Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 83932 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Khansa Nadhifa Mazaya
"Penelitian ini mengkaji tentang rangkaian ujaran direktif bahasa Jepang terhadap anak usia 2-5 tahun. Rangkaian ujaran direktif itu disampaikan oleh orang tua. Sumber data yang digunakan berupa video percakapan antara orang tua dan anak yang diunggah di Youtube. Alasan memilih sumber data itu antara lain, rekaman percakapan bersifat impromptu sehingga memperlihatkan gambaran realisasi ujaran direktif terhadap anak. Video percakapan yang diamati berjumlah lima video. Dari kelima video itu, ditemukan kombinasi ujaran direktif langsung dan taklangsung. Rangkaian ujaran direktif yang ditemukan dalam penelitian ini ada lima pola. Berdasarkan hasil yang diperoleh, pada umumnya kombinasi ujaran terdiri dari tiga sampai enam rangkaian direktif. Dengan kata lain, penutur mengatakan ujaran direktif kepada anak lebih dari satu kali, bahkan berkali-kali. Ujaran taklangsung cukup produktif direalisasikan terhadap anak usia 2-5 tahun. Tampaknya anak usia 2-5 tahun dapat mengerti ujaran direktif taklangsung. Bahkan dari 5 video yang ada, 3 video data 3, 4 dan 5 memperlihatkan bahwa ujaran direktif taklangsung efektif digunakan. Anak melakukan permintaan orang tua setelah orang tua mengatakan ujaran direktif taklangsung.

This study reviews sequences of directive utterances in Japanese speech to children aged 2 to 5 years old. The sequences of directive utterances are delivered by parents. The data sources used are conversational videos between parents and children uploaded on Youtube. The reason for choosing such data sources is that the videos are recorded impromptu, and thus, they show the realization of directive utterances to children. There are, in total, five videos observed. From the videos, it is revealed that there is a combination between direct and indirect directive utterances. The study also identified 5 patterns in the directive utterances. Based on the results, the combination of utterances generally consists of 3 to 6 sequences of directive utterances. In other words, speakers use directive utterances to children more than once and even repeatedly. Indirect directive utterances are delivered to children in the age range of 2 to 5 years old productively. It seems that those children are able to understand indirect directive utterances. Out of five videos, three videos data 3, 4 and 5 showed that indirect directive utterances are effectively used. The children performed their parents rsquo requests after their parents used indirect directive utterances.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairina Nur Aini
"Penelitian ini mengkaji mengenai respons verbal anak Jepang usia 2-4 tahun terhadap ujaran direktif orang tua. Korpus dalam penelitian ini adalah reality show dari stasiun tv Jepang, NTV yang berjudul Hajimete no Otsukai Suruhan Pertama Orang Tua. Alasan pemilihan korpus ini adalah i percakapan antara orang dewasa dan anak tidak dibuat-buat dan tidak diatur, sehingga partisipan tutur dapat berbicara dengan bebas tanpa bergantung pada naskah, ii partisipan tutur yang beragam, setiap episode terdiri dari orang dewasa dan anak yang berbeda sehingga cara anak dalam merespons ujaran pun berbeda, iii variasi topik percakapan, mengenai keseharian antara orang dewasa dan anak usia 2-4 tahun.
Penelitian ini menemukan tiga buah rangkaian respons anak usia 2-4 tahun terhadap ujaran direktif, yakni i rangkaian respons menerima, ii rangkaian respons menolak, dan iii rangkaian respons menolak menerima. Dari analisis rangkaian ujaran tersebut, rangkaian respons anak usia 2-4 tahun atas ujaran direktif memperlihatkan realitas pengungkapan respons. Ada anak yang segera menerima ujaran direktif, ada anak yang menolak, ada pula anak yang menolak terlebih dahulu sebelum menerima.

This study examines the verbal response of Japanese children age 2-4 year old to adult directive utterance. The corpus of this study is Japanese reality show from NTV tv station entitled Hajimete no Otsukai My First Errands . The reasons for selecting this corpus are i the conversation between adult children isn scripted, so that participants can speak freely, ii various speech participants, each episodes have different adult and children so that children response to utterance is dissimilar, iii variations of conversational topics, about daily life between adult and 2-4 year old children.
This study establish three response sequences that 2-4 year old compose to directive utterance, i response sequence of agreement, ii response sequence of disagreement, and iii response sequence of disagreement and then agreement. From the investigation shows that children age 2-4 year old frame about reality of the response disclosure to adult directive utterance. There are children who immediately accepting directive utterance, there are children who turned down directive utterance, and there is also children whocbeing disapproval before being cooperation to directive utterance.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Ibnu Ghani
"Penelitian ini menganalisis tuturan berbelanja yang digunakan oleh anak-anak Jepang di rentang usia 2 hingga 5 tahun dalam reality show "Hajimete no Otsukai" yang tayang mulai tahun 2022 di Netflix. Penelitian ini berfokus pada penggunaan bahasa Jepang oleh anak-anak dalam konteks berbelanja di pasar dengan cara mengidentifikasi tuturan yang digunakan dalam konteks menanyakan letak barang, menyebutkan barang yang ingin dibeli, menjawab pertanyaan penjual, dan menyatakan alasan membeli barang. Sumber data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah episode-episode dari reality show "Hajimete no Otsukai”. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tindak tutur Austin yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi dan teori kesantunan. Analisis dilakukan dengan cara mengidentifikasi tuturan anak saat berbelanja dan mengidentifikasi pola-pola tuturan yang muncul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak menggunakan piranti linguistik berupa ragam santun dengan menggunakan format verba-masu, verba-masu ka, dan verba-n desuka serta ragam biasa dengan menggunakan format verba+yo dan verba+ta.

This study analyzes shopping utterances used by Japanese children aged 2 to 5 years old in the reality show "Hajimete no Otsukai" which airing from 2022 on Netflix. This study focuses on the use of Japanese by children in the context of shopping at the market by identifying the utterances used in the context of asking the location of goods, mentioning the goods they want to buy, answering the seller's questions, and stating the reasons for buying goods. The main data sources used in this study are episodes of the reality show "Hajimete no Otsukai". The theories used in this study are Austin's speech act theory of locution, illocution, and perlocution and politeness theory. The analysis is done by identifying children's speech during shopping and identifying the patterns of speech that appear. The results show that children use linguistic tools in the form of polite varieties using verb-masu, verb-masu ka, and verb-n desuka formats and ordinary varieties using verb+yo and verb+ta formats. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hania Asmarani Rahmanita
"Stunting merupakan masalah kesehatan yang dikenal luas dan merupakan masalah malnutrisi yang paling umum terjadi di dunia. Pada tahun 2022, angka stunting di Kabupaten Buton mencapai 32,6%. Stunting dapat menyebabkan kondisi stres oksidatif akibat peningkatan spesies oksigen reaktif (ROS), yang mengakibatkan ketidakseimbangan glutation (GSH). Anak yang stunting juga cenderung memiliki asupan yang rendah terutama protein. Telur merupakan bahan makanan kaya protein hewani yang mengandung asam amino lengkap diantaranya yaitu sistein, glisin, dan glutamat yang merupakan prekursor dari GSH. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian telur terhadap kadar GSH pada anak stunting usia 2-5 tahun di Kabupaten Buton. Penelitian ini merupakan penelitian Randomized Control Trial (RCT), non blinded dengan pengambilan sampel secara consecutive sampling. Sebanyak 42 subyek anak stunting usia 2-5 tahun di Puskesmas Saintopina, Kabupaten Buton dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi diberikan edukasi mengenai pentingnya asupan protein hewani sebagai standard care serta 1 butir telur sehari selama 4 minggu. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya mendapatkan standard care berupa edukasi. Sampel darah, penilaian antropometri, dan penilaian gizi diambil pada kunjungan pertama dan 4 minggu setelahnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar GSH pada kedua kelompok berbeda secara signifikan (p<0,05). Kadar GSH pada kelompok intervensi mengalami peningkatan yang lebih besar yaitu 1,24 (0,49-2,95) μg/mL dibandingkan dengan kelompok kontrol. Pemberian suplementasi telur 1 butir sehari selama 4 minggu menyebabkan perubahan kadar GSH yang signifikan pada anak stunting usia 2-5 tahun di Kabupaten Buton.

Stunting is a well-known health problem and the most common malnutrition problem in the world. By 2022, the stunting rate in Buton Regency reached 32.6%. Stunting can cause oxidative stress conditions due to increased reactive oxygen species (ROS), resulting in a glutathione imbalance. (GSH). Stunting children also tend to have low intake, especially protein. Eggs are foods rich in animal proteins that contain complete amino acids, including cysteine, glycine, and glutamate, which are precursors of GSH. This study aims to determine the effect of egg on the level of GSH in stunted children aged 2-5 years old in Buton Regency. The study is a Randomized Control Trial (RCT), non-blinded with consecutive sampling. A total of 42 stunted children aged 2-5 years old in Puskesmas Saintopina, Buton Regency, were divided into two groups: the intervention group and the control group. The intervention groups were educated about the importance of animal protein intake as standard care and 1 egg per day for 4 weeks. In the control group, they only get standard care in the form of education. Blood samples, anthropometric assessments, and nutritional assessments were taken on the first visit and four weeks afterwards. The results of the study showed that GSH levels in both groups differed significantly (p<0.05). GSH levels in the intervention group had a greater increase of 1.24 (0.49-2,95) μg/mL compared to the control group. Supplementation of 1 egg a day for 4 weeks caused significant changes in GSH levels in stunting children aged 2-5 years in Buton Regency."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Devita Riyani
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan koreksi ujaran repair bahasa Jepang yang dituturkan orang tua terhadap anak usia 2-3 tahun. Anak usia 2-3 tahun tampaknya sering tidak memahami ujaran orang tuanya. Berdasarkan pengamatan orang tua melakukan koreksi atas ujarannya sendiri agar dipahami oleh anak. Unsur leksikal dan gramatikal seperti apa yang dipilih saat melakukan repair menjadi fokus pada penelitian ini. Sumber data penelitian ini adalah ujaran repair beberapa video percakapan antara orang tua dengan anaknya. Video tersebut diperoleh dari situs berbagi Youtube. Rekaman video ditranskripsi dengan program ELAN EUDICO Linguistic Annotator.
Berdasarkan hasil analisis repair ujaran terbagi atas lima tipe, yaitu i koreksi ujaran dengan subtitusi interogativa dan penambahan unsur leksikal-gramatikal, ii koreksi ujaran dengan pelesapan unsur leksikal, iii koreksi ujaran dengan pelesapan unsur leksikal dan subtitusi gramatikal, iv koreksi ujaran dengan penambahan unsur leksikal dan gramatikal, dan v koreksi ujaran dengan pelesapan unsur leksikal dan penambahan unsur leksikal-gramatikal. Dengan perkataan lain, kesimpulan penelitian ini ialah repair ujaran dilakukan dengan i subtitusi, ii pelesapan, dan iii penambahan unsur leksikal atau gramatikal.

This study aims to elucidate self repair in Japanese speech performed by parents to their children aged 2 3 years old. Those children often seem unable to understand their parents rsquo utterances. Based on observation, parents repair their own utterances in order to be understood by their children. This study focuses on what types of lexical and grammatical items are chosen when parents perform self repair. The sources used in this study are repair utterances in some conversational videos between parents and their children. The videos were transcribed using ELAN EUDICO Linguistic Annotator.
Based on the analysis, self repair is classified into five types, namely i repair with a substitution of interrogatives and an addition of lexical grammatical items ii repair with an omission of lexical items iii repair with an omission of lexical items and a substitution of grammatical items iv repair with an addition of lexical and grammatical items and v repair with an omission of lexical items and an addition of lexical grammatical items. In other words, this study concludes that repair is performed by using i substitution ii omission and iii addition of either lexical or grammatical items.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitohang, Christine
"Anak usia dini seringkali mengalami masalah perilaku makan yang dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Salah satu faktor masalah makan pada anak adalah food neophobia yang dapat timbul karena berbagai hal, seperti faktor genetik, faktor sensitivitas sensorik, faktor lingkungan, faktor pengalaman awal makan dan praktik pemberian makan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan tekanan untuk makan dengan food neophobia pada anak usia 2-5 tahun. Desain penelitian ini adalah studi observasi cross-sectional dengan metode pengambilan sampel consecutive sampling terhadap 107 responden ibu yang memiliki anak usia 2-5 tahun. Instrumen penelitian yang digunakan adalah instrumen mengenai Child Feeding Questionnaire dan Food Neoophobia Scale. Analisis uji statistik yang digunakan adalah Fisher Exact. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan tekanan untuk makan dengan food neophobia pada anak usia 2-5 tahun (p = 0,005). Peneliti merekomendasikan untuk meneliti menggunakan variabel yang berbeda dalam penelitian seperti dukungan keluarga, food preference, dan anak dengan kebutuhan khusus.

Early childhood often experiences eating behavior problems that can be caused by various factors. One of the factors contributing to eating problems in children is food neophobia, which can arise due to various things, such as genetic factors, sensory sensitivity factors, environmental factors, early eating experience factors, and feeding practices. This study aims to identify the relationship between pressure to eat and food neophobia in children aged 2–5 years. The design of this study was a cross-sectional observational study with consecutive sampling of 107 respondents who had children aged 2–5 years. The research instruments used were instruments regarding the Child Feeding Questionnaire and the Food Neophobia Scale. The statistical test analysis used was Fisher Exact. The results showed that there was a relationship between pressure to eat and food neophobia in children aged 2–5 years (p = 0.005). Researchers recommend conducting research using different variables, such as family support, food preferences, and children with special needs."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raihananda Vania Araminta
"Picky eating atau perilaku pilih-pilih makanan merupakan suatu kondisi dimana anak menolak makan, atau mengalami kesulitan saat mengonsumsi makanan dan minuman. Prevalensi kejadian picky eating di Indonesia masih cukup besar, yakni sebanyak 45.5%. Anak dengan perilaku picky eating juga banyak ditemukan di kota-kota besar, salah satunya di Jakarta dengan prevalensi sebesar 33.6%. Kesulitan makan pada anak yang dibiarkan terjadi dalam jangka waktu yang lama, akan menimbulkan beberapa dampak negatif, seperti dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, kekurangan vitamin, dan mineral, serta defisiensi zat gizi. Kecenderungan perilaku picky eating erat hubungannya dengan cara orang tua memberikan makan kepada anak, pola asuh, pengetahuan gizi, orang tua pendapatan, dan ketersediaan makanan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan dari beberapa faktor tersebut dengan perilaku picky eating, yang dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif dan desain studi cross-sectional. Penelitian ini menggunakan data primer dari pengisian kuesioner secara daring yang melibatkan 127 responden yang merupakan ibu dari anak usia 2-5 tahun yang berdomisili di DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 27.6% anak usia 2-5 tahun di DKI Jakarta yang memiliki perilaku picky eating dan dapat disimpulkan bahwa terdapat adanya hubungan riwayat penerapan responsive feeding dengan perilaku picky eating (p-value = 0.016). Variabel lain yang berhubungan secara signifikan (p-value < 0.05) yakni pola asuh, pengetahuan gizi, dan ketersediaan makanan. Sementara itu, tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan (p-value > 0.05) antara pendapatan orang tua dengan perilaku picky eating. Dengan demikian, orang tua diharapkan dapat memperhatikan faktor-faktor tersebut untuk dapat mencegah dan mengatasi kejadian picky eating pada anak.

Picky eating or picky eating behavior is a condition where a child refuses to eat, or has difficulty consuming food and drink. The prevalence of picky eating in Indonesia is still quite large (45.5%). Children with picky eating behavior are also commonly found in big cities, one of which is in Jakarta, with a prevalence of 33.6%. Eating difficulties in children that are allowed to occur for a long time will cause several negative impacts, such as dehydration, electrolyte imbalance, vitamin and mineral deficiencies, and nutritional deficiencies. The tendency for picky eating behavior is closely related to the way parents feed their children, parenting patterns, nutritional knowledge, parents' income, and food availability. The purpose of this study was to examine the relationship between these factors and picky eating behavior, which was carried out using quantitative methods and a cross-sectional study design. This study uses primary data from filling out online questionnaires involving 127 respondents who are mothers of children aged 2-5 years who live in DKI Jakarta. The results showed that there are 27.6% of children aged 2-5 years in DKI Jakarta who have picky eating behavior and it can be concluded that there is a relationship between a history of implementing responsive feeding and picky eating behavior (p-value = 0.016). Other variables that were significantly related (p-value < 0.05) were parenting patterns, nutritional knowledge, and food availability. Meanwhile, there was no significant relationship (p-value > 0.05) between parents' income and picky eating behavior. Thus, parents are expected to pay attention to these factors to be able to prevent and overcome the incidence of picky eating in children"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leily Badrya
"Latar Belakang: Stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang disebabkan oleh masalah gizi kronis. Stunting dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara radikal bebas dan enzim antioksidan seperti Superoksida Dismutase. Menurut DIAAS, sumber protein hewani memiliki kualitas protein sebagai sumber asam amino yang baik, seperti telur. Asam amino yang terkandung di dalam telur dapat meningkatkan pembentukan dan aktivitas SOD.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat efek pemberian telur terhadap aktivitas SOD total pada anak stunting.
Metode: Penelitian ini dengan desain RCT non-blinded dilakukan di Buton, pada bulan Januari sampai Februari 2024. Dua puluh anak pada kelompok intervensi yang diberikan 1 butir telur per hari dengan edukasi protein hewani dan dua puluh anak pada kelompok kontrol dengan edukasi protein hewani. Pengambilan data asupan makanan dan sampel darah dilakukan pada pre-post intervensi.
Hasil penelitian: Perubahan aktivitas SOD total pada kelompok intervensi sebesar 9.1 U/mL dan pada kelompok kontrol sebesar 16.8 U/mL. Perubahan aktivitas SOD total lebih kecil pada kelompok intervensi dibanding kelompok kontrol.
Kesimpulan: Pemberian telur 1 butir per hari menunjukan perbedaan signifikan perubahan aktivitas SOD total pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan p = 0.030 (p<0.05).

Background: Stunting is a growth disorder caused by chronic nutritional problems. Stunting can cause imbalance between Reactive Oxygen Species and antioxidant enzymes such as Superoxide Dismutase. According to DIAAS, animal protein sources have protein quality as a good source of amino acids, such as egg. The amino acids contained in egg can increase the formation of enzymatic antioxidant such as SOD and increase the activity of SOD to counteract ROS.
Objectives: This study aims to see the effect of egg on total superoxide dismutase (SOD) activity in stunted children.
Methods: This study with non-blinded RCT design, conducted in Buton Regency, January until February 2024. 20 children in the intervention group who were given 1 egg per day in 1 month with animal protein education and 20 children in the control group with animal protein education. Nutritional assesment and blood samples were taken at the pre-post intervention.
Result: There was a change in total SOD activity in the intervention group which was 9.1 U/mL while in the control group it was 16.8 U/mL. Changes in total SOD activity were smaller in the intervention group.
Conclution: There was a significant difference in changes of total SOD activity in the intervention group and the control group (p=0.030).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clarita Michelle Tan
"Tindak tutur menolak dalam bahasa Jepang pada umumnya disampaikan secara tidak langsung dengan moda verbal. Namun, tampaknya anak-anak Jepang tidak hanya menggunakan moda verbal pada saat menolak. Berdasarkan pengamatan awal, tampaknya anak-anak Jepang menggunakan moda verbal dan nonverbal pada saat menolak. Oleh karena itu, variasi moda verbal dan nonverbal menolak pada anak menarik untuk dicermati. Permasalahan penelitian ini adalah multimodalitas respons menolak dalam bahasa Jepang oleh anak usia 2–4 tahun. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan respons anak ketika menolak, baik secara verbal maupun nonverbal. Data penelitian ini adalah 7 video respons menolak anak ketika orang tua meminta anaknya untuk melakukan sesuatu. Video itu diperoleh dari acara reality show yang berjudul Hajimete no Otsukai.
Temuan penelitian ini adalah pola multimodalitas respons menolak, yaitu (i) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal mengangguk, menunduk, menangis, menatap ibu, (ii) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal menunduk, menatap ayah, melihat ke kanan, (iii) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal menunduk, menatap ayah, menggelengkan kepala, (iv) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal menunduk, menangis, melihat ayah, menggelengkan kepala, melihat ke kiri, bersandar pada ayah, (v) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal menangis, mengusap tangan, menarik ibu, (vi) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal melihat ayah, membuka dan menutup pintu, mundur selangkah, (vii) respons tuturan menolak disertai moda nonverbal melihat ibu, melihat ke kanan dan kiri, berjalan pulang. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak Jepang cenderung menolak dengan menggabungkan moda verbal dan nonverbal.

Refusal speech act in Japanese is generally conveyed indirectly with the verbal mode. However, it seems that Japanese children do not only use verbal modes when refusing. Based on initial observations, it seems that Japanese children use both verbal and nonverbal modes when refusing. Therefore, the variety of verbal and nonverbal modes of refusing by children is interesting to observe. The problem of this study is the multimodality of refusal responses in Japanese by 2–4 years old children. The purpose of this study is to explain children's responses when refusing, both verbally and nonverbally. The data of this study are 7 videos of children's refusal responses when parents ask their children to do something. The videos were obtained from a reality show called Hajimete no Otsukai.
The findings of this study are multimodality patterns of refusal responses, (i) refusal speech response with nonverbal modes of nodding, looking down, crying, looking at mother, (ii) refusal speech response with nonverbal modes of looking down, looking at father, looking to the right, (iii) refusal speech response with nonverbal modes of looking down, looking at father, shaking the head, (iv) refusal speech response with nonverbal modes of looking down, crying, looking at father, shaking the head, looking to the left, leaning on the father, (v) refusal speech response with nonverbal mode of crying, rubbing hands, pulling mother, (vi) refusal speech response with nonverbal mode of looking at father, opening and closing the door, taking a step back, (vii) refusal speech response with nonverbal mode of looking at mother, looking to the right and left, walking home. This shows that Japanese children tend to refuse by combining verbal and nonverbal modes.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Elvia Amelia
"Permasalahan gizi masih menjadi persoalan serius bagi berbagai negara berkembang salah satunya adalah Indonesia. Masalah gizi anak perlu diatasi karena dapat menimbulkan permasalahan bagi pertumbuhan anak hingga berdampak pada kualitas sumber daya manusia unggul bagi bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status gizi anak dapat berasal dari karakteristik individu anak itu sendiri maupun dari pihak eksternal seperti ibu yang memiliki peran utama dalam pemenuhan gizi anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dan praktik pemberian makan anak dengan status gizi balita usia 2-5 tahun di Kelurahan Tugu Kecamatan Cimanggis Kota Depok. Desain penelitian ini adalah cross sectional yang melibatkan 100 ibu dan balita di Kelurahan Tugu. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner pengetahuan untuk mengukur tingkat pengetahuan ibu, kuesioner FPSQ-28 untuk mengetahui praktik pemberian makan, dan tabel z-score standar antropometri PMK No.2 Tahun 2020 untuk mengukur status gizi anak. Uji statistik bivariat yang dilakukan adalah Mann-Whitney dan uji korelasi Spearman’s rho. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dan status gizi balita (p=0,034) dan tidak ada hubungan yang signifikan antara praktik pemberian makan ibu dan status gizi balita (p=0.877 ; r=0,16). Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa penting untuk meningkatkan pengetahuan ibu sebagai bekal dalam pemberian makan sehingga status gizi anak baik. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menemukan variabel lain yang mempengaruhi status gizi balita sehingga muncul inovasi baru untuk mengatasi Malnutrisi anak.

Nutritional problems are still a serious problem for many developing countries, for example Indonesia. The problem of child nutrition needs to be addressed because it can cause problems for children's growth and thus have an impact on the quality of superior human resources for the Indonesian nation in the future. Several factors that can affect the nutritional status of children can come from the individual characteristics of the child itself or from external parties such as mothers who have a major role in fulfilling child nutrition. The purpose of this study was to determine the relationship between mother's knowledge and child feeding practices with the nutritional status of toddlers aged 2-5 years in Tugu Village, Cimanggis District, Depok City. The design of this study was cross-sectional involving 100 mothers and toddlers in the Tugu Village. The instruments used were a knowledge questionnaire to measure the mother's level of knowledge, the FPSQ-28 questionnaire to determine feeding practices, and the anthropometric standard z-score table PMK No.2 of 2020 to measure children's nutritional status. The bivariate statistical tests performed were the Mann-Whitney and the Spearman's rho correlation test. The results of this study showed that there was a significant relationship between mother's knowledge and toddler's nutritional status (p=0.034) and there was no significant relationship between mother's feeding practices and toddler's nutritional status (p=0,877: r=0,16). Based on the results of this study it is important to increase the mother's knowledge as a provision in feeding so that the child's nutritional status is good. Future research is expected to find other variabels that affect the nutritional status of toddlers so that new innovations emerge to overcome child malnutrition."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>