Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110774 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Sarah Mutiara
"Proses penuaan mengakibatkan perubahan fisiologis yang terkait dengan masalah kesehatan pada orang usia lanjut (usila). Penyakit degeneratif merupakan faktor risiko terjadinya gangguan kognitif pada orang usila. Terbentuknya akumulasi amyloid β (Aβ) merupakan hal utama terjadinya gangguan kognitif. Mineral seng memiliki peran penting sebagai antioksidan dan proses akumulasi Aβ. Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang pada 58 orang usila di Kelurahan Kartini yang dilaksanakan pada bulan Januari 2019 untuk mengetahui korelasi kadar seng rambut dengan fungsi kognitif pada populasi usila. Pemeriksaan kadar seng rambut dengan inductively coupled plasma spectrometer (ICPS) dan fungsi kognitif dinilai dengan instrumen abbreviated mental test (AMT). Data dianalisis dengan menggunakan uji korelasi. Rerata usia subjek 65,4 ± 4,4 tahun. Nilai median asupan seng sebesar 5,65 (3,2-13,3) mg/hari. Rerata kadar seng rambut sebesar 123,23 ± 69,71 µg/gram rambut. Sebagian besar memiliki fungsi kognitif normal (91,4%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi asupan seng dengan kadar seng rambut (p=0,349 ; r= -0,125) serta tidak ditemukan adanya korelasi kadar seng rambut dengan fungsi kognitif pada populasi usila (p=0,871 ; r= -0,022). Kesimpulan penelitian ini adalah tidak terdapat korelasi antara kadar seng rambut dengan fungsi kognitif pada populasi usila.

Aging process cause physiological changes related to health problems in elderly. Degenerative diseases are the risk factor for cognitive impairment in elderly. Amyloid β (Aβ) accumulation is the major cause of cognitive impairment. Zinc has an important role in antioxidant and Aβ accumulation process. A cross sectional study of 58 elderly subjects was done at Kartini Regency in January 2019 to evaluate the correlation between hair zinc level and cognitive function in elderly population. Hair zinc level was measured by inductively coupled plasma spectrometer (ICPS) and cognitive function assessed by abbreviated mental test (AMT). Data analysis was done by correlation test. The mean age was 65.4 ± 4.4 years. The median value of zinc intake was 5.65 (3.2 - 13.3) mg/day. The mean hair zinc level was 123.23 ± 69.71 µg/gram hairs. Almost all subjects had normal cognitive function (91.4%). The results of this study indicate that there was no correlation between zinc intake and hair zinc level (p=0.349 ; r= -0.125) and there was no correlation between hair zinc level and cognitive function in elderly population (p=0.871 ; r= -0.022). In conclusion, there was no correlation hair zinc level and cognitive function in elderly population. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandi Puspita
"Peningkatan jumlah lanjut usia di Indonesia sering diiringi dengan peningkatan gangguan kognitif. Leptin diketahui memiliki fungsi protektif terhadap fungsi kognitif pada lanjut usia, namun hingga saat ini hasil temuan peran leptin pada fungsi kognitif masih beragam, dan belum banyak dibahas di Indonesia. Selain itu peneliti melakukan analisis tambahan menggunakan Food Record dan penilaian antropometri pada subjek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar plasma leptin dengan fungsi kognitif pada lanjut usia di Jakarta. Penelitian ini merupkan penelitian analitik deskriptif potong lintang yang menggunakan purposive sampling sebagai metode pengambilan sampel. Subjek merupakan lanjut usia yang bertempat tinggal di Panti Sosial yang kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif menggunakan instrumen MoCA-INA, kuesioner IADL, GPAQ, Food Record, plasma leptin, komposisi tubuh serta antropometri, yang dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat.
Hasil dari penelitian, karakteristik subjek berusia 60-74 tahun, dengan mayoritas jenis kelamin wanita (69,1%), dengan status gizi normal (45,5%), massa lemak berkisar antara 18,10-57,10 %, massa otot berkisar antara 20,20-57,50 kg. Mayoritas tidak merokok, tingkat pendidikan rendah (≤ 12 tahun wajib belajar), aktifitas fisik sedang dengan keseluruhan kapasitas fungsional subjek mandiri. Sebesar (96,4%) lanjut usia mengalami gangguan fungsi kognitif, kadar leptin plasma memiliki nilai terendah 1,4 ng/mL, tertinggi 119,48 ng/m dengan median 6,2 ng/mL. Pada analisis bivariat ditemukan kadar leptin, IMT (Indeks Massa Tubuh), massa lemak, pendidikan, dan IADL memiliki hubungan bermakna dengan fungsi kognitif pada lanjut usia di Jakarta. Korelasi kadar leptin plasma dengan fungsi kognitif pada lanjut usia di Jakarta memiliki korelasi positif sedang dengan nilai r 0,52 dan signifikansi 0,000.

The increasing of elderly population often accompanied by a rise in cognitive disorders. Leptin is known to have a protective function against cognitive decline in elderly. However, current finding regarding the role of leptin in cognitive function is vary, and has not been extensively discussed in Indonesia. Food record and anthropometric assessment is conducted as an additional analyses on subject. Aim of this study is to determine the relationship between plasma leptin levels and cognitive function in the elderly in Jakarta. This is a cross sectional descriptive analytical research using purposive sampling as the sampling method. Subject are elderly residing in social welfare home, and being assessed using MOCA-INA instrument, IADL and GPAQ questionnaire, plasma leptin, body composition, anthropometric and Food Record are measured. The data is analysed through univariate, bivariate and multivariate analysis.
Result of this study are subject characteristic of age ranging from 60-74 years, with female as the majority (67.5%), normal nutritional status (46.2%), body fat ranging from 18.10 to 57.10 %, muscle mass 20.20 to 57.50 kg. Majority of subject do not smoke, have a low education level (≤ 12 year of education), engage in moderate physical activity, and having independent functional capacity. A total of 96.2% of the subject experience cognitive impairment. Plasma leptin levels ranging from 1.4 to 8.5 ng/mL, with median of 5.9 ng/mL. There is a significant relationship between leptin levels, body mass index, body weight, total body fat, education and IADL with cognitive function in the elderly in Jakarta. The correlation between plasma leptin levels and cognitive function in the elderly in Jakarta, shows a moderately positive correlation with r value of 0.47 and a significance of 0.000.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nova Sri Hartati
"Peningkatan stres oksidatif selama penuaan, dianggap sebagai kontributor utama pada proses neuro-degenerasi dan kehilangan neuron, dan merupakan faktor utama dalam patologi penyakit Alzheimer dan penurunan kognitif terkait usia. Vitamin E merupakan antioksidan potensial yang menjadi fokus utama penelitian gangguan fungsi kognitif dan penyakit Alzheimer.
Penelitian potong lintang pada populasi lansia sehat di Kelurahan Cikoko ini dilakukan pada bulan Desember 2014 untuk menilai hubungan antara kadar vitamin E serum dengan fungsi kognitif. Selain itu juga menilai asupan vitamin C dan E dengan metode FFQ. Penilaian fungsi kognitif dengan instrumen MoCA-Ina. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kadar vitamin E menggunakan metode HPLC. Data dianalisis dengan uji Mann-Whitney dan Chi-square. Sebagian besar subyek (75,9%) adalah perempuan dengan usia rata-rata 65 tahun. Sementara, kadar rata-rata vitamin E adekuat, yaitu 21,6 μmol/L.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara kadar vitamin E serum dengan fungsi kognitif yang dinilai dengan skor MoCA-Ina. Meskipun berat badan normal hingga obes I menunjukkan hubungan signifikan dengan skor kognitif (r = 0,17 p = 0,026), tetapi tidak ada hubungan signifikan antara asupan vitamin C dengan fungsi kognitif (r = 0,19 p = 0,15) atau antara asupan vitamin E dengan fungsi kognitif (r = 0,04, p = 0.72) pada penelitian ini. Kesimpulan, tidak terdapat hubungan antara kadar vitamin E serum dengan fungsi kognitif.

Oxidative stress increases during ageing, is considered as a major contributor to neuro-degeneration and neuronal loss, and is a primary factor in the pathology of both Alzheimer’s disease and age-related cognitive decline. Vitamin E has been the main focus of investigation in studies of cognitive impairment and alzheimer’s disease during aging as a potent antioxidant.
A cross-sectional study of an elderly population in Cikoko Regency in December 2014 was conducted to evaluate the association between serum vitamin E levels and cognitive function in elderly. Correlation between intakes of vitamin C and E as well as Body Mass Index to the MoCA-Ina scores were also investigated. Fifty four elderly were included in the study and interviewed for their vitamins intake using a Food Frequency Questionnaires (FFQ). Cognitive function was examined by Montreal Cognitive Assessment Indonesian version (MoCA-Ina). Levels of vitamin E serum were assessed by high performance liquid chromatography. Data were analyzed by using the Mann-Whitney and Chi-square test. The majority of the subjects were female (75.9%) with median age 65 years old. While, the median levels of vitamin E was 21.55 μmol/L.
The result of this study showed that there was no association between vitamin E level and MoCA-Ina scores. Although normal weight to obese I was significantly associated with cognitive scores (r = 0,17 p = 0.026), no significant correlation between vitamin C intake and cognitive function scores (r = 0.19 p = 0.15) or between vitamin E intake and MoCA-Ina scores were found in this study (r = 0.04, p = 0.72). In conclusion, there is no association between vitamin E serum and cognitive function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58681
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anin Ika Rosa
"Seng merupakan mikronutrien yang penting dalam masa pertumbuhan anak dan untuk menjaga daya tahan tubuh pada masa pandemi ini. Seng tidak memiliki cadangan yang besar yang dapat menyimpan atau mengeluarkan seng sesuai dengan kebutuhan, sehingga seng menjadi penting untuk diperhatikan kecukupannya. Kekurangan seng lebih mungkin terjadi selama masa kanak-kanak, ketika kebutuhan harian seng lebih tinggi. Defisiensi seng dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, sehingga dapat berdampak pada status gizi dan pertumbuhan. Kadar seng rambut dapat menggambarkan status seng secara kronis, lebih stabil, dan lebih sesuai digunakan pada anak karena kurang invasive. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi asupan seng dengan kadar seng rambut anak usia 2-3 tahun. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data subjek dilakukan di Kelurahan Kampung Melayu (n=70) dan dilakukan pemeriksaan kadar seng rambut. Dari penelitian ini didapatkan median asupan seng adalah 6 (1,2-22,5) mg/hari dan sebanyak 20% anak memiliki asupan seng yang kurang. sedangkan nilai median kadar seng rambut adalah 132 (30-451) μg/g dan sebanyak 17,1% anak memiliki kadar seng rambut dibawah nilai normal. Hasil analisis menunjukkan korelasi negatif sangat lemah antara asupan seng dengan kadar seng rambut, namun secara statistik tidak bermakna (r=-0,077, p=0,528). Sedangkan untuk faktor faktor yang berhubungan, didapatkan hasil korelasi positif lemah bermakna antara nilai VAS nafsu makan dan kadar seng rambut (r=0,247, p=0,039). Sebagai kesimpulan, asupan seng pada anak usia 2-3 tahun tidak berkorelasi dengan kadar seng rambut, dan faktor yang berhubungan dengan kadar seng rambut adalah nilai VAS nafsu makan

Zinc is an important micronutrient in the growth period of children and to maintain the immune system during this pandemic. Zinc does not have a large reserve that can store or release zinc as needed, so it is important to pay attention to its adequacy. Zinc deficiency is more likely during childhood, when daily zinc requirements are higher. Zinc deficiency can cause loss of appetite, which can have an impact on nutritional status and growth. Hair zinc levels can describe chronic zinc status, are more stable, and are more suitable for use in children because they are less invasive. The purpose of this study was to determine the correlation of zinc intake with hair zinc levels of children aged 2-3 years. This study used a cross-sectional design. Subject data collection was carried out in Kampung Melayu Sub-district (n=70) and hair zinc levels were examined. From this study, it was found that the median intake of zinc was 6 (1.2-22.5) mg/day and as many as 20% of children had insufficient zinc intake. while the median hair zinc level was 132 (30-451) g/g and 17.1% of children had hair zinc levels below the normal value. The results of the analysis showed a very weak negative correlation between zinc intake and hair zinc levels, but not statistically significant (r=-0.077, p=0.528). For the associated factors, there was a significant weak positive correlation between VAS appetite value and hair zinc levels (r=0.247, p=0.039). In conclusion, zinc intake in children aged 2-3 years did not have a correlation with hair zinc levels, and factor associated to hair zinc levels was VAS appetite value."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Haryanto
"Prevalensi penyakit kardiovaskuler (PKV) meningkat seiring dengan proses penuaan. Aterosklerosis yang menyebabkan terjadinya inflamasi dan diikuti peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Vitamin D merupakan vitamin yang memiliki efek antiinflamasi dan dapat menurunkan kadar hsCRP. Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain potong lintang yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar vitamin D dengan kadar hsCRP pada usia lanjut (usila). Penelitian dilakukan di Pusat Santunan Keluarga (Pusaka) 12 di Tomang dan Pusaka 39 di Senen pada pertengahan bulan Desember 2012 sampai bulan Januari 2013. Pengambilan subyek dilakukan dengan cara cluster random sampling, dan didapatkan 71 orang subyek yang memenuhi kriteria penelitian. Data dikumpulkan melalui wawancara meliputi data usia, asupan vitamin D dengan metode Food Frequency Questionnaire (FFQ) semikuantitatif serta total skor pajanan sinar matahari mingguan. Pengukuran antropometri untuk menilai status gizi dan pemeriksaan laboratorium yang meliputi kadar vitamin D dan hsCRP. Didapatkan median usia 69 (60-85) tahun dan 80,3% subyek adalah perempuan. Malnutrisi terdapat pada 71,8 % subyek. Asupan vitamin D menunjukkan 98,6% subyek memiliki asupan vitamin D kurang dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia. Sebanyak 97,2% subyek memiliki skor pajanan sinar matahari rendah. Nilai rerata kadar vitamin D 38,02±12,94 nmol/L dan 78% subyek tergolong defisiensi vitamin D. Nilai median kadar hsCRP 1,5 (0,1-49,6) mg/L, dan 67,6% subyek tergolong risiko PKV sedang dan tinggi. Didapatkan korelasi positif tidak bermakna antara kadar vitamin D serum dengan kadar hsCRP pada usila (r=0,168, p=0,162).

The prevalence of cardiovascular disease (CVD) increases in the elderly. Atherosclerosis is a major cause of CVD which stimulate inflammation and followed by increase production of C-reactive protein (CRP). Vitamin D is a vitamin which has anti-inflammatory effects and may reduce level of hsCRP. The aim of this cross sectional study was to find the correlation between serum vitamin D level and hsCRP in elderly. Data collection was conducted during December 2012 to January 2013 on 2 selected Pusaka, Pusaka 12 (Tomang) and Pusaka 39 (Senen). Subjects were obtained using cluster random sampling method. A total of 71 elderly subjects had met the study criteria. Data were collected through interviews including age, vitamin D intake and weekly score of sunlight exposure. Anthropometry measurements to assess the nutritional status and laboratory examination i.e blood levels of vitamin D and hsCRP. Majority of the subjects were female (80,3%), median age was 69 (60-85) years. Malnutrition was occured in 71.8% of the subjects. Intake of vitamin D showed 98.6% of the subjects were less than recommended dietary allowances (RDA). Majority of the subjects had low score of sunlight exposure (97,2%). Mean of vitamin D levels 38,02±12,94 nmol/L, while 78% the of subjects were categorized as vitamin D deficiency. Median of hsCRP levels 1,5 (0,1-49,6) mg/L, while 67,6% subjects were at moderate and high risk of CVD. No significant correlation was found between serum vitamin D levels and hsCRP levels (r=0,168, p=0,162).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Christin Natalia
"Hipertensi adalah penyakit degeneratif yang salah satu faktor penyebabnya adalah penuaan. Penuaan dapat dipicu oleh stres oksidatif, yang mana merupakan ketidakseimbangan antara antioksidan dan RONS (reactive oxygen-nitrogen species). Antioksidan di dalam tubuh ada banyak, salah satunya adalah enzim katalase. Enzim katalase berperan dalam mengubah hidrogen peroksida menjadi air. Sebelumnya, belum diketahui hubungan antara enzim katalase dengan penyakit degeneratif, dalam hal ini adalah hipertensi. Sampel yang digunakan berjumlah 94 sampel. Penelitian dilaksanakan dengan metode cross-sectional. Data yang dibutuhkan adalah tekanan darah dan aktivitas enzim katalase eritrosit. Aktivitas enzim katalase didapatkan dari lisat eritrosit sampel dengan bantuan spektrofotometer yang mana perhitungan absorbansinya dilakukan pada panjang gelombang 210 nm. Keseluruhan data kemudian dianalisis korelasinya menggunakan Uji Korelasi Pearson karena distribusi keseluruhan data normal. Uji T-test juga dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok sampel hipertensi dan normotensi. Tidak ada korelasi antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik dan diastolik populasi lansia secara keseluruhan (p>0,05). Akan tetapi, ditemukan korelasi lemah pada hubungan antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah sistolik kelompok populasi normotensi, juga antara aktivitas enzim katalase dengan tekanan darah diastolik kelompok populasi hipertensi (p<0,05). Hasil uji T-test menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan antara nilai mean dari data aktivitas enzim katalase kelompok hipertensi dan normotensi (p>0,05). Aktivitas enzim katalase eritrosit berkorelasi lemah dengan tekanan darah sistolik pada kelompok populasi lansia dengan normotensi, juga dengan tekanan darah diastolik pada kelompok populasi lansia dengan hipertensi.

Hypertension is a degenerative disease which one of the causes being aging. Aging can be triggered by oxidative stress, which is an imbalance between antioxidants and RONS (reactive oxygen-nitrogen species). There are many antioxidants in the body, one of which is the enzyme catalase. Catalase enzyme plays a role in converting hydrogen peroxide into water. Previously, there was no known relationship between the catalase enzyme and degenerative diseases, in this case hypertension. The sample used is 94 samples. The research was carried out using a cross-sectional method. The data needed are blood pressure and erythrocyte catalase enzyme activity. The activity of the catalase enzyme was obtained from the sample erythrocyte lysate with the help of a spectrophotometer where the absorbance calculation was carried out at a wavelength of 210 nm. The entire data was then analyzed for correlation using the Pearson Correlation Test because the overall data distribution was normal. T-test was also performed to see whether or not there was a difference between the mean values of the catalase enzyme activity data for the hypertensive and normotensive groups. There was no correlation between catalase enzyme activity and systolic and diastolic blood pressure in the elderly population as a whole (p>0.05). However, a weak correlation was found in the relationship between catalase enzyme activity and systolic blood pressure in the normotensive population group, as well as between catalase enzyme activity and diastolic blood pressure in the hypertensive population group (p<0.05). The results of the T-test showed that there was no significant difference between the mean values of the catalase enzyme activity data in the hypertension and normotensive groups (p>0.05). The activity of the erythrocyte catalase enzyme was weakly correlated with systolic blood pressure in the normotensive elderly population group, as well as with diastolic blood pressure in the elderly population group with hypertension."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Rheina Tamara
"Proses penuaan (ageing) adalah suatu proses biologis yang terjadi seiring pertambahan usia seseorang. Proses ini ditandai oleh penumpukan radikal bebas. Normalnya, tubuh memiliki antioksidan alami dalam jumlah yang cukup untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Akan tetapi, ketika akumulasi radikal bebas tidak diimbangi dengan jumlah antioksidan yang sesuai, terjadilah kondisi stress oksidatif. Kondisi ini turut berkontribusi terhadap beberapa penyakit degeneratif, salah satunya adalah hipertensi. Terdapat banyak antioksidan di dalam tubuh, salah satunya adalah glutation (GSH) yang berfungsi untuk mendetoksifikasi substansi reaktif dalam tubuh. Sebelumnya, belum diketahui hubungan antara kadar GSH dengan tekanan darah. Penulis menggunakan 86 sampel. Metode penelitian adalah dengna menggunakan metode cross-sectional. Sampel yang dibutuhkan adalah sampel tekanan darah pasien dan kadar GSH. Sampel GSH diambil dari plasma pasien yang teknik pengambilannya adalah dengan metode Ellman. Melalui spektrofotometer dengan panjang gelombang 412nm, dilakukan pengukuran absorbansi. Selanjutnya, hasil absorbansi dimasukkan ke dalam kurvas tandar absorbansi Bovine Serum Albumin (BSA) dengan konsentrasi standar 0 g/L, 0,1 g/L, 0,2 g/L, 0,4 g/L, dan 0,8 g/L. Keseluruhan data dianalisis menggunakan Uji Korelasi Spearman karena persebaran data kadar GSH tidak normal. Kemudian, dilakukan uji Mann-Whitney U untuk menentukan apakah data GSH dari pasien hipertensi dan normotensi berasal dari populasi yang serupa. Tidak ada korelasi antara kadar GSH dengan tekanan darah sistolik secara keseluruhan (p>0,05). Akan tetapi, kadar GSH dan tekanan darah diastolik berkorelasi lemah secara keseluruhan (p<0,05). Hasil uji Mann-Whitney U mendemonstrasikan tidak adanya perbedaan signifikan data tekanan darah antara kelompok hipertensi dan normotensi.

Ageing is a biological process that happens in the body as they age. This process is characterized by the accumulation of free radicals inside the body. In the normal condition, the human body has enough natural antioxidants that protect the body from further damage. When this accumulation is not balanced with enough number of antioxidants, oxidative stress happens. This condition is also one of the contributing factors of degenerative disease, one of which is hypertension. There are several antioxidants inside the body, one of which is glutathione (GSH) which functions to detoxificate reactive substances. Previously, there is no known association between GSH concentration and blood pressure. There are 86 samples used. The research was carried out using a cross-sectional method. The sample needed are blood pressure and GSH concentration. GSH concentration was taken from plasma by Ellman method. The absorbance was calculated with the help of spectrophotometer at 412 wavelength. Afterwards, the absorbance calculation was inserted into the Bovine Serum Albumine (BSA) standard curve absorbance with standard concentration of 0 g/L, 0,1 g/L, 0,2 g/l, 0,4 g/L, and 0,8 g/L. The whole data was analyzed with Spearman Correlation because the distribution of the GSH data is not normal. Afterwards, the author performed Mann-Whitney U test to test whether GSH concentration from the hypertension and normotension group came from the same population. There was no correlation between GSH concentration and systolic blood pressure within the whole data (p>0,05). However, the author found weak correlation between GSH concentration and diastolic blood pressure as a whole (p<0,05). The Mann-Whitney U test confirmed that the hypertension and normotension group came from the same population (p>0,05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thia Juniaty Manik
"KORELASI ANTARA KADAR VITAMIN D DENGAN FUNGSI KOGNITIF PADA SISWA SMA DI DEPOK, JAWA BARATThia Juniaty Manik1, Novi Silvia Hardiany2, Erfi Prafiantini1 1. Departemen Ilmu Gizi, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia2. Departemen Biokimia dan Biologi Molekuler, Fakuktas Kedokteran Universitas IndonesiaE-mail :tjmanik@gmail.com AbstrakKeberhasilan dalam pendidikan tidak hanya ditentukan oleh sistem pendidikan, tetapi juga kemampuan kognitif para siswa. Siswa dengan kemampuan kognitif tinggi akan dapat menyerap pelajaran dengan baik. Nutrisi yang dikonsumsi merupakan faktor penting yang berkontribusi pada pengembangan daya kognitif. Penelitian-penelitian sebelumnya telah menghubungkan mikronutrien vitamin D dengan berbagai hasil yang berkaitan dengan kesehatan. Namun, hanya sedikit yang meneliti hubungan vitamin D dengan fungsi kognitif dan hasilnya masih belum konklusif terutama pada remaja. Penelitian ini mengeksplorasi hubungan vitamin D dengan fungsi kognitif pada siswa sekolah menengah atas di Kota Depok. Sebanyak 64 siswa dari 4 SMA di Kota Depok, menjalani tes fungsi kognitif. Hasil utama yang dinilai adalah tes kognisi untuk fleksibilitas kognitif BCST test , planning tower test , dan working memory digit span backward test . Hasil sekunder adalah status sosial ekonomi, asupan vitamin D, skor paparan sinar matahari, kadar haemoglobin, skor family assessment device, skor strenght and difficulties dan aktivitas fisik siswa. Tiga jenis tes yang digunakan adalah : BCST test, Tower Hanoi test, dan Digit backward test. Dari 64 subyek yang ikut penelitian ini 62,5 mengalami kekurangan vitamin D

Success in education is not only determined by the education system, but also the cognitive power of the students. The students with high cognitive abilities will be able to absorb the lessons well. Nutrition consumed is one of the important factors that contributes to cognitive power development. Previous studies have linked micronutrient vitamin D to various health related outcomes. However, only few examined the correlation of vitamin D to cognitive function, and the result is still inconclusive especially in adolescent. This study explores the correlation of vitamin D to cognitive function in high school students. A samples of 64 adolescents from 4 high schools in Depok City, underwent cognitive function tests. The main outcomes assessed were cognitive flexibility, planning, and working memory test. The secondary outcomes were social economic status, dietary intake of vitamin D, sun light exposure score, haemoglobin level, family assessment device, strenght and difficulties score and physical activity. Sixty four participants 62,5 were vitamin D deficiencies "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Tania Budianti
"ABSTRAK
Fungsi kognitif pada lansia mengalami penurunan seiring bertambahnya usia. Dukungan keluarga yang optimal menjadi salah satu cara yang dapat diberikan keluarga kepada lansia untuk mempertahankan fungsi kognitif lansia tetap berfungsi dengan baik dan meminimalisir kejadian gangguan fungsi kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan fungsi kognitif pada lanjut usia di RW 05 Kelurahan Jatipadang. Jenis penelitian ini berupa deskriptif korelasional dengan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini melibatkan 107 lansia yang dipilih dengan cara teknik simple random sampling. Dukungan keluarga diukur dengan kuisioner yang dibuat oleh peneliti sesuai dengan penelusuran literatur. Sedangkan, fungsi kognitif lansia diukur dengan menggunakan instrumen Mini Mental State Examination (MMSE). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan fungsi kognitif lansia, p value sebesar 0,001 (p value ≤ 0,05). Penelitian ini merekomendasikan kepada praktisi dan kader kesehatan untuk menyarankan kepada keluarga di wilayah binaannya untuk tetap memberikan dukungan yang positif kepada lansia.

ABSTRACT
Cognitive function of older adult is decreasing by age. Optimal family support is one of the family effort to defend elder?s cognitive function and minimize the disruption. This research aimed to identify the correlation between family support and older adult cognitive function in RW 05, Jatipadang. The design study of was cross sectional design. This research involved 107 older adults and families, who was selected by simple random sampling technique. The family support measured by questionnaire made by researcher based on literature, while the cognitive function measured by basic instrument Mini Mental State Examination (MMSE). The result shows that there is correlation between family support and older adult cognitive function (p value = 0,001, α ≤ 0,05). Health practicioners are recommended to encourage the family, especially to give positive support to older adult."
2016
S62961
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Theresia Caroline
"ABSTRAK
Latar belakang : Usia lanjut berhubungan dengan terjadinya gangguan kognitif ringan. Pada umumnya usia lanjut memiliki keterbatasan mobilitas. Sebuah metode latihan yang dapat meningkatkan fungsi kognitif pada usia lanjut dengan keterbatasan mobilitas sangat dibutuhkan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh latihan koordinasi terhadap peningkatan fungsi kognitif pada usia lanjut dengan gangguan kognitif ringan
Metode : Metode penelitian pra-eksperimental dengan jumlah sampel 35 orang usia lanjut dengan gangguan kognitif ringan pada sebuah pusat kesehatan, Rumah sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Program latihan koordinasi metode Jockey Club for Positive Aging (JCCPA) diberikan 3x seminggu selama 8 minggu. Penilaian fungsi kognitif menggunakan MoCA-Ina pada sebelum dan sesudah perlakuan.
Hasil : Latihan koordinasi selama 8 minggu menghasilkan nilai fungsi kognitif MoCA Ina yang meningkat secara statistik dengan uji T-test berpasangan ( mean 21,23 sebelum perlakuan menjadi 26,00 sesudah perlakuan; p<0,001). Uji Wilcoxon menunjukkan peningkatan yang signifikan pada ranah-ranah fungsi kognitif yaitu visuospatial/ fungsi eksekutif (p<0,001), atensi (p=0,005), bahasa (p=0,004), abstraksi (p=0,002), memori tunda (p<0,001), orientasi (p=0,0025) kecuali pada ranah penamaan (p=0,157) .
Kesimpulan: Latihan koordinasi bermanfaat untuk meningkatkan fungsi kognitif pada usia lanjut dengan gangguan kognitif ringan.

ABSTRACT
Background: Elderly is associated with the occurrence of mild cognitive impairment and limited mobility. An exercise method that can increase the cognitive function in elderly with limited mobility is therefore needed. This study aimed to measure the effect of coordination exercise in increasing the cognitive function in elderly with mild cognitive impairment..
Methods: A pre-experimental study with 35 participants from one health center (RSCM) were given 3 session per week for 8 weeks of JCCPA coordination exercise method. MOCA-Ina was used to measure the cognitive function of the subjects. This assessment is performed before and after the program.
Results: Paired-t test using MoCA-Ina score increases significantly from mean score of 21.23 before intervention to mean score of 26.00 after intervention (p< 0.005). Wilcoxon test showed improved scores in the cognitive domains of visuospatial / executive function (p <0.001), attention (p = 0.005), language (p = 0.004), abstraction (p = 0.002), delayed memory (p <0.001), orientation (p = 0.0025) except naming (p = 0.157).
Conclusion: Coordination exercise is beneficial to increase the cognitive function elderly with mild cognitive impairment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>