Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 204873 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hana Berliani Adiningsih
"Penelitian kuantitatif ini bertujuan untuk melihat korelasi antara ideologi maskulin dan stres peran gender maskulin dengan kekerasan dalam pacaran pada mahasiswa laki-laki. Pengukuran ideologi maskulin menggunakan alat ukur Masculine Role Norm Inventory-Short Form MRNI-SF , stres peran gender maskulin menggunakan alat ukur Masculine Gender Role Stress-Abbreviated MGRS-A , dan kekerasan dalam pacaran dengan alat ukur The Revised Conflict Tactics Scale CTS2 yang diadministrasikan melalui media daring. Partisipan berjumlah 370 mahasiswa laki-laki dalam rentang usia 18-25 tahun yang sedang mejalani hubungan pacaran selama minimal satu tahun. Teknik korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antarvariabel dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara ideologi maskulin dan stres peran gender maskulin dengan kekerasan dalam pacaran.

This quantitative research focuses on identifying the correlation between masculine ideology and masculine gender role stress to dating violence in male college students. Masculine ideology is measured by using Masculine Role Norm Inventory Short Form MRNI SF , masculine gender role stress by using Masculine Gender Role Stress Abbreviated MGRS A , and dating violence is assessed by using The Revised Conflict Tactics Scale CTS2 administered online. 370 male college students aged 18 25 who have been involved in romantic relationship for at least a year were assessed. Pearson correlation is used to define relationship between each variables. The result suggests positive correlation between masculine ideology and masculine gender role stress to dating violence."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismi Amalina Aryani
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan self-esteem pada mahasiswa laki-laki yang menjalankan hubungan heteroseksual. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan menggunakan alat ukur Revised Conflict Tactics Scale 2 yang dikembangkan oleh Straus, dkk. (1996) untuk melihat kekerasan dalam pacaran yang terjadi dan alat ukur self-esteem, yaitu Rosenberg Self-Esteem Scale yang dikembangkan oleh Rosenberg (1965). Data penelitian diolah dengan menggunakan teknik statistik Pearson Product-Moment Correlation. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 87 orang mahasiswa laki-laki dengan rentang usia 18-25 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kekerasan dalam pacaran, baik yang dilakukan maupun dialami, dan self-esteem pada mahasiswa laki-laki.

This research was conducted to find the relationship between dating violence and self-esteem among male university student who have a heterosexual relationship. This research used a quantitative approach and using the Revised Conflict Tactics gauge 2 Scale developed by Straus et al. (1996) to see the violence that occurs in dating and measuring self-esteem by using the Rosenberg Self-Esteem Scale developed by Rosenberg (1965). Data was analyzed using Pearson Product-Moment Correlation technique. Participants in this research were 87 male students aged 18-25 years old.
The results showed that there is no significant correlation between dating violence, whether committed and experienced by participants, and self-esteem in male college students.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45599
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus. Friyanka H. D.
"Skripsi ini membahas tentang hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan keterampilan sosial pada mahasiswa laki-laki. Subyek penelitian berjumlah 87 mahasiswa laki-laki berusia 19 sampai 25 tahun. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara frekuensi kekerasan yang dilakukan dalam pacaran dan keterampilan sosial, dengan nilai korelasi (r) sebesar 0.290 (p < 0.01). Kemudian, didapati juga hubungan negatif yang signifikan antara frekuensi kekerasan yang dialami dalam pacaran dan keterampilan sosial, dengan nilai korelasi (r) sebesar 0.219 (p < 0.05). Dimensi - dimensi keterampilan sosial yang paling berkontribusi dalam kekerasan adalah emotional control dan social control.

The focus on this study is whether there is correlation between dating violence and social skills in male university students. Subjects were 87 male university students with age ranging from 19 to 25. This is a quantitative study with correlational design. The result of this study suggested that perpetration of dating violence have significantly negative correlation with social skills, in which r = 0.290 (p < 0.01). There is also found significantly negative correlation between victimization of dating violence and social skills, in which r = 0.219 (p < 0.05). Finally, the dimensions of social skills which have the biggest contribution to dating violence are emotional control and social control."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45455
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasuhut, Saskia Fenna Sari
"Mahasiswa yang berpacaran memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami pemerkosaan dalam hubungan berpacaran. Penerimaan mitos pemerkosaan pada mahasiswa dianggap dapat menjadi faktor pendukung pemerkosaan, dengan religiositas sebagai faktor yang menginternalisasi penerimaan tersebut. Selama ini ditemukan hubungan yang tidak konsisten antara religiositas dan penerimaan mitos pemerkosaan. Ideologi tentang peran gender yang diyakini individu diduga dapat memperkuat atau melemahkan hubungan keduanya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan religiusitas dengan penerimaan mitos pemerkosaan pada mahasiswa yang berpacaran, serta pengaruh ideologi peran gender yang memengaruhinya. Penelitian dilakukan terhadap mahasiswa laki-laki dan perempuan yang sedang menjalin hubungan berpacaran di wilayah Jabodetabek. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan mitos perkosaan dan religiositas pada mahasiswa yang berpacaran sebesar 0,309 pada los 0,01 p=0,00 two-tail dan ideologi perangender berperan sebagai moderator.

Dating college student has greater chance to experience rape in their relationship. Acceptance to rape myths has been considered as one factor that endorse rape,with religiosity as the factor that internalized acceptance. For recent times, some in consistencies has been found in the study of correlation between religiosity and rape myth acceptance. Ideology of gender role that ones have believe in are expected to increase or decrease correlation between them. The purpose of this study is to examine the relationship between rape myth acceptance and religiosity, as well as how gender role ideology could affect the relationship. This study is conducted to male and female college students in Jabodetabek region. Result founds signifancy between rape myth acceptance and religiosity as 0,309on los 0,01 p 0,00 two tail and effects of gender role ideology as moderator in between."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rakyan Farrasani
"Romantisasi kekerasan dalam pacaran relasi heteroseksual merupakan permasalahan kriminologis karena merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana film Story of Kale sebagai film bergenre romaan wacana yang digunakan telah meromantisasi kekerasan dalam pacaran terhadap perempuan dalam hubungan heteroseksual. Dengan menggunakan analisis wacana kritis feminis tulisan ini menemukan terdapatnya wacana normalisasi dominasi maskulin melalui dialog yang terdapat pada sebelas adegan dalam film yang meromantisasi perilaku kekerasan dalam pacaran, ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan kejahatan kepada perempuan.

The romanticization of violence in heterosexual relationships is a criminological problem because it is a form of violence against women. This writing aims to explain how the film Story of Kale as a romance genre film with the theme of violence, especially in the dialogue and discourse used has romanticized the dating of violence against women in heterosexual relationships. By using feminist critical discourse analysis, this paper finds the discourse of normalizing domination of domination through dialogues contained in eleven scenes in the film that romanticize courtship behaviour, inequality, injustice, and crimes against women.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Ayu Kartika Kusumawardhani
"Mahasiswa yang berpacaran memiliki akses untuk melakukan aktivitas seksual yang seringkali disertai dengan kekerasan seksual terhadap pasangan. Penerimaan mitos perkosaan dianggap sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual. Faktor ini diinternalisasi oleh agama sebagai tiang kehidupan bermasyarakat yang kental dengan budaya patriarkat. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia dianggap sebagai agama yang patriarkat namun di sisi lain sebagai agama yang mendukung kesetaraan gender.
Studi ini dilakukan untuk melihat pemahaman ajaran Islam dan hubungannya dengan penerimaan mitos perkosaanpada mahasiswa laki-laki yang berpacaran. Studi dilakukan terhadap 132 partisipan penelitian dari enam universitas di Jakarta dan Depok.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan mitos perkosaan dan religiositas Islam pada mahasiswa laki-laki yang berpacaran (r = -0,129; n = 132; p<0,05, two tail).

Dating male college students have the opportunity to do sexual activities with their partner but sometimes sexual offence happens within the relationship. Rape myth acceptance is considered as main factor of sexual offence. This factor is internalized by religion as patriarchal system that also has been the foundation of life for many people. Islam as the religion of majority of the Indonesian people is considered as a patriarchal religion , yet also fights for gender equality.
The purpose of this study is to examine the relationship between rape myth acceptance and Islamic religiosity among dating male college students. As many as 132 students from six universities in Jakarta and Depok was participated in the study.
Result shows that there is no significant correlation between rape myth acceptance and Islamic religiosity among dating male college students (r = -0,129; n = 132; p<0,05, two tail).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56745
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Wulandhani
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara religiositas dan kompulsivitas seksual pada mahasiswa laki-laki. Mahasiswa laki-laki memiliki karakteristik tertentu yang menjadikannya berbeda dari populasi lain karena berada pada tahap perkembangan emerging adulthood, yaitu periode eksplorasi yang memungkinkan individu untuk mencoba cara hidup baru dan melakukan eksperimentasi seksual. Pengukuran religiositas dilakukan dengan alat ukur The Revised-Muslim Religiosity-Personality Scale (Krauss & Hamzah, 2011), sementara kompulsivitas seksual diukur melalui Sexual Compulsivity Scale (Kalichman & Rompa, 2001). Partisipan pada penelitian ini berjumlah 467 laki-laki yang memiliki status mahasiswa aktif dan belum menikah.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan negatif antara religiositas dan kompulsivitas seksual (r = -,093; n = 467; p < 0,05, two tail). Berdasarkan hasil tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada mahasiswa laki-laki, semakin tinggi tingkatan dan manifestasi kesadarannya tentang keberadaan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari maka mereka semakin tidak sulit mengontrol impuls seksual yang disadari. Karena penelitian ini tergolong baru di Indonesia, maka penelitian lanjutan sangat diperlukan.

This study examined the relationship between religiosity and sexual compulsivity among male college students. Male college students have a distinct feature compared than any other population as emerging adulthood that makes them more likely to do exploration and engage in sexual experimentation. Religiosity was measured by The Revised–Muslim Religiosity-Personality Inventory (Krauss & Hamzah, 2011), whereas the sexual compulsivity was measured by Sexual Compulsivity Scale (Kalichman & Rompa, 2001). The respondents of this study were 467 Indonesian male college students.
The result of this study shows that there is negative significant relationship between religiosity and sexual compulsivity (r = -,093; n = 467; p < 0,05, two tail). It indicates that in male college students, the higher level or manifestation of God-consciousness in daily life indicates the lower propensity to experience sexual disinhibition and under-controlled sexual impulses and behaviors as self-identified by individual. Because this is the first research related sexual compulsivity that conducted in Indonesia, further research is needed.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55318
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Fara Syahbani
"Kurangnya jumlah pemimpin yang memenuhi kriteria pada posisi yang dibutuhkan seringkali menjadi masalah yang serius bagi organisasi. Salah satu penyebab krisis kepemimpinan ini dikarenakan perubahan cara pandang terhadap organisasi dan pemimpinya serta perbedaan motivasi untuk memimpin. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kepribadian dark triad [MOU1] dan gender dengan motivasi untuk memimpin. Konstruk Motivasi untuk Memimpin terdiri dari 3 dimensi yaitu, Affective-Identity, Social-Normative, dan Non-Calculative. Lalu variabel dark triad terdiri dari 3 dimensi yaitu, Narcissism, Machiavellianism, dan Psychopathy. Sedangkan variabel gender akan dibagi menjadi laki-laki dan perempuan. Jumlah partisipan penelitian ini adalah 317 orang (147 = laki-laki; 170 = Perempuan) dari beberapa wilayah di Indonesia. Penelitian ini memiliki kriteria partisipan antara lain, umur minimal 18 tahun keatas; WNI; dan tergabung dalam sebuah instansi/lembaga/organisasi/tempat kerja. Variabel Dark Triad akan diukur menggunakan alat ukur Short Dark Triad (SD3). Variabel Motivasi untuk Memimpin menggunakan alat ukur Motivation to Lead (MTL). Analisis dilakukan dengan uji korelasi dan independent sample t-test. Hasil dari penelitian ini menunjukan terdapat hubungan antara dimensi Narcissism dengan dimensi Affective-Identity MTL (r (317) = ,299, p < 0,01); Social-Normative MTL (r (317) = ,395, p < 0,01); Non-Calculative (r (317)= -,167, p < 0,01). Terdapat hubungan antara dimensi Machiavellianism dengan dimensi Affective-Identity MTL (r (317) = -,199, p < 0,01); Non-Calculative (r (317)= -,471, p < 0,01). Juga terdapat hubungan antara dimensi Psychopathy dengan dimensi Affective-Identity MTL (r (317) = -,283, p < 0,01); Non-Calculative (r (317)= -,416, p < 0,01). Hasil lain pada penelitian ini menunjukan laki-laki lebih tinggi pada dimensi Affective-Identity MTL dan Social-Normative MTL dibanding perempuan. Sedangkan perempuan lebih tinggi pada dimensi Non-Calculative MTL. Implikasi dari penelitian ini adalah praktisi Human Capital dapat merekrut pemimpin perusahaan dengan mempertimbangkan Motivasi untuk Memimpin individu. Selain itu, kepribadian dark triad dan gender yang memengaruhi Motivasi untuk Memimpin juga dapat dipertimbangkan untuk menyesuaikan kebutuhan organisasi.

A competent leader’s deficiency to fulfill the criteria of the position needed often becomes a serious issue for the organization. One of the causes of this leadership crisis is because of a change in the perspective of the organization and its leaders and also the difference in motivation to lead. This study aimed to determine the correlation between dark triad and gender in motivation to lead. Motivation to Lead construct consists of 3 dimensions, i.e Affective-Identity, Social-Normative, and Non-Calculative. Then Dark Triad constructs consist of 3 dimensions, i.e Narcissism, Machiavellianism, and Psychopathy. Lastly gender constructs were divided into men and women. The number of participants in the study were 317 people (147 = Men; 170 = Women[MOU1] ) from several regions of Indonesia. This study has participant criteria, including Age minimum 18 or above; Citizen of Indonesia; Joined in institution/ organization/ workplace. The dark triad variable is measured using a short dark triad (SD3) scale. Then the motivation to lead variable is measured using motivation to lead (MTL) scale. The analysis of this study is carried out using correlation test and independent sample t-test. The result from this study showed that there was a relationship between Narcissism dimension with Affective-Identity MTL dimension (r (317) = 0,299, p < 0,01); Social-Normative MTL (r (317) = 0,395, p < 0,01); Non-Calculative (r (317)= -,167, p < 0,01). There is a relationship between Machiavellianism dimensions with Affective-Identity MTL (r (317) = -,199, p < 0,01); Non-Calculative (r (317)= -,471, p < 0,01). There is also a relationship between Psychopathy dimension with Affective-Identity MTL (r (317) = -,283, p < 0,01); Non-Calculative (r (317)= -,416, p < 0,01).Another result from this study showed that men obtain higher scores in Affective-Identity MTL dimension and Social-Normative MTL dimension than women. While women obtain higher scores in Non-Calculative MTL dimension than men. The implication of this research was Human Capital practitioner, can recruit company leaders by considering individual Motivation to Lead. In addition to that, Dark triad and gender that influence Motivation to Lead can also be considered to fit organisational needs."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyawati Patricia Melati
"Dari sekian banyak tes psikologi, tes Wartegg adalah salah satu dari alat tes proyektif yang sering digtmakan dalam seleksi pegawai maupun setting klinis. Hal ini antara lain disebabkan karena tes Wartegg memiliki beberapa ketmtungan antara lain adalah waktu yang relatif singkat dalam pengadministrasian, skoring dan juga kaya dalam interpretasi. B Dalam tes Wartegg, jenis kelamin subyek memiliki arti interpretalif yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena nilai simbolik rangsang-rangsangnya rnemiliki hubungan dengan jenis kelamin. Di dalam tes ini terdapat 4 rangsang yang disebut dengan rangsang maskulin dan 4 rangsang lainnya yang disebut dengan rangsang feminin. Dalam penelitiannya, Kinget membuktikan bahwa afinitas laki-laki lebih baik pada stimulus maskulin sedangkan aflnitas perempuan lebih baik pada stimulus feminin.
Dahii 2002, dalam penelitiannya mengenai alinitas laki-laki dan perempuan terhadap stimulus maskulin dan stimulus feminin pada tes Wartegg, mencoba membuktikan hal tersebut. Penelitian yang dilakukan dengan menyebarkan tes Wartegg kepada 62 orang mahasiswa Universitas Indonesia membuktikan bahwa baik subyek laki-laki dan subyek perempuan memiliki afinitas yang sauna baiknya terhadap stimulus feminin ,dan stimulus maskulin. Afinitas laki-laki dan perempuan pada stimulus feminin hanya berbeda pada rangsang nomor 2 sedangkan afinitas subyek laki-laki dan perempuan pada stimulus maslculin hanya berbeda pada rangsang nomor 4.
Penulis berusaha membuktikan teori Kinget ini dengan melakukan usaha replikasi dan unelitian telah dilakukan oleh Dahri. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat aiinitas laki-laki dan perempuan yang berperan gender tradisional dalam menjawab stimulus feminin dan maskulin dalam tes Wartegg. Penelitian dilakukan dengan mengadministrasikan tes Wartegg kepada 2 kelompok subyek yang memiliki profesi sesuai dengan peran gender tradisionalnya yakni montir bagi laki-laki dan baby sitter bagi perempuan.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis menunjukan bahwa laki-lalci dan perempuan yang memiliki pekerjaan sesuai dengan peran gender tradisionalnya memiliki afinitas yang kurang lebih sama baiknya pada stimulus nomor l,2, 5 dan stimulus nomor 6. Afinitas laki-laki dan perempuan terhadap stimulus Wartegg ditemukan menunjukkan perbedaan yang signiikan pada stimulus no 3,4,7 dan 8. Pada stimulus nomor 3 dan 4 yang merupakan stimulus maskulin, jumlah laki-laki yang beraiinitas terhadap stimulus ini secara sitnifikan lebih banyak dihandingkan dengan perempuan. Sedangkan pada stimulus nomor 7 dan 8 yang merupakan stimulus feminin, jumlah perempuan yang beraktvitas terhadap stimulus ini secara signifikan lebih banyak dibandingkan dengan subyek laki-laki. Untuk dapat mempertajam hasil penelitian ini masih dibutuhkan penelitian-penelitian lanjutan di masa yang akan datang."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Pratama Siantoro
"ABSTRAK
Hubungan antara keyakinan terhadap legitimizing myths, seperti ideologi peran gender, dan orientasi dominasi sosial pada anggota kelompok subordinat, seperti perempuan, berbeda dari anggota kelompok dominan. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui hubungan antara ideologi peran gender dan orientasi dominasi sosial pada mahasiswi, serta peran keterpaparan pendidikan tinggi terhadap hubungan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ideologi peran gender tradisional berhubungan dengan orientasi dominasi sosial yang tinggi, sedangkan idelogi peran gender egaliter berhubungan dengan orientasi dominasi sosial yang rendah, r (120) = 0.184, p < 0.05. Selain itu, keterpaparan pendidikan tinggi tidak memoderasi hubungan kedua variabel tersebut, F (11, 101) = 1.51, p = 0.139. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi kurang dapat berfungsi sebagai faktor pendobrak hierarki gender.

ABSTRACT
The relationship between belief in legitimizing myths, such as gender role ideology, and social dominance orientation in subordinates, such as females, are different from dominants. This research was conducted to investigate the relationship between gender role ideology and social dominance orientation in female college students, also the role of higher educational exposure to that relationship. The result showed that traditional gender role ideology is related to higher social dominance orientation, and egalitarian gender role ideology is related to lower social dominance orientation, r (120) = 0.184, p < 0.05. Furthermore, higher educational exposure does not moderate the relationship between those two variables, F (11, 101) = 1.51, p = 0.139. These results implied that higher education is less able to be functioned as a gender hierarchy-attenuating factor."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>