Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183470 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nuly Juariah Mahnulia
"ABSTRAK
Latar Belakang: Perubahan hemodinamik selama hemodialisis (HD) kronik
dapat menimbulkan hipoperfusi dan iskemia koroner yang dapat menyebabkan
cedera miokard yang ditandai dengan peningkatan kadar troponin I (cTnI)
sehingga dapat menjadi penanda yang potensial untuk kejadian tersebut.
Hemodialisis 2 kali seminggu berisiko membuat laju ultrafiltrasi (UFR) dan
volume ultrafiltrasi (UFV) yang lebih tinggi sehingga menimbulkan kejadian
hipovolemia yang lebih besar.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi pasien yang
mengalami peningkatan cTnI intradialisis dan satu bulan setelah HD serta
mengetahui hubungan antara faktor-faktor lama HD, UFR, UFV, hipotensi
intradialisis (IDH), dan diabetes melitus (DM) dengan peningkatan kadar cTnI
tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif untuk menilai kadar
cTnI sebelum dan sesudah HD. Sebanyak 138 subyek yang menjalani HD 2 kali
seminggu memenuhi kriteria inklusi. Pemeriksaan kadar cTnI menggunakan
reagen ARCHITECH STAT. Nilai cut off cTnI untuk laki-laki adalah 34,0 pg/mL
dan untuk perempuan 15,6 pg/mL. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara lama HD, UFR, UFV, IDH dan DM dengan
peningkatan cTnI intradialisis dan satu bulan setelah HD.
Hasil: Dari 138 subyek, sebanyak 57 subyek (41,3%) mengalami peningkatan
kadar cTnI. Kadar cTnI meningkat secara signifikan selama HD (p<0,001) .
Faktor DM berhubungan dengan peningkatan kadar cTnI (OR 2,207 (IK 95%
1,056-4,616), p=0,033), yang mempunyai risiko 2,2 kali dalam peningkatan kadar
cTnI. Setelah satu bulan, sebanyak 53 dari 132 subyek (40,2%) mengalami
peningkatan kadar cTnI yang signifikan. Sebanyak 31 pasien (23,4%) mengalami
peningkatan kadar cTnI 50% di atas cut off. Analisis multivariat menunjukan tidak
terdapat hubungan antara lama HD, UFR, UFV, IDH, dan DM dengan
peningkatan kadar cTnI satu bulan setelah HD.
Simpulan: Proporsi pasien yang mengalami peningkatan cTnI intradialisis
sebesar 41,3% dan satu bulan setelah HD sebesar 40,2%. Diabetes melitus
berhubungan dengan peningkatan cTnI intradialisis, sedangkan lama HD, UFV,
UFR, dan IDH tidak berhubungan dengan peningkatan cTnI. Lama HD, UFV,
UFR, IDH, dan DM tidak berhubungan dengan peningkatan kadar cTnI satu bulan
setelah HD.

ABSTRACT
Background: Hemodynamic changes during chronic hemodialysis (HD) may
induce coronary hypoperfusion and coronary ischemia which lead to
asymptomatic myocardial injury marked by the increase in cardiac troponin I
(cTnI) levels which make this cTnI a potential marker for these events. Two time
a week HD increase the risk of higher ultrafiltration rate (UFR) and ultrafiltration
volume (UFV) contributing to higher hipovolemia events.
Objective: The aims of this study is to identify the proportion of patients
experiencing elevated intradialytic and 1-month after HD cTnI, and determine
association between HD vintage, UFR, UFV, intradialitic hypotention (IDH) and
diabetes mellitus (DM) factors and the elevated of cTnI.
Method: This study is a prospective cohort study examining cTnI levels before
and after single HD session. A total 138 patient underwent twice-weekly regimens
of HD. Levels of cTnI levels was tested using ARCHITECH STAT reagents. The
cut-off points of cTnI were 34.0 pg/mL and 15.6 pg/mL for men and women,
respectively. Bivariate and multivariate analysis were used to determine the
association between HD vintage, UFR, UFV, IDH, and DM and the increased of
intradialytic and 1-month after HD cTnI.
Results: Out of 138 patients, 57 (41,3%) subjects had elevated intradialytic cTnI
level. The cTnI levels increased significantly during HD (p <0.001). Diabetes has
association with the increased levels of cTnI during intradialytic (OR 2,207 (CI
95% 1,056-4,616), p=0,033), which has a 2,2 times increased risk of cTnI levels.
After 1 month, 53 of 132 subjects (40.2%) experienced significant increases in
cTnI levels. A total of 31 patients (23.4%) had an increase of cTnI levels 50%
above cut off. Multivariate analysis showed no association between HD vintage,
UFR, UFV, IDH, DM and the elevated levels of 1-month after HD cTnI.
Conclusion: The proportion of patients with elevated intradialytic cTnI is 41.3%.
and 1-month after HD cTnI is 40.2%. Diabetes mellitus has association with the
increased levels of cTnI during intradialytic while HD vintage, UFV, UFR and
IDH have no association with the increased levels of cTnI. Hemodialysis vintage,
UFR, UFV, IDH, and DM have no association with the increased levels of 1-
month after HD cTnI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58601
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Salwani
"Latar Belakang: Pasien hemodialisis (HD) kronik memiliki peningkatan risiko kematian. Penyakit kardiovaskular seperti aritmia merupakan penyebab kematian utama pasien HD kronik. Kidney Disease Outcome Quality Initiative merekomendasikan HD 3 kali per minggu, tetapi sebagian besar pasien di Indonesia menjalani HD dengan frekuensi 2 kali per minggu. Hal ini menyebabkan interdialytic weight gain, volume ultrafiltrasi, dan laju ultrafiltrasi menjadi lebih besar dan perubahan kadar elektrolit yang mendadak dapat mencetuskan arritmia.
Tujuan: Mengetahui pengaruh volume ultrafiltrasi, kadar kalsium ion pre HD, penurunan kadar kalium dan magnesium serum terhadap pemanjangan dispersi QTc pasien yang menjalani HD 2 kali seminggu.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif di lakukan di ruang Hemodialisis RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebanyak 128 pasien memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan kalium, magnesium dan elektrokardiogram untuk menilai dispersi QTc dilakukan sebelum dan sesudah HD serta kalsium ion sebelum HD. Analisis data dihitung menggunakan perangkat SPSS. Perbandingan antara pasien dengan atau tanpa pemanjangan dispersi QTc dilakukan dengan uji Chi-square dan uji Fisher exact untuk data kategorik dan uji T tidak berpasangan untuk data kontinu distribusi normal atau uji Mann whitney bila distribusi tidak normal. Analisis multivariat regresi logistik multivariabel digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemanjangan dispersi QTc.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 112 pasien. Terdapat pemanjangan dispersi QTc sebanyak 51 %. Pengaruh volume ultrafiltrasitehadap pemanjangan dispersi QTc tidak bermakna secara statistik (risiko relatif 1,069 dan IK (95%) 0,742-1,530 serta p=0,715). Pengaruh perubahan kadar kalium dan kadar kalsium ion pre HD terhadap pemanjangan dispersi QTc tidak bermakna secara statistik (p=0,943 dan p=0,842). Perubahan kadar magnesium terhadap pemanjangan dispersi QTc didapatkan berbeda bermakna secara statistik (p=0,023). Tidak dilakukan analisis multivariat karena hanya terdapat satu variabel dengan p < 0,02.
Simpulan: Pengaruh volume ultrafiltrasi, perubahan kadar kalium dan kadar kalsium ion pre HD terhadap pemanjangan dispersi QTc  tidak bermakna secara statistik. Perubahan kadar magnesium terhadap pemanjangan dispersi QTc berbeda bermakna secara statistik.

Introduction: Patients with end-stage renal disease (ESRD) requiring hemodialysis have a high mortality rate. Cardiovascular mortality is usually occurs suddenly. Kidney Disease Outcome Quality Initiative recommended three time a week HD but in Indonesia only two time a week HD. Two time a week HD increase the risk of higher interdialytic weight gain and  ultrafiltration volume (UFV) contributing to high serum electrolyte changes that cause arrhytmia. 
Objective: The aim of this study is to find effect of ultrafiltration volume, serum potassium changes, pre hemodialysis serum ionic calsium, serum magnesium changes on increased QTc dispersion in chronic hemodialysis patients twice a week.
Methode: This study is a prospective cohort study. A total 112 patient underwent twice-weekly regimens of HD in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Blood samples were Drawn for measurement of serum electrolytes, and a 12-lead ECG were performed to measure the QTc interval and QTc dispersion, immediately before and just after dialysis sessions. Analyzes were performed with SPSS. Chi-square or Fisher exact was used to compare QTc dispersion changes before and after dialysis and ultrafiltration volume. Paired t test was used to compare QTc dispersion changes and serum electrolytes before and after dialysis within the study group. Mann Whitney test was used for abnormal distribution. Multivariate analysis was used to find effect of ultrafiltration volume, serum potassium changes, pre HD serum ionic calsium, serum magnesium changes on increased QTc dispersion in chronic hemodialysis patients twice a week. 
Result: One hunDred twelve patients underwent twice weekly HD  were analyzed. Proportion of patients with prolong of QTc dispersion was 51 %.  The effect of ultrafiltration volume with the prolong of QTc dispersion was not statistically significant (relative risk 1,069, CI (95%) 0,742-1,530, p=0,715). The effect of serum potassium changes and pre HD serum ionic calsiumon increased QTc dispersion were not statistically significant (p=0,943 and p=0,842). The effect of serum magnesium changes with the elevated of QTc dispersion was statistically significant (p=0,023). Multivariate analysis was not done.
Conclusion: The effect of ultrafiltration volume, serum potassium changes and Pre HD serum ionic calsium on increased QTc dispersion was not statistically significant. The effect of serum magnesium changes with the elevated of QTc dispersion was statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeremia Immanuel Siregar
"ABSTRAK Latar Belakang: Skor kualitas hidup yang rendah pada pasien hemodialisis (HD) dikatakan berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas. Namun, belum ada penelitian yang melaporkan hubungan langsung antara laju aliran darah (Qb) dan skor kualitas hidup pada pasien HD dua kali seminggu.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara laju aliran darah (Qb) dengan skor kualitas hidup pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis kronik dua kali seminggu.
Metode: Penelitian potong-lintang ini dilakukan di Unit Hemodialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pasien dengan gangguan fungsi luhur, chronic heart failure NYHA (New York Heart Association) kelas III-IV, buta, imobilisasi ketergantungan berat serta menolak ikut penelitian tidak diikutsertakan dalam penelitian. Pasien kemudian dibagi menjadi grup 1 (Qb > 250 ml/menit) dan grup 2 (Qb ≤ 250 ml/menit). Skor kualitas hidup dinilai menggunakan kuesioner KDQOL-SFTM, yang dibagi dalam skor fisik (PCS), mental (MCS) dan masalah terkait penyakit ginjal (KDCS). Hubungan antara Qb dan skor kualitas hidup dianalisis menggunakan metode chi-square serta regresi logistik untuk mendapatkan nilai rasio prevalensi (RP) yang adjusted.
Hasil: Sebanyak 132 pasien dimasukkan kedalam analisis penelitian. Nilai Qb digrup 1 memiliki hubungan dengan skor PCS ≥ 44 (RP 1,86; IK 95% 1,15-2,99), serta skor KDCS ≥ 52 (RP 1,41; IK 95% 1,03-1,92). Setelah analisis multivariat, nilai Qb digrup 1 masih berhubungann dengan skor PCS ≥ 44 (RP adjusted 1,87; IK 95% 1,15-2,51) dan skor KDCS ≥ 52 (RP adjusted 1,31; IK 95% 1,004-1,50).
Simpulan: Nilai Qb > 250 ml/menit memiliki hubungan yang signifikan dalam kualitas hidup fisik dan masalah terkait penyakit ginjal yang lebih baik pada pasien hemodialisis 2 kali seminggu.

ABSTRACT
Background. A low quality of life (QoL) score in hemodialysis (HD) patients was related to increased risk of mortality. However, there was no study reported the direct relationship between BFR and QoL in twice-weekly HD patients.
Objectives. To determine the relationship between blood flow rate and quality of life in twice-weekly hemodialysis patients.
Methods. This cross-sectional study was conducted at the Hemodialysis Unit in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Patients with neurocognitive impairment, chronic heart failure NYHA (New York Heart Association) class III-IV, blindness, immobilization with severe dependence and refused to participate were excluded in the study. Patients were divided into group 1 (BFR > 250 ml/min) dan group 2 (BFR ≤ 250 ml/min). The QoL was assessed using KDQOL-SFTM questionnaire, which was divided in physical (PCS), mental (MCS) and kidney disease-related (KDCS) scores. Relationship between BFR and QoL scores were analyzed using chi-square and logistic regression methods in order to determine adjusted Prevalence Ratio (PR).
Results. A total of 132 patients were included in the analysis. The BFR in group 1 was associated with PCS scores ≥ 44 (PR 1.86; 95% CI 1.15-2.99), as well as KDCS scores ≥ 52 (PR 1.41; 95% CI 1.03-1.92). After multivariate analysis, BFR values ​​of patients in group 1 were still associated with PCS scores ≥ 44 (adjusted PR 1.87; 95% CI 1.15-2.51) and KDCS scores ≥ 52 (adjusted PR 1.31; 95% CI 1.004-1.50).
Conclusion. The BFR values > 250 ml/min had a significant relationship for better physical and kidney disease-related quality of life in twice-weekly HD patients.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kathrine
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah kelainan kongenital dengan insidens tertinggi dan memerlukan pemantauan berkala. Pemeriksaan ekokardiografi memerlukan fasilitas dan tenaga ahli yang belum tersedia secara luas di Indonesia. Troponin I merupakan biomarker spesifik jantung yang terdeteksi pada awal terjadinya kerusakan miokardium. Data mengenai penggunaan biomarker jantung pada pasien anak dengan PJB masih terbatas.
Tujuan: Mengetahui korelasi antara kadar troponin I dengan parameter hemodinamik pasien PJB asianotik dengan pirau kiri ke kanan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang terhadap 53 subyek dengan PJB asianotik pirau kiri ke kanan yang berobat di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan untuk menilai jenis PJB, ukuran defek, dan parameter hemodinamik yaitu Qp/Qs, tekanan sistolik arteri pulmoner, fraksi ejeksi ventrikel kiri, dan tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE). Kadar troponin I dinilai melalui enzyme linked fluorescent assay (ELISA) dengan sampel darah diambil pada hari yang sama dengan ekokardiografi..
Hasil: Median usia subyek adalah 16 (3-135) bulan dengan jenis kelamin perempuan 54,7% (n=53). Diagnosis PJB terbanyak adalah ASD (45,3%), dengan proporsi terbanyak defek berukuran sedang (43,4%). Peningkatan kadar troponin I didapatkan pada 7 (13,2%) subyek. Tidak ada perbedaan bermakna kadar troponin I pada berbagai jenis PJB. Ada korelasi negatif lemah antara kadar troponin I dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri (r=-0,391, p=0,002).
Kesimpulan: Terdapat korelasi negatif lemah antara kadar troponin I dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri, sementara tidak ada korelasi bermakna dengan parameter hemodinamik lainnya

Background: Congenital heart disease (CHD) is the most frequent congenital abnormality and requires regular monitoring. Echocardiographic examination requires facilities and experts which are not widely available in Indonesia. Troponin I is a heart-specific biomarker that is detected early in myocardial damage. Data regarding the use of cardiac biomarker in pediatric CHD patients are still limited.
Objective: To determine the correlation between troponin I level and hemodynamic parameters in acyanotic CHD patients with left-to-right shunts.
Methods: A cross-sectional study of 53 subjects with left-to-right shunt acyanotic CHD as inpatient or outpatient at dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Hospital. Echocardiography was performed to assess the type and size of CHD, as weel as hemodynanic parameters (Qp/Qs, pulmonary artery systolic pressure, left ventricular ejection fraction/EF, and tricuspid annular plane systolic excursion/TAPSE). Troponin I level was determined by enzyme linked fluorescent assay (ELISA) with blood samples taken on the same day as echocardiography.
Results: The median age of the subjects was 16 (3-135) months, with 54.7% female (n=53). Most prevalent of the CHD type was ASD (45.3%), most of the defect were medium-sized (43.4%). Increased troponin I levels were found in 7 (13.2%) subjects. There was no significant difference in troponin I level in various CHD types. There was a weak negative correlation between troponin I level and EF (r=-0.391, p=0.002).
Conclusion: There was a weak negatif correlation between troponin I level and EF, while there was no significant correlation with other hemodynamic parameters.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deka Viotra Kamaruddin
"Latar Belakang: Kekakuan arteri merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pasien menjalani dialisis. Beberapa studi yang membandingkan kekakuan arteri antara pasien yang menjalani hemodialisis dengan continuos ambulatory peritoneal dialysis CAPD masih kontroversi. Pelaksanaan hemodialisis yang dilakukan dua kali seminggu di Indonesia akan meningkalkan kekakuan arteri.
Tujuan: Membandingkan kekakuan arteri antara pasien menjalani yang CAPD dengan hemodialisis dua kali seminggu.Metode: Studi komperatif membandingkan kekakuan arteri pasien yang menjalani CAPD dengan hemodialisis. Penelitian ini terdiri dari 30 subjek CAPD dan 30 subjek hemodialisis selanjutnya dilakukan pemeriksaan kekakuan arteri menggunakan SphygmoCor.
Hasil: Karakteristik subjek yang menjalani CAPD dan hemodialisis tidak terdapat perbedaan pada usia, jenis kelamin, tekanan darah, lama menjalani dialisis dan diabetes melitus. Kadar fosfat subjek yang menjalani CAPD 5,09 1,83 mg/dL lebih rendah dibandingkan hemodialisis 6,07 1,83 mg/dL dan bermakna secara stastistik p = 0,046. Subjek yang menjalani CAPD mempunyai PWV 8,04 1,54 m/s lebih rendah dibandingkan hemodialisis 9,05 1,98 m/s dan bermakna secara stastistik p = 0,03.
Simpulan: Pasien yang menjalani CAPD mempunyai kekakuan arteri yang lebih rendah dibandingkan hemodialisis dua kali seminggu.

Background: Arterial stiffness is a predictor of cardiovascular morbidity and mortality in dialysis patients. Several studies comparing arterial stiffness among patients undergoing continuous ambulatory peritoneal dialiyis CAPD and hemodialysis are still controversial. In, Indonesia hemodialysis is still performed twice a week that can cause the arterial stiffness higher than CAPD.
Objective: This study is aimed to compare arterial stiffness between CAPD and hemodialysis that performed twice a week patients.
Method: The comparative study between CAPD and hemodialysis patients. This study consisted of 30 CAPD and 30 hemodialysis patients. The examination of arterial stiffness used SphygmoCor.
Result: The CAPD and hemodialysis patients were no different in age, sex, blood pressure, dialysis duration and diabetes mellitus. Phosphate levels in CAPD 5.09 1.83 mg/dL were lower than hemodialysis patients 6.07 1.83 mg/dL and stastically significant p = 0.046. CAPD patients have lower PWV 8.04 1.54 m/s than hemodialysis 9.05 1.98 m/s and stastically significant p = 0.03.
Conclusion: The CAPD patients have lower arterial stiffness than hemodialysis patients that performed twice a week."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Donnie Lumban Gaol
"

Latar Belakang: Salah satu faktor utama yang terlibat dalam gangguan mineral tulang dan muskuloskeletal pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) adalah Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23). Peningkatan kadar FGF-23 terjadi pada awal PGK dan semakin meningkat pada PGK tahap akhir terutama yang menjalani dialisis. FGF-23 mendapat perhatian khusus karena perannya terhadap otot skeletal pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis belum diketahui secara pasti. 

Tujuan: Mengetahui korelasi antara kekuatan genggam tangan(KGT) dengan kadar FGF-23 pada pasien yang menjalani hemodialisis kronis.

Metode: Penelitianinimerupakanstudipotong lintang. Penelitian ini dilaksanakan di unit Hemodialisis Divisi Ginjal-Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM Jakarta, pada 74 pasien dialisis 2 kali seminggu. Pengukuran FGF dengan pemeriksaan intactFibroblast Growth Factor-23 (iFGF-23) dan menilai KGT dengan dinamometer hidraulik tangan merek Jamar. Pemilihansubjekdilakukansecaraconsecutivesamplingsampaijumlah subyekyangdiperlukanterpenuhi.

Hasil: Subjek pada penelitian ini sebanyak 74 subjek dengan kadar pemeriksaan iFGF-23 pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, (3276 [ min-maks; 41-6613]pg/ml dan1585 pg/ml, [min-maks; 21-4820])dan nilai KGT pasien laki-laki adalah 25 kg (min-maks; 11-48) dan perempuan adalah 20 kg (min-maks; 8-26). Setelah dilakukan penyesuaian dengan indeks komorbid charlson modifikasidan indeks massa tubuh, maka tidak didapatkan korelasi antara FGF-23 dengan KGT pada subjek laki-laki (r=-0.053, p=0.7) akan tetapi terdapat korelasi negatif bermakna pada subjek perempuan (r=-0.4, p=0.02). 

Kesimpulan: Kadar iFGF-23 memiliki korelasi negatif bermakna dengan KGT pada perempuan dan hal tersebut tidak ditemukan pada subjek penelitian laki-laki.


Background: Patients with chronic kidney disease (CKD) face with muscle atrophy, low muscle strength, and low physical activity. One of the main factors involved in bone mineral and skeletal muscle dysfunction in patients with chronic kidney disease (CKD) is Fibroblast Growth Factor-23 (FGF-23). Despite FGF-23 associated left ventricular hypertrophy, there are no prior studies assessing whether FGF-23 level is associated with skeletal muscle strength in hemodialysis patient. 

Objective: To determine the correlation between hand-grip strength (HGS) and FGF-23 levels in patients undergoing twice-weekly hemodialysis patients.

Patient and Method: This is a cross-sectional study, which was conducted on 74 twice-weekly hemodialysis patient at the Hemodialysis Unit at Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Before dialysis session, intact Fibroblast Growth Factor-23 (iFGF-23) were measured in singlicate from plasma samples and han-grip strength that measured by Jamar hydraulic hand dynamometer. Subject selection was done by consecutive sampling until the required number of subjects was fulfilled. 

Results: There were 74 subjects recruited in this study, which included 7 (18.9%) male and 3 (8.1%) female subject had body mass index (BMI) < 18.5 kg/m2. Level of iFGF23 were significantly higher in males than in females (3276 pg/ml [ min-max, 41-6613] and 1585 pg/ml, [min-max 21-4820], respectively). According to the Asian Working Group for Sarcopenia, the HGS value of male patients was lower than in females (25 kg [min-max; 11-48], (20 kg [min-max; 8-26], respectively). After adjusting to Modified Charlson Comorbidity index (mCCI) and BMI, we found a significant correlation iFGF-23 and HGS in the female subject (r = -0.4, p = 0.02 and no correlation between iFGF-23 and HGS in male subject (r = -0,053, p = 0.7). 

 

Conclusion: In twice-weekly hemodialysis patients, iFGF-23 has a significant correlation with HGS in women and this was not found in male subject.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Imelda
"Pendahuluan. Berbagai panduan menganjurkan hemodialisis HD tiga kali seminggu. Di Indonesia pasien dengan hemodialisis dua kali seminggu lebih banyak ditemukan. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran klinis dan kualitas hidup pada pasien yang menjalani hemodialisis dua kali seminggu dibandingkan tiga kali seminggu.
Metode. Merupakan studi potong lintang pada pasien yang menjalani HD dua dan tiga kali seminggu di RS Cipto Mangunkusumo dan beberapa RS swasta. Dilakukan pemeriksaan laboratorium dan penilaian kualitas hidup dengan menggunakan Kidney Disease Quality of Life KDQOL-SF 36.
Hasil. Didapatkan 80 subjek dengan kelompok usia >50 tahun lebih banyak ditemukan. Secara bermakna lebih tinggi pada kelompok HD dua kali yaitu Interdialytic Weight Gain IDWG 4,91 SB 1,52 dan 3,82 SB 1,28 p=0,002. albumin 4,05 SB 0,26 dan 3,86 SB 0,48 p=0,027, saturasi transferin 25,5 12,0-274,0 dan 21,95 5,8-84,2 p=0,004, kadar fosfat 5,82 SB 1,68 dan 5,82 SB 1,68 p=0,026. Kadar TIBC 235,20 SB 55,72 dan 273,73 SB 58,29 p=0,004 pada kelompok tiga kali HD secara bermakna lebih tinggi. Pada kelompok HD dua kali seminggu 68 mencapai Kt/V>1,8, 93,3 yang HD tiga kali seminggu mencapai Kt/V>1,2. Kualitas hidup antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna baik pada Physical Componet Score PCS p=0,227, Mental Component Score MCS p=0,247 dan Kidney Disease Component Score KDCS p=0,889.
Simpulan. Didapatkan secara bermakna lebih tinggi pada kelompok HD dua kali seminggu pada pemeriksaan IDWG, albumin, saturasi transferin, fosfat, sedangkan TIBC lebih tinggi pada kelompok HD tiga kali seminggu. Kualitas hidup kedua kelompok tidak berbeda bermakna.

Introduction. Many guidelines recommend hemodialysis HD three times a week. In Indonesia there are more patients undergoing hemodialysis twice a week. It is necessary to investigate the clinical features and the quality of life in patients undergoing hemodialysis twice a week.
Method. A cross sectional study in patients undergoing HD two and three times weekly at Cipto Mangunkusumo Hospital and some private hospitals. Laboratory examination and assessment of quality of life by using Kidney Disease Quality of Life KDQOL SF 36.
Results. There were 80 subjects with age group 50 years is more common. Significantly higher in group HD twice a week were Interdialytic Weight Gain IDWG 4.91 SB 1.52 and 3.82 SB 1.28 p 0.002. 4,05 albumin SB 0.26 and 3.86 SB 0.48 p 0.027, transferrin saturation 25.5 12.0 to 274.0 and 21.95 5.8 to 84.2 p 0.004, the phosphate level 5.82 SB 1.68 and 5.82 SB 1.68 p 0.026. The TIBC level 235.20 55.72 SB and 273.73 58.29 SB p 0.004 was significantly higher in group HD thrice a week. In twice a week HD group 68 reached Kt V 1.8, 93.3 of HD thrice a week achieved Kt V 1.2. Quality of life between the two groups was not significant either on Physical Componet Score PCS p 0.227, Mental Component Score MCS p 0.247 and Kidney Disease Component Score KDCS p 0.889.
Conclusion. There were significantly higher in group HD twice a week on examination IDWG, albumin, transferrin saturation and phosphate levels, whereas the TIBC was higher in group HD three times a week. Quality of life of the two groups was not significant difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Yasmine Wardoyo
"Pendahuluan: Kekakuan arteri merupakan prediktor mortalitas pasien hemodialisis. Hemodialisis merupakan proses yang menginduksi inflamasi, ditandai dengan peningkatan penanda inflamasi, Pentraxin 3 (PTX3), intradialisis. Rerata kekakuan arteri pada pasien HD dua kali seminggu di Indonesia menunjukkan hasil yang lebih rendah daripada literatur.
Tujuan: Mengetahui faktor risiko kekakuan arteri pada pasien hemodialisis kronik dengan berfokus pada frekuensi hemodialisis dan PTX3.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang di RS Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, dan RS Medistra pada pasien yang menjalani hemodialisis minimal 1 tahun dengan frekuensi dua dan tiga kali seminggu. Kekakuan arteri diukur dengan carotid-femoral pulse wave velocity. Pemeriksaan PTX3 dilakukan sebelum hemodialisis dimulai.
Hasil: Penelitian dilakukan pada 122 subjek, 82 subjek diantaranya menjalani hemodialisis dua kali seminggu. Tidak ada perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD 2x dan 3x seminggu. PTX3 > 2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri (p=0,021). Pada analisis multivariat, PTX3 berhubungan dengan kekakuan arteri (adjusted OR 5,18; IK 95% 1,07-24,91), demikian juga penyakit kardiovaskular (adjusted OR 3.67; IK 95% 1.40-10.55), kolesterol LDL (adjusted OR 3.10; IK 95% 1.04-9.24), dan dialysis vintage (adjusted OR 2.72; IK 95% 1.001-7.38).
Simpulan: PTX >2,3 ng/ml berhubungan dengan kekakuan arteri. Tidak terdapat perbedaan kekakuan arteri antara pasien HD dua kali dan tiga kali seminggu.

Introduction: Arterial stiffness is a mortality predictor in hemodialysis patients. Hemodialysis induces inflammation, marked by intradialysis increment of inflammatory marker, Pentraxin 3 (PTX3). The mean arterial stiffness in twice-weekly hemodialysis patients in Indonesia is lower than studies done in thrice-weekly patients.
Objective: To determine factors associated with arterial stiffness in hemodialysis patients, focusing on the role of hemodialysis frequency and PTX3.
Methods: This study is a cross-sectional study conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital, Fatmawati Hospital, and Medistra Hospital Jakarta in twice- and thrice-weekly hemodialysis patients. Arterial stiffness is measured by carotid-femoral pulse wave velocity.
Results: The study is conducted in 122 subjects, 82 of them undergo twice-weekly hemodialysis. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly subjects. PTX3>2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness (p= 0.021). In multivariate analysis, PTX3 is associated with arterial stiffness (adjusted OR 5.18; 95% CI 1.07-24.91), as well as cardiovascular disease (adjusted OR 3.67; 95% CI 1.40-10.55), LDL cholesterol (adjusted OR 3.10; 95% CI 1.04-9.24), and dialysis vintage (adjusted OR 2.72; 95%CI 1.001-7.38).
Conclusions: Predialysis PTX3 level above 2.3 ng/ml is associated with arterial stiffness. There is no difference in arterial stiffness between twice- and thrice-weekly hemodialysis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tanya Herdita
"Latar Belakang: Penyakit ginjal tahap akhir (PTGA) memiliki mortalitas dan morbiditas yang utamanya disebabkan oleh gangguan kardiovaskular. Salah satu penyebab gangguan kardiovaskular tersebut adalah kekakuan arteri. Hemodialisis merupakan salah satu intervensi pada pasien PTGA. Namun, faktor-faktor yang memengaruhi kekakuan arteri pada pasien PTGA yang menjalani hemodialisis masih belum banyak diteliti.
Tujuan: Mengetahui proporsi kekakuan arteri pada pasien PGTA yang menjalani hemodialisis dua kali seminggu dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Studi observasional dengan desain potong lintang dilakukan di Unit Hemodialisis Divisi Ginjal-Hipertensi Rumah Sakit Umum Pusat dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) pada bulan April-Mei 2019. Pasien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis dua kali per minggu minimal selama 3 bulan terakhir diikutsertakan dalam penelitian. Pasien yang mengalami penyakit akut atau tidak kooperatif dieksklusi dari penelitian. Kekakuan arteri dinilai dalam bentuk Pulse Wave Velocity (PWV) menggunakan alat SphygmoCor dengan cutoff PWV 10 m/s.
Hasil: Sebanyak 83 subyek penelitian yang terdiri dari 22 (26,5%) subyek dengan kekakuan arteri dan 61 (73,5%) subyek tanpa kekakuan arteri diikutsertakan dalam studi. Faktor-faktor yang berhubungan secara indenden dengan kekakuan arteri adalah kadar gula darah puasa (odds ratio 6,842 (IK95% 1,66-28,24)) dan kadar LDL (odds ratio 4,887 (IK95% 1,59-16,58)).
Simpulan: Proporsi kekakuan arteri pada pasien PGTA yang menjalani hemodialisis dua kali seminggu adalah sebesar 26,5%. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kekakuan arteri pada pasien PGTA dengan hemodialisis kronik dua kali per minggu adalah kadar gula darah puasa dan kadar LDL.

Introduction: End stage renal disease (ESRD) mortalities and morbidities are mainly occurred in association with cardiovascular disease. One of which is arterial stiffness. Hemodialysis is one of the intervention for ESRD patients. However, factors affecting arterial stiffness in ESRD patients having hemodialysis have not been studied much in Indonesia.
Aim: Investigating the proportion of arterial stiffness in ESRD patients having hemodialysis two times a week and factors affecting it.
Methods: An observational study with cross-sectional design was performed in Hemodialysis Unit, Kidney and Hypertension Division, National General Hospital Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) on April to May, 2019. ESRD patients having hemodialysis two times a week for at least 3 months were included in the study. Patients with acute disease or uncooperative were excluded from the study. Arterial stiffness was measured as pulse wave velocity (PWV) using SphygmoCor® with PWV cutoff of 10m/s.
Results: There were 83 study samples included in this study, 22 (26,5%) of which were patients with arterial stiffness and 61 (73,5%) of which were patients without arterial stiffness. Factors independently affecting arterial stiffness were fasting glucose level (odds ratio 6,842 (CI95% 1,66-28,24)) and LDL level (odds ratio 4,887 (CI95% 1,59-16,58)).
Conclusion: The proportion of arterial stiffness in ESRD patients having hemodialysis two times a week was 26,5%. Factors affecting arterial stiffness in ESRD patients were fasting glucose level and LDL level."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deni Romansyah
"Ultrafiltration Rate (UFR) melebihi 13 mL/kgBB/jam dapat berdampak negatif pada kualitas hidup pasien hemodialisis seperti hipotensi intradialisis, kram otot, gangguan kardiovaskular, dan peningkatan risiko mortalitas. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara UFR dengan kualitas hidup pasien menggunakan desain cross-sectional pada 74 responden (usia 20–82 tahun). Sampel didapatkan dengan teknik simple random sampling. Penelitian menggunakan kuesioner Kidney Disease Quality of Life (KDQOL-36TM). Analisis menggunakan Fisher-Freeman-Halton Exact Test (nilai p 0,043) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara UFR dengan kualitas hidup. Rekomendasi penelitian ini menekankan pentingnya pengelolaan UFR yang cermat dibawah batas nilai peringatan untuk mengurangi komplikasi dan meningkatkan kualitas hidup. Perawat berperan penting dalam pengelolaan UFR, mengidentifikasi komplikasi dini, dan memberikan edukasi. Dampak klinis yang diharapkan meliputi pengurangan komplikasi akut, peningkatan euvolemia, serta penurunan risiko kardiovaskular, yang pada akhirnya memperbaiki kualitas hidup pasien hemodialisis secara berkelanjutan.

Ultrafiltration Rate (UFR) exceeding 13 mL/kgBB/hour can negatively affect the quality of life of hemodialysis patients such as intradialysis hypotension, muscle cramps, cardiovascular disorders, and increased risk of mortality. This study aims to analyze the relationship between UFR and patient quality of life using a cross- sectional design on 74 respondents (aged 20-82 years). The sample was obtained using simple random sampling technique. The study used the Kidney Disease Quality of Life (KDQOL-36TM) questionnaire. Analysis using Fisher-Freeman- Halton Exact Test (p value 0.043) showed a significant relationship between UFR and quality of life. The recommendations of this study emphasize the importance of careful management of UFR below the warning value to reduce complications and improve quality of life. Nurses play an important role in managing UFR, identifying early complications, and providing education. The expected clinical impact includes reduction of acute complications, improvement of euvolemia, and reduction of cardiovascular risk, ultimately improving the quality of life of hemodialysis patients in a sustainable manner."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>