Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136390 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pardede, Dimas Kusnugroho Bonardo
"Latar belakang. Emergence agitation (EA) merupakan gangguan perilaku sementara yang sering terjadi pascaanestesia inhalasi dan berpotensi membahayakan pasien. Pemberian propofol 1-3 mg/kg di akhir anestesia inhalasi mencegah EA tetapi memperpanjang waktu pindah ke ruang pulih. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia untuk menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi. Propofol dinilai efektif jika dapat menurunkan kejadian EA tanpa memperpanjang waktu pindah.
Metode. Penelitian uji klinik acak tersamar ganda terhadap anak usia 1-5 tahun yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSCM pada bulan Mei – Agustus 2018. Sebanyak 108 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok propofol (n=54) mendapat propofol 0,5 mg/kg di akhir anestesia, sedangkan kontrol (n=54) tidak mendapat propofol. Kejadian EA, waktu pindah, hipotensi, desaturasi dan mual-muntah pascaoperasi dicatat. EA dinilai dengan skala Aono dan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan uji chi-square dan t tidak berpasangan.
Hasil. Kejadian EA pada kelompok propofol sebesar 25,9% sedangkan kontrol 51,9% (RR = 0,500; IK 95% 0,298-0,840; p=0,006). Rerata waktu pindah kelompok propofol lebih lama (9,51 ± 3,93 menit) dibandingkan kontrol (7,80 ± 3,57 menit) (selisih rerata 1,71 menit; IK 95% 0,28-3,14; p=0,020). Hipotensi didapatkan pada satu pasien (1,9%) pada kelompok propofol sedangkan pada kontrol tidak ada. Mual-muntah terjadi pada lima pasien (9,3%) pada kelompok propofol dan delapan pasien (14,8%) pada kontrol. Tidak ada desaturasi pada kedua kelompok.
Simpulan. Pemberian propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia secara statistik tidak efektif namun secara klinis efektif menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi.

Background. Emergence agitation (EA) is a common transient behavioral disturbance after inhalational anesthesia and may cause harm. Propofol 1-3 mg/kg administration at the end of inhalational anesthesia prevents EA but prolongs transfer time to recovery room. This study evaluated the effectivity of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia to reduce the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia. Propofol was considered effective if could reduce the incidence of EA without prolonging transfer time.
Method. This was a double-blind randomized clinical trial on children aged 1-5 years old underwent general inhalational anesthesia in Cipto Mangunkusumo Hospital. One hundred eight subjects were included using consecutive sampling method and randomized into two groups. Propofol group (n=54) was given propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia while control group (n=54) was not. Incidence of EA, transfer time, postoperative hypotension, desaturation and nausea-vomiting were observed. Aono and Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) scale were used to assess EA. Statistical tests used were chi square and unpaired t test.
Result. Incidence of EA in propofol group was 25,9% while in control group was 51,9% (RR = 0,500; 95% CI 0,298-0,840; p=0,006). Mean transfer time in propofol group was longer (9,51 ± 3,93 minute) than control group (7,80 ± 3,57 minute) (mean difference 1,71 minute; 95% CI 0,28-3,14; p=0,020). Hypotension was found in one patient (1,9%) in propofol group while in control group there was none. Nausea-vomiting was found in five patients (9,3%) in propofol group and eight patients (14,8%) in control. There was no desaturation in both groups.
Conclusion. Administration of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia statistically ineffective but clinically effective in reducing the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2018
T58605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Betardi Oktara
"Latar belakang: Emergence agitation (EA) selama periode pemulihan anestesia umum merupakan masalah yang sering ditemukan pada pasien anak. Etiologi EA pada pasien anak belum sepenuhnya diketahui, faktor-faktor risiko yang dianggap memengaruhi terjadinya EA diantaranya usia prasekolah, penggunaan gas anestesia modern, kemampuan adaptasi yang rendah, dan kehadiran orangtua selama proses pemulihan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan angka kejadian dan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya EA pada pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Tujuh puluh delapan anak berusia 2-12 tahun dengan status fisik ASA I, II dan III dimasukan dalam penelitian observasional ini. Perilaku anak selama induksi anestesia dinilai berdasarkan nilai Pediatric Anesthesia Behavior (PAB). Di ruang pemulihan kejadian EA dinilai berdasarkan skala Aono pada saat pasien tiba (T0), setelah 5 menit (T5), 15 menit (T15) dan 30 menit (T30).
Hasil: Angka kejadian EA pada pasien anak yang menjalani anestesia inhalasi di RSUPN Cipto Mangunkusumo mencapai 39,7%. Angka kejadian EA lebih tinggi pada pasien dengan usia 2-5 tahun yang memiliki nilai PAB 2 atau 3. Midazolam, jenis gas anestesia, dan keberadaan orangtua selama pemulihan tidak berhubungan dengan kejadian EA.
Kesimpulan: Usia dan perilaku anak selama induksi anestesia memiliki hubungan yang kuat terhadap terjadinya EA. Pasien anak dengan usia 2-5 tahun yang memiliki nilai PAB 2 atau 3 dan akan menjalani anestesia umum inhalasi sebaiknya mendapat terapi pencegahan untuk menurunkan tingkat kejadian EA.

Background: Emergence agitation (EA) during recovery from general anesthesia has been identified as a frequent problem in the pediatric population. The etiology of EA in children is not fully understood but possible risk factors that have been presumed to be associated with the high incidence of EA include pre-school age, newer inhalation anesthetics, poor adaptability, and parental presence during recovery. The aim of the present study was to assess the incidence of EA and the affecting factors in children undergoing inhalation anesthesia in RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Methods: Seventy-eight American Society of Anesthesiologists I, II and III, aged between 2-12 years undergoing inhalation anesthesia were included in this observational study. Children’s behavior during induction of anesthesia was assessed with Pediatric Anesthesia Behavior (PAB) score. In post anesthesia care unit (PACU) the incidence of EA was assessed with Aono’s four point scale upon admission (T0), after 5 min (T5), 15 min (T15) and 30 min (T30).
Results: The incidence of EA in children undergoing inhalation anesthesia in RSUPN Cipto Mangunkusumo in 39,7%. The incidence was higher in 2-5 years old children with PAB score 2 or 3. Midazolam, type of inhalation anesthetic agents and parental presence during recovery do not appear to have any bearing on the incidence of EA.
Conclusions: Age of the children and the behavior during induction of anesthesia have a strong correlation with the incidence of EA. Children with the age 2-5 years and have a PAB score 2 or 3 undergoing inhalation anesthesia should have a prophylactic treatment for decreasing the incidence of EA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jacky Desfriadi
"Latar belakang: Emergence agitation (EA) merupakan gangguan perilaku sementara yang sering terjadi pascaanestesia dengan sevoflurane dan berpotensi membahayakan pasien. Pemberian magnesium sulfat 10 % 20 mg/kg bolus IV selama 15 menit, dilanjutkan 10 mg/kg/jam secara infus kontinyu selama pembedahan diketahui mencegah EA. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit pada 10 menit sebelum anestesia selesai dalam mencegah EA pada anak yang menjalani anestesia dengan sevoflurane. Magnesium sulfat dinilai efektif jika dapat menurunkan kejadian EA.
Metode: Penelitian uji klinik acak tersamar ganda pada anak usia 1,5-12 tahun yang menjalani anestesia dengan sevoflurane di RSCM pada bulan September-Oktober 2018. Sebanyak 108 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok Magnesium (n=54) mendapat magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit dengan pompa syringe pada 10 menit sebelum anestesia selesai, sedangkan kontrol (n=54) mendapat NaCl 0,9% 0,2 ml/kg bolus IV selama 10 menit dengan pompa syringe pada 10 menit sebelum anestesia selesai. Kejadian EA, waktu pulih, hipotensi pascaoperasi dicatat. EA dinilai dengan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan uji multivariat regresi logistik.
Hasil: Kejadian EA pada kelompok magnesium sebesar 25,9% sedangkan kontrol 16,7% (OR = 0,786; IK 95% 0,296-2,091; p=0,63). Waktu pulih memiliki nilai rerata 8,2 + 4,74 menit untuk kelompok magnesium dibandingkan kontrol 10,87 + 6,799 menit (OR = 2,667; IK 95% 0,431-4,903; p=0,02). Pada kedua kelompok, tidak didapatkan kejadian hipotensi.
Simpulan: Pemberian magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit pada 10 menit sebelum anestesia selesai secara statistik tidak efektif mencegah kejadian EA pada anak yang menjalani anestesia dengan sevoflurane.

Background: Emergence agitation (EA) is a common transient behavioral disturbance after anesthesia with sevoflurane and may cause harm. Magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 15 minutes, followed by 10 mg/kg/h as a continous intravenous infusion during surgery can prevent EA. This study evaluated the effectivity of magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended to prevent the incidence of EA in children undergoing anesthesia with sevoflurane. Magnesium sulphate was considered effective if could reduce the incidence of EA.
Method: This was a double-blind randomized clinical trial on children aged 1,5-12 years old underwent anesthesia with sevoflurane in RSCM on September until Oktober 2018. One hundred eight subjects were included using consecutive sampling method and randomized into two groups. Magnesium group (n=54) was given magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended while control group (n=54) was given NaCl 0,9% 0,2 ml/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended. Incidence of EA, recovery time and postoperative hypotension were observed. Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) scale was used to assess EA. Statistical tests used were logistic regresssion multivariate analysis.
Result: Incidence of EA in magnesium group was 25,9% while in control group was 16,7% (OR = 0,786; 95% CI 0,296-2,091; p=0,63). Mean recovery time in magnesium group was 8,2 ± 4,74 minutes and control group was 10,87 ± 6,799 minutes (OR = 2,667; 95% CI 0,431-4,903; p=0,02). Hypotension was not found in both groups.
Conclusion: Administration of magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended was not effective to prevent the incidence of EA in children undergoing anesthesia with sevoflurane."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanita Zahrah
"Latar belakang. Emergence Delirium (ED) merupakan stadium dari disosiasi kesadaran pasca pembiusan dengan gejala khas berupa gelisah,mengamuk,tidak dapat dibujuk dan inkoherensi. Angka kejadian ED pada anak yang menjalani pembiusan umum di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo 39,7%. Saat pulih stimulus auditorik menyebabkan sinaps talamus di Lateral amigdala sehingga menimbulkan respons takut berlebihan yang merupakan salah satu faktor terjadinya ED. Kebisingan di kamar operasi yang tinggi dapat dikurangi dengan penggunaan ear plug.
Metode. Penelitian uji klinik acak tersamar ganda terhadap anak usia 1-5 tahun yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSCM pada bulan September-Desember 2018. Sebanyak 107 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok earplug (n=53) dilakukan pemasangan ear plug di akhir anestesia, sedangkan kontrol (n=54) tidak dilakukan pemasangan ear plug. Kejadian ED, waktu ekstubasi dicatat. ED dinilai dengan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan analisa multivariate regresi logistik dan analisa ANCOVA.
Hasil. Kejadian ED pada kelompok ear plug sebesar 16,7% sedangkan kontrol 32,1% (OR = 0,402; IK 95% 0,152-1,062; p=0,066). Rerata waktu ekstubasi kelompok ear plug vs kontrol (5,76+3,23 menit) vs (6,54+ 3,67 menit) selisih rerata 0,825(0,530-2,180); p=0,230.
Simpulan. Pemberian ear plug di akhir anestesia secara statistik tidak efektif namun secara klinis efektif menurunkan kejadian ED pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi.

Background. Emergence Delirium (ED) is classified as a transient postoperative disassociation state with characteristic such as agitation, irritable, umcompromising, uncooperatative, inconsolably crying. The incidence of ED in pediatric patients who underwent general anesthesia in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was 39,7%. During emergence state, auditoric stimulation induce Thalamic synaps in Lateral amigdala which leads to over respons of fearness (one of the risk factor of ED). A high noise level in operating room can be reduced with ear plug application to the patient.
Method. A double blind randomized clinical trial towards 1-5 years old pediatrics patients who underwent inhalation general anesthesia in RSCM from September-December 2018. One hundred and seven subjects were randomized after a consecutive sampling into two groups. Earplug group (n=53) with application of ear plug at the end of surgery, while in control group (n=54) without application of ear plug. The incidence of ED and time to extubation were recorded. ED was measured using Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). All the data was analyzed using multivariate logistic regression and ANCOVA.
Result. Incidence of ED in ear plug group was 16.7% while in control group was 32.1% (OR = 0.402; CI 95% 0.152-1.062; p=0.066). Mean value of time to extubation in ear plug vs control group (5.76+3.23 minutes) vs (6.54+ 3.67 minutes) with mean difference of 0.825(0.530-2.180); p=0.230.
Conclusion. Ear plug application at the end of anesthesia was not statistically effective. However, it was clinically effective in reducing the incidence of ED in pediatric patient underwent inhalation anesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrizal Hariady
"Latar belakang: Kecemasan seringkali dijumpai pada pasien yang hendak menjalani suatu prosedur operasi, termasuk brakiterapi. Agen farmakologi anti ansietas saat ini merupakan pilihan untuk mengurangi kecemasan pasien. Obat memiliki potensi efek samping seperti depresi napas dan interaksi dengan agen anestesi sehingga dapat memperlama durasi perawatan di rumah sakit. Penggunaan terapi non farmakologi dengan terapi farmakologi dianggap memiliki efektivitas yang setara. Salah satu terapi non farmakologi untuk mengurangi kecemasan pasien adalah terapi musik. Musik dapat mempengaruhi kondisi hemodinamik pasien. Musik juga mempengaruhi aspek psikologis pasien, termasuk modifikasi mood dan emosi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas terapi musik dalam mengurangi kecemasan sebelum prosedur brakiterapi mengingat terapi musik adalah terapi non farmakologi yang mudah dan murah serta tidak memiliki potensi efek samping.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal untuk menilai efektivitas terapi musik dibandingkan midazolam dalam mengurangi kecemasan sebelum prosedur brakiterapi dengan anestesia spinal. Setelah mendapat izin komite etik dan informed consent sebanyak 60 subyek diambil dengan consecutive sampling, subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok yaitu kelompok subyek yang mendapatkan perlakuan dengan mendapatkan suntikan obat intravena midazolam 0,02 mg/kgbb dan kelompok subyek yang mendapat perlakuan dengan didengarkan terapi musik. Dilakukan penilaian parameter hemodinamik serta kuisioner APAIS sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Uji Chi-square dan Mann-Whitney dilakukan untuk menganalisis data.
Hasil: Pemberian terapi musik memberikan manfaat yang sama baik dengan suntikan midazolam intravena dalam mengurangi kececemasan prabedah. Tidak didapatkan adanya perbedaan skor APAIS maupun parameter hemodinamik antar kedua kelompok sebelum dimulainya perlakuan p> 0,05 . Tidak dijumpai perbedaan antara nilai skor APAIS maupun parameter hemodinamik pascaintervensi pada kedua kelompok p0,05.
Simpulan: Terapi musik sama efektifnya dengan midazolam 0,02 mg/kgbb intravena dalam mengurangi kecemasan prabedah dan perubahan hemodinamik pada pasien yang menjalani brakiterapi dengan anestesia spinal.

Anxiety is often seen in patients who want to undergo a surgical procedure, including brachytherapy. Antimicrobial pharmacology agents are currently an option to reduce patient anxiety. Drugs have potential side effects such as respiratory depression and interactions with anesthetic agents so as to prolong the duration of hospitalization. The use of nonpharmacologic therapy with pharmacological therapy is considered to have equal effectiveness. One of the non pharmacological therapy to reduce patient anxiety is music therapy. Music can affect the patient's hemodynamic condition. Music also affects the patient's psychological aspects, including mood and emotion modification. This study aims to determine the effectiveness of music therapy in reducing anxiety before brachytherapy procedures considering music therapy is a non pharmacological therapy that is easy and cheap and has no potential side effects.
Methods: This was a single blinded randomized clinical trial to assess the effectiveness of music therapy compared with midazolam in reducing anxiety before brachytherapy procedures with spinal anesthesia. After obtaining the permit of the ethics committee and the informed consent of 60 subjects taken with consecutive sampling, subjects were randomized into two groups of subjects treated with intravenous injection of midazolam 0,02 mg kg body weight and the subjects treated with music therapy. Assessed hemodynamic parameters and APAIS questionnaires were performed before treatment and after treatment. Chi square and Mann Whitney tests were performed to analyze the data.
Results: The administration of music therapy provides the same benefits as intravenous midazolam injection in reducing anxiety before surgery. There was no difference in APAIS score nor hemodynamic parameters between the two groups before the start of intervention p 0.05 . There was no difference between APAIS score score and post intervene hemodynamic parameters in both groups p 0.05.
Conclusion: Music therapy is as effective as midazolam 0.02 mg kg body weight intravenously in reducing anxiety before surgery and haemodynamic changes in patients undergoing brachytherapy with spinal anesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matulessy, Theo Adelberth
"ABSTRAK
Latar belakang: Postoperative Cognitive dysfunction (POCD) adalah gangguan
fungsi kognitif dan komplikasi yang sering ditemukan pada pasien usia lanjut pasca
menjalani anestesia umum. Selain faktor usia, pembedahan mayor, penyakit
penyerta dan riwayat konsumi obat-obatan tertentu, salah satu faktor dalam
peningkatan kejadian POCD adalah tingkat pendidikan pasien. Penelitian tentang
tingkat pendidikan dengan angka insiden POCD masih menunjukkan hasil yang
berbeda-beda. Kondisi demografis Indonesia mengalami peningkatan populasi
lanjut usia disertai tingkat pendidikan yang masih rendah sehingga penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan terhadap angka kejadian
POCD pada populasi usia lanjut.
Metode. Penelitian ini merupakan uji potong lintang terhadap pasien lanjut usia ( lebih dari
60 tahun) yang menjalani pembiusan umum di RSCM pada bulan Februari sampai
Desember 2018. Sebanyak 84 subyek diambil setelah memenuhi kriteria inklusi.
Skor kognitif dinilai menggunakan Trail making test B dan Digit Span Backward.
Analisis data menggunakan uji bivariat dengan Chi-Square dan analisis multivariat
regresi logistik.
Hasil. Jumlah subjek yang dianalisis pada penelitian ini 80 subjek dengan 9
(11.8%) pasien dengan pendidikan rendah, 41 (52.6%) pasien dengan pendidikan
menengah dan 30 (35.6%) pasien dengan pendidikan tinggi. Angka kejadian POCD
sebesar 20 (25%) dengan tingkat pendidikan rendah sebanyak 2 (22.2%), tingkat
pendidikan menengah sebanyak 11 (26.8%) dan tingkat pendidikan tinggi sebanyak
7 (23.3%). Pengaruh tingkat pendidikan terhadap angka kejadian POCD tidak
bermakna dengan p 0.921 dan memiliki OR sebesar 1.124. Pada penelitian ini usia
tidak bermakna menyebabkan POCD (p=0.064), jenis kelamin tidak bermakna
menyebabkan POCD (p=0.242), dan riwayat operasi tidak bermakna menyebabkan
POCD (p=0.196).
Simpulan. Tingkat pendidikan tidak mempengaruhi angka kejadian POCD pada
pasien lanjut usia yang menjalani anestesia umum.

ABSTRACT
Background: Cognitive impairment after anesthesia and surgery, also known as
Postoperative Cognitive dysfunction (POCD) are most commonly found amongst
the elderly population. Factors that elevate the risk of POCD include old age, major
surgery, pre-existing comorbidities and consumption of certain drugs. Another
factor known to increase the incidence of POCD is low education level.
However,study about education level and the incidence of POCD still have different
results. As Indonesias elderly population and low level education dominance are
expected to increase, this study aims to evaluate the association of educational level
and the incidence of POCD amongst the elderly population after general anesthesia.
Method: This study is a cross-sectional study involving elderly patients ( 60
years) who underwent general anesthesia at RSCM during February to December
2018. A total of 84 subjects were selected after fulfilling the inclusion criteria.
Cognitive score was assessed using Trail making test B and Digit Span Backward,
while psychometric test was carried out by a validated psychologist. Data were
analyzed using bivariate analysis test with Chi-Square and multivariate analysis
with logistic regretion.
Results: Demographic studies grouped 9 (11.8%) patients with low education, 41
(52.6%) patients with secondary education and 30 (35.6%) patients with higher
education. The incidence of POCD was 25% and incidence od POCD in group with
low level of education was 2 (22.2%), average level of education and POCD was
11 (26.8%) and the higher level of education and POCD were 7 (23.3%). This study
found no significant association between education level and the incidence of
POCD (p=0.921), with an odds ratio of 1.124. Furthermore, this study found that
no significant association between age with the incidence of POCD (p=0.064) nor
does gender and incidence of POCD (p=0.242), and history of surgery with
incidence of POCD (p=0.196
Conclusion: Education level do not affect the incidence of POCD in elderly
patients undergoing general anesthesia."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arky Kurniati Alexandra
"Latar Belakang: Meningkatnya populasi geriatrik, menyebabkan tindakan pembedahan dan anestesia pada kelompok usia ini bertambah. Status fungsional geriatrik yang dapat dinilai menggunakan Indeks Barthel (IB) menjadi salah satu metode efektif penilaian kondisi mereka sebelum pembedahan. Respon stress yang dialami selama pembedahan menyebabkan penurunan kualitas status fungsional geriatrik pascabedah. Penelitian ini menganalisa perubahan Indeks Barthel pasien geriatrik yang menjalani anestesia umum pada jenis anestesia umum (intravena dan inhalasi), pembedahan (mayor dan minor) dan lama pembedahan (>120 menit dan <120 menit).
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional, kohort prospektif terhadap 61 subjek penelitian selama Januari-Maret 2022. Subjek penelitian ini adalah pasien geriatrik yang berusia 60 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan dalam anestesia umum tanpa anestesia regional. Kriteria penolakan adalah pasien dengan ASA > 4, penilaian IB prabedah ≤ 8, rencana pembedahan emergensi, rencana amputasi anggota gerak, prosedur kardiotorasik. Penilaian IB dilakukan dalam 3 waktu, yaitu 1 hari prabedah, 3 hari pascabedah dan 30 hari pascabedah.
Hasil: Terdapat perubahan nilai IB pada tiga periode penilaian dengan nilai p<0,005 dengan Mean rank 1 hari prabedah 1,92, menurun pada 3 hari pascabedah (1,7) serta meningkat kembali saat 30 hari pascabedah (2,38). Perubahan IB yang signifikan didapatkan saat membandingkan jenis anestesia (intravena dan inhalasi) pada saat menilai perubahan nilai IB prabedah dengan 3 hari pascabedah (p=0,019). Pada saat membandingkan jenis pembedahan yang dilakukan, perubahan IB yang signifikan didapatkan pada data perubahan IB 1 hari prabedah dan 3 hari pascabedah (p=0,010), serta perubahan IB 3 hari pascabedah dan 30 hari pascabedah (p=0,035). Hasil yang serupa didapatkan saat menilai lama pembedahan terhadapa perubahan IB dengan p=0,004 dan p=0,011.
Simpulan: Terdapat perubahan IB pada pasien geriatrik yang menjalani anestesia umum intravena ataupun inhalasi, pembedahan mayor ataupun minor serta lama pembedahan kurang dan lebih dari 120 menit.

Background: A rise in number of geriatric populations, causing an increase of surgical and anesthesia procedure among them. Barthel Index (BI), as one of the methods of function status assessment, has becoming an effective tool to assess geriatric condition prior to surgery. Stress response that occur during operation may lower the functional status outcome after surgery. This study analyzed the changes of BI point in geriatric patients who undergo general anesthesia in comparison with its type (inhalational, intravenous, or both), surgery type (mayor and minor) and procedure length (less and more than 120 minutes).
Method: This was an observational cohort study in 61 subjects within January-March 2022. Research subjects were geriatric patients age 60 or older undergoing surgery with general anesthesia without regional anesthesia. Exclusión critertia were patients with ASA >4, BI preoperative ≤ 8, undergoing emergency or cardiothoracic procedure and having limb amputation. BI was assessed in three periods of time; 1 day preoperative, 3 dan 30 day postoperative.
Result: There was a change in BI value of three periods of time with p<0.005 with meank rank of 1.92, 1.7 and 2.38 respectively. A significant BI difference shown when comparing type of anesthesia (inhalational and intravenous) with BI 1-day preop and 3 day postop (p=0.019). The result also shown a significant difference in surgery type during 1-day preop and 3 day postop (p=0.010), along with 3-day postop dan 30 day postop (p=0.035). Similar results shown in length of surgery group, with p=0.004 and p=0.011.
Summary: There are changes found in BI of geriatric patients who undergo intravenous or inhalation general anesthesia, mayor or minor type of surgery and surgery duration less and more than 120 minutes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Rosanti Khalid
"Latar Belakang : Tingkat kepuasan pasien merupakan salah satu indikator kualitas pelayanan anestesia, baik rawat inap maupun rawat jalan. Bedah rawat jalan menawarkan banyak kelebihan dibandingkan rawat inap, sehingga berkembang sangat pesat di Indonesia khususnya di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta dan sebagian besar jenis anestesia pada bedah rawat jalan adalah anestesia umum. Perkembangan ini harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan anestesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penilaian terhadap tingkat kepuasan pasien dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Tingkat kepuasan pasien dapat memberikan feedback untuk meningkatkan kualitas pelayanan anestesia pada instalasi bedah rawat jalan.
Tujuan : Mengetahui tingkat kepuasan pasien yang menjalani anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan faktor yang memengaruhinya.
Metode : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang. Dilakukan penilaian tingkat kepuasan pada 76 pasien dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Kriteria penerimaan adalah usia 18-65 tahun yang menjalani pembiusan umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dapat berbahasa Indonesia, membaca dan menulis, bersedia berpartisipasi dan menandatangani surat persetujuan penelitian, pulang dihari yang sama setelah pembedahan atau dirawat kurang dari 24 jam. Hasil kuesioner akan diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji univariat dan bivariat.
Hasil : Uji univariat menunjukkan tingkat kepuasan pasien terhadap anestesia umum rata-rata diatas 70 %. Sedangkan dari uji bivariat, faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.
Kesimpulan : Pasien merasa puas terhadap pelayanan anestesia umum pada instalasi bedah rawat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Karakteristik pasien yang memengaruhi tingkat kepuasan pasien adalah usia, jenis kelamin dan pekerjaan.

Background : Patient satisfaction has been one of quality indicators in anesthesia services whether it is inpatient or outpatient. Ambulatory surgery offers more advantages compares to inpatient services, thus it developed nicely in Indonesia especially in RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta where most patients undergone general anesthesia. This development is yet to be offset by improvement in anesthesia quality services. Thus, it is needed to assess patient satisfaction and factors. Patient satisfaction can give feedback to improve quality of anesthesia services in ambulatory surgery.
Purpose : The purpose of this study was to know patient satisfaction toward general anesthesia and influencing factors in ambulatory surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Methods : This is a cross sectional study. Patient satisfaction was assessed in 76 patients using validated questionnaire. The inclusion criteria were age 18-65 undergoing general anesthesia in Ambulatory Surgery, Bahasa speaking, able to read and write, and agreed to participate in this study by signing research consent and discharged on the same day or hospitalized less than 24 hours after surgery. Result was processed using SPSS with univariate and bivariate test.
Results: Univariate test showed patient satisfaction toward general anesthesia was above 70%. While Bivariate test indicated factors influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
Conclusion : Patients were satisfied with general anesthesia services in Ambulatory Surgery RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Patient characteristics influencing patient satisfaction were age, gender and occupation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Masry
"Latar Belakang. Manajemen jalan nafas merupakan salah satu tahap yang paling penting dalam bidang anestesiologi. Salah satu jenis Alat bantu jalan nafas yang telah dipergunakan secara luas adalah Laringeal Mask Airway (LMA/Sungkup Laring). Pada pemasangan sungkup laring tanpa menggunakan pelumpuh otot membutuhkan kedalaman anestesi yang cukup, Tes klinis yang mudah, akurat dan aplikatif diperlukan untuk menghindari terjadinya komplikasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan trapezius squeezing test dan jaw thrust sebagai indikator kedalaman anestesi pada pemasangan sungkup laring dengan propofol sebagai agen induksi.
Metode. Sebanyak 128 pasien di randomisasi ke dalam 2 kelompok yaitu jaw thrust dan trapezius squeezing test. Seluruh pasien mendapatkan premedikasi dengan midazolam 0.05 mg/kgBB dan Fentanyl 1 mcg/kgBB. Induksi menggunakan propofol titrasi. Manuver jaw thrust dan trapezius squeezing test dilakukan setiap 15 detik. Saat respon motorik hilang dilakukan pemasangan sungkup laring. Dicatat keberhasilan pemasangan, dosis propofol, tekanan darah, laju jantung, dan insiden apneu.
Hasil. Keberhasilan pada kelompok jaw thrust 93.8%, sedangkan trapezius squeezing test yang 90.6%. Penggunaan rerata propofol pada kelompok jaw thrust yaitu sebesar 120.34 mg, sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test yaitu sebesar 111,86 mg. Insiden apneu yang pada kelompok jaw thrust terjadi pada 10 (15.6%) pasien, sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test sebesar 11 (17.2%) pasien. Tidak terdapat perubahan hemodinamik yang berarti pada kelompok jaw thrust sedangkan sedangkan pada kelompok trapezius squeezing test terdapat perubahan hemodinamik yang berarti di menit ke 3 dan ke 4.
Kesimpulan. Trapezius squeezing test tidak lebih baik daripada jaw thrust sebagai indikator klinis dalam menilai kedalaman anestesia pada insersi sungkup laring.

Background. Airway management is one of the most important phase in anesthesiology. One of airway device that have been used generally is Laryngeal Mask Airway (LMA). Laryngeal mask insertion without muscle relaxant requires a level of depth anesthesia. An easy, accurate, an applicable clinical indicator were required to avoid complication. This study was determine the comparison trapezius squeezing test and jaw thrust as indicator of depth of anesthesia in laryngeal mask insertion with propofol as induction agent.
Methods. 128 patient have been randomize in to 2 group that are jaw thrust and trapezius squeezing test. All patients were received premedication with midazolam 0.05 mg/kg and fentanyl 1 μg/kg. Induction were done by propofol titration. Jaw thrust and trapezius squeezing test maneuver were done in every 15 second. When motoric respond negative the laryngeal mask were inserted. The successful of laryngeal mask insertion was recorded, propofol consumption, blood pressure, heart rate, and incidence of apnea were also documented.
Result. Laryngeal mask successfully inserted in 93.8% patients in jaw thrust group, and 90.6% in trapezius squeezing test group. Mean of propofol consumption in jaw thrust group is 120.34 mgs, and in trapezius squeezing test is 11.86 mgs. Incident of apnea in jaw thrust group happened in 10 patients (15.6%), and in trapezius squeezing test group happened in 11 patient (17.2%). Hemodynamic in jaw thrust group relatively stable but in trapezius squeezing test there is significant hemodynamic changing in minute third and fourth.
Conclusion. Trapezius squeezing test is not better than jaw thrust as clinical indicators of depth of anesthesia for laryngeal mask insertion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58675
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annemarie Chrysantia Melati
"Latar Belakang: Hipotermia intraoperatif pada pasien geriatri yang menjalani pembedahan merupakan hal yang cukup sering ditemukan. Hipotermia memiliki dampak negatif terhadap pasien yang menjalani pembedahan, antara lain meningkatnya lama pemulihan pascaanestesia, risiko infeksi luka operasi, dan komplikasi kardiovaskular. Pada penelitian ini menganalisa hubungan kejadian hipotermia intraoperatif pada pasien geriatri yang menjalani pembedahan dalam anestesia umum dengan lama rawat di rumah sakit, kekerapan kejadian infeksi luka operasi, dan komplikasi kardiovaskular pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif terhadap 110 subjek penelitian selama November 2018-Januari 2019. Subjek penelitian adalah pasien geriatri yang berusia di atas 60 tahun yang menjalani pembedahan dalam anestesia umum dengan/tanpa anestesia regional. Kriteria penolakan adalah pasien dengan gangguan termoregulasi, gangguan tiroid, mengalami hipotermia pada saat kunjungan preoperatif dan demam dalam 1 minggu sebelum operasi, dan dalam terapi antipiretik rutin.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan proporsi kejadian hipotermia intraoperatif pada pasien geriatri adalah sebanyak 67,3%. Hipotermia intraoperatif tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan lama rawat di rumah sakit (nilai p = 0,221). Hipotermia intraoperatif juga tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kekerapan kejadian infeksi luka operasi (nilai p = 0,175) dan komplikasi kardiovaskular (nilai p = 0,175).
Simpulan: Hipotermia intraoperatif tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan lama rawat di rumah sakit, kekerapan kejadian infeksi luka operasi dan komplikasi kardiovaskular.

Background: Intraoperative hypothermia among geriatric patients undergoing surgery is commonly found. Hypothermia is associated with negative impact postoperatively, such as increased surgical site infections, prolonged hospital stay, and increased cardiovascular complications. This study aimed to analyse the association between intraoperative hypothermia with length of stay, surgical site infection, and cardiovascular complication among geriatric patients undergoing surgery with general anesthesia.
Methods: This was a prospective cohort study for 110 research subjects from November 2018-January 2019. Research subjects were geriatric patients older than 60 years old undergoing surgery with general anesthesia with/without regional anesthesia. Exclusion criteria were patients with thermoregulation problem, thyroid problem, suffered from hypothermia or fever preoperatively, and with routine antipyretic medication.
Results: In this study, the incidence of intraoperative hypothermia among geriatric patients undergoing surgery with general anesthesia was 67,3%. Intraoperative hypothermia did not have significant association with length of stay (p-value = 0.221). Intraoperative hypothermia also did not have significant association with surgical site infection (p-value = 0.175) and cardiovascular complication (p-value = 0.175).
Conclusion: Intraoperative hypothermia did not have significant association with length of stay, surgical site infection, and cardiovascular complication.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>