Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 241824 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Stesy Natassa
"Latar Belakang: Penanda anatomi yang dipakai pada anestesia spinal adalah ruang sela tulang belakang setinggi L4-L5. Letak ruang sela tulang L4-L5 selama ini dianggap tepat berada pada garis Tuffier yang merupakan garis khayal transversal yang menghubungkan kedua krista iliaka. Letaknya sangat bervariasi karena pengaruh beberapa faktor seperti adanya perbedaan ras, jenis kelamin, usia, dan faktor antropometrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin dan faktor antropometri terhadap jarak ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu dengan menggunakan panduan ultrasonografi di RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan rancangan potong lintang pada pasien yang menjalani anestesia spinal di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Februari-Mei 2017 setelah mendapatkan izin dari komite etik. Sebanyak 93 subjek diambil dengan metode consecutive sampling. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin dan faktor antropometri terhadap jarak antara sela tulang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu dengan menggunakan uji Mann Withney dan uji Pearson, kemudian dilakukan analisis multivariat dengan metode regresi linier berganda untuk memperoleh formula prediksi jarak antara sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada ras Melayu.
Hasil: Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa jarak ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier adalah -2.59 1.58 cm. Analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tinggi badan dan jenis kelamin terhadap jarak antara sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier. Formula prediksi jarak yang diperoleh pada penelitian ini adalah 4.921 [0.536 x 1 bila laki-laki atau 2 bila perempuan ] ndash;0.052 x tinggi badan dalam cm.
Simpulan: Terdapat pengaruh jenis kelamin dan tinggi badan terhadap jarak antara sela tulang L4-L5 dari garis Tuffier. Formula prediksi jarak antara ruang sela tulang belakang L4-L5 dari garis Tuffier pada subjek ras Melayu dewasa adalah 4.921 [0.536 x 1 bila laki-laki atau 2 bila perempuan ] ndash;0.052 x tinggi badan dalam cm . Kata kunci: garis Tuffier ndash; ras Melayu dewasa-ruang sela tulang belakang L4-L5 ndash; Ultrasonografi

Background The anatomical marker used in spinal anesthesia is L4 L5 interspace. The L4 L5 interspace is thought to be right on the Tuffier`s line which connects the two highest point on the iliac crest. The location of L4 L5 interspace from the Tuffier`s line varies greatly due to the influence of several factors such as differences in race, sex, age, and anthropometric factors. This study aimid to examine the relationship between age, sex and anthropometry factors with the distance of L4 L5 interspace from Tuffier`s line among Malay race patients using ultrasound guidance at Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods This was an observational analytic study with cross sectional design. Following assessment the ethics committee, patients undergoing spinal anesthesia at Cipto Mangunkusumo hospital in February May 2017 were admitted in the study.. A total of 93 subjects were included by using the consecutive sampling method. Statistical analysis was performed to find the relationship between age, sex and anthropometry factors with the distance L4 L5 interspace from Tuffier`s line using Mann Withney and Pearson test. Additionally, multivariate analysis with multiple linear regression method was used to obtain the prediction formula of the distance between L4 L5 interspace to the Tuffier`s line on the Malay race.
Result This study generated that the distance of L4 L5 interspace from the Tuffier line is 2.59 1.58 cm. Correlation analysis showed a significant relationship between height and sex to the distance of L4 L5 interspace and the Tuffier`s line. The distance prediction formula obtained in this study is 4.921 0.536 x 1 for male or 2 for female 0.052 x height in cm.
Conclusion There was a significant relationship between height and sex to the distance of L4 L5 interspace from the Tuffier`s line. The distance prediction formula between L4 L5 interspace and Tuffier`s line on adult Malay race subject is 4.921 0.536 x 1 for male or 2 for female 0.052 x height in cm . Keywords adult Malay race L4 L5 interspace Tuffier`s line Ultrasonography.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Rejeki
"Latar belakang : Teknik blok popliteal menggunakan stimulator saraf masih menjadi pilihan di Indonesia. Keberhasilan blok meningkat jika pengetahuan dan pemahaman landmark anatomi baik. Landmark anatomi berupa jarak titik pereabangan saraf skiatik terhadap lipatan fossa popliteal dan kedalaman titik tersebut dari kulit. Perbedaan landmark anatomi dapat terjadi karena perbedaan ras akibat perbedaan ukuran tulang panjang dan massa otot. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jenis kelamin, usia, dan data antropometri terhadap landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia dengan menggunakan panduan ultrasonografi. Metode : Penelitian bersifat analitik observasional dengan raneangan potong lintang. Penelitian dilaksanakan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta pada bulan Januari-April 2017 setelah medapatkan izin dari komite etik. Usaha meneari gambaran pereabangan saraf skiatik pada tungkai kanan dan kiri menggunakan ultrasonografi dua dimensi dilakukan pada 107 pasien yang akan menjalani operasi bedah tereneana di Instalasi Bedah Terpadu. Data yang diperoleh dianalisis melalui SPSS untuk mengetahui hubungan dan pengaruh antara jenis kelamin, usia tinggi badan, berat badan dan IMT terhadap landmark blok popliteal serta memperoleh formula prediksi landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia. Hasil : Pada penelitian ini diperoleh hubungan bermakna jenis kelamin, tinggi badan terhadap jarak pereabangan saraf skiatik ke lipatan fossa popliteal dan hubungan bermakna berat badan, IMT terhadap jarak pereabangan saraf skiatik pada permukaan kulit dengan nilai p <0.005. Tinggi badan dorninan berpengaruh terhadap jarak pereabangan saraf skiatik dari lipatan fossa popliteal (adjusted R2 38.8% dan 32.4%) sedangkan berat badan dominan terhadap jarak pereabangan saraf skiatik ke permukaan kulit (adjusted R2 22.5% dan 24.7%). Formula prediksi jarak pereabangan skiatik dari lipatan fossa popliteal (em) pada tungkai kanan - 12.548 + 0.133 x (Tb dalam em) dan tungkai kiri -6.549 + 0.091 x (Tb dalam em) + 0.63 x Jenis Kelamin. Formula prediksi jarak pereabangan skiatik ke kulit pada tungkai kanan 0.277 + 0.288 x (BB dalam kg) dan tungkai kiri 0.319 + 0.028 x (BB dalam kg) Simpulan: Terdapat pengaruh jenis kelarnin dan data antropometrik terhadap landmark blok popliteal pada ras Melayu di Indonesia.

Background : Popliteal nerve block with nerve stimulator remains as peripheral nerve block of choice in Indonesia. The successfulness of such block increases with better knowledge of anatomical landmark is the distance between the point of sciatic nerve to the popliteal fossa crease. The anatomical landmark might differ between races due to different bone length and mucle mass. This study aimed to observe the influence between races, age, and anthropometric data to the landmark of popliteal nerve block among Malay race in Indonesia by using ultrasonography guidance. Methods : This was an observational analytic study with cross-sectional design. This study was held ini Cipto Mangunkusumo Hospital from January-April 2017 following approval from ethical committee. An attempt to find the sciatic nerve branch on the left and right limb by using ultrasonography was done in I 07 patients undergoing surgery. Data was analysed by using SPSS to observe the relationship between age, sex, body weight and height, and BMI to such landmark Result : This study generated that sex and body height had strong association with the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease. Strong association was also observed between body weight and BMI to such distance. Body height was associated with the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease (adjusted R2 38.8% dan 32.4%) while body weight was associated with the distance of sciatic nerve branch to skin surface (adjusted R2 22.5% dan 24.7%). The formula obtained to predict the distance of sciatic nerve branch to the popliteal fossa crease (em) in right limb was -12.548 + 0.133 x (body height in em) and in left limb was -6.549 + 0.091 x (body height in em) + 0.63 x age. The formula obtained to predict the distance of sciatic nerve branch to the skin surface (em) in the right limb was 0.277 + 0.288 x (body weight in kg) and in left limb was 0.319 + 0.028 x (body weight in kg) Conclusion: Sex and anthropometric data were associated with the anatomical landmark of popliteal nerve block among Malay race in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2017
T58309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Sugianto
"Latar belakang dan tujuan: Dalam dekade terakhir. penggunaan PCS termasuk N. Tibialis posterior, semakin dirasakan manfaatnya Kegunaannya terutama untuk memperkirakan keluaran dari penderita gangguan medula spinalis. Hasil perekaman PCS dapat dikatakan normal ataupun abnormal tergantung dari nilai normal yang sudah didapat sebelumnya, dalam hal ini masa laten dan amplitudo. Saat ini nilai normal yang dipakai berasal dari rujukan luar negeri. Terdapat kemungkinan nilai normal tersebut kurang tepat dipakai untuk orang Indonesia dikarenakan perbedaan yang ada antara orang Indonesia dan Non Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan rerata nilai normal masa laten dan amplitudo PCS N. Tibialis posterior orang dewasa Indonesia. Metode: Perekaman PCS N. Tibialis posterior diambil dari para sukarelawan di lingkungan bagian Ilmu Penyakit Saraf FKUI RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta mulai bulan Desember 1997 sampai Juli 1998. Analisis statistik menggunakan metode uji-t, dan uji regresi linier dan multivariat. Hasil Rekaman dilakukan pada 104 subyek, terdiri dari 52 pria dan 52 wanita, berusia antara 15-50 tahun. Hasilnya adalah sebagai berikut (1) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten pria dan wanita, (2) tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara masa laten dari tungkai kanan dan tungkai kiri; (3) terdapat korelasi yang bermakna antara usia ataupun tinggi badan dengan masa laten, di mana semakin tua ataupun tinggi seseorang masa latennya semakin panjang, dan (4) hanya pada usia saja terdapat hubungan yang bermakna dengan amplitudo, di mana semakin tua seseorang amplitudonya semakin kecil. Oleh karena itu, usia dan tinggi badan harus diperhatikan saat mengevaluasi hasil perekaman PCS N. Tibialis posterior."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Salim
"Pendahuluan: Operasi fusi tulang belakang adalah penanganan definitif yang dilakukan untuk mengembalikan stabilitas struktural tulang belakang. Sel punca mesenkimal (SPM) telah diteliti mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan defek pada metafisis tulang dan fusi vertebra. Saat ini, terdapat keterbatasan studi yang menilai capaian fusi vertebrae pada pasien dengan SPM. Metode: Studi ini menggunakan desain systematic review berdasarkan metode Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA) yang dilakukan pada Juni 2020. Data dianalisis mengikuti panduan dari Cochrane Handbook for Systematic Reviews of Interventions dan menggunakan software Review Manager (RevMan, V.5.3). Hasil: Dari 11 studi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, ditemukan perbaikan radiologis yang signifikan pada 3 studi RCT ini yakni OR: 2,46 (95% IK: 1,29-4,68; I2: 68%) pada pemeriksaan CT scan dan 2 studi RCT OR: 3,91 (95% IK: 1,92-7,99; I2: 0%) pada pemeriksaan X-ray. Pada studi pre dan post ditemukan 100% pasien mengalami perbaikan radiologis pada akhir studi. Perbaikan klinis nyeri berbeda bermakna pada pasien dalam waktu 3 bulan pasca tindakan pemberian stem sel dan bertahan dalam waktu 6-12 bulan. Perbaikan hambatan fungsi dengan penilaian skor ODI bermakna dalam 6 bulan pasca tindakan. Efek samping yang banyak ditemukan adalah nyeri. Kesimpulan: Penggunaan sel stem mesenkimal menghasilkan perbaikan radiologis, klinis, dan fungsi yang signifikan pada pasien dengan penyakit tulang belakang degeneratif.

Introduction: Spinal fusion surgery is a definitive treatment to restore spinal structural stability. Although allograft is a gold standard for vertebral fusion, this method associates with high morbiidy. Based on previous studies, mesenchymal stem cell has ability to fix defect of metaphyses of bone and has a role in vertebral fusion. However, studies about vertebral fusion in patient treated with mesenchymal stem cell are still limited. Method: This study was a systematic review which was conducted according to Preferred Reporting Items for Systematic Review and Meta-Analysis (PRISMA) on June 2020. Data was analysed with guidance from Cochrane Handbook for Systematic Reviews of Interventions using Review Manager (RevMan, V.5.3) software. Results: From 11 studies which satisfy inclusion and exclusion criteria, there were significant radiological improvement in 3 RCT study on CT scan (OR: 2,46 95%CI: 1,29-4,68; I2: 68%) and 2 RCT study on X-Ray examination (OR: 3,91 95%CI: 1,92-7,99; I2: 0%). On pre and post study, 100% of patients showed significant improvement. The pain improved significantly 3 months after the procedure. Functional ability improved within 6 months after the surgery. The most common side effect reported was pain. Conclusion: Mesenchymal stem cell resulted in significant improvement of radiological, clinical, and function of patients with degenerative spinal disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Wirdah Budiastuti
"Pasien dengan kasus cedera/trauma spinal memerlukan perawatan yang komprehensif dan mungkin akan membutuhkan waktu yang lama untuk pasien dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Selama pasien menjalani masa perawatan di rumah sakit, asuhan keperawatan yang tepat diberikan kepada pasien adalah dengan model konsep teori adaptasi Roy. Asuhan dengan pendekatan model adaptasi ini menjadi pilihan yang sesuai untuk kasus-kasus perawatan jangka panjang sehingga pasien dapat menjalani kehidupan lanjutan pasca perawatan dengan baik, mengembalikan kemandirian, kepercayaan diri terutama konsep gambaran diri dan status peran di masyarakat. Perawat dengan pendidikan spesialis harus mampu menjalankan berbagai peran terutama sebagai Clinical Care Manager, dengan demikian peningkatan layanan keperawatan di rumah sakit dapat dicapai dengan lebih optimal dan memberikan kepuasan pelanggan. Adapun pasien dengan masalah neurologis yang menjalani perawatan jangka panjang, immobilisasi dan disabilitas akan beresiko besar terhadap kejadian thrombosis vena dalam, dengan demikian perlu adanya suatu model asesmen penilaian resiko sehingga pencegahan dan tatalaksana terhadap kondisi tersebut dapat dilakukan lebih dini agar pasien terhindar dari komplikasi perawatan dan meningkatkan keselamatan pasien selama perawatan di rumah sakit. Laporan analisis praktek ini membahas mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan cedera spinal dengan menggunakan pendekatan model konsep adaptasi Roy, resume 30 kasus pasien dengan gangguan neurologis di RSCM dan RS PON Jakarta, laporan praktik keperawatan berbasis fakta yaitu model asesmen resiko kejadian thrombosis vena dalam dan inovasi keperawatan. Diharapkan laporan karya ilmiah akhir ini dapat menjadi salah satu informasi untuk pengembangan pendidikan keperawatan spesialis terutama perawat yang memberikan layanan kepada pasien dengan gangguan neurologis.

Patients with spinal injuries or neurological disorders require comprehensive care and it may take a long time for the patient to adapt with the changes. During the patient's stay in the hospital, appropriate nursing care should be given to the patient, using the Roy adaptation theory concept model. This model is one of the best appropriate nursing care approach for long-term care cases so that patients can lead a good post-treatment life, restore independence, self-confidence, especially the concept of self-image and role status in society. Nurses with specialist education must be able to carry out various roles, especially as a Clinical Care Managers, thus improving nursing services in hospitals can be achieved more optimally and provide customer satisfaction. As for patients with neurological problems who undergo long-term care, immobilization and disabilities will be at great risk for the incidence of deep vein thrombosis, thus it is necessary to have a risk assessment model so that prevention and management of these conditions can be carried out earlier to avoid complications of treatment and improve patient safety during hospitalization. This practice analysis report discusses nursing care in patients with spinal injuries using Roy's adaptation concept model approach, resumes of 30 cases of patients with neurological disorders at RSCM and PON Jakarta Hospital, reports on fact- based nursing practice, namely a model of risk assessment for deep vein thrombosis and innovation. nursing. It is hoped that this final scientific paper report can be one of the information for the development of specialist nursing education, especially nurses who provide services in neuro care unit."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Hamdriansyah
"Latar Belakang: Fusi tulang belakang adalah tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pada spondilosis lumbal degeneratif. Paradigma fusi tulang belakang sesuai dengan pengalaman dimana nyeri pada diarthrodial joints atau deformitas pada sendi dapat secara sukses diatasi dengan arthrodesis. Beberapa penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa fusi secara melingkar akan meningkatkan rata-rata fusi yang padat, dengan rata-rata fusi 91%-99%. Bagaimanapun juga, kenyataan bahwa fusi secara melingkar dapat meningkatkan luaran klinik masih kontroversial.
Metode:10 pasien dengan spondilosis lumbal degeneratif (28-65tahun) dari RSUPN Cipto Mangunkusumo telah dilakukan pembedahan dengan tekhnik PLIF 6 bulan yang lalu, dilakukan penelitian dengan metode crossectional : 6 pria dan 4 wanita, dengan rerata umur 54,1 tahun. Dilakukan pengamatan selisih rerata pada skor ODI ( pre pembedahan dan 6 bulan pasca pembedahan) dan pengamatan fusi dengan ct scan 6 bulan pasca operasi.
Hasil dan diskusi: Dilakukan pengamatan pasca bedah selama 6 bulan. Skor ODI menunjukkan perbaikan luaran klinis pada seluruh pasien. Rerata skor ODI setelah 6 bulan secara bermakna dari 70% ke 20%. Fusi tercapai hanya pada 80% pasien setelah 6 bulan pasca pembedahan.
Kesimpulan:Tekhnik bedah PLIF terbukti meningkatkan luaran klinis dan fungsional pada pasien dengan spondilosis lumbal degeneratif. Dari skor ODI sebelum pembedahan menurun setelah 6 bulan pasca pembedahan dan fusi tercapai setelah 6 bulan pasca pembedahan dengan PLIF. Terdapat perbedaan bermakna antara selisih rerata ODI skor pre bedah dan pasca bedah pada kelompok dengan fusi dibandingkan dengan kelompok yang tidak fusi.

Introduction: Spinal fusion is the most commonly perfomed surgical treatment for lumbal spondylosis. The paradigm of spinal fusion is based on the experience that painful diarthrodial joints or joint defrormities can be successfully treated by arthrodesis. Several studies have consistently demonstrated that circumferential fusion increase the rate of solid fusion, with fusion rates ranging from 91% to 99%. However, it remains controversial wheter circumferential fusion improves clinical outcome.
Method: Ten adult patients (28-65 years old) from Cipto Mangunkusumo hospital with degenerative lumbal spondylosis after 6 months treated by PLIF, were studied crosssectionaly: 5 men and 5 women with average age of 54,1 years. ODI score ( pre operative and 6 months post operative) and ct scan 6 months post operative were investigated.
Results and Discussion: All cases were followed up for 6 months. ODI score were demonstrated the improvement functional outcome in 90% patients. Mean differrentiated of ODI score after 6 months was decreased significantly from 70% to 20%. Fusion was reached in 80% after 6 months post operatively.
Conclusion: PLIF is proven to be effective to improve clinical and functional outcome in Lumbal spondylosis degenerative. From pre operative ODI score was reduce and fusion was reached after 6 months treated by PLIF. There was significant differrence between mean differrentiated of ODI score pre and 6 months post operative in fusion gorup compared with non fusion group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ramadhan Kurniawan
"Pendahuluan: Kelengkungan spinal dapat menjadi tolak ukur untuk menilai postur tubuh, fungsi tulang belakang dalam melindungi struktur saraf di dalamnya, dan dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Tumor spinal primer merupakan salah satu penyebab kelainan kelengkungan atau deformitas spinal. Penyakit ini memerlukan tindakan pembedahan sebagai tatalaksana utama. Sayangnya, tindakan operasi berpotensi untuk mendisrupsi komponen pembentuk kelengkungan spinal. Tulisan ini bertujuan untuk melihat perubahan kelengkungan pascaoperasi, faktor yang mempengaruhi, dan melihat hubungannya dengan luaran klinis pasca operasi.
Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan kohort retrospektif, menggunakan data pasien dengan tumor spinal primer yang dilakukan operasi dari Januari 2017 hingga Desember 2022 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Subjek penelitian ini adalah pasien dengan usia lebih dari 18 tahun, memiliki pemeriksaan penunjang berupa MRI spinal dan rekam medis lengkap, dilakukan operasi tanpa fusi. Sebanyak 32 pasien masuk dalam kriteria ini. Penilaian kelengkungan spinal menggunakan metode Cobb pada MRI sebelum dan setelah operasi di bulan ke-6, dan luaran klinis dinilai menggunakan data dari rekam medis
Hasil: Sebanyak 81,3% termasuk tumor intradural-ekstramedula dengan schwannoma adalah jenis terbanyak. Terdapat perubahan sudut C2-C7 sebesar -3,81 ± 2,97 derajat menuju kifotik (p=0,003) pada regio cervical. Pada regio thorakal, kami dapatkan perubahan sudut pada thorakal atas (Th1-Th5) sebesar 1,28 ± 0,51 derajat mengarah ke kifotik (p=0,000). Tidak didapatkan perubahan sudut Cobb pada tumor spinal regio lumbosacral. Secara klinis, VAS preoperasi berpengaruh terhadap kelengkungan pada regio lumbosacral (p=0,036). Analisis multivariat menunjukkan terdapat pengaruh yang bermakna antara teknik operasi (hemilaminektomi vs laminektomi), dan nilai cobb’s angle preoperasi pada regio cervical (C2-C7).  Pada penelitian ini, semua kasus tumor spinal yang dilakukan operasi mengalami perbaikan klinis yang signifikan. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara perubahan cobb’s angle, teknik operasi, cobb’s angle preoperasi, onset, jenis kelamin, level laminektomi, dan resektabilitas dengan luaran klinis pascaoperasi.
Kesimpulan: Teknik operasi dan cobb’s angle preoperasi merupakan faktor prediktor yang berpengaruh terhadap besarnya kemungkinan perubahan cobb’s angle pascaoperasi tumor spinal primer regio cervical. 

Introduction: Spinal curvature can be a benchmark for assessing body posture, the function of the spine in protecting the nerve structures within it, and can affect a person's quality of life. Primary spinal tumors are one of the causes of spinal curvature abnormalities or deformities. This disease requires surgery as the main treatment. Unfortunately, surgery has the potential to disrupt the components that form spinal curvature. This paper aims to examine changes in postoperative curvature, influencing factors, and see their relationship with postoperative clinical outcomes.
Methods: This study used a retrospective cohort approach, using data on patients with primary spinal tumors who underwent surgery from January 2017 to December 2022 at Cipto Mangunkusumo Hospital. The subjects of this study were patients over 18 years of age, who had supporting examinations in the form of spinal MRI and complete medical records, who underwent surgery without fusion. Spinal curvature was assessed using the Cobb method on MRI before and after surgery at 6 months, and clinical outcomes were assessed using data from medical records
Results: A total of 32 patients met these criteria, and 81.3% included intradural-extramedullary tumors with schwannoma being the most common type. There was a change in the C2-C7 angle of -3.81 ± 2.97 degrees towards kyphotic (p=0.003) in the cervical region. In the thoracic region, we found a change in the upper thoracic angle (Th1-Th5) of 1.28 ± 0.51 degrees towards khypotic (p=0.000). There was no change in the Cobb angle in spinal tumors in the lumbosacral region. Clinically, preoperative VAS affected curvature in the lumbosacral region (p=0.036). Multivariate analysis showed that there was a significant influence between surgical technique (hemilaminectomy vs laminectomy), and preoperative Cobb's angle values in the cervical region (C2-C7). In this study, all cases of spinal tumors that underwent surgery experienced significant clinical improvement. There were no significant differences between changes in Cobb's angle, surgical technique, preoperative Cobb's angle, onset, gender, laminectomy level, and resectability and postoperative clinical outcomes.
Conclusion: Surgical technique and preoperative Cobb's angle are predictor factors that influence the likelihood of changes in Cobb's angle after surgery for primary spinal tumors in the cervical region.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Muhammad Nobel
"Plain film merupakan modalitas standar radiologi semua rumah sakit di Indonesia dan biaya relatif rendah. Dalam diagnosis kanal spinal stenosis , CT scan lebih baik tetapi plain film lebih tersedia .Rerata sagital diameter terbesar pada C6 (18mm) dan yang terkecil C4 (17,0mm). Terdapat perbedaan bermakna berdasarkan jenis kelamin, berat badan, tinggi badan sedangkan usia tidak. Korelasi kuat didapatkan pada pengukuran sagital diameter dari C3-C7 sedangkan interpedikel korelasinya lemah. Didapatkan sagital c3 (r=0,85), c4 (r=0,84), c5(0,84), c6(r=0,81) dan c7(r=0,86) sedangkan interpedikel c3(r=0,23), c4 (r=0,51), c5(r=0,47), c6 (r=0,84) dan c7(r=0,56).

Plain film is modality standar of radiology for all hospital in Indonesia and cost cheaper. In diagnosis stenosis of spinal canal, Ct scan better than Plain film but plain film more avalaible. The mean sagital diameter of the cervical canal at the biggest 18 mm (C6) and smallest 16 mm (C4). There was significantly correlation of sex,body weight, and height but no with age. Result of corelation between plain film and ct scan there was strong corelation at sagital diameter but weak at interpedikel diameter. We can see at C3 sagital (r = 0,85), C4 sagital (r= 0,84), C5 (r=0,84), C6 (r=0,81) and C7 (r=0,86). Otherwise interpedikel diameter C3 (r=0,23, p=0,11), C4 (r=0,51), C5 (r=0,47), C6 (r=0,48), and C7 (r=0,56).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanung Sunarwibowo
"ABSTRAK
OBJECTIVE: We determined whether the accuracy of thoracaolumbar pedicle screw
direction placement is optimized with a technique using anatomic landmarks for
pedicle screw and using S30 as guidance (Technique 1). This technique was
compared with a technique using anatomic landmarks for pedicle screw placement
without S3D as guidance (Technique 2).
METHODS: T7-L1 specimens were harvested from fresh human cadavers. Pedicle
screw placement using technique 2 was performed on lelt side. Vertebral rotation
and vertebral tilting measurement was determined using S3D. Then pedicle screw
placement using technique 1 was performed on right side. Axial dissections were
performed on pedicular specimens. Deviation of the screws from the ideal entry point
or trajectory was analyzed to quantitatively compare the two techniques.
RESULTS: Axial analysis of the specimens showed that all screw placements were
within the pedicles. Scatter plot analysis demonstrated that screws placed using
Technique 2 were more likely to have the combination of entry points and
trajectories medial to the ideal entry point and trajectory.
CONCLUSION: All screw placements were grossly within the confines of the
pedicles, regardless of technique, as evidenced by axial dissections analysis."
2007
T21343
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pada tehnik anestesi spinal pasien diharuskan bedrest antara 24-48 jam, dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara Iain: dosis dan konsentrasi obat, volume yang dimasukkan/disuntikkan, tempat dan rate injeksi,
tekanan cairan cerebrospinal, panjang columna vetebra, dan posisi pasien saat injeksi dan segera setelah
injeksi. Bila tidak melakukan bedrest antara 24-48 jam, maka timbul komplikasi paska anestesi spinal
yang mengganggu kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari (Groah,1990). Penelitian ini bertujuan
mencari hubungan paska dilakukan anastesi spinal dengan tingkat kemampuan melakukan aktivitas sehari-
hari. Penelitian ini menggunakan desain korelatif dengan mengambil total sampling sebanyak 32 orang di
RS lnternasional Bintaro. Alat pengumpul data yang dipakai menggunakan lembar observasi, dengan
analisa data menggunakan analisa univariat proporsi dan analisa bivarial Uji hipotesa Anova satu arah
didapatkan nilai P = 0, 107 dengan konfident interval 95% (a= 0,05) nila P> alpha, kesimpulannya adalah Ho
ditolak dan Ha diterima, tidak ada hubungan yang bermakna antara paska penggunaan anastesi spinal
dengan tingkat kemampuan aktivitas sehari-hari. Saran yang paling utama adalah dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan sampel yang Iebih banyak, heterogen, waktu yang cukup panjang dan tidak
menggunakan kroseksional."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5681
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>