TB hospital in Indonesia.
Methods: This cross sectional study was conducted among 95 HCW in Persahabatan Hospital who have contact with TB patient. Sample was recruited by consecutive sampling. The participants were subject to history taking, chest X ray and Xpert MTB/RIF to exclude the diagnosis of active TB infection or multi drug resistant (MDR) TB.
Results: Positive IGRA was found in 37 HCW (38,9%) and negative IGRA was found in 58 HCW (61,1%). There were no active TB and MDR TB in HCW. There was a significant association between IGRA result and the work place (P = 0,004).
Conclusion: Proportion of LTBI in HCW in Persahabatan Hospital by using IGRA was 38,9%."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Krisna
"Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh dunia terlepas dari kemajuan ilmiah utama dalam diagnosis dan manajemen Dalam Laporan WHO 2012 Global Tuberculosis Pengendalian mengungkapkan diperkirakan 9 3 juta kasus insiden TB pada tahun 2011 secara global dengan Asia memimpin di bagian atas 59 Beberapa studi di masa lalu telah mengungkapkan hubungan antara kekayaan dan kondisi hidup dengan konversi TB dan mengurangi kejadian TB
Sasaran dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis berbagai tingkat ekonomi di masyarakat selama masa pengobatan sebagai faktor yang berkontribusi terhadap konversi TB Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan mewawancarai pasien TB yang diberi obat kategori pertama selama minimal 2 bulan n 106
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien pada kelompok pendapatan yang lebih tinggi memiliki persentase kesembuhan lebih besar 77 dari 57 pasien dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan rendah 49 dari 49 pasien Hasil tambahan yang diperoleh adalah beberapa pasien masih menggunakan uang mereka sendiri untuk konsultasi dan obat obatan yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah
Penelitian ini menegaskan hipotesis bahwa pendapatan memang terkait dengan konversi TB pada 2 bulan di RS Persahabatan selama pengobatan lini pertama obat Beberapa faktor yang berkorelasi dengan pendapatan yang lebih tinggi termasuk pendidikan transportasi dan makanan sehat berkontribusi terhadap konversi
Penelitian ini menyarankan bahwa pemerintah harus membayar lebih banyak perhatian terhadap konversi dan pengobatan TB sebagai studi ini menemukan bahwa tingkat tertentu pendapatan minimum perlu dipenuhi untuk mendapatkan konversi pada 2 bulan Kata kunci Tuberkulosis Program pengobatan Tuberkulosis Kategori satu obat Tuberkulosis Tingkat Penghasilan.

Tuberculosis remains a major public health problem worldwide in spite of major scientific advancements in its diagnosis and management In WHO Report 2012 ndash Global Tuberculosis Control reveals an estimated 9 3 million incident cases of TB in 2011 globally with Asia leading at the top 59 Several studies in the past have revealed the relationship between wealth and living condition with TB conversion and reducing TB incidence
The Aim of this study was to determine and analyze variety of economic level in society during the treatment period as a contributing factor towards TB conversion This study used cross sectional design by interviewing patients with TB who are given first category drugs for at least 2 months n 106
Results showed that patient in the higher income group had greater cure percentage 77 from 57 patients compared to the low income group 49 from 49 patients Additional result gained was some of the patient still use their own money for consultation and drugs which should have been covered by the government
This study confirmed the hypotheses that income indeed associated with TB conversion at 2 months in Persahabatan Hospital during first line drug treatment Some factors that correlate with higher income including education transportation and healthy foods contribute to the conversion
This study suggested that government should pay more attention towards TB conversion and treatment as the study found that certain level of minimum income needed to be fulfill in order to get the conversion at 2 months Keywords TB TB treatment programs TB drugs first category Income.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
"Insidensi TB di Indonesia menempati urutan kedua terbesar di dunia tahun 2016. Buruknya, sebagian besar provinsi di Indonesia masih belum bisa mencapai target keberhasilan pengobatan tahun 2016, salah satunya DKI Jakarta. Hal ini dapat disebabkan karena banyaknya jumlah putus pengobatan (default treatment). Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk yaitu peningkatan kasus TB MDR. Oleh karena itu faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan perlu identifikasi, namun faktornya bervariasi di berbagai tempat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan pada pasien TB MDR di RSUP Persahabatan tahun 2016-2018. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang menggunakan rekam medis dan wawancara 60 subjek.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi TB MDR dengan riwayat putus pengobatan di RSUP Persahabatan tahun 2016-2018 adalah 16,9%. Berdasarkan analisis bivariat, faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan putus pengobatan adalah perilaku merokok (p=0,008). Melalui analisis multivariat diketahui bahwa hanya perokok sedang yang berhubungan dengan putus pengobatan (p = 0,035, OR = 4,364; KI95% = 1,112-17,128). Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa perokok sedang merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan TB pada pasien TB MDR.

TB incidence of Indonesia ranks the second largest in the world in 2016. Poorly, most provinces in Indonesia still cannot reach the target of successful TB treatment in 2016, one of which is DKI Jakarta. This can be caused by the large number of dropouts (treatment default). This finding is worrisome, individuals who default from tuberculosis (TB) treatment experience an increased risk of multi drugs resistance tuberculosis cases. Therefore it is important to identify local risk factors for default and for further research to demonstrate the best programme models for reducing default.
This study aims to determine the factors associated with default from TB treatment in multi drugs resistance tuberculosis patients in RSUP Persahabatan in 2016-2018. The study was conducted with a cross-sectional design using medical records and 60 tuberculosis patients were interviewed.
The results showed the prevalence of multi drugs resistance tuberculosis with a history of default tb treatment at RSUP Persahabatan in 2016-2018 is 16.9%. Based on bivariate analysis, significant factor associated with default for drug-sensitive TB programmes is smoking behavior (p = 0.008). In multivariate logistic regression, it was found that only moderate smokers were associated with default from treatment (p = 0.035, OR = 4.364; CI95% = 1.112-17.128). From these results it was concluded that moderate smokers were a factor identified to be associated with treatment default in multi drugs resistance tuberculosis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uha Suliha
"ABSTRAK
Latar belakang masalah adalah bahwa :
Program pernberantasan tuberkulosis telah dimulai secara intensif sejak tahun 1969 melalui kegiatan vaksinasi BCG, penemuan & pengobatan penderita, penyuluhan kesehatan serta evaluasi. Tingginya angka prevalensi tuberkulosis di Indonesia menunjukkan bahwa upaya pemberantasan belum mencapai hasil yang diharapkan. Kegagalan pengobatan tuberkulosis paru lebih banyak disebabkan oleh faktor non rnedis dari pada faktor medis.
Beberapa penelitian menemukan bahwa kegagalan pengobatan disebabkan oleh faktor perilaku penderita itu sendiri dimana penderita tidak patuh berobat.
Pengobatan jangka pendek selama 6 bulan saat ini merupakan pengobatan yang sedang diterapkan dalam upaya pemberantasan tuberkulosis di Indonesia. Rumah Sakit Persahabatan sebagai pusat rujukan penderita tuberkulosis paru telah menggunakan pengobatan jangka pendek dengan paduan obat anti tuberkulosis RHZ, secara khusus belum pernah mengadakan penelitian tentang perilaku kepatuhan datang kontrol penderita dengan pengobatan jangka pendek tuberkulosis paru
Yang dimaksud perilaku kepatuhan datang kontrol dalam penelitian ini adalah patuh/tidak patuh penderita terhadap anjuran untuk datang kontrol ke poliklinik selama 6 bulan pengobatan. Disebut patuh bila datang kontrol secara kontinu setiap bulan selama 6 bulan pengobatan, dan disebut tidak patuh bila tidak datang kontrol, terlambat lebih dari 2 minggu, datang kontrol tetapi tidak kontinu.
Tujuan penelitian untuk 1) Mengetahui apakah ada hubungan pengetahuan, sikap, persepsi, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jadwal kontrol berobat pada penderita tuberkulosis paru baik yang patuh maupun yang tidak patuh datang kontrol. 2). Mengetahui apakah ada pengaruh faktor pengetahuan, sikap, persepsi, pendidikan, pekerjaan,pendapatan serta faktor jadwal kontrol berobat terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol.
Disain penelitian adalah cross-sectional. Penelitian dilakukan di poliklinik unit paru Rumah Sakit Persahabatan. Sampel adalah penderita baru tuberkulosis paru pada bulan Agustus-September-Oktober 1990 dengan pengobatan jangka pendek, berusia 15 tahun keatas, pada saat penelitian berdomisili di wilayah DKI Jakarta.
Pengolahan data menggunakan komputer dengan program SPSS. Dilakukan uji statistik kemaknaan dengan chi square dan uji multiple logistic regression.
Hasil penelitian ini adalah : 1). Pengetahuan secara keseluruhan dan pengetahuan tentang gejala batuk lebih dari 2 minggu, usaha agar sembuh, lamanya pengobatan ada hubungan dengan perilaku kepatuhan datang kontrol. Pengetahuan secara keseluruhan berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol dengan kontribusi 1.7610. 2). Sikap secara keseluruhan tidak ada hubungan sedangkan sikap terhadap datang kontrol sesuai ketentuan, ternyata ada hubungan dengan perilaku kepatuhan datang kontrol. Sikap secara keseluruhan tidak berpengaruh, sedangkan sikap terhadap datang kontrol sesuai ketentuan berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol dengan kontribusi 4.2934. 3). Jadwal kontrol berobat ada hubungan dan berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol dengan kontribusi 3.1240. 4). Persepsi, pendidikan, pekerjaan, pendapatan ternyata tidak ada hubungan dan tidak berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan datang kontrol. 5). Power adalah 62.82% .
Dari hasil penelitian ini dapat disampaikan saran kepada pengelola PKMRS rumah sakit Persahabatan hkususnya di poliklinik unit paru agar penyuluhan kesehatan kepada penderita tuberkulosis paru lebih ditekankan pada materi tentang gejala batuk lebih dari 2 minggu, usaha agar sembuh dan lamanya pengobatan.
Selanjutnya saran disampaikan kepada team dokter poliklinik unit paru Rumah Sakit Persahabatan agar program pengobatan selama 6 bulan diinformasikan kepada penderita sampai dengan menentukan jadwal kontrol berobat secara tertulis, jadwal tersebut merupakan lembaran kartu yang waktunya telah disepakati antara dokter dan penderita. Kartu jadwal tersebut dibuat rangkap dua, masing-masing untuk dibawa penderita dan dilampirkan pada dokumen medik.
Kepada ternan sejawat yang berminat kiranya dapat mengadakan penelitian lanjutan untuk 1). mencari jawaban mengapa penderita yang pengetahuan tinggi lebih banyak yang tidak patuh dan mengapa penderita yang mengetahui jadwal kontrol lebih banyak yang tidak patuh. 2). mencari faktor lain yang mempengaruhi perilaku kepatuhan datang kontrol dimana dalam
penelitian ini belum dapat diidentifikasi mengingat dari persamaan logistic regression didapat nilai constant= 0.1711.
Daftar bacaan : 51 (1965 .. 1990)"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shela Putri Sundawa
"Anak merupakan populasi yang memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya tuberkulosis ekstraparu (TBC-EP). Namun demikian, sampai saat ini data mengenai keberhasilan pengobatan TBC ekstraparu pada anak dan faktor yang memengaruhinya di Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan TBC-EP pada anak dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhinya. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara dengan metode kohor retrospektif pada populasi anak terdiagnosis TBC ekstraparu. Dari 953 pasien anak usia 0 bulan-17 tahun yang terdiagnosis TBC, 458 (48%) anak mengalami TBC-EP dengan tiga bentuk yang paling sering bertutur-turut adalah TBC osteoartikular (21,7%), limfadenitis (21,1%) dan sistem saraf pusat (16,3%). Sebanyak 70,6% pasien TBC ekstraparu anak dinyatakan sembuh selama 2015-2021. Mayoritas pasien TBC-EP berusia 11-18 tahun (46%) dengan sebaran jenis kelamin yang seimbang, laki-laki (49,3%) dan perempuan (50,7%). Riwayat kontak dengan pasien TBC ditemukan pada 41,1% dan jaringan parut BCG ditemukan pada 34,7% kasus. Komorbiditas TBC ekstraparu dan TBC paru ditemukan pada 45,7% pasien. Analisis multivariat pada faktor prediktor keberhasilan pengobatan TBC ekstraparu mendapati hasil yang bermakna pada status gizi baik (RR 1,285, IK 95% 1,135-1,456) dan jenis TBC ekstraparu yang dialami bukanlah TBC ekstraparu berat (RR 1,330, IK 95% 1,094-1,616).

Children is highly susceptible to extrapulmonary tuberculosis (EPTB). However, knowledge about childhood EPTB in Indonesia and its treatment success is limited. This study aimed to determine treatment success rate of EPTB and factors affecting successful treatment outcome in children. We conducted a retrospective cohort study in Cipto-Mangunkusumo Kiara Hospital. A total of 953 pediatric patients below 18 years old were diagnosed with TBC. Extrapulmonary TB was found in 458 children (48%), with the most prevalent type: bone and joint (21.7%), lymph node (21.1%), and central nervous system (16.3%). There were 70.6% EPTB pediatric patients successfully treated during 2015-2021. The majority of patient with EPTB were in the age group of 11-18 years (46%) with balanced sex distribution, male (49.3%) and female (50.7%). Comorbidity of pulmonary TBC and EPTB was found in 45.7% patients. Multivariate analysis in factors predicting successful treatment outcome with significant results were good nutritional status (RR 1.285, 95% CI 1.135-1.456) and suffered from non-severe EPTB form (RR     1.330, 95% CI 1.094-1.616)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Selviana Octaviani
"Latar belakang pendidikan dan pengetahuan mengenai Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konversi sputum TB. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara level edukasi pasien dan tingkat pengetahuan tentang TB dengan konversi sputum pada dua bulan.Studi potong lintang ini di lakukan di Rumah Sakit Persahabatan dengan menganalisa latar pendidikan dan pengetahuan mengenai TB. Dari 106 pasien (63 laki-laki, 43 perempuan) dengan rentang umur 20-65 tahun dilakukan interview langsung dan pengisian kuesioner untuk mengetahui tingkat pendidikan dan pengetahuan akan TB. Uji sampel chi-square digunakan untuk menilai signifikansi statistik pada penelitian ini. Terdapat hubungan yang bermakna antara latar pendidikan dan pengetahuan mengenai TB (p<0.05); pendidikan dan sputum konversi (p<0.05). Tidak terdapat nilai statistic yang signifikan antara pengetahuan TB dan sputum konversi (p>0.05). Hasil penemuan studi ini menunjukan bahwa latar pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat pengetahuan TB dan sputum konversi yang lebih baik. Akan tetapi, tingkat pengetahuan TB yg lebih baik tidak menunjukan bahwa pasien memiliki konversi sputum yang positif pada dua bulan.

Educational backgrounds and level of knowledge are factors that might affect the sputum conversion of the Tuberculosis (TB) patients. This study focused to investigate the association between educational background and level of knowledge of the TB patient and the sputum conversion at two months. This cross-sectional study was done in Persahabatan hospital among 106 patients (63 male, 43 female) with the age ranging from 20-65 years old. The educational background and knowledge level of TB were assessed using a questionnaire and direct interview. A chi- square test was conducted to assess the association between knowledge level of TB and education level, education level and sputum conversion, and knowledge level of TB and sputum conversion. There were a statistically significance association between education level and knowledge about Tuberculosis (p<0.05); education level and sputum conversion (p<0.05); however, knowledge level of TB and sputum conversion were not statistically significant (p > 0.05). These findings suggest that the higher the education, the higher the patient's knowledge level of TB and sputum conversion rate. However, higher knowledge level of TB does not necessary mean that the patient will have a positive sputum conversion at two months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Prawiro Tantry
"Penanganan tuberkulosis (TB) di Indonesia masih dihadapkan pada keterlambatan pendeteksian terapi yang tidak adekuat. Secara klinis, kenaikan berat badan dianggap sebagai salah satu indikasi perbaikan klinis penderita TB yang praktis. Namun, apakah kenaikan berat badan benar berhubungan dengan kesembuhan klinis pasien TB masih perlu dibuktikan. Oleh karena itu, dalam upaya menilai potensi berat badan sebagai indikator klinis terapi TB, dilakukan riset yang bertujuan untuk melihat asosiasi antara penambahan berat badan dengan konversi sputum pada akhir fase inisial pengobatan anti-TB dengan kategori 1. Studi ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan mengumpulkan data sekunder dari rekam medis pasien di RS Persahabatan pada tahun 2009 (n=102).
Hasil menunjukkan bahwa 75,49% (n=77) pasien TB mengalami konversi sputum pada akhir fase inisial. Penambahan berat badan ditemukan pada sekitar setengah sampel dari grup dengan konversi sputum (51,95%) dan juga pada hampir setengah dari grup tanpa konversi sputum (dua belas dari 25). Studi ini menunjukkan bahwa penambahan berat badan tidak memiliki asosiasi yang signifikan dengan konversi sputum pada akhir fase inisial pengobatan anti-TB dengan kategori 1 selama dua bulan di RS Persahabatan (p= 0.732), namun studi lebih lanjut disarankan untuk meneliti asosiasi tersebut pada periode terapi yang lebih lama dan juga dengan mempertimbangkan IMT pasien.

Tuberculosis (TB) management in Indonesia was facing delayed detection of inadequate therapies. Clinically, weight gain was considered as one of the simple indicators pointing towards clinical improvement of TB patients. However, whether weight gain was really associated with clinical recovery of TB patients was yet to be proven. Therefore, as an effort to assess the possibility of observing weight gain to evaluate anti-TB therapy, a research was conducted aiming to assess the association between weight gain and sputum conversion at the end of initial phase category 1 anti-TB therapy. This study used a retrospective cohort design by collecting secondary data from the medical records of TB patients in Persahabatan hospital in 2009 (n=102).
Results showed that 75.49% (n=77) of TB patients underwent sputum conversion at the end of second month of therapy. Regardless of sputum conversion, weight gain was observed in approximately half of both groups with (51.95%) and without (twelve out of 25) sputum conversion. This study revealed that weight gain was not significantly associated with sputum conversion at the end of two months initial phase category 1 anti-TB therapy in Persahabatan hospital (p= 0.732), however future studies were encouraged to explore the association in longer therapy period and with considering patients BMI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Seno Aji
"Berdasarkan data SITB per 2 Februari 2022, terdapat 8306 kasus TB-RR/MDR terkonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium. Keberhasilan pengobatan TB MDR di Indonesia tahun 2021 belum mencapai target dan termasuk rendah dibandingkan dengan global yaitu sebesar 45%. Penelitian bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan pengobatan pasien TB MDR di RSUP Persahabatan tahun 2019. Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif. Penelitian menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien TB MDR yang berobat di RSUP Persahabatan tahun 2019 yang dilihat sejak awal pengobatan hingga didapatkan hasil akhir pengobatan. Terdapat 273 sampel yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Data dianalisis menggunakan IBM SPSS Statistics 25 dengan uji chi-square, dengan RR untuk mengetahui derajat hubungan antar variabel dan dan p < 0,05 sebagai batas kemaknaan. Pada hasil analisis diketahui umur (p=0,000; RR=1,603 95CI% 1,251–2,055), jenis kelamin (p=0,749; RR=1,045 95CI% 0,798–1,369), pendidikan (p=0,165; RR=1,228 95CI% 0,929–1.634), pekerjaan (p=0,298; RR=0,893 95CI% 0,8723–1,103), status pernikahan (p=0,000; RR=1,932 95%CI 1,318–2,833), wilayah tempat tinggal (p=0,092, RR=1,288 95%CI 0,933–1,779), hasil pemeriksaan sputum awal (p=0,272; RR=1,126 95%CI 0,911–1,191), interval inisiasi pengobatan (p=0,021; RR=0,698 95%CI 0,494–0,986). Faktor yang memiliki hubungan signifikan secara statistik dengan keberhasilan pengobatan adalah umur, status pernikahan, dan interval inisiasi pengobatan.Based on SITB data as of February 2, 2022, there were 8306 confirmed cases of RR/MDR TB through laboratory tests. The success of MDR TB treatment in Indonesia in 2021 has not reached the target and is low compared to global, which is 45%. This study aims to identify factors associated with successful treatment of MDR TB patients at Persahabatan Hospital in 2019. This study used a retrospective cohort study design. The study used secondary data from the medical records of MDR TB patients who were treated at the Friendship Hospital in 2019 which were seen from the beginning of treatment until the final results of treatment were obtained. There were 273 samples that met the inclusion and exclusion criteria. Data were analyzed using IBM SPSS Statistics 25 with chi-square test, with RR to determine the degree of relationship between variables and p < 0.05 as the limit of significance. The results of the analysis showed that age (p=0.000; RR=1.603 95CI% 1.251–2.055), gender (p=0.749; RR=1.045 95CI% 0.798–1.369), education (p=0.165; RR=1.228 95CI% 0.929– 1.634), occupation (p=0.298; RR=0.893 95CI% 0.8723–1.103), marital status (p=0.000; RR=1.932 95%CI 1.318–2.833), area of ​​residence (p=0.092, RR=1.288 95%CI 0.933–1.779), results of initial sputum examination (p=0.272; RR=1.126 95%CI 0.911–1.191), treatment initiation interval (p=0.021; RR=0.698 95%CI 0.494–0.986). Factors that had a statistically significant relationship with treatment success were age, marital status, and treatment initiation interval."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqatussaadah
"ABSTRAK
Indonesia saat ini berada pada urutan kedua negara dengan kasus TB paru terbanyak,
dibawah India dan Cina. Angka prevalensi TB Paru tahun 2015 mencapai 647 per 100.000
dan insidens 399, Indonesia diprediksi akan mencapai 1 juta kasus per tahun. Strategi
Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan strategi yang dikeluarkan
oleh WHO dalam penanggulangan TB.
Beberapa rumah sakit swasta yang memberikan pelayanan TB kepada masyarakat dan
juga melibatkan masyarakat secara aktif untuk mendukung program penanggulangan TB
adalah Rumah Sakit Islam (RSI) yang dimiliki oleh organisasi Muhammadiyah yaitu RSI
Pondok Kopi, RSI Cempaka Putih, dan RSI Sukapura. Rumah sakit swasta tersebut
bekerjasama dengan organisasi masyarakat peduli TB yang dikenal sebagai ?Aisyiyah
Community TB Care. ?Aisyiyah termasuk salah satu organisasi masyarakat lokal yang
dipercaya dan dipilih untuk mendapatkan dana hibah melalui Global Fund for AIDS,
Tuberculosis and Malaria (GF ATM) dengan menjadi principal recipient atau pengelola
dana langsung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengawas Menelan Obat (PMO) baik pada tahun
2010 dan 2014 mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil pengobatan TB Angka
CDR di rumah sakit pada tahun 2010 pada saat ada dukungan ?Aisyiyah mencapai angka
68%, sedangkan pada tahun 2014 setelah tidak ada dukungan ?Aisyiyah angka CDR menurun
menjadi 40%. Sedangkan jumlah pasien TB yang sembuh (Cure Rate) pada tahun 2010
mencapai 66% sedangkan pada tahun 2014 mengalami penurunan menjadi 41%, sehingga
ada perbedaan 25% dalam pencapaian angka kesembuhan. PMO pada tahun 2010 berasal dari
kader ?Aisyiyah (35%) dan keluarga pasien (65%). Sedangkan pada tahun 2014 PMO semua
berasal dari keluarga pasien (100%). Perbedaannya adalah PMO yang berasal dari ?Aisyiyah
Community TB Care adalah mereka yang sudah mendapat pelatihan-pelatihan mengenai
pengobatan TB dan mereka melakukan pengawasan melekat kepada pasien dari awal
pengobatan sampai dinyatakan sembuh.
Oleh karena itu selanjutnya direkomendasikan untuk memilih PMO tidak berasal dari
keluarga tetapi orang yang lebih disegani oleh pasien dan telah mendapatkan pelatihanpelatihan
mengenai pengobatan TB. Selain itu perlu dibuat kartu kinerja PMO sehingga
seluruh kegiatan PMO terpantau dengan baik selama mendampingi pasien berobat hingga
sembuh.

ABSTRACT
Indonesia is currently the second country with the most cases of pulmonary tuberculosis,
below India and China. Pulmonary TB prevalence rate in 2015 was 647 per 100,000 and
incidence of 399, Indonesia is predicted to reach 1 million cases per year. Strategy of Directly
Observed Treatment Short Course (DOTS) strategy is issued by WHO in TB control.
Some private hospitals that provide services to the community TB and also involve the
community actively to support TB control program is Islamic Hospital (RSI) which is owned
by the organization Muhammadiyah ie RSI Pondok Kopi, Cempaka Putih RSI and RSI
Sukapura. The private hospital care in collaboration with community organizations TB,
known as' Aisyiyah Community TB Care. 'Aisyiyah including one local community
organizations are trusted and selected for a grant from the Global Fund for AIDS,
Tuberculosis and Malaria (GF ATM) to be the principal recipient or the fund manager
directly. The results showed that the Supervisory Swallowing Drugs (PMO), both in 2010
and 2014 had a significant effect on the results of TB treatment digits to CDR in hospital in
2010 when no support 'Aisyiyah reached 68%, whereas in 2014 after no support 'Aisyiyah
CDR figure dropped to 40%. While the number of TB patients cured (Cure Rate) in 2010
reached 66% while in 2014 decreased to 41%, so there is a 25% difference in achieving cure
rates. PMO in 2010 came from the cadres' Aisyiyah (35%) and the patient's family (65%).
Whereas in 2014 the PMO all come from families of patients (100%). The difference is
coming from the PMO 'Aisyiyah Community TB Care are those who have received training
on their TB treatment and supervision attached to a patient from start of treatment until
otherwise recovered. Therefore, it is recommended to choose the PMO subsequently did not
come from the family but people are more respected by patients and has received training on
TB treatment. In addition it should be made so that all the cards performance PMO PMO
activities well monitored during treatment with the patient to recover"
2016
D2180
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>