Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 90198 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kresno Wisnu Putranto
"ABSTRAK
Perkembangan tindak pidana korupsi dewasa ini selalu disertai dengan tidankpidana lain terkait dengan upaya menyembunyikan aset-aset tindak pidanakorupsi, salah satu cara penyembunyian aset-aset itu dilakukan denganmekanisme pencucian uang. Adapun tujuan kegiatan pencucian uang agar asalusul uang tersebut tersembunyi dan tidak dapat diketahui dan dilacak olehpenegak hukum sehingga uang tersebut dapat dinikmati dengan aman. Tindakpidana pencucian uang dalam tesis ini adalah kasus penipuan yang dilakukan olehtersangka Salman Nuryanto melalui KSP Pandawa Mandiri Group yangdidirikannya. Dimana KSP Pandawa Mandiri Group yang didirikan tersangkamerupakan suatu bentuk kejahatan money laundry, dikarenakan berdasarkanpengakuan dan penelusuran aset yang dilakukan oleh tim penyidik DitkrimsusPolda Metro Jaya telah memenuhi tahapan-tahapan pencucian uang moneylaundry mulai dari placement, layering, dan Integration. Penyidik Polda MetroJaya dalam hal ini Ditreskrimsus Subdit II Fismondev telah melakukan upayayakni melakukan pengembalian aset tersangka melalui jalur pidana denganmelakukan beberapa upaya mulai dari penelusuran aset, pembekuan aset sampaidengan penyitaan aset milik tersangka. Hal ini dilakukan untuk memudahkanpenyidik dalam menyelesaikan kasus tersebut. Penerapan penyitaan aset hasiltindak pidana yang dilakukan terkait dengan penerapan Undang-Undang Nomor 8Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencuciansudah dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Upaya inijuga berlandaskan prosedur penanganan atau proses pengembalian aset hasiltindak pidana korupsi dalam konteks Tesis ini adalah money laundy melalui jalurpidana. Apa yang dilakukan tersangka adalah sebuah kejahatan yang terstrukturdan terencana dengan melakukan pemindahan harta atau aset yang diperolehnyakepada pihak-pihak tertentu, sehingga apa yang dilakukan oleh tersangka jelasjelas telah menyalahi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tetang tindakpidana pencucian uang. Tersangka Salman Nuryanto pengelola KSP PandawaMandiri Group telah menghimpun beberapa aset dari anggota yang berhasildirekrutnya mulai dari bangunan, tanah, kendaraan bermotor roda 2 dan 4 sertasejumlah rekening tabungan atas nama tersangka. Semua aset itu merupakan hasiltindak pidana money laundry yang dilakukan tersangka. Sehingga penelitian inibertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis tindak pidana pencucian uangmelalui penyitaan aset pelaku tindak pidana yang dilakukan tersangka melaluiKSP Pandawa Mandiri Group yang didirikannya.

ABSTRACT
The development of the criminal offence of corruption nowadays is alwaysaccompanied by other criminal offences related to efforts to hide assets ofcorruption offences. One way of hiding these assets is through the moneylaundering mechanism. The purpose of money laundering activity is to disguisethe origin of the money, render it unknown and untraceable by law enforcementagencies in order that the money can be enjoyed safely. The money launderingoffence in this thesis is the fraud case committed by suspect Salman Nuryantothrough KSP Pandawa Mandiri Group which he founded. KSP Pandawa MandiriGroup founded by the suspect is a form of money laundering crime because basedon the suspect rsquo s confession and the asset tracking conducted by the investigationteam of Special Crime Investigation Directorate of Jakarta Regional Metro Police,it has fulfilled all stages of money laundering from placement, layering tointegration. The Jakarta Regional Metro Police investigator, in this case theSpecial Crime Investigation Directorate Subdirectorate II Fiscal, Monetary andForeign Exchange Fismondev , has conducted efforts namely asset recoverythrough penal law mechanism, comprising of efforts from asset tracking, assetfreeze to confiscation of suspect rsquo s assets. This is intended to facilitateinvestigators in solving the case. The practice of confiscating proceeds of crimeassets is related to the application of Law Number 8 Year 2010 on prevention anderadication of money laundering offences is done in accordance with LawNumber 8 Year 2010. This effort is also based on handling procedures or theprocess of recovering proceeds of corruption, which in the context of this Thesisis money laundering, through penal law mechanism. The suspect committed astructured and planned crime by transferring property or assets acquired to certainparties therefore, the suspect rsquo s actions clearly violated Law Number 15 Year2002 on money laundering. Suspect Salman Nuryanto, boss of KSP PandawaMandiri Group, has accumulated assets from recruited members which comprisedof buildings, land, two wheeled and four wheeled motor vehicles, as well asseveral savings accounts on behalf of the suspect. All these assets are proceeds ofmoney laundering committed by the suspect. Accordingly, the aim of this researchis to explain and analyse money laundering through confiscation of assets of thecrime perpetrated by the suspect through KSP Pandawa Mandiri Group which hefounded. "
2018
T52180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junior B. Gregorius
"Menurut ketentuan ICUHP, ancaman pidana seorang pelaku pembantu d~kurangi sepertiga dari pidana pokok bagi pelaku utama. Sebaliknya dalam UUTPPU, pelaku pembantu diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku utama. Ada tiga hal yang menjadi permasalahan dalam Tesis ini, pertama: apakah ratio legis pembentuk UUTPPU menentukan sanksi pidana yang sama bagi pelaku pembantu dan pelaku utama, sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (2) UUTPPU; kedua: bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU dibandingkan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam Money Laundering Act di negara-negara lain? ketiga: bagaimanakah penerapan konsep-konsep teoritis yuridis kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dari pelaku pembantu eks Pasal 56 dan 57 KUHP dalam UUTPPU pads kasus-kasus pencucian uang?;
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis ini menghasilkan beberapa kesimpulan.
Pertama; bahwa badan legislatif menganggap UUTPPU adalah undang-undang pidana khusus yang mcngatur dan menentukan pidana secara khusus, dimana perbuatan pelaku pembantu dianggap sama akibatnyanya dengan perbuatan pelaku utama, yaitu dapat membahayakan perekonomian negara dan masyarakat, sehingga secara yuridis sanksi pidananya ditentukan same. Selain itu, Indonesia harus mengikuti model hukum pidana pencucian uang yang diberikan oleh FATF, dimana FATF berpedoman pada konvensi-konvensi internasional yang tidak mengenal pengurangan pidana terhadap pembantuan;
Kedua; Baik dalam UUTPPU maupun dalam Money Laundering Act di negara-negara lain, pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu same dengan pertanggungjawaban pidana pelaku utama, kecuali penerapan ancaman pidananya yang jauh lebih tinggi di Indonesia.
Ketiga; tanggungjawab pembantuan (penyertaan) yang dalam KUHP termasuk sebagai dasar perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund), dalam UUTPPU, tanggungjawab pembantuan termasuk dasar perluasan tindak pidana (tatbestandaushdehnungsgrund); selain itu, penerapan kesalahan pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman pada teori ilmu hukum Pasal 56 KUHP, sedangkan penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman dan berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUTPPU.
Berdasarkan analisis terhadap beberapa putusan kasus pencucian uang, Penulis menyarankan supaya kemampuan teoritis dan praktis para penegak hukum terutama jaksa dan hakirn perlu ditingkatkan, sehingga dengan kemampuan yang memadai, dalam membuat dakwaan dan putusan dapat menjamin kepastian hukum.

Based on Indonesian Criminal Code, the criminal sanction against the accomplice should be reduced one-third from total criminal sanction against the principal. In the other hand, it is stated in Indonesian Money Laundering Act that the criminal sanction for accomplice is equal with the principal. There are three research questions appointed: firstly; in what legal reasoning was Legislator determine the same criminal sanction both for principal and accomplice so as stipulated in Article 3 (2) of Indonesian Money Laundering Act?;
Secondly: how is the implementation of accomplice's criminal responsibility according to Indonesian Money Laundering Act in comparison with the accomplice's criminal responsibility in other countries Money Laundering Act? thirdly: how is the implementation in Indonesian Money laundering Act relating to the legal theoretical concepts of accomplice's offence and criminal responsibility based on Article 56 and 57 of Indonesian Criminal Code?.
This research which is using qualitative descriptive interpretive method, has had the following conclusion:
Firstly, according to the Legislator, Indonesian Money Laundering Act is including one of special criminal code model, which is regulated and applied the special terms and conditions, considered therefore that the accomplice's offence has the same danger and impacts as the principal against Indonesian economic stability, so that it is legal to determine the same criminal sanction for both principal and accomplice. Beside that, Indonesia should also follow money laundering regulation guideline' prepared by Financial Action Task Force (FATF), which in this case, FATF orientated on various international conventions stipulated no differences on criminal sanction between principal and accomplice. Secondly, both in Indonesian Money Laundering Act and other countries Money Laundering Act, the implementation of accomplice's criminal responsibility is just the same, except the criminal sanction applied in Indonesia seems to be higher than other countries.
Thirdly; the accomplice's responsibility which in Indonesian Criminal Code is subject to 'an extensive basis of criminal responsibility' (Strafausdehnungsgrund); and in Indonesian Money Laundering Act, become 'an extensive basis of criminal act' (Tatbestandausdehnungsgrund). Also, the implementation of accomplice's offence in Indonesian Money Laundering Act should be referred to Article 56 of Indonesian Criminal Code, and concerning to accomplice's criminal responsibility should be based on Article 3 (2) of Indonesia Money Laundering Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24299
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lendra Dika Kurniawan
"Aset kripto seperti Bitcoin menggunakan pencatatan terdistribusi pada jaringan blockchain yang diperkuat dengan sistem kriptografi menjadikannya sebuah teknologi yang efisien dan anonim, namun kelebihan tersebut berpotensi menimbulkan risiko penyalahgunaan aset kripto sebagai media kejahatan dunia maya. Terdapat dugaan kuat penggunaan aset kripto sebagai media pencucian uang, hal ini karena kompleksitas kripto yang membuat tindak kejahatan sulit diketahui. Ditambah minimnya intervensi pemerintah terhadap aset kripto menjadikannya sebagai kedok yang ideal bagi para pelaku kejahatan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif yang dilengkapi dengan wawancara, selain itu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yang diuraikan secara deskriptif analitis. Terkait konstruksi dari risiko pencucian uang melalui urgensi pengaturan aset kripto adalah perlunya pengaturan aset kripto yang menjadi urgensi tersendiri karena aset kripto memiliki sistem yang kompleks sehingga menimbulkan berbagai faktor-faktor yang membuat aset kripto rentan disusupi pencucian uang. Adapun upaya yang dilakukan untuk mitigasi risiko pencucian uang melalui aset kripto adalah; kanalisasi perdagangan aset kripto di bursa berjangka, pemeriksaan pedagang fisik aset kripto & daftar aset kripto yang diperdagangkan, penerapan Program Anti Pencucian Uang & Pendanaan Terorisme (APU-PTT) pada perdagangan fisik aset kripto, dan mekanisme pelaporan dan pengawasan yang dilakukan oleh otoritas seperti Bappebti dan PPATK.

Cryptographic asset such as Bitcoin use distributed ledger on a blockchain network that uses a cryptographic system as an efficient and anonym technology, But there is  potential risk to crypto used as a cyber crime media. There are strong allegations of using crypto assets as a medium for money laundering, this is because the complexity of crypto makes the crime unknown. Plus the lack of government intervention in crypto assets is used as an ideal cover for criminals. This research uses the juridical-normative method which is equipped with interviews, besides the approach used is a law approach which is described in an analytical descriptive manner. Related to the construction of money laundering through the urgency of regulating crypto assets is the need for regulation of crypto assets which is of special importance because crypto assets have a complex system that creates various factors that make crypto assets vulnerable to being infiltrated by money launderyng. The efforts is to mitigate the risk of money laundering through crypto assets are; crypto asset trading channelization on futures exchanges, crypto asset futures brokerage check & legalized crypto asset listing, implementation of the Anti-Money Laundering & Terrorism Financing Program (AML-ATF) on crypto asset trading, and reporting and monitoring mechanisms carried out by authorities such as Bappebti and PPATK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bismo Jiwo Agung
"Penyalahgunaan aset kripto berupa cryptocurrencies dan non fungible token (NFT) sebagai sarana tindak pidana pencucian uang sudah marak terjadi di beberapa negara. Indonesia sebagai salah satu negara dengan kapitalisasi aset kripto yang besar sudah mulai mengatur perdagangan, transaksi dan kepemilikan aset kripto dan jasa Pihak Ketiga. Namun, aturan yang berlaku saat ini masih menitikberatkan pengawasan dan kontrol terhadap perdagangan dan transaksi aset kripto dan jasa Pihak Ketiga yang beroperasi dengan metode centralised exchange yang menjadikan Pihak Ketiga sebagai perantara perdagangan dan penyimpanan aset kripto. Perdagangan aset kripto yang semula menggunakan metode terpusat atau centralised exchange yang menjadikan Pihak Ketiga sebagai perantara perdagangan dan penyimpan aset, mulai ditinggalkan oleh beberapa investor dan beralih ke perdagangan desentralisasi yang tidak lagi memerlukan perantara dalam perdagangannya. Metode desentralisasi yang tidak melibatkan Pihak Ketiga sebagai perantara, pengawas dan perekam transaksi mulai dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis menemukan beberapa celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh para kriminal. Mengacu pada rekomendasi FATF tentang aset virtual, Negara-negara direkomendasikan untuk memperbaharui rezim pencucian uangnya. Pembaharuan tersebut dapat dilakukan dengan mengadopsi kaidah hukum internasional maupun aturan negara lain. Salah satu Negara yang sudah mengatur perdagangan aset kripto lintas negara dengan cukup baik adalah Pemerintah Australia yang sudah membuat rezim lisensi yang mencakup pemberi jasa layanan aset kripto asing yang berdomisili di luar negeri. Berdasarkan hasil perbandingan antara aturan hukum Indonesia dan Australia, serta rekomendasi FATF tentang aset virtual, terdapat beberapa pembaharuan yang perlu dimasukkan kedalam aturan hukum yang berlaku dalam rangka memerangi aktivitas pencucian uang lintas negara

Misuse of crypto assets, such as cryptocurrency and non fungible token (NFT), for money laundering is already common in various nations. As one of the countries with a significant crypto asset valuation, Indonesia has begun to regulate crypto asset trading, transactions, and ownership, as well as Third Party services. However, current regulations continue to focus on monitoring, controlling crypto asset trading and transactions, as well as Third Party services as intermediaries for trading and holding crypto assets. Crypto asset transaction, which initially adopted a centralized exchange that used Third Parties as trading intermediates and asset custodians, fell out of favor and was replaced by decentralized trading, which no longer required an intermediary in its trade. Criminals are starting to adopt decentralization tactics that do not involve third parties as mediators, supervisors, or transaction recorders. This research reveal various legal loopholes that criminals can exploit. Countries are advised to modernize their money laundering regimes in light of the FATF proposals on virtual assets. These reforms can be implemented by adopting international law and the rules of other countries. The Australian Government is one of the countries that has effectively controlled cross-border crypto asset trading, having established a licensing scheme that includes foreign crypto asset service providers based elsewhere. Based on a review of Indonesian and Australian legislation, as well as the FATF's recommendations on virtual assets, several adjustments must be included into the applicable legal requirements in order to prevent cross-border money laundering activities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haliem Suharso
"Penerapan kebijakan penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah diterapkan sejak tahun 2012, yang kemudian dilanjutkan pada KPK periode 2015-2019 yang dipimpin oleh Agus Rahardjo. Penanganan TPPU pada periode tersebut terlihat meningkat dari KPK periode sebelumnya, dengan jumlah penanganan perkara sebanyak 21 perkara TPPU. Namun perkara TPPU yang hanya sebanyak 21 perkara tersebut menjadi kritikan dari para ahli dan masyarakat sipil yang menyebutkan bahwa KPK tidak maksimal menangani TPPU dengan hanya melaksanakan 4 persen dari 542 perkara korupsi yang ditangani pada 2016- 2019, oleh sebab itu penulis mencoba untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan penanganan TPPU pada KPK serta mengetahui apa sajakah faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, melalui pendekatan Normalization Process Theory atau NPT (May&Finch, 2009), yang menekankan pada analisis mengenai pemahaman penentu kebijakan tentang sebuah kebijakan (coherence), siapa yang melaksanakan kebijakan dan bagaimana keterlibatan mereka (cognitive participation) bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan (collective action) dan juga bagaimana kebijakan dipahami setelahny (reflexive monitoring). Penelitian ini juga ditujukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan penanganan TPPU, dengan pendekatan 7C Protocol (Cloete et al, 2018). Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan paradigma post-positivism, pengumpulan data melalui wawancara dan studi kepustakaan dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan kebijakan penanganan TPPU pada KPK telah berjalan optimal, hal tersebut terlihat pada dimensi coherence, terlihat penentu kebijakan sudah memahami tentang hal pembeda mengenai penanganan TPPU dari kebijakan Pimpinan KPK sebelumnya, dan juga memahami tentang manfaat dari pelaksanaan TPPU bagi KPK, yaitu untuk memaksimalkan pemulihan aset. Pada dimensi cognitive participation, menunjukkan bahwa petugas pelaksana terutama Penyidik memang dengan kesadarannya memutuskan terlibat dalam kebijakan dan mereka juga menyadari tentang pentingnya penanganan TPPU bagi kegiatan Penyidikan mereka. Selain itu pada dimensi collective action, juga menunjukkan bahwa para pelaksana telah terjalin kepercayaan dalam melaksanakan tugas yang ditunjang pula dengan adanya usaha pembagian pekerjaan yang tepat. Pelaksanaan kebijakan masih ada catatan dalam hal kurang adanya forum yang dilembagakan untuk memantau dan menilai kelanjutan proses dan dampak penanganan TPPU tersebut. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, commitment lembaga terhadap penanganan TPPU, communication penyampaian tentang urgensi pelaksanaan TPPU dan juga kurang jelasnya content kebijakan tentang TPPU, sehingga penelitian ini menyarankan perbaikan dalam hal komunikasi, komitmen lembaga dan kejelasan kriteria untuk penanganan TPPU oleh KPK.

The implementation of the policy for handling the Crime of Money Laundering (ML) at the Corruption Eradication Commission (KPK) has been implemented since 2012, which was then continued at the 2015-2019 KPK period led by Agus Rahardjo. The handling of money laundering offenses during this period seemed to have increased from the previous period's Corruption Eradication Commission, with a total of 21 cases of money laundering offenses. However, there are only 21 ML cases that have been criticized by experts and civil society who say that the KPK is not optimal in handling money laundering offenses by only carrying out 4 percent of the 542 corruption cases handled in 2016-2019, therefore the author tries to find out how the implementation Policies for handling money laundering offenses at the KPK and knowing what factors influence policy implementation, through the Normalization Process Theory approach (May & Finch, 2009), which emphasizes the analysis of policy makers' understanding of a policy (coherence), who implements the policy and how they are involved (cognitive participation) how the policy is implemented (collective action) and also how the policy is understood afterwards (reflexive monitoring). This research is also intended to determine the factors that influence the implementation of policies for handling money laundering offenses, using the 7C Protocol approach (Cloete et al, 2018). This study uses a qualitative research approach and a post-positivism paradigm, collecting data through interviews and literature studies, it can be concluded that the implementation of policies for handling money laundering offenses at the KPK has been running optimally, this can be seen in the coherence dimension, it appears that policy makers have understood the differentiating things regarding the handling of money laundering offenses. from the previous KPK leadership policies, and also understand the benefits of implementing money laundering offences for the KPK, namely to maximize asset recovery. In the cognitive participation dimension, it shows that implementing officers, especially investigators, have consciously decided to be involved in policies and they are also aware of the importance of handling money laundering offenses for their investigative activities. In addition to the collective action dimension, it also shows that the implementers have established trust in carrying out their duties which is also supported by the proper division of work. There is still a note in the implementation of the policy in terms of the lack of an institutionalized forum to monitor and assess the continuation of the process and the impact of the handling of money laundering offences. This happens because it is influenced by several factors, namely, the commitment of the institution to the handling of money laundering offenses, communication delivery about the urgency of the implementation of money laundering offenses and also the lack of clarity on policy content regarding money laundering, so this research suggests improvements in terms of communication, institutional commitment and clarity of criteria for handling money laundering offenses by the KPK."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifka Safira
"Tindak pidana pencucian uang merupakan salah satu tindak pidana yang cukup serius di Indonesia karena memiiki dampak terhadap kestabilan ekonomi dan keuangan negara. Selain itu tindak pidana pencucian uang ini juga memiliki modus kejahatan yang beraneka ragam, salah satunya adalah dengan menggunakan sarana KUPVA Bukan Bank (money changer). Penggunaan money changer sebagai alat dalam melakukan pencucian uang tidak terlepas dari alasan bahwa money changer merupakan penyedia jasa keuangan yang dalam hal pengawasan dan pengaturannya dapat dikatakan tidak terlalu ketat bila dibandingkan dengan penyedia jasa keuangan lainnya. Untuk itu diperlukan langkah-langkah yang kongkrit terutama dari pihak-pihak terkait untuk mencegah penyalahgunaan money changer sebagai alat pencucian uang. Selain pencegahan, masalah penegakan hukum juga merupakan hal yang perlu dipertegas karena selama ini, jika terbukti terlibat dalam tindak pidana pencucian uang, maka pihak yang dimintai pertanggungjawaban pidana hanyalah para pengurusnya saja, sedangkan korporasinya tidak pernah dijadikan sebagai tersangka. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan kasus dan konseptual. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam melakukan pencegahan pemanfaatan money changer sebagai sarana pencucian uang, maka diperlukan langkah pengoptimalan dalam hal pelaksanaan kewajiban pelaporan, pelaksanaan CDD (Customer Due Diligence) dan EDD (Enhanced Due Diligence) serta pengawasan terhadap money changer itu sendiri. Selanjutnya, terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi money changer dalam tppu, maka hal yang perlu diperhatikan adalah sejauhmana keterlibatan dari money changer tersebut serta yang perlu juga diperhatikan adalah pemenuhan persyaratan yang diatur dalam UU PPTPPU untuk dapat menjerat suatu korporasi. Dalam Pasal 10 UU PPTPPU mengatur ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam hal menjerat suatu korporasi, sehingga apabila dalam kasus tindak pidana pencucian uang yang melibatkan money changer ada salah satu dari syarat tersebut yang tidak terpenuhi, maka korporasi money changer tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, melainkan hanya kepada pengurusnya saja.

Money laundering is a serious crime in Indonesia because it has an impact on the stability of the economy and the country finances. In addition, criminal sanctions for money laundering also have a variety of modes of crime, one of which is using the KUPVA facility, not a bank (money changer). The use of money changers as a tool in conducting money laundering is inseparable from the reason that money changers are providers of financial services that are a little loose in terms of supervision and regulation when compared to other financial service providers. For this reason, concrete steps are needed, especially from related parties to prevent misuse of money changers as a means of money laundering. In addition to prevention, the issue of law enforcement is also a matter that needs to be emphasized because so far, if proven to be involved in criminal acts of money laundering, only those administered for criminal responsibility, while the money changer corporation has never been made a suspect. This study uses the Normative Juridical method using a case and conceptual approach. The results of this study conclude that in preventing the use of money changers as a means of money laundering, optimization measures are needed in terms of reporting obligations, the implementation of CDD and EDD and supervision of the money changer itself. And related to the corporate criminal liability money changer in TPPU, the thing that needs to be considered is the extent of the involvement of the money changer and how to fulfill the requirements stipulated in the PPTPPU Law to be able to ensnare a corporation. In Article 10 of the PPTPPU Law, there are four conditions that must be met in the case of ensnaring a corporation, so that in cases of money laundering involving a money changer, one of these conditions is not met, the money changer corporation cannot be held liable for criminal liability, but only the administrators."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Amalia
"Pendekatan follow the money berupaya menemukan uang/harta benda/kekayaan lain yang dapat dijadikan sebagai alat bukti obyek kejahatan dan sudah barang tentu setelah melalui analisis transaksi keuangan dan dapat diduga bahwa uang tersebut sebagai hasil kejahatan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif berupa studi kepustakaan yaitu dengan meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturan-peraturan dan juga melakukan wawancara dengan narasumber. Pendekatan follow the money dalam memberantas tindak pidana khususnya tindak pidana pencucian uang dirasakan masih lemah, dari segi penegakan hukum di Indonesia masih banyak yang enggan untuk menerapkan pendekatan ini. Di dalam follow the money terdapat tindakan progresif yang didasarkan kepada pengungkapan kasus yang dimulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pembuktian di persidangan melalui pendekatan follow the money sebagai complementary dari pendekatan follow the suspect yang sudah mendarah daging dipahami dan dipedomani oleh penegak hukum, sehingga apabila follow the suspect juga dilengkapi dengan pendekatan follow the money maka akan memperoleh hasil yang maksimal.

Follow the money approach tries to find the money property other property that can be used as evidence the object of the crime after going through the analysis of financial transactions and can be presumed that the money as proceeds of crime. By using normative juridical research method in the form of a literature study to examine the document in the form of literature books, regulations, and also conduct interviews with sources. Follow the money approach in combating the crime of money laundering in particular is still weak, in terms of law enforcement in Indonesia many are reluctant to adopt this approach. In follow the money there is a progressive action based on the disclosure of the starting level of inquiry, investigation, prosecution, and proof at trial through approaches follow the money as a complementary approach of follow the suspect ingrained understood and guided by law enforcement, so that if follow the suspect is also equipped with an approach follow the money it will get the maximum results."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47431
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tamariska Dian Ratnaningtyas
"ABSTRAK
Dalam kerangka penegakan hukum tindak pidana pencucian uang, dikenal adanya pelaku pasif sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tesis ini membahas bentuk pertanggungjawaban pelaku pasif tindak pidana pencucian uang melalui studi pustaka dan analisa 4 (empat) putusan pengadilan atas nama Rinal Kornial, Andhika Gumilang, Hendra Kusumajaya, dan Ni Kadek Dewi Sridani. Metode Penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa pengaturan khusus mengenai kesalahan dan bentuk pertanggungjawaban pelaku pasif pencucian uang diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Terhadap pelaku pasif pencucian uang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana apabila terbukti unsur kesalahan yang ada pada diri pelaku pasif yaitu unsur mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan yang diterima atau dikuasainya merupakan hasil tindak pidana asal pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Terkait dengan proses penegakan hukum terhadap pelaku pasif pencucian uang, maka proses tersebut merupakan respon dari masyarakat melalui aparat penegak hukum untuk mendeteksi, menyelidiki, menyidik, menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pasif pencucian uang sebagaimana dinyatakan dalam putusan pengadilan yang menjadi dasar analisa dalam penelitian ini yaitu putusan pengadilan atas nama Rinal Kornial, Andhika Gumilang, Hendra Kusumajaya Dkk, dan Ni Kadek Dewi Sridani

ABSTRACT
Regarding the law enforcement process of money-laundering case, there is a passage about the passive offender as regulated in Article 5 Paragraph (2) of the Law Number 8 in year of 2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering. Hereby, this thesis focuses on analyzing about the passive offender liability in money laundering cases based on literature case study of four final court verdict of Rinal Kornial, Andhika Gumilang, Hendra Kusumajaya?s group, and Ni Kadek Dewi Sridani?s case. As for the research method, this thesis is using normative law approach in analyzing these four money-laundering cases. This thesis elaborates about the possibility for the passive offender to be charged in money-laundering crime, based on the presumption that they may know or should have known that their wealth asset, either only accepting the asset or managing the asset, is coming from money-laundering process as regulated in Article 2 Paragraph 1 of the Law Number 8 in year of 2010 on Prevention and Eradication of Money Laundering. The law enforcement process in regard to the passive offender needs the law enforcement agencies (police, attorney, judge, etc.) to detect, investigate, prosecute and rule the final verdict as imposing the criminal sanction towards the passive offender. Then, this concept of law enforcement process becomes this thesis analytical core concept to review the four money-laundering cases of Rinal Kornial, Andhika Gumilang, Hendra Kusumajaya?s group, and Ni Kadek Dewi Sridani"
2016
T47091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mochamad Hanafi
"Permasalahan dalam penelitian ini mencakup pengaturan kewajiban pelaporan advokat kepada PPATK terhadap klien dengan indikasi transaksi keuangan mencurigakan, kedudukan advokat dalam posisinya sebagai pelapor sekaligus menjaga kerahasiaan klien, serta bagaimana seharusnya pengaturan pelaporan advokat terhadap PPATK. Peneletian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan melihat norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Advokat, dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hasil penelitian tesis ini yaitu pengaturan kewajiban advokat kepada PPATK diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2010 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021. Profesi advokat tidak ditegaskan dalam Undang-Undang TPPU, melainkan pada Peraturan Pemerintah. Sementara itu, kedudukan advokat dari segi etika harus mengesampingkan kode etik advokat dalam perkara TPPU. Dari segi peraturan perundang-undangan, kedudukan advokat dapat melakukan pelaporan terhadap kliennya dengan didasari keyakinan kuat bahwa aset milik kliennya diperoleh dengan cara ilegal. Seharusnya, dalam pengaturan kewajiban pelaporan advokat dalam perkara TPPU dicantumkan dalam aturan setingkat undang-undang serta juga ditegaskan pengecualian atau pengkhususan atas kode etik profesinya sehingga menjadi jelas batas-batasnya.

The problems in this study include the regulation of the obligation to report advocates to PPATK against clients with indications of suspicious financial transactions, the position of advocates in their position as reporters while maintaining client confidentiality, and how should the arrangement of reporting advocates to PPATK. This research uses the juridical-normative method by looking at the legal norms contained in the legislation, especially the Law on Advocates, and the Law on the Prevention and Eradication of the Crime of Money Laundering. The result of this thesis research is that the regulation of the obligation of advocates to PPATK is regulated in Law Number 18 of 2010 in conjunction with Government Regulation Number 61 of 2021. The profession of advocate is not defined in the Money Laundering Law, but in a Government Regulation. Meanwhile, the position of an advocate in terms of ethics must override the code of ethics for advocates in Money Laundering cases. In terms of laws and regulations, the position of an advocate can report to his client based on a strong belief that his client's assets were obtained illegally. Supposedly, in the regulation of the obligation to report advocates in money laundering offenses cases, it should be included in the rules at the level of the law and also emphasized the exceptions or specializations of the professional code of ethics so that the boundaries are clear."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>