Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154952 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ajeng Larasati
"ABSTRAK
Jurnal ini membahas relasi seorang anak tokoh utama dan ayah dalam film Oorlogswinter 2008 . Film diangkat dari buku dengan judul sama, berkisah tentang seorang anak Belanda yang hidup di masa Perang Dunia II dan harus berhadapan dengan ayah yang berbeda prinsip dengannya. Konflik yang dihadapi sang anak bukan hanya dengan ayah, tetapi juga tentara Jerman dan pamannya. Berbagai konflik itu masing-masing ditunjukkan dengan pemanfaatan teknik sinematografi yang berbeda. Pembahasan relasi ayah dan anak dan konflik-konflik yang ada dalam film ini dilakukan dengan analisis struktur, fokalisasi dan sinematografi.

ABSTRACT
This journal analyzes the relationship between son main character and father in the movie Oorlogswinter 2008 . The film is adapted from a book with the same title which tells a story of a dutch boy who lives in the time of World War II and has to deal with his father who has different principles from him. The child also has conflicts with the German army and his own uncle. Each of the conflicts is shown through specific cinematography techniques. Analysis of the relation of father and son and other conflicts in the movie are conducted with structure, focalization and cinematography analysis."
2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Daniyah
"Film Les Garçons et Gillaume, à Table ! menceritakan tentang seorang anak laki-laki bernama Guillaume, yang dibesarkan oleh keluarganya untuk dijadikan sebagai seorang perempuan. Guillaume mengalami krisis identitas sebelum membangun pemahaman diri yang kuat mengenai siapa dirinya karena perlakuan keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Tulisan ini membahas tahapan yang dilalui tokoh utama dalam mengkonstruksikan identitas seksualnya. Film ini dianalisis dengan melihat aspek naratif dan sinematografisnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemahaman diri sangat penting dalam perkembangan identitas seksual dan bahwa identitas seksual adalah hasil konstruksi sosial.

The film Les Garçons et Guillaume, à Table ! tells a story about a boy named Guillaume who was raised to be a girl by his family. Guillaume had to go through an identity crisis before he developed a strong sense of who he is because of how his family and society treated him. This paper discusess the stages that the lead character went through to construct his sexual identity. Film was analyzed through its narrative and cinematographic?s aspect. The analysis shows that sense of self plays a critical role in the development of sexual identity and that sexual identity is a social construct."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Vinny Damayanthi
"Penelitian ini berusaha menemukan posisi khalayak ketika memaknai pelaku pembunuhan dalam film The Act of Killing/Jagal dengan pendekatan reception analysis Stuart Hall yang memposisikan 3 (tiga) “posisi hipotesis” decoder: dominan, negotiated, dan oposisi. Jagal adalah film dokumenter yang mengisahkan kehidupan sehari-hari mantan pelaku pembunuhan massal pemberantas anggota Partai Komunis Indonesia pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) dengan tokoh sentral Anwar Congo dan Adi. Sampling penelitian terbatas pada komunitas interpretatif dengan kriteria: lahir setelah tahun 1980, pernah menonton film Pengkhianatan G30S/PKI dan Jagal, pernah mengunjungi museum dan monumen bersejarah terkait G30S, dan memiliki konstruksi tentang PKI sebelum menonton film Jagal.
Peneliti melakukan wawancara mendalam terhadap 6 (enam) informan dengan beragam latar belakang. Wawancara dilakukan untuk mengetahui pemaknaan komunitas interpretatif terhadap 8 (delapan) adegan yang dinilai relevan dengan penelitian. Peneliti juga menghimpun informasi mengenai encoding sutradara. Dengan reception analysis, peneliti menemukan bahwa keragaman latar belakang dan pengalaman menyebabkan khalayak juga meng-encode teks media dengan beragam. Posisi khalayak tidak konsisten di satu posisi tertentu pada tiap adegan. Ada kalanya cenderung berada di posisi dominan pada adegan tertentu namun cenderung berada di posisi negotiated atau oposisi pada adegan lain.

This research tried to find audiences‟ position when they interpret murderer showed in The Act of Killing/Jagal film with reception analysis approach from Stuart Hall which had 3 (three) “hypothetical position” of decoder: dominan-hegemonic position, negotiated position, and oppositional position. Jagal is a documentary film that told us the daily life of a mass murderer who did massacre of Indonesian Communist Party (PKI) members after September 30th Movement (G30S) with Anwar Congo and Adi as the central role. The sampling were limited to interpretive community with general criteria: were born after 1980, watched Pengkhianatan G30S/PKI and Jagal film, and had construction about PKI before they watched Jagal.
Researcher did depth interview with 6 (six) informants that came from various backgrounds. The aim of the interview was to revealed the meaning of the interpretive community towards 8 (eight) scenes that relevant to the research. Researcher also gathered information about the encoding that the director‟s wanted to present in the film. With reception analysis, researcher found that diversity of backgrounds and experiences caused the audiences encoded media texts in various ways. Audiences positions are not stick to one position for all relevant scenes. There were times when they are dominant on particular scenes but negotiated or oppositional on another.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T44692
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Budi Wijaya
"Throughout the years, scholars argue about the fidelity of adaptation works towards the original texts. However, we can see the adaptation works objectively if we see the original texts and the adaptation works autonomously. In this journal article, we can acknowledge how the concept of subversion in Roald Dahl's Fantastic Mr. Fox is represented from novel into film by Wes Anderson. This journal article focuses on textual analysis by using framework from George Bluestone. From the analysis, it is revealed that Dahl's concept of subversion is not drowned out by Anderson instead he deconstructs Dahl's idea of stealing. Hence, we can recognize that two different media have different way in delivering perception to the readers."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Vetta Hamid
"Perfilman Indonesia dikejutkan oleh The Raid (Gareth Evans, 2012) yang didapuk menjadi generasi film laga Asia berikutnya. Film ini telah lebih dulu mendulang sukses di di luar negeri,diantaranya:ditayangkan perdana di Toronto International Film Festival (TIFF) di tahun 2011, menjadi pilihan utama Sundance Film Festival 2012 dan meraih box office di bioskop terpilih di Amerika Serikat. Kesuksesan The Raid di Indonesia dan di luar negeri menjadi kejutan karena film ini di luar formula film Indonesia bahkan Hollywood pada umumnya, yaitu dengan menggabungkan unsur laga tradisional Indonesia, Pencak Silat dengan sinematografi ala Hollywood. Makalah ini dianalisis dengan dasar argumentasi Hesmondhalgh (2012) dan Miège (1989) yang mengkritik pesimisme budaya Adorno dan Horkheimer (1972 & 1976) mengenai komodifikasi budaya dan standardisasi produk. Makalah ini berargumen bahwa pengenalan industrialisasi dan teknologi baru dalam produksi budaya justru memunculkan arah baru dan inovasi yang menarik.

Indonesian film industry was shocked by The Raid (Gareth Evans, 2012) which was predicted to be the next generation of Asian action/martial arts movies. Before being screened in Indonesia, The Raid had gained success overseas, including: premiered at the Toronto International Film Festival (TIFF) in 2011, became one of the official selections atSundance Film Festival 2012 and became box office in selected theaters in the United States. The unexpected success of The Raid was a surprise because the film is outside the Indonesian and Hollywood movie formula in general, as it combines elements of the traditional Indonesian Pencak Silat with Hollywood-style cinematography. This paper is analyzing the phenomenon based on Hesmondhalgh (2012) and Miège (1989) that argue Adorno and Horkheimer’s cultural pessimism (1972 & 1976) about culture commodification and standardization of products. Furthermore, this paper argues that industrialization and the introduction of new technologies in cultural production led actually led to new directions and innovations.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hilmi Putra Abriniado
"Skripsi ini membahas mengenai implementasi Kebijakan Impor Film Asing Cina yang diatur dalam Film Industry Promotion Law sebagai upaya pemerintah Cina dalam mempertahankan ideologi sosialis dari invasi budaya dan ideologi Barat yang masuk melalui film Hollywood. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dengan menggunakan teori Cultural Policy dan konsep Core Value System of Socialist, penelitian ini mencoba mengghubungkan penerapan Film Industry Promotion Law dengan upaya pemerintah Cina dalam mempertahankan ideologi sosialis. Berangkat dari asumsi bahwa terdapat keterkaitan antara Film Industry Promotion Law dengan upaya mempertahankan ideologi sosialis, penelitian ini juga menunjukan bahwa keberhasilan penerapan Film Industry Promotion Law berimplikasi dengan hilangnya budaya dan ideologi Barat yang terkandung dalam film Hollywood dan dominasi nilai-nilai sosialis dalam film-film yang beredar di Cina. Dengan begitu melalui kebijakan ini masyarakat Cina tidak terpapar dengan budaya dan ideologi Barat yang berpotensi menggeser budaya dan ideologi Cina.

This thesis discusses the implementation of the Chinese Foreign Film Import Policy that regulated in the Film Industry Promotion Law as an effort to defend the socialist ideology from the Western cultural and ideology invasion that entered through Hollywood movies. This study used qualitative research methods. Using the Cultural Policy theory and The Core Value system of Socialist concept, this research attempts to link the implementation of the Film Industry Promotion Law to the efforts of the Chinese government in maintaining socialist ideology. Based on the assumption that there is a connection between Film Industry Promotion Law and the effort to maintain socialist ideology, this study also shows that the successful implementation of Film Industry Promotion Law has implications for eliminate Western culture and ideology contained in Hollywood movies and the dominance of socialist values in movies circulating in China. In this way, through this policy, Chinese society not exposed to Western culture and ideology which has the potential to shift Chinese culture and ideology.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Medina Rachma Lea
"Artikel ini berusaha untuk menganalisa hubungan antara Batman dan Joker dalam film Christopher Nolan yang berjudul "The Dark Knight" (2008). "The Dark Knight", atau TDK, adalah film kedua dari trilogi Batman yang diproduksi oleh Nolan. FIlm ini bercerita tentang Kota Gotham yang dikacaukan oleh Joker, penjahat bertopeng badut, yang adalah musuh utama dari Batman, pahlawan Kota Gotham. This paper attempts to analyze the rivalry between Batman and Joker’s rivalry on Christopher Nolan’s The Dark Knight (2008). Film ini mengangkat isu-isu sosial yang menarik seperti kekacauan, moral, kepatihan pada peraturan, dan insting manusia untuk bertahan hidup. Artikel ini fokus kepada hubungan Batman dan Joker, yang dianalisis melalui pembahasan plot, analisa masing-masing karakter, dan dialog-dialog yang ada. Artikel ini menyimpulkan bahwa Batman dan Joker ternyata lebih dari sekedar musuh. Mereka adalah cerminan satu sama lain.

This paper attempts to analyze the rivalry between Batman and Joker’s rivalry on Christopher Nolan’s The Dark Knight (2008). The Dark Knight is the second movie of Nolan’s Batman trilogy. The movie is about Joker’s scheme to escalate chaos on Gotham City while at the same time, Joker tries to break Batman, This movie portrays a complicated societal issue like citizens’ morals, rules, and also the true nature of people in Gotham. This paper focuses on the characters Batman and Joker, and their rivalry throughout the movie with a little background information about their past from the whole story of Batman and Joker in the comic book. This paper discusses the plot, characterization of Batman and Joker, and the dialogues of the movie. Due to the problem’s limitation, this paper only discusses the scenes where Joker and Batman are having direct confrontation, aside from their own characterization’s discussion. This paper sees that Batman and Joker are more than just ordinary enemies, they are like mirror to each other.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Herlly Primadewi
"Keadaan perempuan selalu dipandang sebelah mata, rendah, dan dianggap buruk di dalam tata nilai masyarakat, kebudayaan, hukum dan politik. Sehingga memunculkan pergerakan-pergerakan perempuan, khususnya feminis liberal yang menginginkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dengan memberikan perempuan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki, terutama kesempatan perempuan untuk berada di lingkungan publik. Film Desperate Housewives adalah bentuk real bagaimana hitam putih perempuan rumah tangga di dalam kehidupan perkawinan dan motherhood.
Feminis liberal ingin menyampaikan beberapa hal yang menyangkut tema kebebasan di dalam menganalisa film Desperate Housewives ini, dengan tujuan agar masyarakat mampu melihat bagaimana seharusnya mengkondisikan perempuan dengan adil tanpa harus selalu memposisikannya sebagai the other. Filsafat feminis memperjuangkan agar permasalahan perempuan bisa dimasukkan juga ke dalam pembahasan filsafat, Selama ini filsafat tidak pernah memasukkan perempuan ke dalam wilayah pembahasannya.
Karya-karya filsafat cenderung misoginis dan sentimen terhadap suara perempuan. Tema filsafat feminis tersebut dibahas melalui teori keadilan John Rawls di dalam bukunya Theory of Justice dengan mengambil pilihan pada affirmative action agar laki-laki dan perempuan dapat berkompetisi secara adil. Affirmative action terhadap perempuan meskipun tidak equal terhadap keberadaan laki-laki, tetap diterima karena ia menguntungkan pihak yang marjinal (perempuan).
Ketertindasan dan kelemahan perempuan bukan hanya karena ketidakmapuan mereka atas apa yang mereka lakukan. Namun, lebih pada identitas kultural yang mereka miliki di dalam lingkup patriarki. Keadaan tersebut di atas menyebabkan bekerjanya teori difference principle dimana keadilan sekurang-kurangnya harus dirasakan oleh kaum yang paling tidak beruntung, dalam hal ini perempuan. Rawls menyikapi keinginan dan cita-cita feminis liberal agar perempuan sebagai kaum marginal juga memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk dapat keluar ke dalam lingkungan publik. Hak-hak tersebut dimaksudkan agar perempuan terbebas dari tindak pelecehan, penindasan, dan diskriminasi.
Kemudian filsuf feminis meneruskan teori difference principle menjadi politik perbedaan, dimana pada keadaan tersebut perempuan menjadi bangga akan dirinya sebagai perempuan, sebagai seorang ibu rumah tangga, sebagai seorang istri. Dan rasa bangga ini akan tumbuh ketika perempuan sudah mencapai kesetaraan dan memperoleh kebebasan yang sebelumnya didapat dari teori difference principle."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S16033
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin
"Dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang disebut work-life balance society di mana para pekerja memiliki semangat tinggi untuk bekerja di samping mengasuh anak ataupun merawat anggota keluarga, pemerintah Jepang membuat kebijakan yang disebut Ikuji Kaigo Kyuugyou Hou (育児・介護休業法) yang dapat diartikan sebagai Undang-Undang Cuti Mengasuh Anak dan Merawat Keluarga. Sejak awal diberlakukannya pada tahun 1992, kebijakan cuti mengasuh anak tersebut telah melalui beberapa kali evaluasi dan revisi. Untuk meneliti tingkat keterlibatan ayah dalam kebijakan pemerintah Jepang yang didukung pula oleh banyak perusahaan tersebut, peneliti menggunakan metode studi dokumen dan analisis kualitatif. Tingkat keterlibatan ayah dalam kebijakan cuti mengasuh anak ini kemudian ditinjau dengan menggunakan teori four-factor model of father involvement (Lamb dan Pleck) dan teori Role Identity (Alicia D. Cast). Hasilnya, tingkat keterlibatan ayah dalam kebijakan cuti mengasuh anak yang terbilang rendah dan jauh dari angka yang ditargetkan pemerintah tidak sejalan dengan tingginya persentase perusahaan yang memberlakukan kebijakan. Sehingga dapat disimpulkan pandangan tradisional masyarakat Jepang bahwa mengasuh anak bukanlah tugas utama ayah masih mendominasi persepsi kaum ayah terhadap peran ayah itu sendiri.

In order to create work-life balance society where each citizen works with a sense of satisfaction in work-related responsibilities, and at the same time are able to take care of a child or a family member, Japan Government enacts a policy named Ikuji Kaigo Kyuugyou Hou (育児・介護休業法) and also known as Child Care and Family Care Leave Law. Since the beginning of the implementation in 1992, Child Care and Family Care Leave Law has been through some evaluation and revision. To examine father involvement in this policy made by Japan Government which also supported by many companies, I use document study and qualitative analysis methods. Father involvement in childcare leave policy then analyzed based on four-factor model of father involvement theory (by Lamb dan Pleck) and Role Identity Theory (by Alicia D. Cast). The main results is that father involvement in childcare leave policy in Japan which remain low and far from the number Japan Government targeted is not match to the high rate of companies implementing the policy. In conclusion, fathers’ perception about fathers role are still dominated by Japanese traditional point of view that childcare is not father’s main task."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>