Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173871 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raissa Dwifandra Putri
"Delinkuensi merupakan beragam bentuk perilaku antisosial yang dilakukan oleh remaja dan telah masalah serius di kalangan remaja di dunia, termasuk di Indonesia. Remaja dipanti asuhan merupakan salah satu populasi yang rentan terhadap delinkuensi karena beragam masalah yang dihadapi di panti asuhan. Namun, Perspektif Psikologi Positif menjelaskan bahwa setiap remaja memiliki inner strength untuk mencegah dirinya terhadap perilaku delinkuen, seperti religiusitas dan resiliensi. Penelitian ini ingin membuktikkan kontribusi religiusitas dan resiliensi terhadap perilaku delinkuen remajadi panti asuhan di Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian korelasional. Partisipan penelitian adalah remaja berusia 11-19 tahun M =14,88; SD = 1,93. Penelitian ini dilakukan di 19 panti asuhan di Jakarta, dengan total partisipan sebanyak 403 remaja laki-laki = 179 remaja; perempuan = 224 remaja. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat kontribusi religiusitas dan resiliensi secara bersama-sama terhadap perilaku delinkuen remaja di panti asuhan di Jakarta. Besar kontribusi yang diberikan adalah 5,3. Secara parsial, religiusitas memiliki kontribusi terhadap perilaku delinkuen remaja di panti asuhan di Jakarta.

Delinquency is a variety of forms of antisocial behavior performed by adolescents andbecome a serious problem among adolescents in the world, including in Indonesia.Adolescents in orphanages are one of vulnerable population to delinquency because ofthe various problem which faced in orphanages. However, the Positive PsychologyPerspective explains that every adolescent has inner strength to prevent himself againstdelinquent behavior, such as religiosity and resilience. This research wants to indicatethe contribution of religiosity and resilience to delinquency among adolescents atorphanages in Jakarta. This research is a quantitative research with correlational designstudy. Participants are adolescents whose aged 11 19 years M 14,88 SD 1,93. Thestudy was conducted in 19 orphanages in Jakarta, with total participants are 403adolescents male 179 adolescents, female 224 adolescents . The results of thisstudy indicate there is a contribution of religiosity and resilience to delinquency amongadolescents at orphanages in Jakarta. Bigger contribution given is 5.3 . Partially,religiosity has contributed to the behavior of delinkuen adolescents in orphanages inJakarta."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
T49248
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rahma Murbowo
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat kontribusi self-compassion terhadap subjective well-being pada remaja panti asuhan di Jakarta. Salah satu faktor yang dapat memengaruhi subjective well-being adalah tercapainya tujuan atau goal dan harapan Diener Scollon, 2003. Permasalahan di kehidupan panti asuhan menunjukkan kemungkinan tidak tercapainya tujuan dan harapan remaja saat mereka masuk ke panti asuhan. Saat tujuan dan harapan tersebut tidak tercapai, maka akan muncul emosi negatif yang dapat menurunkan subjective well-being Zessin, Dickhauser, Garbade, 2015. Self-compassion dapat mengurangi pengaruh emosi negatif yang ditimbulkan oleh kegagalan tersebut sehingga tingkat subjective well-being tetap baik. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan jumlah partisipan 100 orang 51 perempuan berusia 14-18 tahun yang tinggal di panti asuhan di Jakarta. Alat ukur yang digunakan yaitu Self-Compassion Scale Neff, 2003 untuk mengukur self-compassion, The Satisfaction with Life Scale Diener, Emmons, Larsen, Griffin, 1985, dan Positive and Negative Affect Schedule Watson, Clark, Tellegan, 1988 untuk mengukur subjective well-being. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self-compassion tidak berkontribusi secara signifikan terhadap kepuasan hidup R2 = 0.006, p =0.445, berkontribusi secara signifikan terhadap afek positif R2= 0.091, p = 0.002 dan afek negatif R2= 0.155, p = 0.000 pada remaja panti asuhan di Jakarta.

This research was conducted to investigate the self compassions contribution to subjective well being among orphanage adolescents at Jakarta. The factor that could influence subjective well being are goals and expectations Diener Scollon, 2003 . The troubles that occur in daily life of orphanages show the possibility of goals and expectations which do not achieved. When one experienced failure on goal achievement, negative emotion would appear and lowered the subjective well being Zessin, Dickhauser Garbade, 2015. Self compassion could alleviate the negative emotional influence of failure, so the subjective well being stayed positive. There were 100 participants 51 female from orphanages at Jakarta aged 14 to 18 for this study. The data were collected using Self Compassion Scale Neff, 2003 to measure self compassion, The Satisfaction With Life Scale Diener, Emmons, Larsen, Griffin, 1985 and Positive Negative Affect Schedule Watson, Clark, Tellegan, 1988 to measure subjective well being. Result from this study indicated that self compassion does not significantly contribute to life satisfaction R2 0.006, p 0.445, significantly contributes to positive affect R2 0.091, p 0.002 and also to negative affect R2 0.155, p 0.000 of subjective well being among orphanage adolescents in Jakarta."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awwalisa Sarfinah
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat besaran kontribusi perceived social support terhadap subjective well-being pada remaja panti asuhan di Jakarta. Remaja panti asuhan dipilih karena mereka menghadapi kondisi kehidupan yang berbeda dengan remaja secara umum. Partisipan dalam penelitian ini adalah 130 remaja berusia 11 ndash; 21 tahun yang berasal dari 11 panti di Jakarta. Pengambilan data dilakukan dengan meminta partisipan untuk mengisi kuesioner perceived social support dan subjective well-being. Perceived social support diukur dengan menggunakan alat ukur Multidimensional Scale of Perceived Social Support yang dikembangkan oleh Gregory D. Zimet 1988 . Subjective well-being diukur dengan menggunakan dua alat ukur yang berbeda. Alat ukur Satisfaction With Life Scale yang disusun oleh Ed Diener 1985 digunakan untuk mengukur komponen kognitif kepuasan hidup. Alat ukur Positive Affect and Negative Affect Schedule PANAS yang dikembangkan oleh Watson, Clark, Tellegan 1988 digunakan untuk mengukur afeksi positif dan negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perceieved social support berkontribusi secara signifikan terhadap komponen afeksi positif subjective well-being R2 = 0,146, p = 0,000, namun tidak berkontribusi secara signifikan terhadap komponen kognitif kepuasan hidup subjective well-being R2 = 0,019, p = 0,328 dan terhadap komponen afeksi negatif subjective well-being R2 = 0,027, p = 0,478. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi perceived social support yang dimiliki oleh remaja panti asuhan, maka semakin tinggi juga afeksi positif subjective well-being yang dimilikinya.

This research paper is conducted to investigate the contribution of perceived social support in subjective well being among the orphanage adolescents in Jakarta. The adolescent orphanages are selected because they have different living conditions with adolescents in general. The research subjects are 130 adolescents between 11 ndash 21 years old who lived in 11 orphanage in Jakarta. The data is collected by asking participants to fill out perceived social support and subjective well being questionnaires. Perceived social support was measured by Multiple Scale of Perceived Social Support constructed by Gregory D. Zimet 1988. Subjective well being was measured using two different instruments. Cognitive component life stastisfaction of subjective well being was measured by Satisfaction With Life Scale constructed by Ed Diener 1985. Affective component positive and negative affection was measured by Positive Affect and Negative Affect Schedule PANAS constructed by Watson, Clark, Tellegan 1988 . The result of this research showed that perceived social support has significantly contributed to positive affect component of subjective well being R2 0,146, p 0,000 but perceived social support has no significant contribution to cognitive component or life satisfaction R2 0,019, p 0, 0,328 and negative affect component of subjective well being R2 0,027, p 0,478. These results indicate that the higher perceived social support they feel, the higher positive affect of subjective well being they have."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Firoh
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara religious coping dan psychological well-being pada remaja panti asuhan di Jakarta. Banyaknya pengalaman negatif yang dialami oleh remaja panti asuhan, membuat remaja tidak berdaya yang berpengaruh pada kesejahteraan psikologis. Oleh karena itu, penting bagi remaja panti asuhan untuk mampu melakukan coping yang efektif agar psychological well-being mereka menjadi lebih baik, salah satunya dengan penggunaan religious coping. Penelitian ini bersifat korelasional dengan menggunakan sampel remaja panti asuhan usia 12 - 20 tahun dan telah menetap setidaknya selama satu tahun di panti asuhan N = 138, laki-laki = 70. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian adalah Ryffs Scales of Psychological Well-Being untuk mengukur psychological well-being dan Brief RCOPE untuk mengukur religious coping. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara positive religious coping dan psychological well being r = .397, p < .01, dan hubungan negatif yang signifikan antara negative religious coping dan psychological well-being r = -.194, p < .05.

The purpose of this study is to find out the relationship between religious coping and psychological well being in adolescents at orphanages in Jakarta. The number of negative experiences happened to adolescents in orphanages, it makes them helpless and affects their psychological well being. Therefore, it is important for them to be able in performing effective coping to enhance their psychological well being, one of the way by the use of religious coping. This study was correlational by using a sample of adolescents orphans aged 12 to 20 years and has been living for at least one year in an orphanage N 138, male 70. The instruments used in this study were Ryff 39 s Scales of Psychological Well Being to measure psychological well being and Brief RCOPE to measure religious coping. The result of correlation analysis shows that there is a significant positive correlation between positive religious coping and psychological well being r .397."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Halimah Wibowo
"ABSTRAK

Penelitian ini meneliti tentang kontribusi religiusitas dan ketahanan terhadap pengaruh teman sebaya dalam memprediksi kencenderungan delinkuensi pada santri yang tinggal di pesantren X di Bekasi, Indonesia. Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu kuantitatif dan kualitatif untuk mengumpulkan data. Sebanyak 143 orang santri berpartisipasi dalam penelitian, dengan rincian 72 orang perempuan dan 71 orang laki-laki, dengan rentang usia 12 sampai 18 tahun. Penelitian ini menggunakan tiga alat ukur yaitu: 1) Centrality of Religiosity Scale, (2) Resistance to Peer Influence Questionaire dan 3) Self-Report Delinquency Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa religiusitas dan ketahanan terhadap pengaruh teman sebaya memiliki kontribusi sebesar 12,8% dalam memprediksi delinkuensi. Bentuk delinkuensi yang paling sering terjadi di pesantren yaitu pelanggaran status. Berdasarkan wawancara, delinkuensi di pesantren X muncul karena kurangnya pengawasan dari guru dan sanksi yang diberikan tidak konsisten dan bentuk sanksi kurang mampu mengatasi perilaku delinkuen pada santri


ABSTRACT

This study is interested in examining the contribution of religiosity and resistance to peer influence in predicting delinquency tendency among adolescents who live in pesantren X as a traditional islamic school in Bekasi, Indonesia. This study used mixed design method (quantitative and qualitative) in order to obtain the data.  There are a total of 143 students participate in this study, which consist of 72 females and 71 males, between the ages of 12 to 18. Three measures are used to gather information: 1) Centrality of Religiosity Scale, (2) Resistance to Peer Influence Questionaire and 3) Self-Report Delinquency Scale. The results showed that there is a contribution of religiosity and resistance to peer influence contribute 12.8% in predicting delinquent behaviour in adolescent students who live in pesantren. The results revealed that most of the students who live in pesantren engage in the offense behaviour. Further, interview with the students revealed that lack of supervision and inconsistency of consequences from teacher and/or caregivers in Pesantren are the caused of delinquency in this population."

Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T52008
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mely Putri Kurniati Rosalina
"Resiliensi keluarga menjelaskan mengenai proses keluarga dalam menyelesaikan masalah dan beradaptasi sebagai satu kesatuan yang fungsional.Walsh (2003) membuat suatu model bagi resiliensi keluarga yang di dalamnya dijelaskan mengenai tiga proses kunci yang dianggap berkontribusi terdap resiliensi keluarga : sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi di dalam keluarga.
Penelitian ini ingin melihat kontribusi spiritualitas dan religiusitas yang merupakan bagian dari sistem kepercayaan keluarga terhadap resiliensi keluarga pada mahasiswa dengan latar belakang keluarga miskin. Penelitian dilakukan pada 356 mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi. Terdapat tiga alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Walsh Family Resilience Questionnaire (WRFQ), Spirituality Attitude and Involvement List (SAIL) dan Religious Commitment Inventory-10 (RCI-10).
Kesimpulan yang diperoleh adalah terdapat pengaruh spiritualitas dan religiusitas terhadap resiliensi keluarga. Selain itu ditemukan korelasi yang signifikan antara resiliensi keluarga dengan besar keluarga dan keutuhan orangtua. Selain itu resiliensi, spiritualitas dan religiusitas berkorelasi secara signifikan dengan keikutsertaan anggota keluarga dalam kelompok agama. Penelitian ini juga membuktikan bahwa spiritualitas memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan religiusitas dalam pengembangan resiliensi keluarga.

Family resilience refers to coping and adaptation processes in the family as a functional unit (Walsh, 2006). There is a model of family resilience based on Walsh (2003) consist three key processes: family believe system, organizational pattern, communication processes.
This research aims to know spirituality and religiosity?s contribution, part of family belief system, on family resilience of college students with poor family background. Total participant are 356 college students who receive Bidikmisi scholarship. There are three scales, Walsh Family Resilience Questionnaire (WRFQ), Spirituality Attitude and Involvement List (SAIL) and Religious Commitment Inventory-10 (RCI-10).
This research concludes that there is effect of spirituality and religiosity in family resilience.There is significant correlation between family resilience and family structure and marital condition. Family resilience, spirituality and religiosity also has significant correlation with family member?s participation in a religious group. This research shows that spirituality has a bigger effect than religiosity in family resilience.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46295
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gura Susana Waititalong
"Perilaku seksual remaja merupakan perilaku yang berkembang sejalan dengan perkembangan biologisnya. Pada masa remaja organ-organ seksualnya/reproduksi akan berkembang dan mengalami pubertas yang menandakan kematangan organ reproduksi remaja. Dalam konteks remaja khususnya remaja laki-laki di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) perilaku seksual remaja dapat menjadi menyimpang hingga membentuk perilaku seksual berisiko. Perilaku seksual berisiko ini dapat terjadi kerena pengalaman individu pada masa lalu. Perilaku seksual berisiko yang terjadi pada kasus-kasus remaja di PSAA berupa tindakan onani, meraba-raba kemaluan temannya, oral seks. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis proses terbentuknya dan berkembangnya perilaku seksual berisiko pada dua remaja laki-laki di PSAA, faktor internal dan eksternal individu yang membentuk perilaku seksual berisiko. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, jenis penelitian berupa studi kasus pada remaja yang berperilaku seksual berisiko yang merupakan pelaku dan juga korban, untuk menggambarkan awal terbentuknya perilaku, berkembangnya perilaku, hingga pemantapan perilaku seksual berisiko pada kasus-kasus di PSAA. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa perilaku seksual berisiko yang terbentuk dari remaja GB, FR, dan IM berawal dari dari mereka menjadi korban tindakan perilaku seksual berisiko pada masa kanak-kanak. Kemudian terus berkembang hingga menjadi pelaku perilaku seksual berisiko. Proses terbentuknya perilaku seksual berisiko yang terjadi pada remaja GB, FR dan IM dapat dijelaskan dalam perspektif pendekat sistem mikro, messo danmakro Ashman dan Zastrow. untuk memahami perkembangan individu dalam secara menyeluruh. Pengalaman individu yang dialami remaja pada masa lalu, berlanjut hingga masa remaja disertai dengan keterkaitannya pada konteks tempat tinggal dalam asuhan panti sangat memberikan kontribusi satu dengan lainnya dalam keterkaitannya pada proses terbentuknya dan berkembanganya perilaku seksual berisiko pada remaja di PSAA.

Adolescent sexual behavior is behavior that develops in line with biological development. In adolescence, the sexual / reproductive organs will develop and experience puberty which indicates the maturity of the adolescent reproductive organs. In the context of adolescents, especially teenage boys at the Children's Social Institution (PSAA), adolescent sexual behavior can deviate to form risky sexual behavior. This risky sexual behavior can occur because of the individual's past experiences. Risk sexual behavior that occurs in cases of adolescents at the PSAA is in the form of masturbation, groping a friend's genitals, oral sex. The purpose of this study was to identify and analyze the process of forming and developing risky sexual behavior in two teenage boys at PSAA, the internal and external factors of individuals that shape risky sexual behavior. This research uses a qualitative approach, the type of research in the form of case studies on adolescents who have sexual risky behavior who are both perpetrators and victims, to describe the early formation of behavior, development of behavior, to consolidation of risky sexual behavior in cases at PSAA. The results of this study explain that risky sexual behavior that is formed from adolescents with GB, FR, and IM begins when they become victims of risky sexual behavior in childhood. Then it continues to develop until it becomes a perpetrator of risky sexual behavior. The process of forming risky sexual behavior that occurs in GB, FR and IM adolescents can be explained in the perspective of the micro system approach, Ashman and Zastrow's micro-system approach. to understand individual development in a holistic manner. Individual experiences experienced by adolescents in the past, continuing into adolescence accompanied by their relationship to the context of living in orphanages greatly contributed to one another in relation to the process of forming and developing risky sexual behavior in adolescents in PSAA."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vera Setianingsih
"Remaja menjadi masa yang rentan terjadi perilaku menyimpang seperti perilaku delinkuen, penyalahgunaan obat terlarang, ancaman seks bebas, terlibat dalam geng, penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi dan lain sebagainya. Selain itu, kekerasan dan konflik antar ayah dan ibu sering terjadi dalam keluarga. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi hubungan persepsi remaja tentang Konflik antar ayah dan ibu terhadap perilaku delinkuensi remaja. Desain dalam penelitian adalah cross-sectional dan menggunakan kuesioner Children's Perception of Interparental Conflict (CPIC) dan Self-Report Delinquency Scale (SDRS). Penelitian ini dilakukan dengan melibatkan 112 responden pelajar SMP X, SMA X, dan SMA Y di Kota Depok. Data dianalisis dengan uji pearson chi -square untuk mengetahui hubungan persepsi remaja tentang konflik antar ayah dan ibu terhadap perilaku delinkuensi remaja. Hasil menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna dengan nilai p value . Saran untuk memaksimal peran konselor sebaya untuk membantu manajemen persepsi yang menyebabkan cemas dan depresi.

Adolescents are a period that is vulnerable to deviant behavior such as delinquent behavior, drug abuse, threats of free sex, involvement in gangs, sexually transmitted diseases, unwanted pregnancies, abortions and so on. In addition, violence and conflicts between fathers and mothers often occur in families. The purpose of this study was to identify the relationship between adolescent perceptions of conflict between fathers and mothers on adolescent delinquency behavior. The design in this study was cross-sectional and used the Children's Perception of Interparental Conflict (CPIC) and Self-Report Delinquency Scale (SDRS) questionnaires. This research was conducted by involving 112 students of SMP X, SMA X, and SMA Y in Depok City. The data were analyzed by using the Pearson chi-square test to determine the relationship between adolescent perceptions of conflict between fathers and mothers on adolescent delinquency behavior. The results show that there is no significant relationship with the p value > 0.05. Suggestions to maximize the role of peer counselors to help manage perceptions that cause anxiety and depression."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amindari Nadia Fitriyanti
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat peranan keberfungsian keluarga dalam memprediksi delinkuen pada remaja di Jakarta. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat kontribusi tiap-tiap dimensi keberfungsian keluarga terhadap perilaku delinkuen. Pengukuran keberfungsian keluarga dilakukan menggunakan adaptasi alat ukur Family Assessment Device FAD yang disusun oleh Epstein, Baldwin dan Bishop 1983 . FAD memiliki 7 dimensi yaitu 6 dimensi kerfungsian keluarga mengacu ke McMaster Model of Family Functioning dan 1 dimensi keberfungsian keluarga secara umum. Nilai koefisien reliabilitas untuk dimensi problem solving adalah sebesar 0.807, dimensi komunikasi sebesar 0.544, dimensi role functioning sebesar 0.630, dimensi respon afektif sebesar 0.707, dimensi keterlibatan afektif sebesar 0.678, dimensi kontrol perilaku sebesar 0.696, dan general functioning sebesar 0.830. Pengukuran perilaku delinkuen dilakukan dengan alat ukur perilaku delinkuen yang dikembangkan oleh Nurwianti 2015. Nilai koefisien reliabilitas untuk alat ukur perilaku delinkuen adalah sebesar 0.711. Partisipan pada penelitian ini berjumlah 289 responden dengan karakteristik berusia 12-17 tahun dan belum menikah, tinggal di Jakarta atau bersekolah di Jakarta, dan mampu membaca dan menulis. Melalui teknik simple regression, diperoleh hasil bahwa persepsi mengenai keberfungsian keluarga dapat memprediksi perilaku delinkuen R=.382.

This research is conducted to examine whether family functioning could predict delinquent behavior among adolescence in Jakarta. Contribution of each family functioning dimensions is also examined. Family functioning is measured with an adaptation of Family Assessment Device FAD which was created by Epstein, Baldwin and Bishop 1983. FAD has 7 measuring dimensions, 6 of which are family functioning in accordance to McMaster Model of Family Functioning and 1 dimension of general functioning scale. Reliability coefficient for problem solving is 0.807, 0.544 for communication, 0.630 for role functioning, 0.707 for affective response, 0.678 for affective involvement, 0.696 for behavior control, and 0.830 for general functioning. Delinquency is measured with delinquency scale created by Nurwianti 2015 with a reliability coefficient of 0.711. Participants of this study consist of 289 adolescence in Jakarta with following characteristics aged 12 ndash 17 and not married, currently living in Jakarta or undergoing a study in Jakarta, and capable of reading and writing. Using simple regression analysis, the result pointed out that perceived family functioning could predict delinquent behavior R .382."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S66843
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Septiani
"Penelitian ini membahas mengenai gambaran psychological well-being pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, yaitu penelitian untuk menggambarkan keadaan populasi tertentu dengan menganalisis data yang diolah menggunakan perhitungan statistik. Responden dalam penelitian ini adalah 112 orang remaja berusia 11 sampai 21 tahun yang tinggal di panti asuhan. Pengukuran psychological well-being dilakukan menggunakan Ryff’s Scales of Psychological Well-Being yang berjumlah 18 item.
Hasil penelitian menunjukkan skor rata-rata psychological well-being seluruh responden sebesar 80,79 (SD=8,604). Dimensi psychologicial well-being yang menonjol adalah dimensi personal growth, sedangkan dimensi dengan skor paling rendah merupakan dimensi positive relations with others. Selanjutnya berdasarkan analisis tambahan ditemukan perbedaan yang signifikan antara skor psychological well-being remaja yang tinggal di panti asuhan dengan sistem asrama dan sistem cottage.

This research aims to depict psychological well-being in adolescents who live in orphanage. This is a descriptive research with a quantitative approach. Respondents of this research are 112 adolescents aged 11 to 21 years old who live in orphanage. The instrument that is used to measure psychological well-being is Ryff’s Scales of Psychological Well-Being which consists of 18 items.
The result shows that the mean score of psychological well-being is 80,79 (SD=8,604). The most prominent dimension is personal growth, while the dimension with the lowest score is positive relations with others. Furthermore, this research found a significant difference between respondents who live in orphanage with boarding system and cottage system.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45891
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>