Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61944 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Avisena Ilma Rachmasari
"ABSTRAK
Sejak Reformasi 1998 hingga tahun 2017, jumlah kasus penodaan agama yang terjadi di Indonesia meningkattajam dari 9 kasus menjadi lebih dari 88 kasus. Dalam kasus-kasus tersebut Pasal 156a KUHP menjadi pasalyang sering digunakan baik dalam amar putusan hakim. Skripsi ini membahas sejarah dan perkembangan delikpenodaan agama dalam hukum pidana di Indonesia yang diatur dalam Pasal 156a KUHP dan Undang-UndangNo. 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Permasalahan yangkerap muncul dalam penerapan Pasal 156a KUHP di pengadilan adalah mengenai tidak jelasnya tolak ukurperbuatan sebagai dasar terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana penodaan agama. Untuk menganalisis masalahtersebut, dilakukan penelitian normatif dengan berfokus pada analisis peraturan perundang-perundangan pidana,pendapat ahli hukum, dan putusan pengadilan. Hasil penelitian menunjukkan adanya kesimpangsiuran terkaitmodel penanganan kasus penodaan agama di Indonesia. Selain itu, terdapat perbedaan dalam pemaknaan Pasal156a KUHP di kalangan akademisi maupun praktisi yang memaknai konstruksi pasal ini sebagai gabungan unsurtindak pidana yang bersifat kumulatif dan yang memaknainya secara alternatif. Dalam praktiknya di pengadilan,hakim cenderung menerapkan Pasal 156a KUHP dengan konstruksi huruf a dan huruf b dalam pasal tersebutsecara alternatif namun tanpa pertimbangan hukum yang memadai. Kata Kunci: penodaan agama, penistaan, pasal 156a KUHP, analisis putusan, hukumpidana

ABSTRACT
The number of blasphemy cases have increased significantly from only 9 cases in the New Order 1967 1998 tomore than 88 cases in the post Reformation era. Those cases have brought people to jail using article 156a ofIndonesian Criminal Code KUHP . This thesis discusses the history and the development of blasphemy lawwhich is regulated in the article 156a of the Indonesian Criminal Code and Law No. 1 PNPS of 1965 onPrevention of Misuse and or Blasphemy. The implementation of the law has brought problems related to theunclear criteria to elucidate the elements of the blasphemous acts. To analyze the problem, the author conducteda normative research focusing on the analysis of the criminal provision, jurists opinion, and a number of courtdecisions. This research shows that there is an inconsistency to handle blasphemy cases in Indonesia. There aretwo dominant views among the academics as well as the practitioners in defining blasphemy as it is stipulated inthe article of 156a Indonesian Criminal Code. The first view believes that the construction of the article is ldquo adouble offence rdquo double opzet in which all its elements should be proven while the other side interprets the aand b elements in the article alternatively. This thesis concludes that the judges tend to apply article 156a byinterpreting the a and b elements in the article alternatively without some adequate legal arguments. Keywords blasphemy defamation of religion article 156a Indonesia rsquo s Criminal Code verdict analysis criminal law. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Khansa Rahmadita
"Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa wanprestasinya salah satu pihak tidak otomatis mengakhiri perjanjian, melainkan pengakhiran perjanjian harus dimintakan kepada hakim. Namun, pada praktiknya para pihak lazim mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata sehingga dalam hal terjadi wanprestasi perjanjian bisa diakhiri secara sepihak. Permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini meliputi pandangan ahli hukum terhadap pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dan implementasi klausul pengesampingan 1266 KUH Perdata berdasarkan putusan-putusan pengadilan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Artikel ini menjawab bahwa terdapat perbedaan pandangan di kalangan ahli hukum mengenai dapat atau tidaknya para pihak mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata yang dilihat dari sifat kaidah hukumnya, kasus demi kasus, dan para pihak yang membuat perjanjian. Berdasarkan putusan-putusan pengadilan yang Penulis analisis, sebagian besar hakim menerima implementasi klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata dengan menggunakan dasar hukum Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Sehingga kesepakatan para pihak mengenai pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata di dalam perjanjian harus ditaati oleh para pihak yang bersangkutan. Hakim yang menolak implementasi klausul pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata berpendapat bahwa pengesampingan Pasal 1266 KUH Perdata melanggar ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata itu sendiri

Article 1266 of the Indonesian Civil Code stipulates that the event of default does not automatically terminate the contract, but termination of a contract shall be requested to the Judge. However, in practice, the parties usually set aside Article 1266 of the Indonesian Civil Code so one party entitles to terminate the contract unilaterally. The main issues discussed in this article are the opinion of legal experts about the waiver of Article 1266 of the Indonesian Civil Code and the implementation of the waiver clause of Article 1266 of the Indonesian Civil Code based on court decisions using a normative juridical research method. This article explains that there are different opinions from legal experts regarding whether or not the parties can waive Article 1266 of the Indonesian Civil Code, judging from the nature of the legal rule, the cases, and the parties of the contract. Based on the court decisions that have been analyzed, most of the judges accepted the implementation of such waiver clause using Article 1338 paragraph (1) of the Indonesian Civil Code as the legal basis. Judges who do not accept the implementation of such waiver clause considered it a violation of Article 1266 of the Indonesian Civil Code itself."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldrian Tri Putra Oenang
"Kejahatan terhadap tubuh dan nyawa kerap terjadi di Indonesia tanpa memandang usia, status, pekerjaan atau jabatan, bahkan jenis kelamin. Akibat pengaruh dari teknologi dan media yang semakin canggih, memungkinkan masyarakat mengakses berita-berita tentang kejahatan terhadap tubuh dan nyawa dan menjadikan hal tersebut sebagai topik perbincangan. Salah satu dari kasus kejahatan terhadap tubuh dan nyawa yang kerap menjadi topik perbincangan masyarakat adalah kasus meninggalnya Wayan Mirna Salihin, yang diduga di racun oleh temannya sendiri yaitu Jessica Kumala Wongso. Dengan meluasnya berita mengenai kematian Wayan Mirna Salihin serta besarnya rasa keingintahuan masyarakat mengenai kasus tersebut, membuat beberapa media meliput acara persidangan dengan Terdakwa Jessica Kumala Wongso disiarkan secara langsung pada televisi. Diskusi mengenai rumusan Pasal 340 KUHP dalam kaitannya dengan pembuktian unsur “dengan rencana” menjadi isu yang hangat, sehubungan dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam surat dakwaan. Hal ini didasari karena ditemukannya senyawa kimia berupa sianida di dalam kopi Wayan Mirna Salihin yang telah dipesankan terlebih dahulu oleh Jessica Kumala Wongso. Setelah melewati beberapa kali persidangan, Jessica Kumala Wongso akhirnya dituntut 20 tahun penjara atas tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal 340 KUHP. Di dalam persidangan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, tergambar bahwa pembuktian unsur berencana selalu terkait dengan unsur kesengajaan yang sulit sekali dibedakan maknanya. Maka dari itu Penulis meneliti bagaimana hubungan dari unsur berencana dengan unsur kesengajaan, serta bagaimana Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim mendasarkan pertimbangannya untuk membuktikan unsur berencana dalam suatu tindak pidana terhadap tubuh dan nyawa, dengan menganalisa rumusan delik pada Pasal 340 KUHP terhadap kasus Jessica Kumala Wongso serta empat putusan pengadilan lainnya dengan dakwaan yang sama yaitu Pasal 340 KUHP.

Crimes against the body and life are often occur in Indonesia it is regardless of age, status, occupation or position, even gender. Due to the increasingly sophisticated influence of technology and media, it enables people to access news about crimes against the body and life and make it a topic of conversation. One of the cases of crimes against body and life that are often being a topic of public discussion is the case of the death of Wayan Mirna Salihin, who allegedly poisoned by his friend Jessica Kumala Wongso. As the widespread news of the death of Wayan Mirna Salihin and the public goes curiosity about the case, some media covered the trial over a Defendant, Jessica Kumala Wongso broadcast live on television. A discussion on the formulation of Article 340 of the Indonesian Criminal Code in relation to the proof of the element "with the intention" becomes a hot issue, in relation to the indictment of the Public Prosecutor in the letter of indictment. This is based on the discovery of a chemical compound in the form of cyanide that found in Wayan Mirna Salihin’s coffee which has been ordered in advance by Jessica Kumala Wongso. After passing several trials, Jessica Kumala Wongso was eventually charged with 20 years in prison for murder under Article 340 of the Criminal Code. In the trial of the murder of Wayan Mirna Salihin, it is envisaged that the proof of the element of intention is always related to the element of deliberate that is difficult to distinguish the meaning. Therefore the author examines how the relationship of the elements of intention with the element of deliberate, and how the Public Prosecutor and the Panel of Judges based their consideration to prove the element of intention in a crime against the body and life, by analyzing the formulation of offense in Article 340 of the Criminal Code against the case of Jessica Kumala Wongso, as well as four other court decisions on the same indictment, namely Article 340 of the Criminal Code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Rotua T. Estherlina
Depok: Universitas Indonesia, 1995
S21766
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geraldine Ghea Dermawan
"Sebagaimana diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata, perjanjian tidak memiliki
kekuatan hukum atau tidak mengikat apabila mengandung kausa yang terlarang,
palsu, atau tidak mengandung kausa. Namun, pasal ini tidak mengatur penjelasan
lebih lanjut terhadap kata kausa atau sebab. Selain itu, terhadap kausa yang palsu,
kerancuan juga rawan timbul karena persetujuan dengan kausa/sebab yang palsu
merupakan persetujuan yang secara kasat mata merupakan persetujuan yang sah,
sehingga tidak mudah untuk mengidentifikasi kausanya tersebut. Apalagi kausa
merupakan salah satu syarat sah sahnya perjanjian yang objektif, yang mana apabila
tidak terpenuhi akan mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, hukum harus dapat memperjelas ketentuan tersebut terutama untuk kepastian hukum dalam praktiknya. Tulisan ini akan menganalisa lebih mendalam terhadap masalah-masalah tersebut berdasarkan doktrin dan putusan-putusan pengadilan di Indonesia dengan metode penelitian yuridisnormatif dan bersifat deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, menurut doktrin, dan putusan-putusan pengadilan, meskipun telah terdapat kesamaan pendapat akan perbedaan antara kausa dan motif, sampai saat ini belum terdapat kesatuan pendapat mengenai penafsiran kausa itu sendiri. Perbedaan pendapat ini pun juga mempengaruhi disparitas penafsiran kausa dalam putusan-putusan pengadilan, sehingga seringkali menyebabkan penerapan huknumya menjadi kurang tepat.

As stipulated in Article 1335 of the Indonesian Civil Code, an agreement shall not
be enforceable or binding when its cause is forbidden, false, or does not exist.
However, the provision does not further elaborate the meaning of the word cause.
In addition to that, for fraudulent causes, it is prone to arise confusion since
agreements with fraudulent causes in plain sight are often seen as valid agreements,
so it is not as easy to identify the causes. Moreover, cause is one of the legal
requirements an agreement and is an objective condition, where if this is not fulfilled it will result an agreement as null and void. Therefore, to avoid that, the law itself must clarify the provisions, especially for legal certainty in practice. This paper will analyse further on this matter based on doctrine and court decisions in Indonesia with a research method of juridical-normative and descriptive. According to the research, based on doctrine and court decisions, although there has been a common opinion about the distinction between causes and motives, there has been no consensus for the exact meaning of cause itself. This difference of opinion also affects to the disparity of “cause” interpretation in court decisions, which often results an improper application of law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geraldine Ghea Dermawan
"

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata, perjanjian tidak memiliki kekuatan hukum atau tidak mengikat apabila mengandung kausa yang terlarang, palsu, atau tidak mengandung kausa. Namun, pasal ini tidak mengatur penjelasan lebih lanjut terhadap kata kausa atau sebab. Selain itu, terhadap kausa yang palsu, kerancuan juga rawan timbul karena persetujuan dengan kausa/sebab yang palsu merupakan persetujuan yang secara kasat mata merupakan persetujuan yang sah, sehingga tidak mudah untuk mengidentifikasi kausanya tersebut. Apalagi kausa merupakan salah satu syarat sah sahnya perjanjian yang objektif, yang mana apabila tidak terpenuhi akan mengakibatkan perjanjian batal demi hukum. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, hukum harus dapat memperjelas ketentuan tersebut terutama untuk kepastian hukum dalam praktiknya. Tulisan ini akan menganalisa lebih mendalam terhadap masalah-masalah tersebut berdasarkan doktrin dan putusan-putusan pengadilan di Indonesia dengan metode penelitian yuridis-normatif dan bersifat deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian, menurut doktrin, dan putusan-putusan pengadilan, meskipun telah terdapat kesamaan pendapat akan perbedaan antara kausa dan motif, sampai saat ini belum terdapat kesatuan pendapat mengenai penafsiran kausa itu sendiri. Perbedaan pendapat ini pun juga mempengaruhi disparitas penafsiran kausa dalam putusan-putusan pengadilan, sehingga seringkali menyebabkan penerapan huknumya menjadi kurang tepat.

 


As stipulated in Article 1335 of the Indonesian Civil Code, an agreement shall not be enforceable or binding when its cause is forbidden, false, or does not exist. However, the provision does not further elaborate the meaning of the word cause. In addition to that, for fraudulent causes, it is prone to arise confusion since agreements with fraudulent causes in plain sight are often seen as valid agreements, so it is not as easy to identify the causes. Moreover, cause is one of the legal requirements an agreement and is an objective condition, where if this is not fulfilled it will result an agreement as null and void. Therefore, to avoid that, the law itself must clarify the provisions, especially for legal certainty in practice. This paper will analyse further on this matter based on doctrine and court decisions in Indonesia with a research method of juridical-normative and descriptive. According to the research, based on doctrine and court decisions, although there has been a common opinion about the distinction between causes and motives, there has been no consensus for the exact meaning of cause itself. This difference of opinion also affects to the disparity of “cause” interpretation in court decisions, which often results an improper application of law.

 

Key Words: Causa, Cause, Fraudulent Cause, Simulation Agreement, Pretense Agreement, Obligation, Null and Void.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lady Arianita
"Perintah Jabatan merupakan salah satu bentuk dari dasar penghapus pidana. Hal ini termuat dalam Pasal 51 KUHP. Unsur yang menarik dalam Pasal 51 KUHP adalah mengenai ambtenaar pejabat/pegawai negeri yang hal ini tidak terdapat penjelasannya, dalam KUHP hanya terdapat perluasan maknanya saja. Hubungan Atasan dan Bawahan yang tercantum dalam Pasal 51 KUHP merupakan suatu hubungan yang bersifat publik. Namun, pada penerapannya Hakim dalam pertimbangannya menerapkan Pasal 51 KUHP bukan hanya pada orang-orang yang termasuk dalam pengertian ambtenaar yang diperluas oleh KUHP, melainkan hingga sektor swasta. Hal ini menunjukan bahwa pada penerapannya Pasal 51 KUHP sudah berkembang. Perkembangan ini dibuktikan dengan berbagai macam putusan yang terlihat bahwa Pasal 51 KUHP digunakan karena pada zaman sekarang hal tersebut sangat dibutuhkan terlebih apabila seseorang Bawahan melakukan sesuatu Tindak Pidana atas perintah dari Atasan. Selain itu perkembangan ini juga sangat erat hubungannya dengan perkembangan ajaran penyertaan. Akan tetapi bukan berarti setiap perintah yang diberikan oleh Atasan merupakan suatu perintah yang akan menghapuskan pidana, tetap ada batasan mengenai perintah tersebut untuk dipertanggungjawabkan. Demikian, perkembangan Pasal 51 KUHP bukan hanya untuk menghapuskan pidana seseorang melainkan tetap melihat batasan mengenai hal yang diperintahkan dari Atasan kepada Bawahan.
The order of an official is one of the basic forms of the abolition of a criminal sanction. It rsquo s written in article 51 of the criminal code. An interesting aspect about article 51 is about meaning of ambtenaar official civil servants , which hasn rsquo t explained. In the criminal code, there rsquo s only an expansion of its meaning. Relationship between a superior and their subordinate, which is written in article 51 of the criminal code, is only regulated in public relationship. However, Judges implement article 51 of criminal code in their decision not only to people who are included in the expansion of ambtenaar in the criminal code, but to the private sector too. This situation shows that the implementation of article 51 of the criminal code have developed. This development is evidenced by the wide variety of decisions, which article 51 of the criminal code has been using. Because nowadays, it is very necessary, especially when someone does a crime on orders from their superior. Furthermore, this development is closely related with the development of participation. But this doesn rsquo t mean that every order from the superior is a reason to eliminate criminal sanctions, since there are limits regarding the order that makes the subordinate accountable for their actions. So, the development on article 51 of the criminal code is not just to erase criminal sanctions for a subordinate undertaking orders from their superior, but it also has to be within the limits set by the superior to the subordinate. "
2017
S66362
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ema Mayora
"Di dalam media massa masih banyak ditemukan iklan-iklan klenik yang menawarkan jasa santet untuk membuat orang lain celaka. Dengan zaman yang sudah modern ini sangat disayangkan masih terdapat masyarakat yang meyakini kemampuan dukun santet tersebut. Kepercayaan masyarakat inilah yang dimanfaatkan pihak tertentu untuk meraup keuntungan dengan melakukan tindak kejahatan. Fenomena tersebut hingga kini masih menjadi polemik berkepanjangan, serta menyebabkan keresahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Pada tahun 2016, Tim Panitia Kerja RUU KUHP melakukan pembahasan RUU KUHP yang di dalamnya turut membahas pasal 295 yang mengatur pemidanaan pada pelaku santet. Di balik substansi dari pasal tersebut, terdapat serangkaian analisis yang berkaitan dengan kriminologi budaya dalam menjelaskan proses terjadinya kejahatan tersebut. Penulisan tugas karya akhir ini bertujuan menganalisis substansi Pasal 295 RUU KUHP perihal tindak kejahatan gaib dengan kajian kriminologi budaya serta konsep-konsep lainnya yang relevan dengan tema yang diangkat.

In the mass media are still found a lot of clerical ads that offer services witchcraft for other people woe. With the modern era is very unfortunate there are still people who I believe the witch doctor. This community 39 s trust is used by certain parties to make a profit by committing a crime. The phenomenon is still a prolonged polemic, and extinction of social unrest in public life. In 2016, the Working Committee Team of the Criminal Code Bill does a draft Penal Code of the article chapter which regulates criminal prosecution of the witchcraft. Behind the substance of the chapter, there is. It deals with cultural criminology in explaining such processes. The writing of this final work is of its nature. Translation of the article of the Criminal Code Bill concerning the occult crime with the publication of cultural criminology as well as other concepts relevant to the theme raised.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Justitia Avila Veda
"[ABSTRAK
Ketentuan mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam pasal 134, 136bis, dan pasal 137 KUHP. Pasal ini muncul sebagai adopsi dari pasal penghinaan terhadap Raja dan Ratu Belanda yang turut diberlakukan di Indonesia pada era sebelum kemerdekaan berdasarkan asas konkordansi. Setelah kemerdekaan, ketentuan tersebut dipertahankan namun dengan penyesuaian berupa perubahan pada frasa "Raja" dan "Ratu" menjadi "Presiden" dan "Wakil Presiden". Sejak periode rezim pemerintahan Soeharto, ketentuan tersebut, khususnya pasal 134 KUHP banyak digunakan untuk mengkriminalisasi ungkapan, tulisan, atau perbuatan yang dinilai mencemarkan nama baik Presiden dan Wakil Presiden. Ketiadaan parameter untuk mengidentifikasi rasa keterhinaan menyebabkan unsur menghina dimaknai secara kabur oleh para hakim yang mengacu pada politik hukum pidana masing-masing rezim tanpa mempertimbangkan situasi kebatinan yang ada. Adanya potensi kelenturan pemaknaan pasal yang bisa melanggar kebebasan berekspresi mendorong adanya pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi. Skripsi ini berusaha membuktikan kecenderungan pemaknaan pasal 134 KUHP secara luas melalui analisis terhadap putusan pengadilan, ditunjang dengan dokumen-dokumen sejarah yang ada, di samping membandingkan keberadaan ketentuan tersebut dengan ketentuan serupa di beberapa negara lain.

ABSTRACT
;Defamation towards President and Vice President of Republic of
Indonesia is regulated in Article 134, 136bis, and article 137 Indonesian Penal
Code. These articles were adopted from the originals regulating defamation
towards King and Queen of Dutch Monarch, which was enforced in Indonesia in
pre-independence period upon concordance basis. After the independence, those
articles were maintained after getting through a conformation?replacement of
?King? and ?Queen? phrases with ?President? and ?Vice President?. Since the
Soeharto era, those articles, especially article 134, were regularly used to
criminalize oral or written expression, and also dissent behavior which were
valued as insulting and jeopardizing the image of President or Vice President. The
absence of parameter to identify the feeling of being insulted caused the obscure
interpretation of the ?defaming? aspect in article 134. The judges gave the
interpretation in the compliance with the politics of criminal law of each regime,
neglecting the ongoing social situation. The possibility of interpreting the law
widely could result on the abuse of freedom of expression, and according to it,
Constitutional Court of Republic of Indonesia decided those existing laws on
defamation towards President and Vice President were void. This thesis aims to
prove the flexibility in interpreting the law, through analyzing court decisions
supported with studies on historical documents regarding defamation towards the
head of the State. This thesis also compared the law of defamation, especially
defamation towards the President and Vice President in Indonesia with other countries., Defamation towards President and Vice President of Republic of
Indonesia is regulated in Article 134, 136bis, and article 137 Indonesian Penal
Code. These articles were adopted from the originals regulating defamation
towards King and Queen of Dutch Monarch, which was enforced in Indonesia in
pre-independence period upon concordance basis. After the independence, those
articles were maintained after getting through a conformation?replacement of
?King? and ?Queen? phrases with ?President? and ?Vice President?. Since the
Soeharto era, those articles, especially article 134, were regularly used to
criminalize oral or written expression, and also dissent behavior which were
valued as insulting and jeopardizing the image of President or Vice President. The
absence of parameter to identify the feeling of being insulted caused the obscure
interpretation of the ?defaming? aspect in article 134. The judges gave the
interpretation in the compliance with the politics of criminal law of each regime,
neglecting the ongoing social situation. The possibility of interpreting the law
widely could result on the abuse of freedom of expression, and according to it,
Constitutional Court of Republic of Indonesia decided those existing laws on
defamation towards President and Vice President were void. This thesis aims to
prove the flexibility in interpreting the law, through analyzing court decisions
supported with studies on historical documents regarding defamation towards the
head of the State. This thesis also compared the law of defamation, especially
defamation towards the President and Vice President in Indonesia with other countries.]
"
2015
S60722
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nur Fitriyanti
"Awal tahun 2000, kasus penipuan dengan menggunakan hipnotis mulai marak bermunculan. Biasanya, dalam kondisi 'tidak sadar', korban harus kehilangan barang berharga setelah sebelumnya berinteraksi dengan pelaku baik sekadar berkomunikasi ataupun bersentuhan langsung. Selain digunakan di dunia medis, hipnotis ternyata juga diklaim sebagai salah satu cara untuk melakukan suatu tindak pidana oleh masyarakat. Seringkali yang terjadi adalah seseorang menjadi korban dari suatu tindak pidana penipuan dan mengklaim bahwa dirinya dikenai hipnotis oleh si pelaku tindak pidana sehingga tidak memiliki daya untuk melawan. Namun kemudian muncul pertanyaan bahwa apakah penggunaan hipnotis dalam melakukan kejahatan ini merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia atau tidak. Jika melihat pada artikel-artikel berita, kebanyakan polisi menggunakan pasal penipuan untuk menjerat pelaku hipnotis yaitu Pasal 378 KUHP dengan alasan bahwa hipnotis dapat dikategorikan sebagai tipu muslihat sesuai Pasal 378 KUHP.

In the beginning of year 2000, fraud cases which used hypnotic as its method were starting to emerge. Often, in the state of 'unconsciousness', the victims had to lost precious possessions after interracting with the perpetrators, whether it's only by communicating or direct contact. Aside from being used in medical treatment, hypnotic practices had also been claimed as one of the means to do crime. Victims of fraud cases often claimed that they were being hypnotized to the point that they couldn't fight back. But then, arise questions whether the use of hypnotic practice as a mean to do crimes is one of the offences regulated in Indonesian Penal Code or not. Many investigators from police force used the fraud article in Indonesian Penal Code to ensnare the perpetrators, that is Article 378 of Indonesian Penal Code with reasoning that hypnotic practices can be categorized as knavery, according to Article 378 of Indonesian Penal Code.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65519
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>