Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172926 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dhira Rama Haidar Prakasita
"ABSTRAK
Latar belakang: Maloklusi adalah ketidaksesuaian susunan gigi geligi, salah satu bentuknya adalah protrusi gigi anterior atas dengan overjet lebih besar dari normal (>3mm). Protrusi gigi anterior atas dapat disebabkan oleh kebiasaan buruk di rongga mulut, antara lain menghisap ibu jari, bernafas melalui mulut, dan menghisap bibir bawah. Tujuan: Mengetahui hubungan faktor kebiasaan buruk di rongga mulut dengan protrusi gigi anterior atas pada siswa-siswi kelas IV-VI SD Negeri 10 Johar Baru, Jakarta, Indonesia. Metode: Digunakan 157 anak dan dilakukan pemeriksaan intraoral dan ekstraoral terhadap dugaan kebiasaan buruk serta pengukuran overjet. Didapatkan 60 anak dengan kebiasaan buruk dan protrusi anterior atas; menghisap ibu jari 28 anak, bernafas melalui mulut 7 anak, menghisap bibir bawah 25 anak, dan 25 anak sebagai kontrol yang dipilih secara acak. Dilakukan uji korelasi padasemua kelompok. Hasil: Hasil uji korelasi kelompok kebiasaan buruk menghisap ibu jari dengan protrusi gigi anterior atas p=0.001; kelompok kebiasaan buruk menghisap bibir bawah dengan protrusi gigi anterior atas p=0.001. Besarnya overjet pada protrusi gigi anterior atas yaitu 3-6mm. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara kebiasaan buruk di rongga mulut menghisap ibu jari dan menghisap bibir bawah dengan protrusi gigi anterior atas pada siswa-siswi kelas IV-VI SD Negeri 10 Johar Baru, Jakarta.

ABSTRACT
One form of malocclusion is maxillary protrusion of the anterior teeth and its distinctive feature such as an overjet of 3mm. It is commonly caused by bad oral habits such as thumb sucking, mouth breathing, and lower lip biting. Objective: Analyze the relationship between bad oral habits and maxillary protrusion of the anterior teeth in primary students grade 4 to 6 in SD Negeri 10 Johar Baru, Jakarta. Method: Out of 157 students who were examined, only 60 students that fits the criteria and were divided based on their bad oral habits with 28 students on thumb sucking, 7 students on mouth breathing, 25 students on lower lip biting, and 25 as case control. Correlation test is used to determine the relationship between each group. Result: Test results shows that there is a significant correlation between thumb sucking and lower lip biting toward maxillary protrusion of the anterior teeth. (p=0.001) Teeth protrusion range around 3 to 6 mm. Conclusion: Bad oral habits such as thumb sucking, and lower lip biting has significant correlation towards maxillary protrusion of the anterior teeth in primary students grade 4 to 6 in SD Negeri 10 Johar Baru, Jakarta."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saint Fabia Chantic
"ABSTRAK
Latar belakang: Maloklusi adalah ketidaksesuaian susunan gigi geligi. Bentuk maloklusi antar lain gigi berjejal yang disebabkan oleh beberapa faktor. Gigi berjejal dapat berupa gigi yang rotasi, tumpang tindih dan berpindah tempat. Maloklusi gigi berjejal disebabkan oleh faktor dental sepertikehilangan dini gigi, persistensi gigi, gigi berlebih dan kelainan bentuk gigi.
Tujuan: Mengetahui prevalensi (angka kejadian) faktor dental, yaitu kehilangan dini gigi, persistensi gigi, gigi berlebih dan kelainan bentuk gigi sebagai penyebab maloklusi gigi berjejal pada siswa kelas I-VI SDN 10 Kelurahan Johar Baru, Jakarta.
Metode: Digunakan 298 siswa dan dilakukan pemeriksaan intraoral melihat ada tidaknya maloklusi gigi berjejal dan faktor dental. Diperoleh 81 siswa dengan maloklusi gigi berjejal yang memiliki faktor dental kehilangan dini gigi 39 siswa, persistensi gigi 47 siswa, gigi berlebih 8 siswa, dan kelainan bentuk gigi 8 siswa. Dilakukan perhitungan prevalensi pada seluruh kategori.
Hasil: Prevalensi faktor dental penyebab maloklusi gigi berjejal adalah kehilangan dini gigi 13,09%, persistensi gigi 15,77%, gigi berlebih 2,68% dan kelainan bentuk gigi 2,68%. Ditemukan pula penyebab maloklusi gigi berjejal lebih dari satu faktor dental (kombinasi). Prevalensi faktor dental kombinasi kehilangan dini gigi dengan persistensi gigi 3,36%; kehilangan dini gigi dengan kelainan bentuk gigi 0,67%; persistensi gigi dengan gigi berlebih 1,34%, persistensi gigi dengan kelainan bentuk gigi 1,01%; dan gigi berlebih dengan kelainan bentuk gigi 0,67%.
Kesimpulan: Prevalensi faktor dental penyebab maloklusi gigi berjejal paling tinggi adalah persistensi gigi kemudian kehilangan gigi dini, gigi berlebih dan kelainan bentuk gigi. Sedangkan prevalensi faktor dental kombinasi terbesar adalah kehilangan gigi dini dengan persistensi gigi pada siswa SDN 10 Kelurahan Johar Baru, Jakarta.

ABSTRACT
Background: malocclusion is a misalignment of teeth. One kind of malocclusion is crowding that caused by some factor. The characteristic of crowding is teeth that have rotated, overlapping, or displacement. Crowding can be caused by dental factor such as premature loss, retained teeth, supernumerary teeth and shape anomaly.
Purpose: To know the prevalence of dental factor that caused crowding malocclusion on student of SDN 10 Kelurahan Johar Baru, Jakarta.
Method: 298 students checked if they have crowding malocclusion and the dental factor. From 298 students, 81 students have crowding malocclusion and the dental factor which consist 39 students with premature loss, 47 students with retained teeth, 8 students with supernumerary teeth and 8 students with shape anomaly. Find the prevalence of every dental factor.
Result: Prevalence of dental factor that caused crowding malocclusion is 13.09% for premature loss, 15.77% for retained teeth, 2.68% for supernumerary teeth and 2.68% for shape anomaly. some crowding malocclusion can cause by more than one dental factor which make some combination. Prevalence from combination of dental factor are 3.36% for premature loss with retained teeth, 0.67% for premature loss with shape anomaly, 1.34% for retained teeth with supernumerary teeth, 1.01% for retained teeth with shape anomaly and 0.67% for supernumerary teeth with shape anomaly.
Conclusion: Dental factor that caused crowding malocclusion with the highest prevalence are retained teeth and combination between premature loss with retained teeth."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Almaulidah Ikaputri Septahapsari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Trauma gigi adalah masalah kesehatan yang perlu ditanggulangi.
Data epidemiologi trauma gigi di Indonesia belum ditemukan. Tujuan: Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi trauma gigi permanen anterior pada
anak sekolah dasar. Metode: Metode penelitian ini adalah deskriptif dengan desain
cross sectional yang dilakukan pada 500 anak usia 8-12 tahun. Hasil: Hasil penelitian
menunjukkan bahwa trauma gigi terjadi dua kali lebih sering pada anak laki-laki usia
9 tahun yang melibatkan gigi permanen insisif sentral maksila kanan dan biasanya
terjadi di lingkungan rumah akibat aktivitas fisik.

ABSTRACT
Background: Dental trauma is health problems that have to be solved. Epidemiology
data of dental trauma in Indonesia has not been determined. Aim: The aim of this
reseach was to determine the distribution frequency of traumatic permanent anterior
teeth on elementary school student. Method: The method of this research was
descriptive with cross sectional design, which has been done on 500 children aged 8-
12 years old. Result: Result showed that dental trauma in children is two times more
common in boys aged 9 years, involving the permanent maxillary right central incisor
and usually caused of physical activity around the house."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
James Handojo
"Berbagai studi menunjukkan bahwa gigi anterior rahang atas tidak saja menentukan harmonisasi dan estetika gigi geligi tetapi juga estetika wajah secara keseluruhan. Oleh karena itu rehabilitasi kehilangan gigi anterior rahang atas memerlukan pendekatan yang khusus. Salah satunya adalah penentuan ukuran dan bentuk gigi anterior rahang atas, yang akan menentukan hasil gigi tiruannya. Beberapa panduan estetik yang digunakan untuk menentukan ukuran dan bentuk gigi anterior rahang atas antara lain adalah golden proportion. Pengunaan golden proportion sebagai panduan estetik memicu kontroversi karena penelitian lain juga membuktikan ada proporsi lain yang juga mempunyai nilai estetik. Penelitian ini bertujuan mencari proporsi estetik gigi anterior rahang atas pada mahasiswa Indonesia. Karena negara Indonesia mempunyai antropologi ragawi yang berbeda dengan negara lain, maka golden proportion belum diketahui kecocokannya sebagai panduan estetik gigi anterior rahang atas orang Indonesia. Empat puluh delapan mahasiswa menjadi subyek penelitian. Rahang atas dicetak dan proporsi gigi anterior rahang atas model diukur pada milimeter blok. Hasil penelitian ini menunjukkan proporsi estetik yang ditemukan pada kelompok mahasiswa di Jakarta berbeda dengan golden proportion dan proporsi ini dapat digunakan sebagai panduan estetik, terbukti dari hasil analisa persepsi estetika yang diperoleh dengan Oral Aesthetic Scale.

Maxillary anterior teeth play an important role in facial esthetics. The size and form of the maxillary anterior teeth are important not only to dental esthetics, but also to facial esthetics. The goal of anterior restoration is to achieve optimal dentolabial relations in harmony with the overall facial appearance. However, there is little scientific data in the dental literature that can be used as a guide for defining the proper size and shape of esthetic anterior teeth. One of the most harmonious recurrent tooth-to-tooth ratio was that of the golden proportion. Conflicting reports indicate that the majority of beautiful smiles did not have proportions with the golden proportion. Indonesian population is genetically diverse to other countries, golden proportion have not been tested its compatibility as universal esthetic guide. The purpose of the present study was to determine the maxillary anterior teeth esthetic proportion among Indonesian students. Forty eight students participate in this study. Casts of the maxillary arches of the subjects was made and the proportion of the anterior teeth measured on a milimeter block. The result showed that proportion found among the students is different from the golden proportion, and this proportion can be used as a guide for defining esthetic maxillary anterior teeth, confirmed by the result of esthetic perception of the subject evaluated using Oral Aesthetic Scale.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2011
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siwan
"Pemillihan ukuran gigi anterior atas yang tepat saat pembuatan gigi tiruan sehingga menghasilkan penampilan yang baik secara estetik, merupakan suatu tantangan. Terdapat berbagai metode untuk menentukan lebar gigi anterior atas apabila tidak tersedianya catatan pra-ekstraksi. Meskipun sejumlah metode telah dikemukakan, cara penentuan lebar gigi anterior atas yang tepat masih belum dapat dipastikan, khususnya lebar gigi insisif sentral atas dan lebar enam gigi anterior atas.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah jarak bizygomatik, jarak interkomisural, jarak interalar, jarak intercanthal dan jarak interpupil dapat digunakan sebagai panduan untuk pemilihan lebar gigi anterior atas pada populasi di Jakarta. Subjek berjumlah 100 orang (30 laki-laki dan 70 perempuan) dengan rentang usia 18-35 tahun, dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Digunakan alat modifikasi Trubyte dengan milimeter blok yang dicetak pada plastik transparan untuk pengukuran wajah. Jangka kaliper digunakan untuk mengukur lebar gigi anterior atas. Data yang diperoleh dianalisis statistik menggunakan korelasi Pearson.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebar enam gigi anterior atas maupun lebar gigi insisif sentral atas tidak berkorelasi terhadap jarak bizygomatik, jarak interkomisural, jarak intercanthal, jarak interpupil. Jarak interkomisural berkorelasi terhadap jarak bizygomatik, jarak interalar, jarak intercanthal dan jarak interpupil secara signifikan. Dengan segala keterbatasan penelitian ini disimpulkan bahwa lebar enam gigi anterior atas dan lebar gigi insisif sentral atas hanya berkorelasi terhadap jarak interalar dan jenis kelamin.

Selection of appropriate size of the maxillary anterior teeth for dentures to provide an esthetically pleasing appearance is a challenge. Various guidelines have been suggested for determining the width of the maxillary anterior teeth when pre extraction records are not available. In spite of numerous methods available, the establishment of correct selection of the width of the maxillary anterior teeth has not been defined yet, especially the width of maxillary central incisor and the width of six anterior teeth.
A clinical study was conducted to determine whether bizygomatic width, intercommissural distance, interalar distance, intercanthal distance and interpupillary distance can be used as a guide for selection of width of maxillary anterior teeth of Jakarta population. A total of 100 subjects (30 males and 70 females) of 18-35 years were selected, based on predetermined selection criteria. A modified Trubyte with millimeter block imprints on a transparent sheet was constructed and used for the measurements. A caliper was used for measuring the width of maxillary anterior teeth. The data were statistically analyzed using the Pearson Correlation.
The results of this study showed that the width of six maxillary anterior teeth and the width of maxillary central incisor were not correlated with the bizygomatic width, intercommissural distance, intercanthal distance and interpupillary distance. The intercommissural distance was significantly correlated with bizygomatic width, interalar distance, intercanthal distance and interpupillary distance. Within the limitations of the study it can be concluded that the width of six maxillary anterior teeth and the width of maxillary central incisor were correlated only with interalar distance and sex variable.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Donovan Roberto Jonamika
"ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit periodontal merupakan penyakit gigi dan mulut yang sering ditemui dan dapat terjadi pada semua orang dengan keadaan rongga mulut. Pasien yang datang ke klinik Periodonsia RSKGM FKG UI terdiri dari berbagai kelompok dengan keadaan rongga mulut yang berbeda-beda serta memiliki faktor risiko yang berbeda pula, terutama pada gigi anterior mandibula yang rentan terhadap penyakit periodontal. Tujuan: Mendapatkan distribusi kelainan periodontal pada gigi anterior mandibula serta hubungannya dengan faktor risiko yang mempengaruhinya pada pasien di RSKGM FKG UI. Metode: Penelitian deskriptif analitik menggunakan data sekunder dari rekam medis RSKGM FKG UI periode 2016 2018. Hasil: Distribusi kelainan periodontal lebih sering terdapat pada kelompok usia lansia (45-65 tahun) dan pada laki-laki. Distribusi mobilitas terbanyak ditemukan pada gigi 31 dan kelompok usia lansia (45-65 tahun); resesi gingiva terbanyak terdapat pada gigi 31, ukuran resesi gingiva terbanyak adalah <3 mm; poket periodontal terbanyak terdapat pada gigi 43, kedalaman poket terbanyak adalah 1-3 mm; kehilangan perlekatan klinis terbanyak terdapat pada gigi 42, kehilangan perlekatan klinis terbanyak adalah >5 mm; kerusakan tulang alveolar terbanyak ditemukan pada gigi 42 dan kelompok usia lansia (45-65 tahun). Distribusi trauma oklusi terbanyak terdapat pada gigi 41, penyebab trauma yang paling sering ialah blocking. Kelainan periodontal lebih sering terdapat pada gigi yang memiliki kelainan titik kontak. Kesimpulan: Kelompok persentase usia terbesar adalah lansia (48,16%), jenis kelamin tertinggi adalah perempuan (50,28%), mayoritas pasien memiliki OHIS buruk (50,28%), dan PBI yang ringan (46,33%). Kelainan periodontal yang dijumpai pada gigi anterior mandibula adalah 34,75% subjek memiliki mobilitas gigi; 72,03% subjek mengalami resesi gingiva; 79,94% subjek memiliki poket absolut; 82,34% subjek memiliki kehilangan perlekatan klinis; dan 61,02% subjek memiliki kerusakan tulang alveolar. Faktor risiko lokal meliputi trauma oklusi dimana 57,77% subjek mengalami trauma oklusi; 83,47% subjek memiliki gigi berjejal pada gigi anterior mandibula; dan 90,82% subjek memiliki kelainan titik kontak."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Valerie Kartini
"Latar Belakang: Maloklusi adalah ketidakteraturan kesejajaran gigi dan/atau hubungan lengkung gigi dengan gigi yang tidak normal yang diakibatkan oleh berbagai faktor dan dapat menyebabkan ketidakpuasan estetika sampai masalah pada segi fungsional. Pasien dengan maloklusi memerlukan perawatan ortodonti salah satunya untuk memperbaiki maloklusi. Inklinasi dan angulasi gigi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan perawatan ortodonti yang stabil dan optimal. Tujuan: Mengetahui gambaran sudut inklinasi dan angulasi gigi anterior pada pasien maloklusi skeletal kelas I pasca perawatan ortodonti cekat di klinik spesialis ortodonti RSKGM FKG UI. Metode: Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif dengan desain potong lintang (cross-sectional) menggunakan sampel berupa data sekunder rekam medik. Hasil: Dari 96 rekam medik pasien maloklusi kelas I yang telah selesai mendapatkan perawatan ortodonti cekat di Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, didapatkan rerata sudut U1-SN sebesar 105,60° ± 5,80°, rerata sudut U1-PP sebesar 114,55° ± 6,21°, rerata sudut L1-MP sebesar 93,63° ± 7,94°, dan rerata sudut IMPA adalah sebesar 96,40° ± 7,96°. Rerata angulasi gigi 11 sebesar 89,03° ± 3,26°, rerata angulasi gigi 21 sebesar 90,35° ± 3,07°, rerata angulasi gigi 31 sebesar 89,28° ± 4,33°, dan rerata angulasi gigi 41 sebesar 90,61° ± 5,04°. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tentang Gambaran Inklinasi dan Angulasi Gigi Anterior pada Pasien Maloklusi Kelas I Pasca Perawatan Ortodonti Cekat di Klinik Spesialis Ortodonti RSKGM FKG UI, rerata sudut inklinasi gigi anterior pasien termasuk dalam kisaran nilai normal, kecuali pada sudut IMPA. Rerata sudut angulasi gigi anterior pasien relatif tegak dan paralel.

Background: Malocclusion is the irregularity of teeth and is considered as oral health problem resulting from various etiological factors causing esthetic dissatisfaction to functional impartment. Patients with malocclusion require orthodontic treatment to correct the malocclusion. Inclination and angulation of teeth are one of the factors that influence the success of stable and optimal orthodontic treatment. Objective: This study aims to describe the inclination and angulation of anterior teeth on class I malocclusion patients after fixed orthodontic treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI. Methods: Cross-sectional descriptive study is done using the secondary data found in the patient’s medical record. Results: From 96 medical records of class I malocclusion patients who have completed fixed orthodontic treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, the mean U1-SN angle is 105.60° ± 5.80°, the mean U1-PP angle is 114.55°. ± 6.21°, the mean angle of L1-MP is 93.63° ± 7.94°, and the mean angle of IMPA is 96.40° ± 7.96°. The mean angulation of tooth 11 is 89.03° ± 3.26°, mean angulation of tooth 21 is 90.35° ± 3.07°, mean angulation of tooth 31 is 89.28° ± 4.33°, and mean angulation of tooth 41 is of 90.61° ± 5.04°. Conclusion: Based on research on the Inclination and Angulation of Anterior Teeth on Class I Malocclusion Patients after Fixed Orthodontic Treatment at the Orthodontic Specialist Clinic of RSKGM FKG UI, the inclination of anterior teeth is within the normal range, except at the IMPA angle. The angulation of anterior teeth is relatively upright and parallel."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kesehatan gigi dan mulut anak pada tingkatan usia selanjutnya sangat
ditentukan oleh perawatan gigi dan kebersihan mulut pada masa anak-anak.
Pengetahuan anak sejak dini tentang perawatan gigi dan kebersihan mulut
sangat diperlukan sebagai sarana pencegahan masalah gigi anak. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah keterkaitan antara tingkat
pengetahuan anak usia sekolah tentang kebersihan mulut dengan perilaku
menggosok gigi yang mereka lakukan. Penelitian ini dilakukan pada Mei 2008
di SD Negeri Lubang Buaya 04 pada 70 siswa/siswi kelas 4 dan 5 SD. Desain
penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah desain penelitian
korelatif dengan teknik simple random sampling dan menggunakan instrumen
berupa kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah adalah univariat dan
bivariat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa anak yang memiliki tingkat
pengetahuan tinggi sebesar 62,7%, dan anak yang memiliki perilaku baik dalam
menggosok gigi sebesar 61,2%. Tidak ada hubungan yang bermakna antara
tingkat pengetahuan anak usia sekolah tentang kebersihan mulut dengan
perilaku menggosok gigi (P-value = 0,697; alpha = 0,05). Dari pembahasan
diketahui bahwa perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pengetahuan saja,
namun terdapat faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor kecerdasan,
persepsi, motivasi, proses belajar, lingkungan, dll."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5640
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ambartyas Niken Wijayaningrum
"Kecacingan masih menjadi masalah kesehatan pada anak Indonesia di pedesaan dan daeran perkotaan yang padat penduduk dengan sanitasi dan higiene yang kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian kecacingan pada anak SD “X” di Cilincing Jakarta Utara. Penelitian dilakukan secara cross-sectional. Data didapatkan melalui wawancara dan pengisian kuesioner pada 104 siswa SD “X” kelas 3-5. Selanjutnya dilakukan skor penilaian dan dianalisis secara statistik dengan program SPSS v 13.0 dan uji Fisher. Hasil penelitian memperlihatkan 65 siswa (62,5%) mengalami kecacingan terdiri dari 30 anak terinfeksi A. lumbricoides, 10 anak terinfeksi T. trichiura dan 25 anak dengan infeksi campuran. Analisis kebiasaan mencuci tangan menunjukkan 100 orang siswa (96.2%) memiliki kebiasaan mencuci tangan yang baik yaitu selalu mencuci tangan sebelum makan, setelah defekasi maupun bermain. Analisis statistik menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian kecacingan. (p = 1,000; p > 0,05) Untuk itu diperlukan rancangan penelitian yang melibatkan kelompok studi dan control serta observasi mendalam.

Intestinal helminthiasis is still a problem among school children in Indonesia and affect mostly those living in rural area or densely populated urban area with inadequate hygiene and sanitation. This study was aimed to investigate the association between hand washing habits with intestinal helminthiasis among the elementary school students in Cilincing, North Jakarta. A cross-sectional study was performed involving 104 students from grade 3 – 5. Data was obtained through questionnaires and interview, was then scored, analyzed statistically with SPSS v 13.0 program and Fisher test. The result showed that 65 out of 104 students (62.5%) were infected with worms, majority by Ascaris lumbricoides (46.2%), followed by Trichuris trichiura (15.4%) and the rest was a mixed infection (38.5%). Analysis of hand washing habit showed 100 students (96.2%) had good habit which was statistically no significant association between hand washing habit with worm infection (p = 1,000; p > 0,05). Better study design involving case control groups and close observation are necessary to elucidate the association."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi kecacingan yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang berperan adalah perilaku hidup bersih. Berdasarkan penelitian pada salah SD X di Jakarta Utara didapatkan angka kecacingan tinggi dan sebagian anak-anak SD tersebut suka bermain tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kebiasaan bermain tanah pada siswa SD X Cilincing dan hubungannya dengan kejadian kecacingan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder dari penelitian Departemen Parasitologi FKUI selama Mei-Juni 2009. Data kemudian dianalisa secara statistik dengan uji Chi Square untuk mengetahui kemaknaannya. Dari 104 siswa yang mengikuti penelitian didapatkan hasil 65 siswa (62,5%) mengalami kecacingan, mayoritas terinfeksi Ascaris lumbricoides. Analisis kebiasaan bermain tanah didapatkan 33 siswa. Analisis statistik menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dan kebiasaan bermain tanah terhadap kejadian kecacingan (p > 0,05). Faktor kontak tanah langsung saat bermain tanah dan mencuci tangan menunjukkan hubungan bermakna secara statistik (p < 0.05).

Indonesia is a country with high prevalence of worm infections, particularly among school- age children. There are several factors contribute to it such as playing games on soil. This study aimed to know the relationship between high prevalence of worm infections with playing games on soil of students SD X Cilincing. The data was collected using questionneres and secondary data from Department of Parasitology FMUI on May-June 2009. The data then analyzed statistically using Chi Square test. Among 104 students, 65 of them (62.5%) were positive detected worm infections, with the majority was caused by Ascaris lumbricoides. 33 of them had playing on contaminated soil- habits. Analysis showed there were no significant relationship between gender, the playing games on soil-habit with worm infections (p > 0.05). Factors the hand contact with the soil and washing hands with soap had significant relationship with worm infection (p < 0.05) among students at SD Negeri X Cilincing."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>