Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140862 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiwi Ambarwati
"ABSTRAK
Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Akut (ISPA) non Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat dengan prevalensi yang cukup tinggi. Laporan Kota Bogor tahun 2015 menunjukkan prevalensi ISPA Non Pneumonia mencapai 45,64%. Penyebab utama ISPA non Pneumonia adalah virus, namun penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik masih sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis rasionalitas pemberian antibiotik pada pasien ISPA non Pneumonia dan faktor yang mempengaruhi kerasionalan pemberian antibiotik serta pengelolaan program Penggunaan Obat Rasional (POR) di Puskesmas Tanah Sareal. Rancangan penelitian ini deskriptif analitik potong lintang dengan mengumpulkan data rekam medis pasien antara 5 tahun hingga 65 tahun, observasi pelayanan rawat jalan, dan wawancara dengan pihak terkait pelaksanaan program POR. Hasil penelitian menunjukkan proporsi pemberian antibiotik sebanyak 122 (34%) dari 359 pasien dan analisis rasionalitas dilakukan terhadap 102 pasien, Distribusi Penyakit ISPA Non-Pneumonia: Nasofaringitis Akut (63%) faringitis akut (30,6%), tonsilitis akut (5,3%), Sinusitis dan Otitis Media Akut 0,6%., sebagian besar antibiotik yang digunakan adalah amoxicillin dan cefadroxil. Ditemukan 84,3% pemberian antibiotik yang tidak tepat durasi dan faktor yang mempengaruhi rasionalitas antara lain; kurangnya kepatuhan dokter terhadap SOP pengobatan, peran apoteker belum optimal dan kurangnya monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program POR.

ABSTRACT
Non Pneumonial Acute Respiratory Tract Infection (ARTI) is one of public health problems with high prevalence and healthcare cost. Bogor City Report 2015 shows the prevalence of Non Pneumonial ARTI reach 45.64%. The main cause of non- Pneumonial ARTI is virus, but research indicates the use of antibiotics is still very high. This study aims to analyze the rationality of antibiotics on non-Pneumonia ARTI patients, factors affecting rationality of antibiotic administration and management of Rational Use of Medicine (RUM) program at Puskesmas Tanah Sareal. The design of this study is descriptive cross-sectional analysis by collecting patients medical record data between 5 years to 65 years, observation of outpatient services, and interviews with related staff on RUM program implementation. The results showed that the proportion of antibiotic administration was 122 (34%) of 359 patients and rationality analysis was performed on 102 patients, Non-Pneumonia Respiratory Disease Distribution: Acute Nasopharyngitis (63%) Acute Pharyngitis (30.6%), Acute Tonsillitis (5, 3%), Sinusitis and Otitis Media Acute 0.6%. Most of the antibiotics used were amoxicillin and cefadroxil. This study revealed 84.3% of improper antibiotics duration and factors affecting rationality, among others; lack ofa physian's dherence to clinical guideline, lack of pharmacist and monitoring evaluation of RUM implementation."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51007
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Citra Padmita
"Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyebab utama penyakit akut di seluruh dunia. Di Indonesia, prevalensi ISPA paling tinggi terjadi pada kelompok balita. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah di Jawa barat dengan kasus ISPA yang tinggi. RW1 Desa Ciampea, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor merupakan lokasi pemukiman sekaligus lokasi industri pengolahan batu kapur. Keberadaan industri pengolahan batu kapur di sekitar area pemukiman merupakan sumber pencemaran udara yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Ciampea, ISPA merupakan penyakit dengan jumlah kasus terbanyak pada tahun 2012.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor lingkungan (PM10 udara ambien, jarak rumah ke pabrik pengolahan batu kapur, suhu dan kelembaban udara rumah, ventilasi rumah, kepadatan hunian rumah, ada atau tidak anggota keluarga serumah yang terkena ISPA, ada atau tidak anggota keluarga serumah yang merokok, penggunaan obat anti nyamuk, jenis bahan bakar memasak, dan letak dapur) dengan kejadian ISPA pada balita di RW1 Desa Ciampea, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor tahun 2013. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dengan menggunakan data primer yang mana jumlah sampel sebanyak 106 orang balita.
Hasil analisis bivariat diperoleh bahwa faktor lingkungan yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA pada balita adalah PM10 udara ambien (7,40; 2,02-27,10) dan kepadatan hunian rumah (3,39; 1,39-8,32). Adapun karakteristik individu balita yang memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita berdasarkan hasil uji statistik dengan analisis bivariat adalah jenis kelamin (2,61; 1,08-6,34). Faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian ISPA pada balita adalah PM10 udara ambien (9,62; 2,39-38,71). Kerjasama lintas sektoral diperlukan untuk menurunkan angka kejadian ISPA.

Acute Respiratory Infection (ARI) is a major cause of acute illness in the worldwide. In Indonesia, the prevalence of ARI is highest in the group of children under five years. Bogor district is one of region in West Java with high ARI case. Hamlet 1 of Ciampea Village is both settlement location and limestone processing industry location. The existence of limestone processing industry around the settlement area is source of air pollution that can affect people’s health. In the working area of Health Center of Ciampea Sub District, ARI is the disease with the highest case on 2012.
This study aims to determine the relationship between environmental factors (ambient PM10, distance from house to limestone processing plant, the temperature and the humidity of house, house ventilation, residential density of house, whether or not the family members at home who got acute respiratory infection, whether or not a family member at home who smoke, the use of mosquito repellent, type of cooking fuel, and the location of the kitchen) with the occurrence of ARI. This study uses cross-sectional study design and primary data with sample of 106 toddlers.
Result bivariate analysis shows that environmental factors which significantly associated with ARI among children under five years are ambient air PM10 (7.40; 2.02-27.10) and residential density of house (3.39; 1.39-8.32). The individual characteristic of a toddler who has a significant association with the occurrence of ARI among children under five years based on the results of statistical test with bivariate analysis is gender (2.61; 1.08-6.34). The most dominant factor associated with the occurrence of ARI among children under five years is ambient air PM10 (9,62; 2,39-38,71). Cross-sectoral cooperation is needed to reduce the number of ARI.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S54059
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heri Nugroho
"Jakarta Pusat merupakan daerah dengan tingkat kemacetan lalu-lintas yang tinggi sehingga emisi polutan dari kendaraan bermotor tinggi pula. Salah satu polutan tersebut suspended particulate matter (SPM) dapat dipengaruhi oleh faktor meteorologi (curah hujan, kelembaban relatif udara, suhu udara, dan kecepatan angin). Suspended particulars matter (SPM dapat menimbulkan gangguan kesehatan berupa infeksi saluran pernapasan akut bagian atas dan asma.
Tujuan dari penelitian ini untnuk mengetahui keoenderungan konsentrasi SPM dan faktor meteorologi serta hubungan faktor meteorologi dengan prevalensi penyakit infeksi saluran pemapasan bagian atas dan asma di Jakarta Pusat tahun 2003 sampai dengan 2005.
Penelitian ini merupakan studi ekologi, yang mengaualisis data sekunder faktor meteorologi dan suspended particulate matter (SPM) dari badan meteorologi dan geofisika Jakarta dan data penyakit dari suku dinas kesehatan Jakarta Pusat berupa data penderita infeksi saluran pemapasan akut bagian atas dan asma pada puskesmas kelurahan di Jakarta Pusat tahun 2003-2005. Sampel dalam penelitian ini adalah prevalensi infeksi saluran pemapasan akut bagian atas dan asma per kelurahan per bulan. Analisis meliputi uji anova untuk mencari apakah ada perbedaan bermakna antar tahun diantara variabel yang diteliti. Analisis hubungan dilakukan dengan uji korelasi dan regresi.
Rata-rata konsentrasi suspended particulate matter untuk tahun 2003 sebesar 164,486 µg/m3 konsentrasi tertinggi pada bulan Juli sebesar 211,224 µg/m3 dan terendah sebesar 121,827 µg/m3 pada bulan Desember Rata-rata konsentrasi pada tahun 2004 sebesar 152,447 µg/m3 dan tertinggi pada bulan Juni sebesar 288,022 µg/m3 dan terendah 108,067 µg/m3 pada bulan Januari, sedang pada tahun 2005 rata-rata konsentrasi sebesar 296,147 µg/m3 dan tertinggi pada Bulan Mei sebesar 296,147 µg/m3 dan terendah pada bulan Februari sebesar 82,788 gg/ma. Tidak ada perbedaan yang bennakna konsentrasi SPM antara tahun 2003, 2004 dan 2005.
Rata-rata suhu udara sepanjang tahun 2003 - 2005 adalah 28,461°C dengan suhu minimum sebesar 27,465 ?C dan suhu maksimum 29,048 °C. Curah hujan sebesar 163,831 mm, curah hujan minimum sebesar 18,800 mm dan mal-Lsirnum 422,933 mm, rata-rata hari hujan sebesar 11,773 hari, hari hujan minimum 3,333 hari dan maksimum 22,333 hari, Kelembaban udara rata-rata sebesar 74,069%, kelembaban minimum sebesar 68,669 % dan maksimum 80,312 %. Kecepatan angin rata-rata 2,394 knot, kecepatan angin minimum 2,144 knot dan maksimum 2,874 knot.
Hasil penelitian didapatkan prevalen infeksi saluran pemapasan akut bagian atas tertinggi di Jakarta Pusat pada 2003 terjadi pada bulan Juli sebesar 0,0165, tahun 2004 pada Bulan Desember sebesar 0,0185 dan pada tahun 2005 Bulan Agustus sebesar 0,0204 Kecenderungannya semakin naik dari tahun 2003 - 2005. Prevalensi asma di Jakarta Pusat yang tertinggi pada tahun 2003 pada Bulan Agustus sebesar 0,000843, dan pada tahun 2004 pada Bulan Desember sebesar 0,000930 dan pada tahun 2005 pada bulan Maret sebesar 0,000980. Kecenderungan prevalensi asma tahun 2005 lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Hubungan antara SPM dengan faktor meteorologi secara bersama-sama diuji menggunakan analisis regresi linear ganda menghasilkan nilai koefisien determinasi (R ) 0,319, artinya persamaan garis regresi yang dihasilkan dapat menerangkan 31,9 % variasi konsentrasi suspended particulate matter. Konsentrasi SPM = -2576,325 + 93,077 * suhu udara + 10,437 hari hujan + 1092,408 * kecepatan angin - 36,924 (suhu udara * kecepatan angin) - 4,940 (hari hujan * kecepatan angin) + e.
Hubungan antara infeksi saluran pernapasan akut bagian atas dengan suspendend particulate matter bermakna dengan kekuatan hubungan lemah (r = 0,123) berarah positif. Prevalensi infeksi saluran pernapasan akut dapat dijelaskan oleh varibel suspended particulate matter sebesar 1,5 %, peningkatan konsentrasi suspended particulate matter sebesar satu satuan menaikkan prevalensi infeksi saluran pernapasan akut bagian atas sebesar 0,00003 atau 3 per 100.000 penduduk.
Hubungan antara asma dengan suspended parriculate matter bermakna dengan dengan kekuatan hubungan yang Iemah (r = 0,078) berarah positif. Prevalensi asma dapat dijelaskan oleh variabel szupended particulate matter sebesar 0,6 %. Peningkatan suspended particulate matter satu satuan akan meningkatkan prevalensi asma sebesar 0,000013 atau 13 per 1.000000 penduduk.
Penanggulangan pencemaran SPM dapat ditempuh dengan pengawasan yang ketat terhadap gas buang kendaraan melalui uji emisi secara periodik serta pembatasan umur kendaraan yang beroperasi di jalan raya, bagi penduduk yang tinggal di daerah dengan kepadatan lalu-Iintas dnggi perlu mengambil waktu berlibur pada daerah yang tak terpolusi, untuk mengurangi pajanan yang terus-menerus, penyemprotan air secara periodik pada titik sumber debu saat musim kemarau seperti pada area pembangunan gedung."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T21153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asma Farieda
"Kegiatan industri pengguna bahan bakar batubara dengan emisi debunya mempengaruhi kualitas udara dalam rumah dan berisiko terhadap timbulnya kejadian ISPA pada balita yang bermukim di sekitarnya. Hasil Laporan Tahunan dari Puskcsmas Ciwandan Tahun.2007, pola penyakit terbanyak adalah infeksi Saluran pernafasan akut sebanyak 6.775 kasus dari 23.166 kasus penyakit yang masuk (24.05%).
Rancangan studi penelitian ini cross sectional dengan tujuan untuk mengetahui hubungan kadar Particulate Matter (PM|0) dalam rumah dengan kejadian ISPA pada Balita. PM10 dalam rumah diukur langsung pada ruangan balita sering tidur 'dan hanya dilakukan satu kali di setiap rumah responden dengan dibatasi sesuai jam kerja pada perusahaan pengguna batubara, yaitu antara jam 09.00 - 17.00 WIB , lama pengukuran ditetapkan selama 60 menit.
Dari 150 responden diternukan 118 rumah balita dengan kadar PM10'lebih dari 90ug/m3 dan 32 rumah balita kurang dari 90|1g/m3. Terhadap rumah dengan kadar PMN yang lebih dari 90p.g/rn? , ditemukan 105 balita (89,0%) mengalami gejala ISPA. sedangkan terhadap rumah dengan kadar PMN, kurang dari 90|,1g/ms hanya ditemukan 4 balita (l2,5%)menga1ami gejala ISPA. Balita yang tinggal di dalam rumah aengan kadar PMR, yang lebih dari 90ug/m3 berisiko terkena ISPA sebanyak 56,5 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal didalam rumah dengan mam PM10 yang kurang dm 90pg/m3.
Disimpulkan bahwa Terdapat hubungan antara kadar PM10 dalam rumah dengan kejadian ISPA (p<0,05) pada balita yang dipengaruhi oleh vantilasi dalam rumah, kepadatan hunian dan lubang asap dapur. Disarankan agar masyarakat merubah perilaku menutup ventilasi , sehingga ventilasi dapat berfungsi sebagai sarana masuknya sinar matahari kedalam rumah terutama di waktu pagi hari.

The industrial activities that using coal energy will produce the dust emission which affect the air quality inside of the house, in which increasing the risk of the acute respiratory infection (ARI) on under-five children that reside surround it. Yearly Report of the Ciwandan Community Health Center (CHC/Puskesmas) in 2007 showed that 6,775 (24.05%) are ARI cases, out from 28,166 of disease pattems in the area.
The design of the study is a cross sectional in order to explore the relationship between the concentrations of Particulate Matter (PMN) inside the house with the incidence of ARI on under-five children. The PM", is measured directly at the room where under-five is usually sleep in, and it is measured once when the plant is operate on working hours 9AM to 5PM. The length of measuring is 60 minutes.
Of 150 respondents, it is found that 118 houses have concentration of PM", more than 90|ug/m3 and 32 houses have less than 90ug/m3. Of the houses with PM10, concentration more than 90ug/m3 there are 105 (89%) children who suffered with ARI symptoms. While of the houses with PM10 concentration less than 90ug/m?, only 4 (12.5%) children had the symptoms. It can be said that children who living in the house with PM", concentration more than 90ug/m? have risk of suffered with ARI 56.5 times compare to those who live in the house with PMm concentration less than 90 ug/m3.
Conclusion of the study stated that there is a relationship between PM10 concentration in the house and ARI incidence on under-five children, with influenced by house ventilation, house density, and the kitchen chimney. It is suggested that community should change their behavior on treating the ventilation of the house, and utilizing the ventilation as a mean of the entrance of morning sun ray to the house.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T32337
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Assifa
"ABSTRAK
PM2,5 merupakan salah satu pencemar udara yang berbahaya bagi kesehatan pernapasan manusia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Greenpeace pada Februari 2017, rata-rata tingkat konsentrasi PM2,5 di tiga kota besar di Bekasi Tambun, Cikunir, dan Jatibening yaitu 75,67 g/Nm3 selama 24 jam. Tingkat konsentrasi ini melebihi baku mutu nasional sebesar 65 g/Nm3 selama 24 jam. Selanjutnya, pajanan PM2,5 dapat mempengaruhi kesehatan kualitas fungsi paru. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur hubungan konsentrasi PM2,5 di udara terhadap gangguan fungsi paru pada pedagang tetap di Terminal Kota Bekasi tahun 2018. Pengukuran konsentrasi PM2,5 dilakukan dengan EPAM 5000 pada 30 titik di sekeliling terminal menggunakan uji gravimetri, sedangkan gangguan fungsi paru diukur menggunakan spirometri pada 70 responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi PM2,5 di udara terminal masih di bawah baku mutu berdasarkan PP No.41 Tahun 1999, namun terdapat 45,7 pedagang tetap yang fungsi parunya dibawah normal FEV1/FVC < 0,70 berdasarkan hasil ukur spirometri. Berdasarkan analisis hubungan, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsentrasi PM2,5 di udara dengan gangguan fungsi paru, namun terdapat hubungan yang signifikan antara durasi kerja, jenis kelamin, riwayat penyakit pernapasan kronis, dan status merokok terhadap gangguan fungsi paru pada pedagang tetap.

ABSTRACT
PM2.5 is one of pollutants that effect human respiratory health. Results of research conducted by Greenpeace in February 2017, the average rate of PM2.5 in the three major cities in Bekasi Tambun, Cikunir, and Jatibening is 75.67 g Nm3 for 24 hours. This concentration exceed the national environmental quality standard of 65 g Nm3 for 24 hours. Furthermore, PM2.5 exposure can effect lung function quality. The study was conducted to measure the correlation between PM2.5 concentration and lung function impairment in permanent traders in Bekasi City Terminal 2018. The measurement of PM2.5 concentration was done with EPAM 5000 at 30 points around the terminal using gravimetric test, while the lung function impairment used spirometry in 70 respondents. The results showed that the concentration of PM2.5 in terminal air was still under environmental quality standard based on PP No.41 Year 1999, but there was 45.7 traders with lung function impairment FEV1 FVC."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Itsna Masyruha
"Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas penatalaksanaan balita sakit dengan gejala pneumonia di puskesmas, Jawa Barat tahun 2012. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data evaluasi pelatihan MTBS tahap pretest dengan desain cross-sectional. Hasil menunjukkan kualitas penatalaksanaan rendah (9,3%). Terlihat dari rendahnya kepatuhan petugas dalam melakukan penilaian terhadap tanda dan gejala, kesesuaian petugas dalam menetapkan klasifikasi, kesesuaian petugas dalam memberikan pengobatan, serta kepatuhan petugas dalam memberikan konseling (2,6%; 7,9%; 5,6%; dan 1,3%). Faktor yang berhubungan dengan kualitas penatalaksanaan balita sakit tersebut adalah tipe profesi dan pendidikan petugas kesehatan. Kesimpulan yang didapatkan kualitas penatalaksanaan balita sakit dengan gejala pneumonia masih rendah.

This thesis aims to describe the quality of care for under-five ill children having pneumonia symptom in community health center in West Java, 2012. This study is conducted by using the evaluation study pre-test IMCI training data with cross sectional design. The result indicates that the quality of care for under-five children is still low. It is showed from the lack adherence of health worker assessing sign and symptom, the lack compatibility in classification and treatment, and the lack adherence of health worker giving the counseling (2,6%;7,9%; 5,6%; 1,3%). The determinants of quality of care for under-five are the type of profession and education of health workers. In conclusion, quality of care for underfive children is low and the determinants are type of profession and education of health worker."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S44332
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Theresia Sri Rezeki
"Masalah kesehatan respirasi merupakan masalah kesehatan yang penting karena prevalensinya cukup tinggi di Indonesia. Menurut WHO, beberapa masalah kesehatan respirasi yang prevalensinya cukup tinggi di Indonesia adalah pneumonia, tuberkulosis, asma dan PPOK. Dalam penelitian ini, masalah kesehatan respirasi dikaitkan dengan kepuasan terhadap pelayanan kesehatan.
Penelitian menggunakan desain cross sectional dan diadakan di Kelurahan Petamburan. Pengambilan data dilakukan sejak 21 Januari 2012 ? 26 Januari 2012 dengan melibatkan 109 responden yang dipilih dengan metode consecutive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara menggunakan kuesioner yang telah divalidasi sebelumnya.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi masalah kesehatan respirasi di lingkungan kumuh adalah 5,06%. Kepuasan terhadap pelayanan kesehatan tidak berhubungan dengan masalah kesehatan respirasi baik untuk kepuasan terhadap hubungan dokter-pasien (p=0,451), fasilitas pelayanan kesehatan (p=0,237) maupun sistem administrasi (p=0,219).

Respiratory disease is an important health problem due to its high prevalence in Indonesia. According to WHO, several respiratory diseases of which prevalence are high in Indonesia are pneumonia, tuberculosis, asthma, and COPD. The goal of this research is to find out the association between respiratory disease and the satisfaction toward health-service.
This research uses the cross sectional design. It was held in Petamburan from January 21st - January 26th in 2012 by involving 109 respondents, chosen by consecutive sampling method. The data was collected by interviewing all respondents with a quesioner that has been validated.
The result shows the prevalence of respiratory diseases in rural area is 5,06%. There's no association between satisfaction toward health-service and the existence of respiratory disease in rural area either satisfaction toward the relationship between doctor-patient (p=0,451), toward health-care facilities (p=0,237), or administration system (p=0,219).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nada Permana
"Di dunia, Asia Tenggara, maupun di Indonesia, penyakit respirasi merupakan masalah kesehatan yang besar karena mortalitas dan morbiditas yang tinggi, terutama pada masyarakat lingkungan kumuh. Penyakit respirasi yang tetap menjadi masalah ialah PPOK, asma, tuberkulosis, dan ISPA. Kesuksesan mengurangi penyakit respirasi ditentukan oleh kebiasaan kesehatan seseorang yang dipengaruhi oleh faktor yang penting, yaitu sikap.Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik menggunakan desain cross sectional. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari 2011 di Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara responden yang berusia di atas 18 tahunmenggunakan kuesioner dan pemilihan responden dilakukan dengan cara cluster consecutive sampling. Sikap yang diteliti yakni sikap mengenai kesehatan respirasi yang terdiri dari sikap mengenai penyakit respirasi, sikap mengenai kesehatan lingkungan, dan sikap mengenai pencegahan penyakit respirasi. Dari 107 sampel, didapatkan hasil sikap yang termasuk dalam kelompok baik sebanyak 36,45% dan kelompok sedang dan buruk 63,55%. Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sikap mengenai kesehatan respirasi terhadap masalah kesehatan respirasi pada masyarakat di lingkungan kumuh (p=0,316), serta tidak terdapat hubungan antara setiap komponen sikap mengenai kesehatan respirasi terhadap masalah kesehatan respirasi.

In the world, Southeast Asia, and in Indonesia, respiratory disease is a major health problem because ofthe high mortality and morbidity, especially in slum neighborhood. Respiratory diseases which remain problems areCOPD, asthma, tuberculosis, and acute respiratory infection. The success of reducing respiratory disease is determined by one's health habits which are affected by the important factors, namely attitude. This study is an observational analytic study using cross-sectional design. Data was collected in January 2011 in Kelurahan Petamburan, District of Tanah Abang, Central Jakarta. Data retrieval is done by interviewing respondents using questionnaires and the selectionof respondentsis done by cluster consecutive sampling. The attitude toward respiratory health consisting of attitude toward respiratory diseases, attitude toward environmental health, and attitude toward prevention of respiratory disease. Of the 107samples, showed that attitude of respiratory health in the group classified as good were36.45% and group classified as moderate and bad were 63.55%. It was concluded that there is no relationship between attitude toward health respirationand respiratoryhealth problems in slum area (p=0.316), and there is no relationship between each component of the attitude toward respiratory health and respiratory health problems.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farzan, Sattar
"Buku yang berjudul "A concise handbook of respiratory diseases" ini ditulis oleh Sattar Farzan. Buku ini membahas tentang penyakit-penyakit yang menyerang organ pernapasan manusia"
Norwalk: Appleton & Lange, 1992
R 616.2 FAR c
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Rahmawati
"ABSTRAK
Latar Belakang. Atelektasis merupakan komplikasi pernapasan perioperatif yang sering terjadi hingga 24 jam pascaoperatif, namun dapat bertahan hingga beberapa hari. Penggunaan PEEP dapat membuka alveolus yang kolaps pascaoperatif. Penelitian ini berusaha membandingkan efek PEEP 5 cmH20 dan 10 cmH2O terhadap distribusi ventilasi pada pasien pascaoperatif menggunakan EIT.
Metoda. Uji klinis acak ini dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo terhadap 35 pasien operasi kranioktomi dan laparotomi elektif (usia 18-60 tahun, durasi bedah > 3 jam, paru normal). Subjek dirandomisasi ke dalam 2 kelompok intervensi: ventilasi mekanik pascaoperatif PEEP 5 cmH20 (PEEP-5) dan PEEP 10 cmH2O (PEEP-10). Hipotesis penelitian adalah distribusi ventilasi PEEP-10 lebih baik dibandingkan PEEP-5. Parameter ∆TIV, ∆EELI (global dan regional) dan CR diambil dari monitor EIT PulmoVista 500®.
Hasil. Nilai ∆TIV antara bagian paru anterior dan posterior berbeda bermakna secara statistik pada menit ke-20 (p=0,012), namun masih ada subjek kelompok PEEP-5 dengan distribusi ventilasi tidak homogen hingga 1 jam pengukuran. Nilai ∆EELI global dan regional dalam 1 jam secara statistik bermakna dengan nilai p<0,05. Nilai ∆CR (anterior dan posterior) bermakna secara statistik (p=0,000) dalam 1 jam. Tidak ditemukan perbedaan ratio PF, lama intubasi dan lama rawat di UPI. Tidak ditemukan komplikasi paru/ekstraparu lain dan mortalitas.
Simpulan. Distribusi ventilasi berdasarkan gambaran EIT antara penggunaan PEEP 10 cmH2O dan PEEP 5 cmH2O tidak berbeda secara statistik dalam 1 jam penggunaan ventilasi mekanik pascaoperatif. Distribusi ventilasi hanya bermakna secara statistik pada menit ke-20.
pernapasan perioperatif

ABSTRACT
Background. Atelectasis is the most common perioperative respiratory complications up to 24 hours postoperatively, but can last up to several days. PEEP can open postoperative alveolar collapse. We determined to compare the effect of PEEP 5 cmH20 and 10 cmH2O on distribution of ventilation in patients postoperatively using EIT.
Method. This randomized clinical trial conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital to 35 patients underwent elective craniotomy and laparotomy (18-60 years of age, surgery> 3 hours, normal lung). Subjects were randomized into two intervention groups: postoperative mechanical ventilation PEEP 5 cmH20 (PEEP-5) and 10 cmH2O PEEP (PEEP-10). The hypothesis is distribution of ventilation PEEP-10 is better than PEEP-5. Parameter ΔTIV, ΔEELI (global and regional) and ΔCR were taken from a monitor EIT PulmoVista 500®.
Results. ΔTIV values ​​between anterior and posterior parts of lung statistically significant difference in the 20th minute (p=0.012), but there is still a subject of the PEEP group-5 which has a non-homogeneous distribution of ventilation up to 1 hour of measurement. The value of ΔEELI (global and regional ) in 1 hour statistically significant with p <0.05. ΔCR value (anterior and posterior) was statistically significant (p = 0.000) in 1 hour. No differences found for PF ratio, length of intubation and duration of hospitalization in ICU. No pulmonary/extrapulmonaary complications and mortality were found.
Conclusion. Distribution of ventilation based EIT imaging between the use of PEEP 10 cmH2O and PEEP 5 cmH2O do not differ statistically within 1st hour of the postoperative mechanical ventilation. Distribution of ventilation is statistically significant only in the 20th minute.;Background. Atelectasis is the most common perioperative respiratory complications up to 24 hours postoperatively, but can last up to several days. PEEP can open postoperative alveolar collapse. We determined to compare the effect of PEEP 5 cmH20 and 10 cmH2O on distribution of ventilation in patients postoperatively using EIT.
Method. This randomized clinical trial conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital to 35 patients underwent elective craniotomy and laparotomy (18-60 years of age, surgery> 3 hours, normal lung). Subjects were randomized into two intervention groups: postoperative mechanical ventilation PEEP 5 cmH20 (PEEP-5) and 10 cmH2O PEEP (PEEP-10). The hypothesis is distribution of ventilation PEEP-10 is better than PEEP-5. Parameter ΔTIV, ΔEELI (global and regional) and ΔCR were taken from a monitor EIT PulmoVista 500®.
Results. ΔTIV values ​​between anterior and posterior parts of lung statistically significant difference in the 20th minute (p=0.012), but there is still a subject of the PEEP group-5 which has a non-homogeneous distribution of ventilation up to 1 hour of measurement. The value of ΔEELI (global and regional ) in 1 hour statistically significant with p <0.05. ΔCR value (anterior and posterior) was statistically significant (p = 0.000) in 1 hour. No differences found for PF ratio, length of intubation and duration of hospitalization in ICU. No pulmonary/extrapulmonaary complications and mortality were found.
Conclusion. Distribution of ventilation based EIT imaging between the use of PEEP 10 cmH2O and PEEP 5 cmH2O do not differ statistically within 1st hour of the postoperative mechanical ventilation. Distribution of ventilation is statistically significant only in the 20th minute.;Background. Atelectasis is the most common perioperative respiratory complications up to 24 hours postoperatively, but can last up to several days. PEEP can open postoperative alveolar collapse. We determined to compare the effect of PEEP 5 cmH20 and 10 cmH2O on distribution of ventilation in patients postoperatively using EIT.
Method. This randomized clinical trial conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital to 35 patients underwent elective craniotomy and laparotomy (18-60 years of age, surgery> 3 hours, normal lung). Subjects were randomized into two intervention groups: postoperative mechanical ventilation PEEP 5 cmH20 (PEEP-5) and 10 cmH2O PEEP (PEEP-10). The hypothesis is distribution of ventilation PEEP-10 is better than PEEP-5. Parameter ΔTIV, ΔEELI (global and regional) and ΔCR were taken from a monitor EIT PulmoVista 500®.
Results. ΔTIV values ​​between anterior and posterior parts of lung statistically significant difference in the 20th minute (p=0.012), but there is still a subject of the PEEP group-5 which has a non-homogeneous distribution of ventilation up to 1 hour of measurement. The value of ΔEELI (global and regional ) in 1 hour statistically significant with p <0.05. ΔCR value (anterior and posterior) was statistically significant (p = 0.000) in 1 hour. No differences found for PF ratio, length of intubation and duration of hospitalization in ICU. No pulmonary/extrapulmonaary complications and mortality were found.
Conclusion. Distribution of ventilation based EIT imaging between the use of PEEP 10 cmH2O and PEEP 5 cmH2O do not differ statistically within 1st hour of the postoperative mechanical ventilation. Distribution of ventilation is statistically significant only in the 20th minute."
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>