Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55825 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Luthfan Pramoda Widyadaksa
"Sikap negatif terhadap gangguan jiwa masih menjadi fenomena yang kerap kali terjadi. Bahkan stigmatisasi ini dilakukan oleh mereka yang berpendidikan, seperti mahasiswa. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai sikap mahasiswa psikologi terhadap gangguan jiwa. Peneliti memutuskan untuk meneliti sikap mahasiswa dengan dasar bahwa sebagian besar penduduk di Asia memiliki stereotipe yang negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa atau menstigma. Mahasiswa tidak lepas dari sikap ini. Padahal, mahasiswa adalah kaum terdidik. Survei dilakukan di empat universitas di Jabodetabek dengan partisipan berjumlah 104 orang, dengan perempuan berjumlah 83 dan laki-laki berjumlah 18 orang. Penelitian ini menggunakan alat ukur Belief in Mental Illness Scale BMI. Hasil menunjukkan bahwa sikap partisipan terhadap gangguan jiwa cenderung ke arah netral. Rata-rata tertinggi ditemukan pada item rang dengan gangguan jiwa sulit diprediksi, sementara rata-rata terendah ditemukan pada item orang dengan gangguan jiwa berbahaya. Peneliti kemudian mendiskusikan lebih lanjut mengapa temuan-temuan tersebut bisa terjadi. Untuk penelitian berikutnya, sebaiknya partisipan berasal dari kalangan nonpsikologi untuk memperkaya wawasan.

Negative attitude toward mental disorders is still an oft recurring. This stigmatization is even done by those who are educated, like college students. The purpose of the study is to get a picture of the attitude of psychology students to mental disorders. Researcher decided to examine student attitudes on the grounds that the majority of the populations in Asia perceive negative stereotype or stigma on people with mental disorders. College students, educated people, are not exempt from this attitude. The survey was conducted at four universities in Jabodetabek on 104 participants, with 83 women and 18 men. This study used the Belief in Mental Illness Scale BMI measurement tool. The results show that participants 39 attitudes toward mental disorders tend to be neutral. The highest average is found in item ldquo people with mental disorders are difficult to predict, rdquo while the lowest average is found on item people with mental disorders are dangerous. rdquo The researcher then discusses further why these findings could occur. For the next study, participants should come from non psychology backgrounds to enrich the insight.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Billy Teviano
"Penelitian ini mengkaji tentang illness narrative berupa pengalaman mahasiswa penderita gangguan kejiwaan yang mengalami stigma di lingkungan sosial kampus Universitas Indonesia, menggunakan metode kualitatif etnografi yang meliputi pengamatan, wawancara mendalam, serta studi literatur. Penelitian ini menemukan bahwa para narasumber yang notabene adalah mahasiswa pengidap gangguan kejiwaan mengalami stigma berupa label, stereotyping, serta diskriminasi terjadi pada saat mereka beraktifitas di lingkungan sosial masing-masing; di tingkatan program studi, lingkup satu angkatan, serta lingkup Unit Kegiatan Mahasiswa. konstruksi illness narrative yang dipaparkan oleh masing-masing informan memberikan petunjuk akan kejadian dalam hidup yang menurut mereka penting, yaitu beban emosional yang disebabkan karena stigma yang terjadi pada lingkup sosial terdekat di kampus yang menyebabkan kondisi psikis mereka secara signifikan menurun dan berpengaruh terhadap aspek sosial dan akademis para informan.

This study examines the illness narrative in the form of experiences of students with mental disorders who experience stigma in the social environment of the University of Indonesia campus, using qualitative ethnographic methods which include observations, in-depth interviews, and literature studies. This study found that the informants who incidentally were students with mental disorders experienced stigma in the form of labels, stereotyping, and discrimination occurred when they were active in their respective social environments; at the study program, with fellow students of same year, and the scope of Extracurricular Student Units. The construction of illness narrative presented by each informant provides clues to events in life that they think are important, namely the emotional burden caused by the stigma that occurs in the closest social sphere on campus which causes their psychological condition to significantly decrease and affect social and psychological aspects of the academic informants."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kellyana Irawati
"Sikap negatif dan penolakan keluarga terhadap anggota keluarga dengan gangguan jiwa meningkatkan kejadian kekambuhan pada pasien gangguan jiwa. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi suportif terhadap sikap dan penolakan keluarga dengan anggota keluarga gangguan jiwa skizofrenia. Penelitian ini menggunakan desain quasy experiment pre post with control group dengan pengambilan sampel menggunakan teknik Cluster Sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 51 keluarga yang mendapat terapi suportif dan 45 keluarga yang tidak mendapat terapi suportif. Penelitian menggunakan instrument family attitude scale dan acceptance and rejection scale. Hasil penelitian menunjukan bahwa kelomppok yang mendapat terapi suportif terdapat perubahan bermakna pada sikap negatif dan penolakan setelah diberikan terapi kelompok suportif (p-value<α=0,05). Pada kelompok yang mendapat terapi suportif sikap negatif dan penolakan menurun lebih besar secara bermakna dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi suportif (p-value<α=0,05). Saran dari penelitian ini adalah mengaplikasikan terapi kelompok suportif diranah komunitas dan keluarga.

Family negative attitudes and family rejection against family members with mental illness increased the incidence of recurrence in patients with mental disorder. The study aimed to determine the effect of supportive therapy on family attitudes and family rejection of family members with mental disorder schizophrenia. This study used a pre-post design quasi experiment with control group with sampling using cluster sampling The numbers of sample in this study were 51 family with mental illness family member for the intervention group and 45 family with mental illness family member to the control group. This research used the instrument family attitude scale and family rejection scale. The result of this study showed that the group who received supportive therapy has significantly changes in the negative attitude and family rejection after supportive group therapy (p-value <α=0,05). The group who received supportive therapy had a greater significantly decreased of a family attitude and family rejection compared with those who were not received supportive therapy (p-value <α= 0.05). The suggestion of this research is to apply supportive group therapy and family communities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42805
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Pitawati
"Latar Belakang: Yayasan Galuh merupakan sebuah panti rehabilitasi mental di Bekasi yang menangani orang dengan gangguan jiwa menggunakan metode pengobatan tradisional. Latar belakang petugasnya berasal dari non medis. Mereka mengenali gejala gangguan jiwa berdasarkan perilaku abnormal dan kekerasan. Orang-orang dengan gangguan jiwa sering disertai dengan gangguan dalam perawatan diri dan aktivitas sehari-hari. Belum ada penelitian tentang profil gangguan jiwa dan tingkat kemandirian penghuni Yayasan Galuh.
Tujuan: Untuk mendapatkan profil gangguan jiwa serta tingkat kemandirian penghuni Yayasan Galuh selama periode Desember 2012 sampai Januari 2014.
Metode: Dengan metode wawancara klinis berdasarkan PPDGJ III untuk mendapatkan diagnosis gangguan jiwa serta instrumen indeks Barthel untuk mendapatkan tingkat kemandirian dalam perawatan diri dan aktivitas sehari-hari-hari. Penelitian dilakukan selama periode waktu bulan Desember 2012 sampai Januari 2013.
Hasil: Dari 210 responden didapatkan gangguan psikotik atau skizofrenia (F2) sebanyak 82,8%, gangguan afektif (F3) sebanyak 6,2%, retardasi mental (F7) sebanyak 1,4% dan ganggguan mental organik (F0) sebanyak 1%, sementara yang tidak ada psikopatologi sebanyak 8,6%. Untuk tingkat kemandirian sebagian besar penghuni termasuk mandiri yaitu sebanyak 157 orang (74,8%), 51 penghuni (24,3%) mempunyai ketergantungan ringan dan hanya 1 penghuni (0,5%) yang masing-masing memiliki ketergantungan sedang dan berat.
Simpulan: Dengan diketahuinya profil gangguan jiwa dan tingkat kemandirian penghuni Yayasan Galuh ini diperlukan perbaikan mutu layanan baik untuk kesehatan umum maupun kesehatan jiwa penghuni Yayasan Galuh dengan melakukan kerjasama dengan pihak pemerintah untuk kebijakannya dan pendidikan untuk memberikan pelatihan kepada petugas-petugasnya dan bidang ilmiah untuk penelitian lebih lanjut.

Background: Galuh Foundation is a traditional mental rehabilitation shelter in Bekasi. The workers were not having medical background. They diagnosed the residents as having mental disorder from abnormal behaviour and hostility. People with mental disorder is usually having impairment in self care and daily activities. There haven‟t been any study about mental disorder profiles and independency level of residents in Galuh Foundation.
Objective: The purpose of this study was to describe the profiles of mental disorder and independence level of residents in Galuh Foundation Bekasi from December 2012 until January 2013.
Methods: Clinical interview according to PPDGJ III (based on ICD 10) to get the profiles of mental disorder and by using the Barthel index to get the independency level of self care and daily activities of residents in Galuh Foundation, from December 2012 until January 2013.
Results: Of 210 residents who had psychotic disorder (F2) were 82.8%, affective disorder (F3) were 6.2%, mental retardation (F7) were 1.4%, organic mental disorder (F0) were 1%, and no psychopatology were 8.6%. From the 210 residents who were independence were 74.8%, mild dependence were 24.3%, and only 0,5% each for mediate and totally dependence.
Conclusion: There will be need improvement for mental health of residents in Galuh Foundation and their utilities by engaging with the government and with the institution to do more studies for better improvement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Laurentius
"Latar belakang dan tujuan
Pekerja dalam melakukan pekerjaannya berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Keselamatan pekerja merupakan hal yang penting mengingat pekerja adalah sumber daya yang diharapkan mampu berproduksi secara optimal. Keselamatan pekerja juga akan mengurangi angka kecelakaan kerja baik yang merugikan pekerja sendiri maupun orang lain yang berada di lingkungannya serta alat produksi. Faktor lingkungan pada pekerja di sektor kelistrikan seperti medan elektromagnit dapat menjadi gangguan keseimbangan lingkungan ekosistem bagi seseorang.
Metode
Penelitian ini dilakukan secara cross sectional dengan perbandingan internal pada populasi tertentu yaitu karyawan PT X Jakarta yang bekerja di tempat dengan pajanan yang tinggi dan di tempat dengan pajanan yang rendah. Pengukuran pada karyawan meliputi nilai SCL-90, Survei Diagnostik Stres, dan Data sosiodemografi.
Hasil
Medan listrik pada tempat dengan pajanan tinggi adalah 4.980 V/m masih di bawah nilai ambang batas yang dianjurkan untuk frekuensi 50/60 Hz yaitu 10.000 V/m untuk medan listrik dan 4,6 A/m untuk medan magnit yang juga masih di bawah ambang batas yaitu 398 A/m. Jumlah sampel yang diteliti adalah 164 karyawan sesuai jumlah sampel yang diperlukan masing-masing kelompok sama yaitu 82 orang. Pada kelompok subyek yang bekerja di tempat dengan pajanan medan elektromagnit tinggi didapat prevalensi gangguan mental 56% sedangkan pada kelompok yang bekerja di tempat dengan pajanan rendah didapat prevalensi gangguan mental 39,02% dengan perbedaan yang bermakna (p
Kesimpulan
Gangguan mental emosional tidak berhubungan secara bermakna dengan pajanan medan elektromagnit. Gangguan mental emosional berhubungan dengan stresor ketaksaan peran dan pengembangan karir.

Workers needed safety work protection ordered by the Safety Law in Workplace, Law Number 1, Year 1970. Safety was very important to have workers work optimally, as well as decreasing the number of accidents in workplace and to have production instruments. In such as the working place, electromagnetic fields was one of the factors interfered the ecosystem balance of work.
Method
This study was a cross sectional design with internal comparison. The population were workers of PT "X" Jakarta consisted of high exposed and low exposed groups. The SCL90 instrument was used to measure the mental emotional disorder.
Results
The electric field as well as the magnetic field in the high exposed workplace were 4.980 V/m and 4,6 V /m below the limit of threshold value 10.000 V/m for electrical field and 398 V /m for magnetic field. Number of samples collected were 164 workers, each 82 for high exposed group and for low exposed group. The prevalence of mental disorder in high exposed group was 56,00% and in the low exposed group was 39,09% when the difference was significant. (p<0,05). Mental emotional disorder did not correlate with age, job position, level and education. The bivariate analysis showed that mental emotional disorder correlated with career development, ambiguity, responsibility for people, conflict, overloaded quantitative role, overloaded qualitative role, workplace and period of work. The logistic regression function identified that career development and role ambiquity correlated with mental emotional disorder while workplace had no correlation with mental emotional disorder.
Conclusion
Mental emotional disorders had no significant correlation with electromagnetic fields. Mental emotional disorder had significant correlation with career development and role ambiguity.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ekowati Rahajeng
"Sebagian besar pasien dengan gangguan mental emosional pertama-tama belum berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Pasien gangguan mental emosional yang berobat ke Puskesmas wilayah Jakarta Timur hanya 1,88 % dari kasus yang ada di masyarakat dengan rata-rata kunjungan 1,31 kali pada tahun 1994. Agar gangguan tersebut tidak menjadi berat atau menjadi penyakit lain, maka diperlukan pengobatan sedini mungkin. Untuk mencapai maksud tersebut, yang menjadi masalah penelitian ini adalah bagaimana pola perilaku pencarian pengobatan dari pasien gangguan mental emosional dan faktor-faktor apa yang berhubungan dengan perilaku tersebut.
Jenis disain penelitian ini adalah crossectional, namun menggunakan analisis yang lazim digunakan pada studi case control pada penduduk dewasa (17 tahun ke atas) yang mengalami gangguan mental emosional. Gangguan mental emosional ditetapkan berdasarkan pengisian instrumen Self Reporting Questionnaire (SRQ) dengan cut-off points 6. Pengambilan sampel dilakukan secara systematic random sampling dengan sampling fraction 9. Unit sampel adalah rumah tangga dengan jumlah 650 KK yang meliputi 1950 penduduk dewasa sehat. Sampel pasien gangguan mental emosional yang diteliti berjumlah 446 kasus. Untuk mengetahui hubungan faktor dengan perilaku pengobatan dilakukan perhitungan Odds ratio melalui analisis regresi logistik multivariat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pola perilaku pengobatan pertama pasien gangguan mental emmosional di Kelurahan Pulogadung adalah melakukan pengobatan sandhi 27,8 %, ke dokter umum 18,4 %, tidak mencari pengobatan 17,4 %, ke Puskesmas 13,2 %, ke pengobat tradisional 8,7 %, ke rumah sakit umum 6,1 %, ke spesialis penyakit dalarn 5,8 % dan ke psikiater 2,5 %. Pasien yang melakukan kegiatan rujukan adalah 23,6 %. Sebagian besar pasien yang melakukan rujukan dan pasien yang melakukan pengobatan selanjutnya tidak berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan jiwa.
Pasien gangguan mental emosional lebih mungkin tidak mencari pengobatan apabila pasien tidak merasa terganggu akibat gangguan mental emosional yang dialaminya (OR 0,01 ; 95% Cl 1,5E-03 - 0,02), kurang mendapatkan informasi pelayanan kesehatan jiwa (OR 0,49 ; 95% CI 0,25 - 0,95) dan apabila pasien malu berobat ke psikiater (OR 2,24 ; 95% 1,02 - 4,85).
Pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat diharapkan tidak hanya menunggu pasien datang berobat ke fasilitas kesehatan jiwa. Kegiatan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas perlu dikembangkan dalam kegiatan Puskesmas lainnya (Taruna Husada, Sala Shakti Husada dan sebagainya). Pelayanan prevensi sekunder (mendorong pasien berobat) melalui peningkatan pengetahuan gangguan mental emosional dan fasilitas pengobatannya perlu lebih diprioritaskan. Penyegaran pengetahuan gangguan mental emosional terhadap dokter umum perlu dilakukan secara periodik. Peningkatan mutu pelayanan jiwa di Puskesmas dan pembinaan pengobat tradisional perlu lebih diperhatikan. Disamping itu perlu juga dipertimbangkan tentang perubahan konsep figur psikiater di masyarakat.

Most patients with mental emotional disorder didn't visit health facility with mental health service at the first treatment. There is only 1,8 % of people with mental emotional disorder who visited Puskesmas at East Jakarta with average 1.31 visit in 1994. To prevent the disturbance become more severe or to become another illness, early treatment is needed. To reach the purpose, the problem of this study is to identify health seeking treatment pattern of patient with mental emotional disturbance and to find factors which was associated with the behavior treatment.
The study design is cross sectional study but method of analysis is case control. Sample of the study are adult (17 years or more) who experience mental emotional disorder. The criteria of mental emotional disorder is based on answers of Self Reporting Questionnaire (SRQ) with cut-off 6. Sampling method is systematic random sampling with sampling fraction of 9. Sampling unit is household with totally 650 household which include 1950 adult with good health. Sample of patient with mental emotional disorder are 446 cases. To identify relationship between factors with health seeking treatment, logistic regression with odds ratio is applied.
The result showed that for the first treatment there is 27,8% of the mental emotional disorder patients performing self medication, 18,4% visit medical doctor, 17,4 % didn't seek any treatment, 13,2 % visit Puskesmas, 8,7 % going to traditional healer, 6,1% to general hospital, 5,8% visit internist and 2,5% visit psychiatrist. There where 23,6 patient who were given referral. Most of the patients who were referred or patient who continue the treatment didn't visit health facility with mental health service.
Patients with mental emotional disorder probably not seek any treatment if they didn't feel uncomfortable with the disturbance they experienced (OR 0,01 ; 95% CI 1,5E-03 - 0,02), did not obtained enough information about mental health service (OR 0,49 ; 95% CI 0,25 - 0,95), or if the patient was ashamed to visit psichiatrist (OR 2,24 ; 95% CI 1,02 - 4,85).
Patients with mental emotional disorder probably would performed self medication if their social economic status is low (OR moderat 0,52 ; 95% CI 0,06-0,83; OR high 0,45 ; 95% CI 0,04-0,62), if they were not bothered by the disturbance they experienced (OR 0,47; 95% CI 0,03-0,91), didn't consider the disturbance as severe (OR 0,54 ; 95% CI 0,07-0,91), didn't obtained enough information on the mental health service (OR 0,52 ; 95% CI 0,06-0,79), were not suggested to have treatment (OR 0,45 ; 95 % CI 0,04-0,57), they have no work (OR 0,35 ; 95 %CI 0,17-0,67) and if they are Askes member (OR 2,48 ; 95% CI 2,40-17,54).
Patients with mental emotional disorder will probably visit traditional healer if they have expectation that the treatment not only give drug (OR 8,76 ; 95% CI 1,86 - 42,26), have supernatural believe (OR 7,53; 95% CI 3,15-40,22), and have enough knowledge on the traditional healer service (OR. 6,67; 95% CI 1.86-23,57), did not feel comfortable with the disturbance they experienced (OR 8,84; 95% CI 3,00 - 26,05), their knowledge on the mental emotional disorder was not good (OR 0,12;95% CI 0,03-0,56), and have no information on the mental emotional service (OR. 0,25; 95% CI 0,06-0,98).
Patients with mental emotional disorder will probably visit mental health service if they felt disturbed (OR 4,43 ; 95% CI 1,76 - 11,13), did not have senior high school or more education (OR 0,36 ; 95% CI 0,16 - 0,81), expected to be given more than just drug (OR 5,93 ; 95% CI 1,93 - 18,17), feeling that the high cost of the treatment influence the effort to seek treatment (OR 7,17 ; 95 % CI 2,83 - 17,81), obtained enough information on the mental health service (OR 5,22 ; 95% CI 2,34 - 11,59), and did not feel ashamed to visit psychiatrist (OR 0,43; 95% CI 0,18 - 0,99).
Patients with mental emotional disorder will probably visit Puskesmas if they feel bothered (OR 14,41 ; 95% CI 4,14 - 50,40), feeling the cost of the treatment influence the effort of seeking treatment (OR. 4,28 ; 95% CI 1,39 - 13,06), their social economic status is low (OR high 0,11 ; 95 % CI 0,03 - 0,37), lived near to Puskesmas (OR 0,21 ; 95% CI 0,06 - 0,77), realize that there is mental health service in the Puskesmas (OR 14,31 ; 95 % CI 4,09 - 49,89), did not know about traditional service (OR 0,05 ; 95 % CI 0,01 - 0,25), did not have knowledge about the general health service (OR 0,23; 95% CI 0,07 - 077), and the healer attitude did not influence the choice of treatment (OR 0,35 ; 95 % CI 0,14 - 0,88).
Mental health service in the public is expected not only waited patients to visit the mental health service. Mental health service at the Puskesmas needs to be integrated and to be developed with the other Puskesmas activity (Taruna Husada, Bhakti Husada, Karang Werdha). Secondary prevention thru knowledge development on the mental emotional disorder, treatment facility and early detection should be give more priority. Knowledge refreshment on the mental emotional disorder to medical doctor needed to be in force periodically. Quality improvement of health service in Puskesmas' and education of traditional healer need to be given more attention. The figure of psychiatrist in the society need to changed as well.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daulima, Novy Helena Catharina
"Disertasi ini bertujuan untuk merumuskan model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga, kuesioner keputusan pasung Daulima serta mengetahui pengaruh terapi keputusan perawatan tanpa pasung dan algoritma keputusan perawatan Daulima terhadap tingkat keputusan pasung. Desain penelitian menggunakan mixed methods dengan desain exploratory dengan jumlah sampel 22 orang partisipan dan 82 orang responden.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan adanya tahapan pada proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga, kuesioner keputusan pasung Daulima yang valid dan reliabel serta pengaruh terapi keputusan perawatan tanpa pasung dan algoritma keputusan perawatan Daulima terhadap penurunan tingkat keputusan pasung secara bermakna. Model proses pengambilan keputusan pasung oleh keluarga direkomendasikan sebagai landasan asuhan keperawatan keluarga klien gangguan jiwa yang dipasung. Kuesioner keputusan pasung Daulima direkomendasikan sebagai alat untuk mengukur keputusan pasung pada keluarga klien. Terapi keputusan perawatan tanpa pasung dan algoritma keputusan perawatan Daulima direkomendasikan sebagai intervensi bagi keluarga yang memiliki tingkat keputusan pasung yang tinggi.

This dissertation aimed to formulate a model of family decision making proces for pasung, Daulima pasung decision questionnaire and to identity an impact of therapy of nursing care decision without pasung and Daulima nursing care decision algorithm toward pasung decision level. This study used a mixed method with exploratory design using 22 participants and 82 respondents.
This study invented stages of family decision making proces for pasung, a valid and reliable Daulima pasung decision questionnaire and impact of therapy on nursing care decision without pasung and Daulima nursing care decision algorithm toward a significant declining of pasung decision level. Model of family decision making proces for pasung was recommended as a nursing care platform for a family who is performing or going to perform pasung for mentally ill patient. Daulima pasung decision questionnaire was advised as a measuring instrument for pasung decision level on family of mentally ill patient. Moreover, therapy of nursing care decision without pasung and Daulima nursing care decision algorithm was suggested as an intervention for a family with a high level decision for pasung."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D1950
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelin Saulinggi
"Latar belakang: Provinsi Maluku dilanda konflik berkekerasan sejak awal tahun 1999. Hal ini mendorong ribuan orang untuk mengungsi mencari tempat yang Iebih aman. Tinggal di tempat pengungsian sering menimbulkan ketidaknyamanan dan dapat menimbulkan trauma berkepanjangan. Menurut kepustakaan timbulnya gangguan mental pada pengungsi berhubungan dengan faktor risiko dan pengalaman traumatik yang pemah dialami, serta masalah psikososial yang dihadapi selama di pengungsian. Penelitian dilakukan untuk melihat prevalensi gangguan mental pada pengungsi yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon.
Metode: Penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan potong lintang dengan sampel sebanyak 214 pengungsi berusia 18 - 65 tahun yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon selama bulan Februari - Maret 2006. Data sosiodemografik dan data pengalaman traumatik dan pengungsian diperoleh melalui kuesioner. Data mengenai gangguan mental diperoleh dengan menggunakan instrumen MINI-ICD-10. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan program SPSS-13.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan 30,4% responden mengalami gangguan mental, dengan prevalensi terbanyak ialah gangguan yang berhubungan dengan penggunaan alkohol, diikuti gangguan depresi, gangguan cemas menyeluruh, gangguan distimia, episode manik, episode manik yang berkomorbid dengan ketergantungan alkohol, gangguan stres pascatrauma, dan gangguan depresi yang berkomorbid dengan gangguan lainnya. Saat dilakukan analisis bivariat dan multivariat, ditemukan hubungan yang bermakna antara usia dan jenis kelamin dengan terjadinya gangguan mental. Untuk analisis multivariat diperoleh p: 0,07 dan OR: 2,4 untuk variabel usia dan untuk variabel jenis kelamin p: 0,08 dan OR: 0,4.
Kesimpulan: Prevalensi gangguan mental pada pengungsi yang tinggal di lokasi pengungsian di Kota Ambon sedikit lebih tinggi dari populasi normal, namun lebih rendah dari penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan pada pengungsi di tempat lain. Hal ini disebabkan keterbatasan instrumen yang digunakan, serta pelaksanaan penelitian jauh setelah kerusuhan terjadi.

Background: Maluku province had riot and conflict since early of 1999 which encouraged thousand of people to move and find a safer place. Living in refugee wards often cause uncomfortable feeling and extended trauma. According to literature source, mental disorders in refugees are related to risk factors, suffered traumatic experiences, and psychosocial problems during their daily live in refugee ward. This study was conducted to recognize the prevalence of mental disorder in adult refugees who lived in refugee wards of Ambon city.
Methods: This study was a descriptive study with cross-sectional design. The sample were 214 refugees aged 18 - 65 years old who lived in refugees wards of Ambon city during February - March 2006 period. Sosiodemographic data and data of traumatic experiences and refugee were obtained from questioners. Data of mental disorder was obtained by using MINI-KO-10 instrument. Results were analyzed by using program of SP55-13.
Results: The study results indicated there were 30.4% subjects with mental disorder. The most common prevalence was mental disorder related to alcohol abuse and followed by depression disorder, generalized anxiety disorder, dystimia disorder, manic episodes, manic episodes with co morbidity of alcohol dependence, post-traumatic stress disorder, and depression disorder with co morbidity of other disorders. By using bivariate and multivariate analysis, there was significant association between age and gender with mental disorder. For multivariate analysis, there were p: 0.07 and OR: 2.4 for the age variable and p: 0.08 and OR: 0.4 for gender variable.
Conclusions: The prevalence of mental disorder in refugees who lived in refugee wards of Ambon city is slightly higher than normal population, but it is lower than previous studies in other refugee wards. This is caused by limitation of instrument utilized and timing of study, i.e. the study was conducted long after the riot and conflict occurred.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
"Ruang lingkup dan Cara penelitian: Bus kota merupakan sarana transportasi penting pada masyarakat perkotaan, terutama Jakarta dan sekitarnya. Mengemudi bus kota merupakan ciri pekerjaan yang mengandung banyak masalah, seperti kemacetan lalu lintas, jam kerja yang tidak menentu, risiko kecelakaan, gangguan keamanan oleh ancaman penumpang dan penodongan, dan sebagainya. Semua masalah ini dapat menimbulkan stres kerja. Stres kerja dapat menimbulkan dampak bagi kesehatan pengemudi, diantaranya hipertensi dan gangguan mental emosional. Penelitian stres di Indonesia masih langka, terutama penelitian untuk pekerja kerah biru seperti pengemudi bus kota.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka prevalensi gangguan mental emosional dan hipertensi pengemudi bus kota dan apakah ada hubungannya dengan stres kerja yang dirasakannya. Penelitian ini dilakukan pada pengemudi bus kota di Tangerang. Alat ukur untuk mengukur stres kerja dipergunakan instrumen yang dikembangkan Winkleby yang telah dimodifikasi. Penilaian stres kerja yang dilakukan oleh instrumen ini bersifat self reported stresors. Alat ukur untuk menilai gangguan mental emosional dipergunakan instrumen kuesioner Symptom Check List 90 (SCL 90). Alat ukur untuk mengukur tekanan darah dipergunakan spighmomanometer air raksa merek Nova, dan mengikuti protokol WHO 1978.
Desain yang dipergunakan pada penelitian ini adalah studi potong tintang (Cross sectional), terhadap 287 subjek penelitian. Data yang terkumpul dianalisis dengan analisis bivariat, kemudian anatisis regresi logistik ganda.
Prevalensi gangguan mental emosional pada pengemudi bus kota 29,3%. Ada hubungan bermakna antara stres kerja dengan gangguan mental emosional. Risiko terjadinya gangguan mental emosional pada pengemudi bus yang mengalami stres tinggi 6,35 lebih tinggi dibandingkan dengan yang mengalami stres rendah. Risiko terjadinya gangguan mental emosional pengemudi yang mengalami hipertensi mempunya risiko 1,96 kali lebih tinggi dibandingkan dengan non hipertensi. Hubungan antara hipertensi dengan gangguan mental emosional mungkin disebabkan oleh dua hal. Pertama, keluhan subjektif pada skala somatisasi merupakan bagian dari gejala hipertensi. Kedua, hipertensi dan gangguan mental emosional merupakan co morbiditas. Bila diperhatikan anatisis logistik ganda hubungan stres kerja dengan gangguan mental emosional tetap positif dan dominan, maka faktor hipertensi kurang begitu panting mempengaruhi gangguan mental emosional. Meskipun demikian, adanya hipertensi pada pengemudi turut meningkatkan gangguan mental emosional hampir dua kali.
Prevalensi hipertensi pada pengemudi bus kota 25,8%. Tidak ada hubungan bermakna antara stres kerja dengan hipertensi. Risiko terjadinya hipertensi pada pengemudi yang gemuk 1,86 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengemudi yang tidak gemuk.

The Relationship of Occupational Stress to Mental Emotion& Disturbance (Study among City Bus Drivers on a Bus Company in Tangerang, 1997) City bus is an important transportation equipment of Urban Community, particularly in Jakarta and surrounding. Driving the bus is an occupation characterized as having so many problems such as traffic jam, long working hours, accident risk, security annoyance by passengers and an threat. All of the problems may lead to occupational stress and then may lead to outcomes in drivers health such as Hypertension and Mental emotional disturbance. Studies of stress in Indonesia is still rarely, particularly studies on blue collar workers as city bus drivers.
The objectives of this study are to ascertain prevalence of hypertension and mental emotional disturbance and whether an association exist between hypertension, mental emotional disturbance of city bus drivers and their occupational stress felt. This study was carried out on city bus drivers in Tangerang. The instrument for measuring occupational stress was used a questionnaire of Winkleby developed that was modified. This measurement of occupational stress was used an instrument that have the character of self report stressors. The instrument for measuring mental emotional disturbance was used a questionnaire SCL 90. The instrument for measuring blood pressure was used a Mercurial Sphygmomanometer" NOVA' and according to WHO 1978 Protocol.
Design of this study was applied Cross sectional method of 287 subjects study. Collected data were processed by bivariate analysis, and then Multivariate analysis by Multiple logistic regression analysis.
Prevalence of mental emotional disturbance on city bus drivers is 29,3%. There were significant association between Occupational stress with Mental emotional disturbance. Mental emotional disturbance risk of drivers with high level stress 6,35 times more than low level stress. Mental emotional disturbance risk of drivers with hypertension 1.96 times more than drivers with hypertension. The relationships between hypertension and mental emotional disturbance may be caused by two reasons. First, subjective complaints on somatisation scale is a part of hypertension symptoms. Secondly, hypertension and mental emotional disturbance are co-morbidity phenomenon. When we see about multiple logistic regression analysis on relationships of occupational stress with mental emotional disturbance is constant and dominant, therefore hypertension factors less than importance to lead emotional mental disturbance. Nevertheless, hypertension of the drivers to share in confirming mental emotional disturbance increasing twice.
Prevalence of Hypertension on city bus drivers is 25,8%. There were no association between occupational stress and Hypertension. Hypertension risk of obese drivers were 1.86 times more than non obese drivers.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daulima, Novy Helena Catharina
Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2019
610 JKI 22:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>