Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178798 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizky Dwi Kurnia Robby A
"Latar belakang: Sepsis infeksi intra-abdomen SIA merupakan masalah klinik yang sampai saat ini merupakan mortalitas yang tinggi dan tantang tersendiri spesialis bedah. Dari data yang ada, insiden di Amerika Serikat pada tahun 2012 tercatat 3,5 juta penderita dengan mortalitas mencapai 60 , sedangkan di Eropa barat 30 . Timbul pertanyaan, faktor apa yang paling berperan dalam rantai perkembangan sepsis intra-abdomen. Dari informasi terkini tertuju pada biophenotype. Pada tahun 2007 istilah biophenotype diajukan oleh Human Nature Natural Health untuk menjelaskan suatu molekul yang terproyeksi dan melapisi permukaan seluruh sel yang ada di tubuh manusia.
Tujuan Penelitian: Diketahuinya hubungan golongan darah tertentu dengan kejadian sepsis intra-abdomen pada pasien trauma abdomen dan infeksi gastrointestinal.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan analtik dengan desain potong lintang. Subjek yang diambil merupakan pasien yang mengalami trauma abdmen dan infeksi gastrointestinal di RSCM melalui data rekam medis. Data yang diambil adalah usia, jenis kelamin, riwayat transfusi dengan golongan darah ABO, dan hasil kultur jaringan. Data tersebut dianalisis menggunakan SPSS dan dilakukan uji chi-square untuk mengetahui hubungan antara golongan darah ABO dengan kejadian sepsis.
Hasil Penelitian: Pada penelitian ini ditemukan terdapat 22 subjek 9,6 pasien yang mengalami sepsis intra abdomen pasca operasi selama periode Januari 2014 ndash; Maret 2016. Studi ini mendapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian transfusi OR = 0.02; p < 0.001 dan grup diagnosis OR = 4.7; P = 0.015 terhadap terjadinya sepsis intra abdomen. Namun demikian, tidak ditemukan hubungan yang bermakna pada usia, jenis kelamin, dan golongan darah terhadap terjadinya sepsis intra abdomen.
Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini belum dapat dibuktikan golongan darah tertentu berpotensi menyebabkan sepsis intra abdomen pada pasien dengan riwayat trauma abdomen dan infeksi gastro intestinal.

Background: Intra abdominal sepsis is a clinical problem with high mortality and a special challenge for surgeons. Based on research about glycocalyx, we obtained information regarding the differences of biophenotype on glycocalyx. So far, the research that leads to the difference in biophenotype is only focused on the ABO blood type system. Until recently there has been no data on the relationship between sepsis especially intra abdominal sepsis with blood type.
Methods: This is a descriptive and analytic research with cross sectional design in patients with abdominal trauma and gastrointestinal infections at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital RSCM that fulfilled the inclusion and exclusion criteria.
Results: There were 230 subjects, who underwent post traumatic abdominal surgery as well as gastrointestinal infections at RSCM. There were 22 subjects incidence 9.6 who had postoperative intraabdominal sepsis. Most subjects who underwent surgery were aged around 41 60 years 50 , were men 56.1 , did not get transfusions 90.9 , had surgery caused by mechanical intestinal obstruction 24.8 , had blood type O 46.1 , had gastrointestinal infection 92.6 , and were living as the outcome of the procedure 96.5 . There was a significant correlation p 0,05 between transfusion p 0,0001 and diagnostic group p 0,015 on the occurrence of intra abdominal sepsis. In subjects receiving transfusion, the odds ratio OR was 0.02 and the group diagnosis OR was 4.7 at 95 confidence interval.
Conclusions. The high risk of sepsis is especially high in the gastrointestinal infection group. Similarly, amongst factors affecting sepsis, history of transfusion may increase the risk of sepsis. Results of this study could not be prove that certain blood groups potentially cause intra abdominal sepsis in patients with a history of abdominal trauma and gastro intestinal infections.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Dwi Kurnia Robby A
"Latar belakang: Sepsis (infeksi) intra-abdomen (SIA) merupakan masalah klinik yang sampai saat ini merupakan mortalitas yang tinggi dan tantang tersendiri spesialis bedah. Dari data yang ada, insiden di Amerika Serikat pada tahun 2012 tercatat 3,5 juta penderita dengan mortalitas mencapai 60%, sedangkan di Eropa barat 30%. Timbul pertanyaan, faktor apa yang paling berperan dalam rantai perkembangan sepsis intra-abdomen. Dari informasi terkini tertuju pada biophenotype. Pada tahun 2007 istilah biophenotype diajukan oleh Human Nature Natural Health untuk menjelaskan suatu molekul yang terproyeksi dan melapisi permukaan seluruh sel yang ada di tubuh manusia. Tujuan Penelitian: Diketahuinya hubungan golongan darah tertentu dengan kejadian sepsis intra-abdomen pada pasien trauma abdomen dan infeksi gastrointestinal. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan analtik dengan desain potong lintang. Subjek yang diambil merupakan pasien yang mengalami trauma abdmen dan infeksi gastrointestinal di RSCM melalui data rekam medis. Data yang diambil adalah usia, jenis kelamin, riwayat transfusi dengan golongan darah ABO, dan hasil kultur jaringan. Data tersebut dianalisis menggunakan SPSS dan dilakukan uji chi-square untuk mengetahui hubungan antara golongan darah ABO dengan kejadian sepsis.
Hasil Penelitian: Pada penelitian ini ditemukan terdapat 22 subjek (9,6%) pasien yang mengalami sepsis intra abdomen pasca operasi selama periode Januari 2014-Maret 2016. Studi ini mendapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian transfusi (OR = 0.02; p < 0.001) dan grup diagnosis (OR = 4.7; P = 0.015) terhadap terjadinya sepsis intra abdomen. Namun demikian, tidak ditemukan hubungan yang bermakna pada usia, jenis kelamin, dan golongan darah terhadap terjadinya sepsis intra abdomen.
Kesimpulan: Dari hasil penelitian ini belum dapat dibuktikan golongan darah tertentu berpotensi menyebabkan sepsis intra abdomen pada pasien dengan riwayat trauma abdomen dan infeksi gastro intestinal.

Background: Intra-abdominal sepsis is a clinical problem with high mortality and a special challenge for surgeons. Based on research about glycocalyx, we obtained information regarding the differences of biophenotype on glycocalyx. So far, the research that leads to the difference in biophenotype is only focused on the ABO blood type system. Until recently there has been no data on the relationship between sepsis (especially intra-abdominal sepsis) with blood type.
Methods: This is a descriptive and analytic research with cross sectional design in patients with abdominal trauma and gastrointestinal infections at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital (RSCM) that fulfilled the inclusion and exclusion criteria.
Results: There were 230 subjects, who underwent post-traumatic abdominal surgery as well as gastrointestinal infections at RSCM. There were 22 subjects (incidence: 9.6%) who had postoperative intraabdominal sepsis. Most subjects who underwent surgery were aged around 41-60 years (50%), were men (56.1%), did not get transfusions (90.9%), had surgery caused by mechanical intestinal obstruction (24.8%), had blood type O (46.1%), had gastrointestinal infection (92.6%), and were living as the outcome of the procedure (96.5). There was a significant correlation (p < 0,05) between transfusion (p = 0,0001) and diagnostic group (p = 0,015) on the occurrence of intra-abdominal sepsis. In subjects receiving transfusion, the odds ratio (OR) was 0.02 and the group diagnosis OR was 4.7 at 95% confidence interval.
Conclusions: The high risk of sepsis is especially high in the gastrointestinal infection group. Similarly, amongst factors affecting sepsis, history of transfusion may increase the risk of sepsis. Results of this study could not be prove that certain blood groups potentially cause intra-abdominal sepsis in patients with a history of abdominal trauma and gastro intestinal infections.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Lestari
"Gangguan gastrointestinal merupakan sebagain besar penyakit yang menyebabkan penderitanya mencari pertolonganmedis. Salah satu contohnya adalah mual dan muntah. Mual merupakan sensasi tidak menyenangkan dari keinginanuntuk muntah atau perasaan di tenggorokan atau daerah epigastrum yang memperingatkan seseorang bahwa muntah akansegera terjadi. Sedangkan muntah merupakan ekspulsi paksa isi lambung melalui mulut sebagai refleks proteksi dari tubuh untuk mengeluarkan zat berbahaya dari GIT sebelum dapat diserap.

Gastrointestinal disorder are the majority of disease that cause sufferes to seek medical help. One examples is nausea and vomiting. Nausea is the unpleasant sensation of wanting to vomit or a feeling in the throat or epigastrum area that warns a person that vomiting is imminent. Meanwhile, vomiting is the forced expulsion of stomach contents through the mouth as a protective reflex from the body to remove harmful substances from the GIT before they can be absorbed."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Bonauli
"Tesis ini menggambarkan pola kuman pada kasus infeksi intra abdomen yang disebabkan perforasi saluran cerna atas dan bawah beserta kepekaan antibiotiknya di Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo. Penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan desain deskriptif analitik. Kuman yang terdapat pada infeksi intra abdomen di tahun 2013 adalah E.coli, Stapylococcus sp dan Enterococcus, sama dengan studi sebelumnya. Sedangkan angka kepekaan kuman terhadap antibiotik terutama golongan aminoglikosida lebih rendah dari data yang sudah ada sebelumnya. Usulan penggunaan antibiotik Amikacin masih dapat diberikan untuk terapi empiris infeksi intra abdomen bersama dengan Metronidazol.

Intra Abdominal Infection (IAI) is the second most commonly identified cause of severe sepsis. This study wants to identify pattern of bacteria in intra abdominal infections due to upper and lower gastro intestinal tract perforation. This is cross sectional study with analytic descriptive. Result of this study shows that mostly bacteria in intra abdominal infections are E.coli, Stapylococcus and Enterococcus. This is similar with the previous study but with antibiotic susceptibility rate are lower especially aminoglicoside, compare to prior data. Amikacin is still recommended for empiric therapy in intra abdominal infection but combine with Metronidazole."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"The term ?acute abdomen? refers to a serious, often progressive clinical situation that calls for immediate diagnostic and therapeutic action. Today, diagnosis via imaging has basically replaced the physical examination in the emergency room and the Radiologist has become of primary importance in this setting. However, close co-operation among the various specialists involved is essential for successful patient management, and thus the Radiologist needs to have a full understanding of the imaging modalities and technical skills required, as well as appropriate clinical knowledge of the disorder in order to manage the condition. This book provides a comprehensive review of the multifaceted etiology, pathophysiology and clinical presentation of acute abdominal conditions, focusing on the imaging features that are relevant to a timely management approach. Numerous high-quality images, diagrams and easy-to-read tables are provided."
New York: Springer-Verlag, 2012
e20420989
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Khaira Utia Yusrie
"Latar Belakang: Keganasan saluran cerna bagian atas terutama esofagus dan gaster
merupakan penyebab kematian akibat kanker keenam dan ketiga di dunia. Beberapa
penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien pada
pasien keganasan esofagus, gaster dan duodenum dalam studi yang terpisah telah
banyak dilakukan, namun saat ini belum diketahui sepenuhnya faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi kematian pasien keganasan saluran cerna bagian atas di
Indonesia dengan pengembangan model prognostik.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prognostik kematian 1 tahun pada pasien
keganasan saluran cerna bagian atas di Indonesia.
Metode: Studi kohort retrospektif berbasis data rekam medis pasien keganasan
saluran cerna bagian atas di RSUPN Cipto Mangunkusumo (2015-2019). Analisis
bivariat dan multivariat dengan uji statistik Cox Proportional Hazards Regression
Model dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor independen yang
mempengaruhi kematian pasien keganasan saluran cerna bagian atas. Sistem skor
dikembangkan berdasarkan identifikasi faktor-faktor tersebut.
Hasil: 184 pasien dianalisis, sebagian besar laki-laki (58,7%), dengan rata rata
usia 54,5 tahun. Faktor-faktor independen yang berhubungan dengan kematian 1
tahun pasien keganasan saluran cerna bagian adalah usia > 60 tahun dengan HR
1,93 (IK95% 1,30-2,88), indeks massa tubuh < 20 dengan HR 2,04 (IK95% 1,25-
3,33), riwayat merokok dengan HR 1,77 (IK95%1,20-2,61), performa status ECOG
> 2 dengan HR 3,37 (IK95% 2,11-5,37), stadium tumor dengan stadium 4 dengan
HR 9,42 (IK95% 1,27-69,98) dan stadium 3 HR 9,78 (IK95% 1,31-72,69), dan
derajat diferensiasi tumor dengan HR 2,30 (IK95% 1,48-3,58) Kesintasan 1 tahun
adalah 39,7% dengan median survival 9 bulan. Skor prognotik kematian keganasn
saluran cerna bagian atas yang dikembangkan memiliki nilai AUC yang baik 0,918
Kesimpulan: Faktor-faktor independen yang berhubungan dengan kematian 1
tahun pasien keganasan saluran cerna bagian atas adalah usia, indeks masa tubuh,
riwayat merokok, performa status, stadium tumor, derajat diferensiasi tumor dan
keterlambatan intervensi. Kesintasan 1 tahun pasien keganasan saluran cerna bagian atas
adalah 39,7%. Telah dibuat sistem skor prediksi probabilitas kematian keganasan
saluran cerna bagian atas

Background: Upper gastrointestinal malignancy especially esophageal and gastric
cancer is the sixth and third leading cause of cancer-related deaths worldwide.
Some studies have been done separately to investigate factors which associated
with survival in patients with upper gastrointestinal malignancy, but not fully
evaluated which factors associated with mortality patients with upper
gastrointestinal malignancy regarding variables and prognostic score model.
Objective: To assess prognostic factors for one-year mortality in patients with
upper gastrointestinal malignancy in Indonesia
Methods: Retrospective cohort study using the hospital database of patients with
upper gastrointestinal malignancy at Cipto Mangunkusumo Hospital (2015-2019).
Bivariate and multivariate cox proportional hazards regression analysis were
performed to identify independent factors associated with mortality upper
gastrointestinal malignancy. Scoring system were developed based on the identified
factors.
Results: 184 patients were analyzed, mostly male (58,7%) with average ages 54,5
years old. Independent factors associated with one-year mortality were age > 60
years with HR 1,93 (95%CI 1,30-2,88), body mass index < 20 with HR 2,04 (95%CI
1,25-3,33), smoking history with HR 1,77 (95%CI 1,20-2,61), performance status
ECOG > 2 with HR 3,37 (95%CI 2,11-5,37), clinical stage which is 4th stage HR
9,42 (95%CI 1,27-69,98) and 3rd stage HR 9,78 (95%CI 1,31-72,69), and cellular
differentiation grade with HR 2,30 (95%CI 1,48-3,58). One-year survival rate was
39,7% with median survival was 9 months. The scoring system for predicting
mortality had AUC values of 0,918 respectively.
Conclusion: The independent factors associated with one-year mortality were age,
body mass index, smoking history, performance status, clinical stage of tumor,
cellular differentiation grade, and delay for start treatment. 1-year survival rate
was 39,7%. The mortality probability prediction scoring system has been developed
for upper gastrointestinal malignancy
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septian Nindita Adi Nugraha
"Latar Belakang: GERD merupakan penyakit saluran cerna atas yang banyak ditemukan dan prevalensnya semakin meningkat. Pemberian PPI belum memberikan hasil yang memuaskan, dimana 30-42% pasien masih menunjukkan keluhan. Pasien yang masih menunjukkan keluhan dikatakan GERD refrakter. Ansietas dan depresi dipikirkan sebagai salah satu faktor risiko GERD refrakter. Saat ini belum ada data mengenai angka kejadian ansietas dan depresi pada pasien GERD refrakter di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui perbedaan proporsi kejadian ansietas dan depresi pada subgrup GERD refrakter berdasarkan pemeriksaan pH impedans.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang menggunakan data primer yang melibatkan 118 pasien GERD refrakter. Dilakukan analisis dengan membagi pasien berdasarkan EGD dan pH impedans menjadi ERD, true NERD, esofagus hipersensitif dan functional heartburn. Kemudian dilakukan analisis proporsi kejadian ansietas dan depresi pada masing-masing subgrup.
Hasil: Sampel berjumlah 118 pasien terdiri dari 41 pasien ERD, 25 pasien true NERD, 8 pasien esofagus hipersensitif dan 44 pasien functional heartburn. Proporsi kejadian ansietas sebesar 41,5% pada kelompok ERD, 60% pada kelompok NERD, sebesar 62,5% pada kelompok esofagus hipersensitif, dan 40,9% pada kelompok functional heartburn. Proporsi kejadian depresi sebesar 41,5% pada kelompok ERD, sebesar 40% pada kelompok NERD dan 40,9% pada kelompok functional heartburn. Tidak ada pasien yang menderita depresi pada kelompok esofagus hipersensitif. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik proporsi kejadian ansietas dan depresi pada subgrup GERD refrakter.
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian ansietas dan depresi pada masing-masing subgrup GERD refrakter.

Background: GERD is a major gastrointestinal disease that is found in the community and the prevalence is increasing. Giving PPI has not given satisfactory results, where 30-42% patients still showing complaints. This patients is referred as refractory GERD. Anxiety and depression is considered as risk factors for refractory GERD. Currently there is no data on the incidence of anxiety and depression correlated with subgroups  of refractory GERD based on pH impedance examination in Indonesia.
Objectives: To determine the proportion differences of anxiety and depression events on each of GERD refractory subgroups based on pH impedance examination.
Methods: This study is a cross-sectional study using primary data involving 118 refractory GERD patients. Analysis were carried out by dividing patients based on EGD and pH impedance examination into ERD, NERD, hypersensitive esophagus and functional heartburn. The proportion of anxiety and depression then analyzed in each of those groups.
Results: 118 patients participated in these study consisting of 41 ERD patients, 25 NERD patients, 8 hypersensitive esophageal patients and 44 functional heartburn patients. The proportion of anxiety events was 41.5% in the ERD group, 60% in the NERD group, 62.5% in the hypersensitive esophageal group, and 40.9% in the functional heartburn group. The proportion of depression events was 41.5% in the ERD group, 40% in the NERD group and 40.9% in the functional heartburn group. There is no patient suffered from depression in the hypersensitive esophageal group. There is no statistically significant difference between the incidence of anxiety and depression in each of those groups.
Conclusions: There is no differences in the proportion of anxiety and depression events in each of GERD refractory subgroup.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira
"ABSTRAK
Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit yang semakin meningkat
prevalensinya selama dua dekade terakhir. Baku emas diagnosis IBD adalah kolonoskopi
dan histopatologi. Calprotectin feses merupakan salah satu pemeriksaan yang banyak
diminta untuk menapis pasien terduga IBD agar mengurangi kolonoskopi yang tidak
perlu. Metode pemeriksaan calprotectin yang banyak digunakan sekarang adalah ELISA,
tetapi saat ini terdapat metode baru yaitu CLIA. Penelitian ini bertujuan membandingkan
calprotectin feses antara kedua metode tersebut, melakukan uji diagnostik dengan
perbandingan baku emas, dan membandingkan calprotectin pada kelompok IBD dan non-IBD. Penelitian dilakukan secara potong lintang dan data disajikan secara deskriptif
analitik dengan melibatkan 50 pasien dewasa. Uji korelasi antara kedua metode
menemukan hubungan kuat dan bermakna (r=0,865, p<0,001), tetapi persamaan regresi
Passing-Bablok mendapatkan perbedaan konstan dan proporsional. Uji Bland-Altman
mendapatkan kesesuaian 92% dengan rerata selisih 76,2 μg/g feses dan batas kesesuaian
-964,3-1116,7 μg/g feses. Uji diagnostik calprotectin feses metode ELISA menemukan
titik potong optimal adalah 194 μg/g dengan sensitivitas 55,6%, spesifisitas 56,5%, NPP
60%, dan NPN 48%. Apabila menggunakan titik potong pabrik 50 μg/g, maka didapatkan
sensitivitas 88,9%, spesifisitas 13%, NPP 54,5%, dan NPN 50%. Uji diagnostik
calprotectin feses metode CLIA menemukan titik potong optimal adalah 90,5 μg/g
dengan sensitivitas 51,9%, spesifisitas 52,2%, NPP 56%, dan NPN 48%. Apabila
menggunakan titik potong pabrik yaitu 50 μg/g, maka diperoleh sensitivitas 70,4%,
spesifisitas 43,5%, NPP 59,4%, dan NPN 55,6%. Perbandingan calprotectin feses metode
ELISA antara kelompok IBD dan non-IBD menemukan perbedaan rerata yang tidak
bermakna secara statistik, begitu juga dengan perbandingan kelompok IBD dan non-IBD
pada calprotectin feses metode CLIA. Penelitian ini menemukan bahwa kedua kit
pemeriksaan tidak dapat saling menggantikan dan uji diagnostik menemukan akurasi
diagnostik yang buruk. Penelitian selanjutnya harus mengeksklusi kolitis infektif untuk
mempertajam diagnosis terduga IBD dan menemukan pasien IBS dengan melibatkan
rumah sakit lain.

ABSTRACT
Inflammatory Bowel Disease (IBD) prevalence has been increasing since last two
decades. Gold standard to diagnose IBD is colonoscopy and histopathology. Fecal
calprotectin is frequently ordered test for screening of patient with suspect IBD so
unnecessary colonoscopy can be reduced. Method often used today is ELISA, but CLIA
method is available nowadays. This study was aimed to compare fecal calprotectin test
between this two method, to perform diagnostic test with gold standard, and compare the
level of fecal calpoctin between IBD and non-IBD group. Study design was cross
sectional and was presented as descriptive-analytic data, involving 50 subjects.
Correlation between two method is strong and statistically significant (r=0,865, p<0,001),
but Passing-Bablok regression test found constant and proportional difference. Bland-Altman test found agreement was 92% with mean difference 76,2 μg/g faeces and border
of agreement -964,3-1116,7 μg/g faeces. Diagnostic test with ELISA method found
optimal cut-off was 194 μg/g with sensitivity 55,6%, specificity 56,5%, PPV 60%, and
NPV 48%. If cut-off from manufacturer was used (50 μg/g), sensitivity 88,9%, specificity
13%, PPV 54,5%, and NPV 50%. Diagnostic test with CLIA method found optimal cutoff
was 90,5 μg/g with sensitivity 51,9%, specificity 52,2%, PPV 56%, and NPV 48%. If
cut-off from manufacturer was used (50 μg/g), sensitivity 70,4%, specificity 43,5%, PPV
59,4%, and NPV 55,6% . Difference level of fecal calprotectin between IBD and non-IBD group is not statistically significant, both with ELISA and CLIA method. This study
found that these two fecal calprotectin is not interchangeable and diagnostic test found
poor result. Future study should give more restriction to diagnose suspect IBD by
exclusion of infective colitis and found IBS cases by involving other hospital."
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Ayu Suria Mariati
"Latar Belakang: Pembedahan dikatakan sebagai penyebab 40% kasus AKI di rumah sakit. Penelitian difokuskan pada pengaruh ekstravasasi cairan ke interstitial yang disebabkan karena kebocoran kapiler. Kebocoran kapiler juga mengakibatkan terjadinya mikroalbuminuria. Peningkatan CVP atau tekanan intraabdominal (IAP) akan menghasilkan penurunan filtrasi ginjal sesuai dengan derajat transmisi tekanan ke glomeruli. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara indeks kebocoran kapiler (CLI), mikroalbuminuria (ACR) dan efektif renal perfusion pressure (eRPP) sebagai prediktor AKI pada pasien pasca bedah abdomen mayor.
Pasien dan metode: Penelitian merupakan studi kohort prospektif observasional pasien usia 18-65 tahun yang menjalani operasi bedah abdomen mayor sejak tanggal 29 Agustus sampai 21 Desember 2021 di RSUD Provinsi NTB dan mendapatkan total 76 subjek penelitian, dengan 2 pasien drop out. CLI, ACR, dan eRPP diukur pra-operasi, 12 jam dan 36 jam pasca bedah dengan kejadian AKI diamati hingga hari keempat pasca bedah. Uji statistik menggunakan uji chi square dilanjutkan cox- regresi.
Hasil: Data observasi CLI pada jam ke-0 diperoleh RR 1,29 pada titik potong ROC CLI >50. Data observasi ACR pada jam ke-0 dan jam ke-12 masing-masing memperoleh RR 1,261 (p=0,104; 95% CI 1,003-1,586) dan RR 1,211 (p=0,10; 95% CI 1,017-1,444). Data eRPP pada setiap jam pengukuran pada analisis bivariate tidak bermakna secara statistik namun pada analisis multivariate menggunakan cox regresi untuk mengetahui hubungan CLI, ACR, dan eRPP terhadap kejadian AKI setelah di-adjusted variabel perancu pada jam ke-0 diperoleh nilai RR dari variabel eRPP sebesar 9,125 dengan p= 0,037; CI 95% = 1,141293 - 72,95725. Subyek dengan AKI mengalami mortalitas sebesar 31,58% dan berisiko 2,384 kali untuk mengalami kematian (p = 0,0351, CI 95% = 1,133-5,018).
Kesimpulan: Subjek dengan nilai eRPP <40 berisiko 9,125 kali untuk mengalami AKI. Subyek yang mengalami AKI berisiko 2,384 kali untuk mengalami kematian.

Background: Surgery caused of 40% of AKI cases in hospital which often occurs in the early days up to 4 days after surgery. The pathophysiology of postoperative AKI is multifactorial, the study focused on the effect of extravasation of fluid into the interstitium caused by capillary leakage. Capillary leakage also results in microalbuminuria. An increase in CVP or intra-abdominal pressure (IAP) will result decrease in renal filtration according to the degree of pressure transmission to the glomeruli. This study was intended to examine the relationship between capillary leakage index (CLI), microalbuminuria (ACR) and effective renal perfusion pressure (eRPP) as predictors of AKI in patients after major abdominal surgery.
Patients and method: This is an observational analytic study with a prospective longitudinal cohort design with consecutive sampling of patients aged 18-65 years who underwent major abdominal surgery from August 29, 2021 to December 21, 2021. The study included a total of 76 subjects, with 2 patients dropped out. The variables were CLI, ACR, and eRPP were measured preoperatively, 12 hours postoperatively, and 36 hours postoperatively and the incidence of AKI was observed until the fourth postoperative day. Statistical test using chi square test then followed by logistic regression to assess multivariately if it meets the requirements.
Results: CLI observation data at hour 0 obtained RR 1.29 at the point of intersection ROC CLI >50. ACR observation data at hour 0 and hour 12 each obtained RR 1.261 (p=0.104; 95% CI 1.003-1.586) and RR 1.211 (p=0.10; 95% CI 1.017-1.444). The eRPP data at each hour of measurement in bivariate analysis was not statistically significant, but in multivariate analysis using cox regression to determined relationship between CLI, ACR, and eRPP on the incidence of AKI after adjusting confounding variables at 0th hour the RR value of the eRPP was 9.125 with p = 0.037; 95% CI = 1,141293 - 72,95725. Subject with AKI experience a mortality of 31,58% and 2.384 times risk of mortality (p = 0,0351, CI 95% = 1,133-5,018).
Conclusion: Subjects with eRPP value <40 have 9,125 times experiencing AKI. Subjects who experienced AKI had a 2,384 times risk of mortality.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Virly Nanda Muzellina
"Latar Belakang: Reseptor ACE2 tidak hanya terdapat pada paru-paru, tetapi juga pada saluran pencernaan yang memungkinkan terjadinya infeksi SARS-COV-2 pada enterosit, menimbulkan manifestasi klinis gastrointestinal, dan terdeteksinya RNA virus pada pemeriksaan swab anal. Studi lain di seluruh dunia menunjukkan hasil yang berbeda-beda serta belum didapatkan penelitian serupa di Indonesia. 
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luaran klinis infeksi COVID- 19 pada pasien yang dilakukan swab anal, mendapatkan hubungan hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan manifestasi klinis gastrointestinal dan derajat keparahan pada pasien COVID-19 di Indonesia. 
Metode: Merupakan cabang penelitian dari penelitian utama yang berjudul “Nilai RT-PCR Swab Anal untuk Diagnosis COVID-19 pada Orang Dewasa di Indonesia”. Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain potong lintang. Sampel penelitian merupakan pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), RS Mitra Keluarga Depok, RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, dan RS Ciputra selama periode April 2020 sampai dengan Januari 2021. Dikumpulkan data demografi, manifestasi klinis, derajat keparahan, dan hasil swab anal PCR SARS-CoV-2.
Hasil: 136 subjek penelitian dengan swab nasofaring positif dianalisis. 52 pasien (38,2%) dengan swab anal PCR SARS-CoV-2 positif dan 84 pasien (61,8%) dengan swab anal negatif. Manifestasi klinis saluran cerna tersering, yaitu: mual-muntah 69 pasien (50,7%), nafsu makan menurun sebanyak 62 pasien (45,6%), dan nyeri perut sebanyak 31 pasien (22,8). Terdapat 114 pasien (83,8%) tergolong dalam derajat ringan-sedang dan 22 pasien (16,2%) tergolong dalam berat-kritis. Terdapat hubungan yang bermakna secara proporsi statistik antara variabel hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan manifestasi klinis gastrointestinal berupa keluhan diare atau mual-muntah (nilai p 0,031). Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara proporsi statistik antara variabel hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan derajat keparahan (nilai p 0,844).
Simpulan: Terdapat hubungan antara hasil pemeriksaan PCR SARS-CoV-2 swab anal dengan manifestasi klinis gastrointestinal berupa keluhan diare atau mual- muntah dan tidak terdapat hubungan antara variabel hasil pemeriksaan PCR SARS- CoV-2 swab anal dengan derajat keparahan infeksi COVID-19.

Background: ACE2 receptor is not only found in the lungs, but also in the digestive tract, which allows the occurrence of enterocyte infection, gastrointestinal clinical manifestations, and detection of viral RNA on anal swab PCR. Studies around the world show various results, yet there has been no similar study to be found in Indonesia.
Objective: This study aims to determine the clinical outcome of COVID-19 patients with gastrointestinal manifestations who were tested by anal swab, the relationship between anal swab PCR for SARS-CoV-2 test result with gastrointestinal clinical manifestations as well as the severity of COVID-19 patients in Indonesia.
Methods: This research is a branch of study titled. The Value of Anal Swab RT- PCR for COVID-19 Diagnosis in Adult Indonesian Patients. This is an analytical study with cross-sectional design. Samples were obtained from hospitalized COVID-19 patients at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Mitra Keluarga Hospital Depok, Mitra Keluarga Kelapa Gading Hospital, and Ciputra Hospital from April 2020 to January 2021. Demographic data, clinical manifestations, severity, and SARS-CoV-2 PCR anal swab were collected.
Results: 136 subjects with positive nasopharyngeal swab were analyzed. Result showed that 52 patients (38.2%) had positive anal swabs PCR SARS-CoV-2 and 84 patients (61.8%) had negative anal swabs. Common gastrointestinal clinical manifestations were: nausea and vomiting in 69 patients (50.7%), anorexia in 62 patients (45.6%), and abdominal pain in 31 patients (22.8). There were 114 patients (83,8%) classified as mild-moderate and 22 patients (16,2%) as severe-critical. There was a statistically significant relationship between anal swab PCR for SARS- CoV-2 test result with gastrointestinal clinical manifestations (diarrhea or nausea- vomiting) (p value 0.031). There was no statistically significant relationship found between anal swab PCR for SARS-CoV-2 test result with the severity of COVID- 19 infection (p value 0.844).
Conclusions: There is a relationship between anal swab PCR SARS-CoV-2 test result with gastrointestinal clinical manifestations (diarrhea or nausea-vomiting) and there is no relationship between anal swab PCR SARS-CoV-2 test result with severity of COVID-19 infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>