Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154113 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jerry Nasarudin
"Pasien HIV berisiko 20-37 kali lipat terinfeksi TB dan TB merupakan penyebab kematian tertinggi pada HIV. Resistensi OAT menjadi masalah utama pengobatan TB pada pasien HIV yang menyebabkan peningkatan mortalitas dan biaya. Rifampisin merupakan OAT utama sehingga perlu diketahui prevalensi resistensi rifampisin dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada pasien TB-HIV.
Tujuan: Mengetahui prevalensi resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV dan faktor-faktor yang mempengaruhi.
Metode: Studi potong lintang terhadap 196 pasien TB-HIV yang menjalani pemeriksaan Xpert MTB-RIF di poli pelayanan terpadu HIV RSUPN-CM selama tahun 2012-2015. Analisa bivariat untuk mengetahui hubungan faktor-faktor terkait dengan kejadian resistensi rifampisin. Analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik.
Hasil: Didapatkan prevalensi resistensi rifampisin sebesar 13,8%. Usia, jenis kelamin, riwayat penggunaan ARV, dan TB ekstraparu tidak berhubungan dengan kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV. Jumlah CD4<100 memiliki hubungan dengan kejadian resistensi rifampisin (OR 2,57; 95% IK 0,99-6,69), namun secara statistik tidak bermakna. Riwayat pengobatan TB memiliki hubungan signifikan dengan kejadian resistensi rifampisin (OR 3,98; 95% IK 1,68-9,44).
Simpulan: Prevalensi resistensi rifampisin TB-HIV di RSUPN-CM sebesar 13,8%. Riwayat TB memiliki hubungan signifikan dengan kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV."
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jerry Nasarudin
"ABSTRAK
Latar belakang : Pasien HIV berisiko 20-37 kali lipat terinfeksi TB, dan TB
merupakan penyebab kematian tertinggi pada HIV. Resistensi OAT menjadi
masalah utama dalam pengobatan TB terutama pada pasien HIV, hal ini berujung
pada peningkatan mortalitas dan biaya. Rifampisin merupakan OAT utama,
dibuktikan dengan kesembuhan yang rendah pada regimen tanpa rifampisin,
sehingga perlu diketahui prevalensi resistensi rifampisin dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pada pasien TB-HIV.
Tujuan : Mengetahui prevalensi resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV dan
faktor-faktor yang mempengaruhi.
Metode : Studi potong lintang terhadap 196 pasien TB-HIV yang menjalani
pemeriksaan Xpert MTB-RIF di poli pelayanan terpadu HIV RSUPN Cipto
Mangunkusumo selama tahun 2012-2015. Analisa bivariat untuk mengetahui
hubungan faktor-faktor dengan kejadian resistensi rifampisin. Analisa multivariat
menggunakan uji regresi logistik.
Hasil dan Pembahasan : Pada 196 pasien yang menjadi subjek penelitian,
didapatkan prevalensi resistensi rifampisin sebesar 13,8%. Usia, jenis kelamin,
riwayat penggunaan ARV, dan TB ekstra paru tidak berhubungan dengan
kejadian resistensi rifampisin pada TB-HIV. CD4 < 100 mempengaruhi kejadian
resistensi rifampisin (OR 2,57; 95% IK 0,99-6,69), Riwayat pengobatan TB
mempengaruhi kejadian resistensi rifampisn (OR 3,98; 95% IK 1,68-9,44).
Kesimpulan : Prevalensi resistensi rifampisin TB-HIV di RSUPN Cipto
Mangunkusumo sebesar 13,8%. Riwayat TB mempengaruhi kejadian resistensi rifampisin pada pasien TB-HIV. ABSTRACT
Background: HIV patients have 20-37 fold risk of getting TB infection and TB is
the leading cause of death among them. Anti tuberculosis drug resistance is a
major problem in the treatment of tuberculosis with rifampicin as one of the main
drug. We need more information about prevalence of rifampicin resistance and its
contributing factors in TB-HIV patients.
Aim: To determine the prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients
and its contributing factors.
Method : A cross sectional study of 196 TB-HIV patients who underwent Xpert
MTB/RIF examination at Cipto Mangunkusumo Hospital during the year 20122105.
Correlation
between
prevalence
of
rifampicin
resistance
and
its
contributing
factors
was done using bivariate analysis. Multivariate analysis was done using
logistic regression test.
Result and Discussion : From 196 patients, we found prevalence of 13,8%
rifampicin resistance. CD4 < 100 affects the incidence of rifampicin resistance
(OR2.5;95% CI 0.99-6.69). Hiistory of TB treatment affects the incidence of
rifampicin resistance (OR3.98;95%CI 1.68-9.44).
Conclusion : Prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients in Cipto
Mangunkusumo Hospital is 13.8%. History of TB treatment affects the incidence
of rifampicin resistance in TB-HIV patients. ;Background: HIV patients have 20-37 fold risk of getting TB infection and TB is
the leading cause of death among them. Anti tuberculosis drug resistance is a
major problem in the treatment of tuberculosis with rifampicin as one of the main
drug. We need more information about prevalence of rifampicin resistance and its
contributing factors in TB-HIV patients.
Aim: To determine the prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients
and its contributing factors.
Method : A cross sectional study of 196 TB-HIV patients who underwent Xpert
MTB/RIF examination at Cipto Mangunkusumo Hospital during the year 20122105.
Correlation
between
prevalence
of
rifampicin
resistance
and
its
contributing
factors
was done using bivariate analysis. Multivariate analysis was done using
logistic regression test.
Result and Discussion : From 196 patients, we found prevalence of 13,8%
rifampicin resistance. CD4 < 100 affects the incidence of rifampicin resistance
(OR2.5;95% CI 0.99-6.69). Hiistory of TB treatment affects the incidence of
rifampicin resistance (OR3.98;95%CI 1.68-9.44).
Conclusion : Prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients in Cipto
Mangunkusumo Hospital is 13.8%. History of TB treatment affects the incidence
of rifampicin resistance in TB-HIV patients. ;Background: HIV patients have 20-37 fold risk of getting TB infection and TB is
the leading cause of death among them. Anti tuberculosis drug resistance is a
major problem in the treatment of tuberculosis with rifampicin as one of the main
drug. We need more information about prevalence of rifampicin resistance and its
contributing factors in TB-HIV patients.
Aim: To determine the prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients
and its contributing factors.
Method : A cross sectional study of 196 TB-HIV patients who underwent Xpert
MTB/RIF examination at Cipto Mangunkusumo Hospital during the year 20122105.
Correlation
between
prevalence
of
rifampicin
resistance
and
its
contributing
factors
was done using bivariate analysis. Multivariate analysis was done using
logistic regression test.
Result and Discussion : From 196 patients, we found prevalence of 13,8%
rifampicin resistance. CD4 < 100 affects the incidence of rifampicin resistance
(OR2.5;95% CI 0.99-6.69). Hiistory of TB treatment affects the incidence of
rifampicin resistance (OR3.98;95%CI 1.68-9.44).
Conclusion : Prevalence of rifampicin resistance in TB-HIV patients in Cipto
Mangunkusumo Hospital is 13.8%. History of TB treatment affects the incidence
of rifampicin resistance in TB-HIV patients. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Aliyah
"Latar Belakang: Infeksi tuberkulosis (TB) memiliki insidensi TB yang terus meningkat dengan angka kematian yang tinggi. Infeksi TB merupakan hasil interaksi antara faktor kuman, imunitas pejamu, dan lingkungan. Imunitas pejamu dipengaruhi oleh komponen nutrisi, antara lain: vitamin D. Vitamin D dapat meningkatkan respon terapi antituberkulosis pada makrofag. Vitamin D yang rendah berhubungan dengan polimorfisme VDR pada penderita TB. Belum terdapat data terkait gambaran kadar vitamin D pada penderita tuberkulosis kasus baru.
Tujuan: Mengetahui gambaran konversi sputum BTA dan kadar Vitamin D pada penderita tuberkulosis kasus baru.
Metode: Penelitian ini bersifat multisenter. Subjek penelitian adalah penderita TB paru kasus baru yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Follow-up dilakukan selama 2 bulan. Dalam periode 7 bulan (Oktober 2014- April 2015) dari 109 subjek: 88 subjek dapat diikuti hingga akhir penelitian, 20 orang subjek putus obat, dan 1 orang meninggal dunia.
Hasil: Pada penelitian ini dari 88 subyek, subyek yang mengalami konversi sputum sebanyak 55 orang (62,5%), yang tidak mengalami konversi sputum sebanyak 33 orang (37,5%). Hasil pengukuran kadar vitamin D pada subyek didapatkan 15 orang (17%) normal, 29 orang (33%) insufisensi, dan 44 orang (50%) defisensi. Dari masing-masing kelompok yang mengalami konversi sputum, 9 orang (16,4%) pada kelompok vitamin D normal, 16 orang (29,1%) kelompok insufisiensi, dan 30 orang (54,5%) dari kelompok defisiensi. Dengan kata lain masing-masing kelompok yang tidak mengalami konversi adalah: kelompok normal 6 orang (18,2%), kelompok insufisiensi 13 orang (39,4%) dan kelompok defisiensi 14 orang (42,4%).
Kesimpulan: Populasi defisiensi vitamin D memiliki jumlah subyek terbanyak baik yang mengalami konversi sputum atau yang tidak mengalami konversi sputum. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor lain yang berperan dalam infeksi TB, diantaranya polimorfisme VDR. Interaksi ini terutama akan terjdi pada pasien dengan kadar vitamin D yang rendah. Penelitian lebih lanjut mengenai polimorfisme VDR berkaitan dengan penyakit TB perlu untuk dilakukan. "
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rahmawati Pebriani
"Saat ini bakteri Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sekitar seperempat populasi dunia yang menyebar melalui udara dan Indonesia merupakan salah satu negara dengan beban tuberkulosis yang tinggi. 4 dari 6 provinsi di Pulau Jawa masuk dalam 10 provinsi dengan prevalensi TB paru tertinggi, yaitu Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah dengan prevalensi TB paru di atas 0,4 yang merupakan rata-rata Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan karakteristik individu dan kondisi lingkungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada penduduk usia ≥ 15 tahun di Pulau Jawa tahun 2018. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan menggunakan data Riskesdas 2018. Jumlah sampel yang digunakan adalah 216.098 responden. Analisis data menggunakan univariat dan bivariat dengan uji chi-square. Hasil analisis bivariat menunjukkan variabel yang memiliki hubungan signifikan secara statistik dengan kejadian tuberkulosis paru yaitu jenis kelamin, status gizi, tingkat Pendidikan, merokok, jumlah anggota keluarga, pencahayaan kamar utama, pencahayaan dapur, pencahayaan ruang keluarga, keberadaan jendela kamar utama, keberadaan jendela dapur, ventilasi kamar utama, dan ventilasi dapur. Penting untuk dilakukan peningkatan pengetahuan masyarakat terkait dengan penularan dan pencegahan tuberkulosis paru, termasuk pemberian edukasi tentang kriteria rumah sehat, serta meningkatkan surveilans penemuan kasus melalui peningkatan pemberdayaan kader kesehatan.

Currently, Mycobacterium tuberculosis bacteria have infected about a quarter of the world's population that spreads through the air and Indonesia is one of the countries with a high burden of tuberculosis. 4 out of 6 provinces in Java are included in the 10 provinces with the highest prevalence of pulmonary TB, namely Banten, West Java, DKI Jakarta, and Central Java with the prevalence of pulmonary TB above 0.4 which is the Indonesian average. The purpose of this study was to determine the relationship between individual characteristics and environmental conditions with the incidence of pulmonary tuberculosis in the population aged 15 years in Java Island in 2018. The study design used was cross-sectional using Riskesdas 2018 data. used are 216,098 respondents. Data analysis used univariate and bivariate with chi-square test. The results of the bivariate analysis showed that the variables that had a statistically significant relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis were gender, nutritional status, education level, smoking, number of family members, main room lighting, kitchen lighting, living room lighting, presence of main bedroom window, presence of kitchen windows, main bedroom ventilation, and kitchen. It is important to increase public knowledge related to the transmission and prevention of pulmonary tuberculosis, including providing education about the criteria for healthy homes, as well as increasing case finding surveillance by increasing the empowerment of health cadres."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina La Distia Nora
"Latar belakang: Penegakan diagnosis tuberkulosis (TB) okular sulit dilakukan karena mikroorganisme tidak mudah diisolasi langsung dari mata, namun di sisi lain pemberian anti tuberkulosis berperan penting. Penelitian ini berusaha untuk mengidentifikasi tanda-tanda klinis di mata yang berhubungan dengan TB okular dan menilai keberhasilan terapi serta hubungannya dengan status HIV.
Metode: Data retrospektif diambil dari 56 rekam medis pasien dengan diagnosis presumed ocular TB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo antara Januari 2006 sampai Desember 2011. Data demografi dan karakteristik klinis serta status HIV dicatat selama pengobatan berlangsung.
Hasil: Terdapat 39 pasien yang masuk kriteria inklusi dengan usia rerata 35,38 ± 13,1 tahun dan rasio laki-laki terhadap perempuan 2:1. Kelainan mata unilateral didapatkan pada 26 (66,7%) pasien. Dari seluruh pasien; 4 (10,3%) uveitis anterior, 14 (35,9%) uveitis posterior, 21 (66,7%) panuveitis dan tidak ada yang menderita uveitis intermediet. Sebagian besar pasien (32/82,1%) memiliki tuberkulosis di organ tubuh lain. Lima dari 8 (62,5%) pasien dengan HIV positif memiliki tipe inflamasi granulomatosa dan 3 (37,5%) tipe non-granulomatosa serta seluruh pasien dengan HIV positif memiliki tuberkulosis di organ lain. Tujuh pasien non-HIV, enam (85,7%) diantaranya memiliki tipe inflamasi non-granulomatosa. Terapi dengan anti tuberculosis (ATT), kombinasi ATT dan steroid atau steroid saja bisa meningkatkan tajam penglihatan. Namun terapi steroid saja memiliki angka rekurensi yang sedikit lebih tinggi (1,4 ± 0,89 episode inflamasi).
Kesimpulan: TB ocular pada penelitian ini memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Tipe inflamasi non-granulomatosa lebih banyak pada pasien HIV negatif dan tipe inflamasi granulomatosa pada pasien HIV positif. Pasien HIV positif selalu disertai manifestasi TB di organ lain. Terapi dengan steroid saja dapat meningkatkan tajam penglihatan tapi diikuti dengan angka rekurensi yang sedikit lebih tinggi.

Abstract
Background: Ocular tuberculosis (TB) emerges as an important cause of intraocular inflammation, partly due to the increasing number of HIV/AIDS patients. This study attempts to identify ocular signs that are associated with ocular TB and assess the efficacy of the treatment and their relation to HIV status.
Methods: Medical records of all 56 patients diagnosed with presumed ocular TB in Cipto Mangunkusumo Hospital between January 2006 and December 2011 were reviewed. Demographic and clinical characteristics and HIV status were recorded as well as efficacy of treatments given.
Results: There were 39 patients included with mean age 35.38 ± 13.1 and male to female ratio was 2:1. Unilateral involvement was in 26 (66.7%) patients. From all, four (10.3%) had anterior uveitis, 14 (35.9%) posterior uveitis, 21 (53.8%) panuveitis, and none had intermediate uveitis. Most of them (32/82.1%) have concurrent other organ TB. Five out of 8 (62.5%) HIV positive patients had granulomatous inflammation and 3 (37.5%) had non-granulomatous inflammation and all eight of them had concurrent other organ TB. The other 7 known non-HIV patients, six (85.7%) have non-granulomatous inflammation. Treatment with anti-tubercular therapy (ATT), combination ATT and steroid or steroid alone increased visual acuity. However steroid alone was slightly have more frequent recurrences (1.4 ± 0.89 episodes of inflammation).
Conclusion: Ocular TB in our study had variable clinical manifestations and ocular inflammation was predominantly non-granulomatous in HIV negative patients and granulomatous in HIV infected patients. All HIV positive patients the ocular TB was always accompanied by manifestations in other organs. The treatment with steroids solely resulted in improved vision but was characterized by frequent recurrences."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Kristiane
"ABSTRAK
Latar Belakang. Efavirenz adalah salah satu obat antiretroviral lini pertama dalam tatalaksana infeksi HIV. Namun, penelitian dari beberapa negara menunjukkan sekitar 50% pengguna efavirenz mengalami efek samping psikiatrik, seperti gangguan tidur, mimpi buruk, insomnia, cemas, depresi sampai gangguan kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi psikopatologi pada ODHA yang mendapatkan terapi efavirenz, serta faktor yang berhubungan, seperti faktor demografik, mekanisme koping, dan stigma.
Metode. Studi potong lintang ini menggunakan kuesioner yang diberikan pada pasien HIV di UPT HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo yang menggunakan efavirenz. Psikopatologi diukur menggunakan SCL-90, mekanisme koping dengan Brief COPE, dan stigma dengan Berger HIV Stigma Scale. Selain itu, faktor demografik seperti usia, jenis
kelamin, riwayat gangguan jiwa, riwayat penggunaan narkotika, dan stadium HIV.
Hasil. Prevalensi psikopatologi pada pasien HIV yang diterapi dengan EFV sebesar 50 dari 112 subjek penelitian (44,6 %). Gejala psikopatologi terbanyak yang didapatkan adalah depresi 25.0% diikuti oleh gejala obsesif kompulsif 17.9%. Faktor yang menunjukkan hubungan signifikan dengan adanya psikopatologi adalah usia (p=0,01), stigma (p=0,01), dan riwayat penggunaan alkohol/zat psikoaktif lainnya (p=0,02).
Kesimpulan. Depresi merupakan psikopatologi yang paling banyak didapatkan pada penelitian ini. Faktor usia, stigma, dan riwayat penggunaan alkohol/zat psikoaktif lainnya mempunyai hubungan yang bermakna terhadap munculnya gejala psikopatologi pada pasien yang mendapatkan terapi EFV.

ABSTRACT
Background. Efavirenz is one of the first-line antiretroviral drugs in the management of HIV infection. However, research from several countries shows that about 50% of efavirenz users experience psychiatric side effects, such as sleep disorders, nightmares, insomnia, anxiety, depression to cognitive disorders. This study aims to determine the
prevalence of psychopathology in HIV patients who received efavirenz therapy, as well as related factors, such as demographic factors, coping mechanisms, and stigma.
Method. This cross-sectional design used a questionnaire given to HIV patients at UPT HIV Cipto Mangunkusumo General Hospital who used efavirenz. Psychopathology was measured using SCL-90, coping mechanism with COPE Brief, and stigma with Berger HIV Stigma Scale. In addition, demographic factors such as age, sex, history of mental
disorders, history of drug use, and stage of HIV.
Results. The prevalence of psychopathology in HIV patients treated with EFV was 50 out of 112 study subjects (44.6%). The most common psychopathological symptom was depression 25.0% followed by obsessive compulsive symptoms 17.9%. Factors that showed a significant correlation with the prevalence of psychopathology were age (p = 0.01), stigma (p = 0.01), and history of alcohol / other psychoactive substance use (p = 0.02).
Conclusion. Depression is the most commonly obtained psychopathology in this study. Age, stigma, and history of using alcohol / other psychoactive substance use have a significant significant correlation with the prevalence of psychopathological symptoms in patients receiving EFV therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Veronika Jenny
"Kasus AIDS semakin banyak terjadi di Indonesia dan diperburuk dengan berbagai macam penyakit infeksi komorbidnya. Hasil penelitian 108 pasien diperoleh 50,9% memiliki infeksi komorbid hepar. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional analitik dengan data sekunder rekam medik pasien rawat inap RSCM pada tahun 2010. Hasil beberapa faktor yang diteliti adalah responden laki-laki terbanyak (51 orang), rentang usia terbanyak 25-49 tahun (52 orang), dan faktor resiko penularan pada penggunaan jarum suntik (22 orang). Dengan chi-square diperoleh hubungan bermakna pada jenis kelamin (p<0,05). Ditinjau dari nilai index massa tubuh diperoleh rerata nilainya adalah 18,6 kg/m2, dan nilai rerata hitung CD4+ absolute sebesar 46 sel/dL, namun hanya nilai CD4+ absolute memiliki hubungan bermakna pada uji mann-whitney (p<0,05).

AIDS cases are increasing in Indonesia and this infections are so bad with comorbid infections. From the result of this study, there are 50.9% in 108 patients that have comorbid hepar infection. This study was designed by cross-sectional analytic metode by using medical records of patients hospitalized in RSCM in 2010. From the factors that studied, the results are respondents with hepar infection, most are male sex (51 people), in the range 25-49 years (52 people), and the risk factor in intravena drug using (22 people). With chi-square, sex is related with hepar infection in respondents (p<0,05). In Body Mass Index of the respondents, the mean of the value is 18,6 kg/m2, and the mean of CD4+ absolute value is 46 cells/dL, but only the value of CD4+ absolute has related with hepar infection in mann-whitney test (p<0,05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahajeng Dewantari
"Ketaatan minum obat dalam penanganan HIV/AIDS dengan pengobatan ARV merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan terapi. Di Indonesia belum ada data yang menyebutkan angka pasti ketaatan minum obat ARV pada ODHA. Ketaatan minum obat ARV dipengaruhi oleh adanya faktorfaktor psikologis (stigma diri dan fungsi kognitif) dan non psikologis yang terdiri dari faktor demografi (umur, waktu tempuh tempat tinggal ke rumah sakit, akses berobat, tingkat pendidikan, pekerjaan, tinggal sendiri atau bersama orang lain, pembiayaan berobat, penggunaan NAPZA) dan faktor obat dan penyakit (kompleksitas regimen obat, adanya infeksi oportunistik, sumber transmisi HIV).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi ketaatan minum obat ARV pada ODHA yang berobat di UPT HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo adalah 67,7%, stigma diri memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV, sedangkan faktor non psikologis yang diteliti dan fungsi kognitif tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV.

Adherence to ARV is an important factor in determining the success of HIV/AIDS treatment. There has been no data about adherence to ARV in plwh in indonesia. Adherence to ARV is influenced by psychological factors (self-stigma and cognitive function) and non-psychological factors consisting of demographic (age, travel time between living place and hospital, access to treatment, level of education, occupation, living alone or with others, treatment payment, illicit drugs use), disease and treatment factor (treatment regimen complexity, opportunistic infections, source of HIV transmission).
The result of this study showed that prevalence of adherence to ARV in plwh coming to HIV integrated service unit Cipto Mangunkusumo hospital is 67,7%, that self-stigma had significant relation with adherence to ARV, while psychological factors and cognitive function had no significant relation with adherence to ARV.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulunggono
"Latar Belakang. Walaupun pasien HIV mendapat terapi antiretroviral yang efektif, penurunan fungsi fisik sering ditemukan lebih awal dan menimbulkan masalah baru berupa penuaan dan frailty.
Tujuan. Mengetahui proporsi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan prefrail dan frail pada pasien HIV dalam terapi antiretroviral.
Metode. Desain studi potong lintang pada pasien HIV usia ≥30 tahun dalam terapi ARV minimal 6 bulan. Pasien yang memenuhi inklusi dilakukan pencatatan demografis, penyakit komorbid, faktor terkait HIV seperti lama terdiagnosis, lama ARV, dan CD4, pengukuran antropometri seperti indeks massa tubuh, penilaian depresi dengan Indo BDI-II, dan penilaian frailty dengan kriteria Fried. Pasien dengan riwayat infeksi otak, kanker, dan oportunistik aktif dieksklusi. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan pada faktor-faktor tersebut.
Hasil. Terdapat 164 pasien yang dianalisis. Proporsi prefrail sebanyak 51,2% (84 pasien) dan frail 3,7% (6 pasien), dengan komponen dominan pada kelemahan genggam. Pasien laki-laki sebanyak 72% dengan median usia (IQR) 40,5 (36-47) tahun, dan median CD4 nadir (IQR) 53 (21-147) sel/mm3, median CD4 awal (IQR) 77 (32 - 206) sel/mm3. Hepatitis C menjadi faktor komorbid terbanyak. Depresi berhubungan dengan prefrail dan frail dengan OR 2,14 (IK95%: 1,034-4,439) dan p = 0,036. Tidak terdapat hubungan faktor usia ≥50 tahun, ≥2 penyakit komorbid, lama terdiagnosis HIV ≥5 tahun, lama ARV ≥5 tahun, CD4 <200 sel/mm3, indeks massa tubuh ≥25 kg/m2, dan pendapatan rendah dengan prefrail dan frail.
Kesimpulan. Terdapat proporsi prefrail sebanyak 51,2% dan frail 3,7%. Depresi merupakan salah satu faktor yang terbukti berhubungan terhadap prefrail dan frail pada pasien HIV dalam terapi ARV.

Background. Although HIV patients receive effective antiretroviral therapy, decrease in physical function is often found earlier and creates new problems in the form of aging and frailty
Aim. to determine the proportion and factors associated with prefrail and frail in HIV patients on antiretroviral therapy.
Method. A cross-sectional study design in HIV patients aged ≥30 years who were on ARV therapy for at least 6 months. Patients who fulfilled the inclusion were recorded demographically, comorbid diseases, HIV-related factors such as length of diagnosis, duration of ARV, CD4, anthropometric measurements such as body mass index, depression assessment with Indo BDI-II, and frailty assessment with Fried criteria. Patients with a history of brain infection, cancer, and active opportunists were excluded. Bivariate and multivariate analysis was carried out on these factors.
Results. There were 164 patients analyzed. The proportions of prefrail and frail were 51.2% and 3.7% respectively, with the dominant component in muscle weakness. Male patients were 72% with median age (IQR) 40.5 (36-47) years, median baseline CD4 (IQR) 77 (32 - 206) cell/mm3, and median nadir CD4 (IQR) 53 (21-147) cells/mm3. Hepatitis C is the most comorbid factor. Depression is related to prefrail and frail with OR 2.14 (95%CI: 1,034-4,439) and p = 0,036. There was no correlation between factors such as age ≥50 years, ≥2 comorbid diseases, length of diagnosis of HIV ≥5 years, duration of ARV ≥5 years, CD4 cell count <200 cells/mm3, body mass index ≥25 kg/m2, and low income with prefrail and frail.
Conclusion. The proportions of prefrail and frail are 51.2% and 3.7% respectively. Depression is one of the factors that is proven to be related to prefrail and frail in HIV patients in ARV therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Yuriandro
"ABSTRAK
Latar Belakang. Pengobatan dengan tenofovir pada pasien HIV/AIDS mempunyai risiko timbulnya efek samping pada ginjal berupa penurunan cepat laju filtrasi glomerulus LFG > 5 ml/menit/1,72 m2 setelah pengobatan selama setahun. Besarnya angka kejadian penurunan cepat LFG dan faktor yang mempengaruhinya selama ini masih kontradiktif dan belum dikaji secara lengkap.Tujuan. Mengetahui angka insidens nefrotoksiksitas terkait tenofovir dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Metode. Penelitian dengan desain kohort retrospektif dilakukan di unit pelayanan terpadu HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo pada pasien yang memulai pengobatan tenofovir sejak Januari 2010 sampai dengan Januari 2015 dengan metode sampling konsekutif. Kriteria inklusi yaitu berobat minimal setahun dan mempunyai LFG awal > 60 ml/menit/1,72m2. Kriteria eksklusi apabila tidak ada data LFG ulang setelah satu tahun pengobatan. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data sekunder melalui penelusuran rekam medis. Variabel-variabel yang berpotensi berhubungan dengan penurunan cepat LFG dianalisis dengan regresi logistik.Hasil. Sebanyak 164 subyek diikutkan dalam penelitian. Insidens penurunan cepat LFG didapatkan pada 87 subyek 53 IK 95 45 - 60,4 . Faktor-faktor yang berpengaruh adalah jenis kelamin laki-laki OR 4,0 IK 95 1,1 - 4,8 , jumlah CD4 dibawah 100 sel/mm3 OR 3,7 IK 95 1,7 ndash; 8,1 , Penambahan berat badan > 20 OR 4,0 IK 95 1,0 ndash; 4,8 dan nilai LFG sebelum pengobatan >90 ml/menit/1,72 m2 OR 9,8 IK 95 2,3 ndash; 42,1 .Simpulan. Insidens penurunan cepat LFG pada setelah pemakaian tenofovir selama setahun adalah 53 . Faktor risiko yang berpengaruh adalah jenis kelamin laki-laki, jumlah CD4 kurang dari 100 sel/mm3, penambahan berat badan > 20 dan LFG awal sebelum pengobatan > 90 ml/menit/1,72 m2.

ABSTRACT
Background. Tenofovir treatment in HIV AIDS patient has a possible side effect for kidney, which is rapid decline in glomerular filtration rate GFR 5 cc min 1,72 m2 after patient undergo tenofovir treatment for one year. The incidence rate for rapid decline in GFR and factors affecting it are still contradictive and not assessed completely.Aim. To identify cumulative incidence and factors affecting tenofovir related nephrotoxicity.Methods. A retrospective cohort study was conducted in HIV AIDS outpatient clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital. We include patients who start to take tenofovir as their medication from January 2010 until January 2015 with consecutive sampling method. Inclusion criterias are minimum one year of tenofovir treatment and baseline GFR 60 cc minute 1,72m2. Exclution criteria is no data for GFR evaluation after one year. Our study use secondary data, taken from patient rsquo s medical record. Logistic regression test was used for variabels that could potentially affect rapid decline in glomerular filtration rate.Results. 164 subjects were included for analysis and we found incidence rate for rapid decline in GFR after one year of tenofovir medication in 87 subjects 53 CI 95 45 60,4 . Factors those affecting rapid decline in GFR are male gender OR 4,0 CI 95 1,1 4,8 , CD4 cell count below 100 cell mm3 OR 3,7 CI 95 1,7 ndash 8,1 , weight increase 20 OR 4,0 IK 95 1,0 ndash 4,8 , and baseline GFR 90 cc min 1,72 m2 OR 9,8 CI 95 2,3 ndash 42,1 .Conclusion. The incidence rate for rapid decline in GFR aftre one year of tenofovir medication in HIV AIDS patients in Cipto Mangunkusumo hospital is 53 . Risk Factors that affecting nephrotoxicity are male gender, CD4 cell count below 100 cell mm3, weight increase 20 , and baseline GFR 90 cc min 1,72 m2. "
2016
T55601
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>