Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129721 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andry Kelvianto
"Kuantitas dan kualitas asupan protein belum sepenuhnya diketahui perannya terhadap kualitas hidup. Prognostic Nutritional Index (PNI) juga belum diketahui dapat mencerminkan kualitas hidup dan apakah bisa ditingkatkan dengan asupan protein. Penelitian dengan desain potong lintang ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara asupan protein dengan PNI dan kualitas hidup serta korelasi PNI dengan kualitas hidup pada pasien kanker kepala leher dengan radioterapi di Departemen Radioterapi Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sebanyak 61 subjek didapatkan dari consecutive sampling. Rerata usia subjek adalah 46,3 ± 12,4 dan 65,6% subjek berada pada kanker stadium IV dan mendapatkan terapi kemoradiasi. Sebanyak 32,8% subjek yang memiliki status gizi kurang. Median asupan protein adalah 1,42 (0,26-4,11) g/kg/hari. Nilai PNI pada subjek penelitian memiliki median 45,9 (29,4-54,2). Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi bermakna antara kuantitas asupan protein berdasarkan Food Frequency Questionnaire (FFQ) semikuantitatif dan beberapa aspek gejala pada kualitas hidup yaitu pada aspek pain (head and neck) (r=-0,32; p=0,01), swallowing (r=-0,37;p=0,004), social eating (r=-0,29; p=0,02), dry mouth (r=-0,41; p=0,001), sticky saliva (r=-0,32; p=0,01), fatigue (r=-0,28; p=0,03), nausea and vomiting (r=-0,26; p=0,04) dan appetite loss (r=-0,3; p=0,01). Kualitas asupan protein tidak berkorelasi bermakna dengan kualitas hidup. PNI berkorelasi bermakna terhadap 1 aspek fungsional yaitu physical function (r=0,378; p=0,003) dan 2 aspek gejala yaitu opening mouth (r=-0,325; p=0,01) dan dyspnea (r=-0,257; p=0,045). Meskipun tidak signifikan secara statistik, namun PNI memiliki arah korelasi yang positif terhadap aspek fungsional lainnya dan memiliki arah korelasi negatif terhadap aspek gejala lainnya yang berarti semakin tinggi PNI maka aspek fungsional semakin baik dan gejala semakin ringan. Studi ini tidak menemukan adanya korelasi bermakna antara asupan protein, baik kualitas maupun kuantitasnya, terhadap PNI. Hasil ini diduga berkaitan dengan penemuan bahwa sebagian besar penderita masih memiliki pola asupan yang mampu mencukupi kebutuhan kalori dan protein harian. Diperlukan studi prospektif yang menelusuri aspek prognostik kanker kepala leher dari segi kualitas hidup untuk mengetahui apakah PNI dapat memprediksi aspek kualitas hidup dengan lebih rinci.

Quality and quantity of protein intake has not been well understood that it can affect quality of life. Moreover, Prognostic Nutritional Index (PNI) also has not been well studied upon its usage to reflect quality of life of head and neck cancer patients undergoing radiotherapy. This cross sectional study was aimed to determine the correlation between protein intake and PNI and also the correlation between PNI and quality of life in head and neck cancer patients undergoing radiotherapy at Radiotherapy Department, dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. Total of 61 subjects were recruited with consecutive sampling method with mean age of 46,3 ± 12,4 years old and 65,6% subjects were on stage IV cancer and were getting a combination of chemo and radiotherapy. Only 32,8% subjects were on low nutritional status. Median of total protein intake was 1,42 (0,26-4,11) g/kg/day. Median of PNI was 45,9 (29,4-54,2) among subjects. The result of the study showed a significant correlations between quanitity of protein intake based on semiquantitative Food Frequency Questionnaire (FFQ) with several aspects of quality of life, that were pain (head and neck) (r=-0,32; p=0,01), swallowing (r=-0,37; p=0,004), social eating (r=-0,29; p=0,02), dry mouth (r=-0,41; p=0,001), sticky saliva (r=-0,32; p=0,01), fatigue (r=-0,28; p=0,03), nausea and vomiting (r=-0,26; p=0,04) dan appetite loss (r=-0,3; p=0,01). This aspects were all symptomatics. PNI was significantly correlated with 1 functional aspect, which was Physical function (r=0.378; p=0,003) and 2 symptomp aspects, which were opening mouth (r=-0,325; p=0,01) dan dyspnea (r=-0,257; p=0,045). Although not statistically significant, but there were positive direction of correlation with other functional aspects and negative direction of correlation with other symptomps aspects. This implicates that the higher the PNI, the lower the symptoms and the better the functional status of head and neck cancer patients undergoing radiotherapy. This study did not show a significant correlation between quality and quantity of protein intake with PNI. An adequate intake of calorie and protein in most subjects were found in this study which might explain the result. More studies, preferably prospective one, may be needed to show the usage of PNI to reflect quality of life, especially involving quality of life progresivity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jellyca Anton
"Glutamin merupakan asam amino yang berperan penting dalam menjaga homeostasis dari fungsi sel tertentu, di antaranya adalah proliferasi sel limfosit. Penurunan kadar glutamin plasma terjadi pada hewan coba dengan kanker, yang berdampak pada peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa suplementasi glutamin dapat mencegah terjadinya mukositis oral akibat radiasi, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan di Departemen Radioterapi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar glutamin plasma terhadap total lymphocyte count TLC dan kualitas hidup pada pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Dari total 52 subjek yang mengikuti penelitian ini, didapatkan median usia 50,50 18-62 tahun dan 63,46 adalah subjek laki-laki. Nasofaring merupakan lokasi kanker tersering. Sekitar 70 subjek berada pada stadium IV dan mendapatkan kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Status gizi sebagian besar subjek masih tergolong normal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kadar glutamin plasma terhadap TLC dan kualitas hidup pada pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Meskipun demikian, beberapa data dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai adanya masalah nutrisi yang dialami pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Data tersebut antara lain lebih dari 60 subjek memiliki asupan kalori dan protein harian yang kurang, kemudian didapatkan juga kadar glutamin plasma semua subjek yang sangat rendah, dengan rerata 7,77 3,32 ?mol/l. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya hal tersebut adalah proses penyakit kanker, lokasi pertumbuhan kanker, efek samping terapi, serta kebutuhan yang sangat tinggi akan glutamin untuk fungsi fisiologis tubuh.

Glutamin is an amino acid that plays an important role in maintaining the homeostasis of many cells, including the proliferation of lymphocytes. A decrease in plasma glutamine level was observed in rats with cancer, which could increase the susceptibility to infection. Several studies showed that glutamine supplementation could prevent oral mucositis induced by radiation, so this could increase the quality of life of head and neck cancer patients receiving radiotherapy. This cross sectional study conducted at Radiotherapy Department, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, aimed to investigate the correlations of plasma glutamin level with total lymphocyte count TLC and quality of life in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. A total of 52 subjects participated in this study, with median age 50,50 18 62 years old and 63,46 subjects were male. Nasopharynx was the most common site affected. About 70 subjects were at stage IV cancer and receiving a combination of radiotherapy and chemotherapy. Most of the subjects had a normal nutritional status according to body mass index BMI.
The results of this study showed no correlations of plasma glutamine level with TLC and quality of life in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. However, data from this study revealed nutritional problems that happened in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. These data include more than 60 of subjects had below normal limit daily calorie and protein intakes, and the plasma glutamine level of all subjects was very low, with mean 7,77 3,32 mol l. Several factors predicted to be the cause of these problems are the process of the disease, cancer growth location, side effects of therapy, as well as a high need of glutamine for physiological functions of the body.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ester Candrawati Musa
"Kadar CRP serum dapat digunakan sebagai prediktor penurunan berat badan dan indikator prognostik inflamasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi kadar CRP serum dengan penurunan berat badan dan mukositis oral pada pasien kanker kepala leher yang menjalani radioterapi. Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain potong lintang pada pasien kanker kepala leher yang telah menjalani terapi radiasi minimal 25 kali di Departeman Radioterapi RSUPNCM Jakarta dengan usia ge;18 ndash;65 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subyek 71,2 memiliki kadar CRP serum normal, mengalami penurunan berat badan ge;5 dalam waktu sebulan 76,9 dengan rerata penurunan berat badan -9,42 7,76 , dan juga mengalami mukositis oral 65,4 dengan persentase terbanyak yaitu derajat 1 59,6 . Tidak terdapat mukositis oral derajat 3 dan 4. Tidak terdapat korelasi antara kadar CRP serum dengan penurunan berat r=0,166; p=0,239 , dan mukositis oral r=0,137; p=0,331 . Kesimpulan adalah kadar CRP serum saat radioterapi tidak memengaruhi penurunan berat badan dan mukositis oral. Sebagian besar subyek tetap mengalami penurunan berat badan selama menjalani radioterapi sehingga pemasangan NGT yang lebih awal yaitu sebelum terapi radiasi dimulai NGT profilaksis perlu dilakukan, namun hal ini membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Serum CRP levels can be used as a predictor of weight loss and prognostic indicator of inflammation. This study was conducted to determine the correlation of serum CRP levels with weight loss and oral mucositis in patients with head and neck cancer undergoing radiotherapy. This study was an observational study in the head and neck cancer patients who have undergone radiation therapy at least 25 times at the Department of Radiotherapy RSUPNCM Jakarta with aged ge 18 ndash 65 years old. Our study results showed that most of the subjects 71,2 had normal serum CRP levels, weight loss of ge 5 in one month 76,9 , and also experienced oral mucositis 65,4 . Mostly had grade 1 oral mucositis 59,6 . There were no grade 3 and 4 oral mucositis.There were no correlation between serum CRP levels with weight loss r 0,166 p 0,239 , and oral mucositis r 0,137 p 0.331 . In conclusion, serum CRP levels did not influence weight loss and oral mucositis in patients with head and neck cancer undergoing radiotherapy. Most of the subjects still experienced weight loss during radiotherapy. Therefore, NGT prophylaxis is needed, but this requires further study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muningtya Philiyanisa Alam
"Proses inflamasi pada kanker kepala dan leher menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi dan sintesis protein fase akut c-reactive protein, CRP yang kemudian menyebabkan perubahan metabolisme dan anoreksia pada penderitanya. Seng merupakan zat gizi yang memiliki peran penting dalam menekan inflamasi, namun dilaporkan sekitar 65 pasien kanker kepala dan leher mengalami kekurangan seng. Penelitian potong lintang ini bertujuan mengetahui korelasi antara asupan seng dan kadar seng serum dengan kadar c-reactive protein CRP sebagai upaya menekan inflamasi sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien kanker kepala leher. Dari 49 subyek yang dikumpulkan secara konsekutif di Poliklinik Onkologi RS Kanker Dharmais, 67,3 adalah laki-laki, rentang usia subyek 46 ndash;65 tahun. Frekuensi terbanyak 65,3 adalah kanker nasofaring dan 69,4 berada pada stadium IV. Seratus persen subyek memiliki asupan seng dibawah nilai angka kecukupan gizi. Rerata kadar seng serum subyek adalah 9,83 2,62 mol/L. Sebanyak 51 subyek memiliki kadar CRP yang meningkat. Terdapat korelasi negatif yang lemah antara kadar seng dengan kadar CRP subyek r =-0,292, p =0,042, namun tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan kadar CRP subyek p =0,86.

The inflammatory process of head and neck cancer leads to increase the proinflammatory cytokines and the synthesis of c reactive protein CRP , which then causes metabolic alteration and anorexia in the patients. Zinc is one of nutrient that has an important role in suppressing inflammation. It is reported that about 65 of head and neck cancer patients have zinc deficiency. The aim of this cross sectional study is to determine the correlation between zinc intake and serum zinc levels with CRP level as an effort to reduce inflammation to reduce the morbidity and mortality of head and neck cancer patients. Subjects were collected by consecutive sampling in the Oncology Polyclinic Dharmais Cancer Hospital, from 49 subjects 67,3 were men, most subjects were in the age range between 46 ndash 65 years. The highest frequency 65,3 is nasopharyngeal cancer and 69,4 are already in stage IV. All subjects in this study have a zinc intake below the recommended dietary allowance RDA in Indonesia. The mean serum zinc level of the subjects was 9.83 2.62 mol L. Most subjects have elevated CRP levels. There was a weak significant negative correlation between zinc concentration and CRP levels of subjects r 0.292, p 0.042, but there was no correlation between zinc intake and CRP levels of subjects p 0.86. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfina Rachmi
"Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang di Departemen Radioterapi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar asam lemak omega-3 terhadap massa otot dan kekuatan genggam pada subjek kanker kepala leher yang mendapatkan radioterapi. Kaheksia kanker sering terjadi pada kanker kepala leher akibat peningkatan sitokin proinflamasi yang menyebabkan hipermetabolisme, peningkatan kebutuhan nutrisi, anoreksia, penurunan massa otot dan berat badan. Asam lemak omega-3 berperan dalam menurunkan inflamasi, meningkatkan massa otot, dan kekuatan genggam. Dari 52 subjek yang sudah mendapatkan radioterapi ge;25 kali, 57 adalah laki-laki dengan rerata usia di atas 50 tahun. Lokasi kanker paling banyak di area nasofaring, sebagian besar sudah berada pada stadium IV dan mendapatkan kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Sebesar 38,5 dan 32,7 subjek berada pada kategori indeks massa tubuh normal dan kurang. Data yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan gambaran kurangnya asupan energi, protein, lemak, dan asam lemak omega-3, serta massa otot sebagian besar subjek yang tergolong kecil 28,4 4,7 , dengan kekuatan genggam sebagian besar subjek tergolong normal, dan kadar asam lemak omega-3 plasma seluruh subjek yang tergolong rendah 2,5 0,8 . Data tersebut menunjukkan adanya masalah nutrisi pada pasien kanker kepala leher. Terdapat korelasi yang kuat antara kadar asam lemak omega-3 plasma terhadap massa otot r =0,6, p 50?60 Gy dan 50 Gy.

This cross sectional study conducted in the Department of Radiotherapy Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, aimed to investigate the correlation between omega 3 fatty acids plasma levels with muscle mass and hand grip muscle strength in subjects with head and neck cancer undergoing radiotherapy. Cancer cachexia is common in head and neck cancer as a result of the increasing of proinflammatory cytokines that cause hipermetabolisme, increased nutritional needs, anorexia, decreased muscle mass and body weight. Omega 3 fatty acids play a role in reducing inflammation, as well as improving muscle mass and hand grip. There were 52 subjects who had received radiotherapy ge 25 times, 57 were male with a mean age of 50 years. Most cancer sites were at nasopharynx area, mostly in stage IV and received a combination of radiotherapy and chemotherapy. There were 38,5 of the subjects in the normal body mass index and 32,7 were in low body mass index. The data from this study showed inadequate intake of energy, protein, fat, and omega 3 fatty acids, as well as muscle mass majority was small 28,4 4,7 , with most of the hand grip classified as normal, and the plasma levels of omega 3 fatty acids all of the subjects were low 2,5 0,8 . The data showed that there were nutritional problems in patients with head and neck cancer. There was strong correlation of plasma levels of omega 3 fatty acids with muscle mass r 0,8, p 50 60 Gy and 50 Gy. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marvin Marino
"Latar Belakang: Pengobatan Kanker kepala leher (KKL) melalui terapi radiasi maupun kemoradiasi sering menimbulkan efek samping. Efek samping terapi radiasi pasien KKL menyebabkan gangguan asupan yang meningkatkan kejadian malnutrisi. Ketersediaan jalur nutrisi enteral merupakan salah satu tata laksana nutrisi yang dapat diberikan untuk mencegah penurunan asupan dan status gizi pasien KKL. Penelitian ini bertujuan melihat korelasi antara ketersediaan jalur nutrisi enteral dengan pemenuhan nutrisi dan status gizi.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada subjek dewasa dengan KKL pasca terapi radiasi di poliklinik radioterapi RSCM. Pemenuhan nutrisi dinilai dengan FFQ semi kuantitatif sedangkan status gizi diukur dengan menghitung indeks massa tubuh (IMT). Ketersediaan jalur nutrisi enteral didapatkan melalui wawancara dan rekam medis pasien.
Hasil: Sebanyak 41 subjek penelitian dengan rerata usia 51 tahun ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar subjek adalah laki-laki, diagnosis kanker nasofaring, stadium IV, dan jalur nutrisi oral. Rerata IMT subjek 20,5 ± 3,6 kg/m2 dan rerata asupan subjek 1336,7 ± 405,5 kkal/hari. Rerata IMT subjek dengan jalur nutrisi enteral lebih rendah dibandingkan dengan jalur nutrisi oral yaitu 18,2 ± 2,6 kg/m2 dibanding 21,2 ± 3,5 kg/m2. Rerata total asupan energi subjek dengan jalur nutrisi enteral lebih tinggi dibandingkan dengan jalur nutrisi oral yaitu 1498,1 ± 430,6 kkal/hari dibanding 1291,4 ± 393,3 kkal/hari. Terdapat korelasi nagatif sedang antara ketersediaan jalur nutrisi enteral dengan status gizi (r=-0,346, p=0,027) dan korelasi positif lemah dengan pemenuhan nutrisi (r=0,216, p=0,174). Meskipun demikian pada penelitian ini ditemukan bahwa proporsi subjek yang mendapat jalur nutrisi enteral dan mengalami penurunan IMT lebih sedikit dibandingkan dengan proporsi subjek yang menggunakan jalur oral, yaitu 22,2% dengan 43,8%.
Kesimpulan: Terdapat korelasi negatif sedang yang signifikan antara ketersediaan jalur nutrisi enteral dengan status gizi dan korelasi positif lemah dengan pemenuhan nutrisi yang masih dipengaruhi oleh faktor perancu penelitian.

Background: Treatment of head and neck cancer (HNC) through radiation therapy or chemoradiation often lead to side effects. The side effect of radiation therapy in HNC patients might deteriorate food intake that increase the incidence of malnutrition. The availability of enteral nutrition is one of nutritional interventions that can be provided to prevent detrimental of food intake and nutritional status in HNC patients. This study aims to evaluate the correlation between the availability of enteral nutrition with nutritional fulfillment and nutritional status.
Method: A cross sectional study was conducted on adult HNC patients after radiation therapy at Radiotherapy Outpatient Clinic of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Nutritional fulfillment was assessed by semi-quantitative food frequency questionnaire (FFQ) while nutritional status was measured by calculating body mass index (BMI). The availability of enteral route was obtained through interviews and patients medical records.
Results: A total of 41 subjects with a mean age of 51 years participated in the study. Most of the subjects were male, with stage IV nasopharyngeal cancer and oral nutrition route. The mean of BMI was 20,5 ± 3,6 kg/m2 and the mean food intake was 1336,7 ± 405,5 kcal/day. The mean BMI of subjects with enteral nutrition was lower than those on oral nutrition, which was 18,2 ± 2,6 kg/m2 compared to 21,2 ± 3,5 kg/m2. The mean total energy intake of subjects with enteral nutrition route was higher than oral nutrition route, which was 1498,1 ± 430,6 kcal/day compared to 1291,4 ± 393,3 kcal/day. There was a moderate negative correlation between the availability of enteral nutrition and nutritional status (r=-0,346, p=0,027), meanwhile there was a weak positive correlation with nutritional fulfillment (r=0,216, p=0,174). However, in this study we found that the proportion of subjects with enteral nutrition who experienced a decrease of BMI was less than the proportion of subjects on the oral route, which was 22,2% compared to 43,8%, respectively.
Conclusion: There is a moderate negative correlation between the availability of enteral nutrition which was statistically significant with nutritional status and a weak correlation with nutritional fulfillment which was still influenced by confounding factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cytha Nilam Chairani
"Latar Belakang: Kanker kepala dan leher (KKL) termasuk kanker yang paling umum, menempati urutan keenam secara global. Kanker rongga mulut termasuk dalam entitas KKL, yaitu sekitar 75% kasus. Salah satu modalitas terapi onkologi, yaitu radioterapi (RT) dapat menyebabkan efek samping di oral, contohnya seperti berkurangnya fungsi mengunyah dan menelan, serta penurunan nafsu makan yang kemudian berkaitan dengan penurunan berat badan kritis. Penurunan berat badan kritis (PBBK) didefinisikan sebagai penurunan berat badan yang tidak disengaja sebesar 5% pada 1 bulan atau 10% pada 6 bulan sejak dimulainya RT. Tujuan: Mengetahui faktor yang berhubungan dengan PBBK pada pasien RT kepala dan leher di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Metode Penelitian: Analisis observasional retrospektif dengan menggunakan data sekunder (rekam medis) dari 125 pasien kanker mulut di Rumah Sakit Kanker Dharmais periode 2018-2022. Hasil: Rata-rata usia pasien adalah 50,2±14,5 tahun terdiri dari laki-laki sebanyak 68 orang (54,4%) dan perempuan sebanyak 57 orang (45,6%). Pasien yang mengalami PBBK pada satu bulan sejak RT selesai sebanyak 69 orang (72,6%). Analisis bivariat untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap PBBK menunjukkan hanya variabel xerostomia selama RT yang signifikan (p = 0,006). Kesimpulan: Xerostomia selama RT merupakan faktor yang berpengaruh terhadap PBBK. Kolaborasi multidisipliner tim onkologi diperlukan untuk mencegah PBBK, termasuk dokter gigi untuk memantau komplikasi oral selama RT.

Introduction: Head and neck cancer (HNC) is the sixth most common cancer worldwide. 75% of HNCs are oral cancer. Radiotherapy (RT) is generally an oncology therapy that can develop side effects associated with oral complications due to RT. These complications can interfere with chewing and swallowing, which subsequently cause a decrease in appetite. Furthermore, patients may experience critical weight loss (CWL) defined as involuntary weight loss of 5% at one month or 10% at six months from the start of RT. Objective: To investigate the factor which correlates with CWL in head and neck RT patients treated in Dharmais Cancer Hospital. Methods: A retrospective observational analysis using secondary data (medical records) of 125 oral cancer patients at Dharmais Cancer Hospital in 2018-2022. Results: The mean age of patients was 50,2±14,5 years, with 68 (54,4%) male and 57 (45,6%) female. Sixty-nine patients (72,6%) developed CWL one month after RT, and the only significant factor in CWL was xerostomia during RT (p = 0,006). Conclusion: Xerostomia during RT is an influencing factor of CWL. Multidisciplinary collaboration of the oncology team is needed to prevent CWL, including the dentist to monitor oral complications during RT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rezky Ananda Rianto
"ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Penurunan Kualitas Hidup terkait Kanker Kepala dan Leher banyak dirasakan oleh pasien yang sedang menjalani pengobatan kanker tersebut. Pengukuran dari perubahan kondisi ini membutuhkan suata alat ukur valid yang dapat diimplementasikan untuk pasien Kanker Kepala dan Leher di Indonesia. EORTC QLQ-H N 35 merupakan suatu kuesioner kualitas hidup khusus Kanker Kepala dan Leher yang telah divalidasi ke berbagai bahasa. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan EORTC QLQ-H N 35 versi Bahasa Indonesia yang memiliki validitas bahasa yang baik dapat diujicobakan lebih lanjut untuk uji kesahihan dan keandalan.METODE: Penelitian ini merupakan suatu studi kualitatif yang melaporkan proses penerjemahan kuesioner EORTC QLQ-H N 35 ke dalam Bahasa Indonesia berdasarkan persyaratan yang ditulis didalam EORTC Quality of Life Group Translation Procedure, 4th edition, 2016 serta respons pasien terhadap hasil terjemahan tersebut. Populasi terjangkau untuk fase uji coba kuesioner adalah laki-laki dan perempuan usia 18-70 tahun dengan diagnosa kanker kepala dan leher yang datang ke poliklinik rawat jalan Rehabilitasi Medik dan poliklinik rawat jalan THT Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang memenuhi kriteria penelitian. Pemilihan sampel untuk fase uji coba kuesioner dilakukan secara consecutive sampling. Peserta diminta mengisi kuesioner EORTC QLQ-H N35 versi 1 Bahasa Indonesia dan diwawancarai untuk menilai respons mereka terhadap kuesioner. Wawancara ulang dilakukan untuk mengkonfirmasi pemahaman pasien terhadap pertanyaan yang diduga bermasalah saat penyusunan terjemahan kuesioner.HASIL: Sebanyak 14 subyek mengikuti uji coba kuesioner. Dari wawancara awal dan wawancara konfirmasi didapatkan masih ada 13 dari total 35 pertanyaan yang dirasa pasien sulit dijawab, membingungkan, menggunakan kata yang sulit dipahami, atau membuat tidak nyamanKESIMPULAN: Masih banyak pertanyaan yang yang dipersepikan berbeda dari makna aslinya oleh pasien. Adaptasi EORTC QLQ-H N35 dalam Bahasa Indonesia versi 1 belum dapat dipahami dan digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien Kanker Kepala dan Leher di Indonesia. Uji coba dan penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menghasilkan hasil terjemahan yang valid.
ABSTRACT BACKGROUND Head and Neck Cancer related changes in Quality of Life has been reported by patients undergoing cancer treatment. A valid measurement tool that can detect the changes in Quality of Life of Head and Neck Cancer patient can enhance the quality of treatment and management of this type of cancer. The EORTC QLQ H N 35 is a specific quality of life assessment module for Head and Neck Cancer patients that had been validated into many languages. This study aims to translate EORTC QLQ H N 35 into Bahasa Indonesia so that it may be used for validity and reliability study.METHODS This is a descriptive qualitative study that reports the translation process of The EORTC QLQ H N 35 into Bahasa Indonesia as described in the EORTC Quality of Life Group Translation Procedure, 4th edition, 2016 and the patient rsquo s response to the translation result. The sample for the pilot testing phase of the study are men and women age 18 70 years old, diagnosed with Head and Neck Cancer who came to the outpatient Rehabilitation and ENT clinic Cipto Mangunkusumo Hospital that fulfilled the study criteria. Sampling for the pilot testing phase is done via consecutive sampling. The participants were asked to fill the EORTC QLQ H N35 version 1 Bahasa Indonesia and interviewed to record their response of the the questionnaire. A second interview was conducted to confirm the patients understanding of the questions that are noted to be problematic during the translation phase.RESULTS Fourteen subjects participated in the questionnaire pilot testing phase. From the first and second interview, it is found that out of 35 set of questions, there are 13 questions that are deemed by the patients to be difficult to answer, confusing, using difficult words, or upsettingCONCLUSION There are still many questions that had been perceived differently by the patient from what had been intended. Version 1 of the EORTC QLQ H N 35 Bahasa Indonesia cannot be fully understand by the patient and cannot be used to measure the Quality of Life of Head and Neck Cancer patient in Indonesia. Further tests and research is required to produce a valid translation of the questionnaire."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marsella Dervina Amisi
"Albumin serum, berat badan dan kekuatan genggaman merupakan parameter penilaian status gizi yang berhubungan dengan kadar protein tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar albumin serum terhadap persentase penurunan berat badan dan kekuatan genggaman. Penelitian dengan desain potong lintang pada pasien kanker kepala leher dengan usia ≥18–65 tahun yang telah menjalani radiasi ≥25 kali di Departemen Radioterapi RSUPNCM. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 55,76% subjek memiliki kadar albumin <3,4 g/dL. Rerata penurunan berat badan selama radiasi – 9,42 ± 7,76%, dengan 79,6% subyek mengalami penurunan berat badan ≥5%. Rerata kekuatan genggaman tangan dominan 39,48 ± 9,15 kg. Tidak terdapat korelasi antara kadar albumin serum dengan persentase penurunan berat badan (r = - 0,129; p = 0,364) dan kekuatan genggaman tangan (r = 0,048; p = 0,733). Kesimpulan, kadar albumin serum tidak memengaruhi penurunan berat badan dan kekuatan genggaman selama radiasi. Sangat penting untuk mempertahankan status gizi selama menjalani radioterapi salah satunya dengan pemakaian NGT di awal radiasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain kohort prospektif untuk mendapatkan data yang lebih konklusif.

Serum albumin, body weight and hand grip strength is a parameter of assessment of nutritional status related to body protein. This study was conducted to determine the correlation between serum albumin levels with the percentage of weight loss and hand grip strength. A cross sectional study design in the head neck cancer patients with ge 18 65 years of age who have undergone radiation at least 25 times in the Department of Radiotherapy RSUPNCM. The results showed approximately 55,76 of the subjects had levels of albumin below 3,4 g dL. Mean weight loss during radiation ndash 9,42 7,76 , with 79,6 of subjects experienced weight loss ge 5 . Mean dominant hand grip strength 39,48 9,15 kg. There is no correlation between serum albumin levels with percentage of body weight loss r 0,129 p 0,364 and hand grip strength r 0,048 p 0,733 . Conclussion, serum albumin levels did not affect body weight loss and handgrip strength during radiation. It is essential for head and neck cancer patients undergoing radiotherapy to maintain nutritional status with NGT in the initial radiation. Further research with prospective cohort design is needed to obtain more conclusive data. Keywords Serum albumin, weight loss percentage, handgrip strength, head and neck cancer, radiotherapy "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luana Lidwina
"Latar belakang: Pasien kanker kepala leher (KKL) yang mendapatkan kemoradiasi berisiko mengalami malnutrisi dan meningkat hingga 88 % saat akhir kemoradiasi. Efek samping kemoradiasi berupa xerostomia, mukositis, mual atau muntah menambah penurunan status nutrisi dan kapasitas fungsional. Monitoring status nutrisi melalui penilaian berat badan (BB) dan kekuatan genggam tangan (KGT) sebagai cara sederhana dan minimal invasif dibandingkan alat pemeriksaan lain seperti pengukur komposisi tubuh dan Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA). Belum diketahui frekuensi kunjungan optimal ke poli gizi selama menjalani kemoradiasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang, dilakukan di Radioterapi RSCM (IPTOR RSUPNCM).Penelitian ini bertujuan melihat korelasi frekuensi kunjungan pasien KKL yang menjalani kemoradiasi terhadap BB dan KGT, dengan kriteria inklusi adalah pasien KKL dewasa, usia 19 hingga 59 tahun, yang menjalani kemoradiasi pada 10 fraksi terakhir, dan bersedia masuk dalam penelitian. Pengukuran BB menggunakan timbangan merk Omron® Karada-HBF-375, kekuatan genggam tangan menggunakan Jamar® handgrip pada tangan kanan dominan subjek.
Hasil: Rerata BB 55,65±12,34 kg, rerata KGT 29,24±10,74 kg, dan rerata frekuensi 1 kali. Rerata asupan energi 1225,96±501,22 kkal, protein median 41 g, rerata lemak 33,5±18,8g dan KH 182,2±78,3g. Korelasi antara frekuensi kunjungan terhadap BB (r= 0,61, p= 0,66) dan KGT (r=0,06, p= 0,64).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara frekuensi kunjungan terhadap BB dan KGT.

Background: Head and neck cancer patients who get chemoradiated are at risk of malnutrition and an increase in malnutrition of up to 88% at the end of chemoradiation. Side effects of chemoradiation in the form of xerostomia, mucositis, nausea or vomiting add to the decrease : Luana Lidwina in nutritional status and functional capacity. Monitoring nutritional status, one of which is carried out by assessing body weight (BW) and hand-holding strength (HGS). BW and HGS assessments are a simple and minimally invasive way for people with head and neck cancer (HNC) compared to other examination tools such as body composition measuring devices, Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DEXA), and require high costs. It is not yet known the frequency of optimal visits of HNC patients to the nutrition poly during the moradiation period.
Methods: This study used the cross section method, conducted in RSCM Radiotherapy (IPTOR RSUPNCM). This study aims to see a correlation between the frequency of visits by HNC patients undergoing morbidity to BW and HGS. Subjects included as inclusion criteria were adult HNC patients, ages 19 to 59, who underwent chemoradiation in the last 10 fractions, and were willing to enter the study to be taken. BW measurements using omron® Karada- HBF-375 brand scales, hand grip strength using Jamar® handgrip on the dominant right hand of the subject.
Result: The weight of the subjects had an average of 55.6 5±12.34 kg, HGS had an average of 29.24±10.74 kg, and an average frequency of 1 time. Average energy intake 1225.96±501.22 kcal, median protein 41 g, average fat 33.5±18.8g and KH 182.2±78.3g. Correlation between the frequency of visits to BW (r= 0.61, p= 0.66) and HGS (r=0.06, p= 0.64).
Conclusion: There was no correlation between the frequency of visits to BB and KGT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>