Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188531 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Farhan Maruli
"Ventilator-associated pneumonia VAP punya prevalensi yang tinggi pada pasien pediatric intensive care unit PICU . Gizi lebih overweight dan obesitas dicurigai sebagai salah satu faktor risiko VAP namun hubungannya kurang diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara gizi lebih dan kejadian VAP pada pasien PICU RSCM. Desain studi ini adalah cross-sectional analitik dengan data rekam medis pasien PICU RSCM yang mendapat ventilasi mekanik pada periode 2014 ndash;2016. Pasien dikatakan menderita gizi lebih berdasarkan assessment gizi pada rekam medis atau berdasarkan data antropometri dengan rujukan kriteria WHO atau CDC jika assessment gizi tidak ada. VAP ditentukan berdasarkan diagnosis tertulis pada rekam medis atau adanya gejala dan tanda yang memenuhi kriteria NNIS/CDC. Data tambahan yang diambil antara lain ada tidaknya kondisi immunocompromised, reintubasi, enteral feeding, penggunaan imunosupresan, antibiotik atau profilaksis stress ulcer. Sebanyak 64 pasien diikutsertakan sebagai subjek. Gizi lebih ditemukan pada 12 pasien 18.8 dan VAP pada 12 pasien 18.8 . Hanya satu pasien dengan gizi lebih mengalami VAP. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara gizi lebih dan kejadian VAP pada pasien PICU RSCM two-sided p = 0.436 dengan uji Fisher , mungkin karena sampel terlalu kecil. Penelitian prospektif dengan sampel yang cukup dibutuhkan untuk mengetahui hubungan antara gizi lebih dan VAP.

Ventilator associated pneumonia VAP is prevalent among pediatric intensive care unit PICU patients. Overnutrition overweight and obesity is a candidate for VAP risk factor but research into the link is wanting. This study aimed to investigate the association between overnutrition and VAP among PICU patients in RSCM. Medical records of RSCM PICU patients undergoing mechanical ventilation between 2014 and 2016 were used in this analytic cross sectional study. Overnutrition was established based on the nutritional assessment on the patient rsquo s medical record or anthropometric data using WHO or CDC criteria if the former was not available. VAP was established based on recorded diagnosis or the presence of signs and symptoms meeting the NNIS CDC criteria. Additional data include whether the patient was immunocompromised, reintubation, enteral feeding, use of immunosuppressants, antibiotics and stress ulcer prophylaxis. A total of 64 patients was included as subjects. Overnutrition was identified in 12 patients 18.8 and VAP in 12 patients 18.8 . Only one overnourished patient had VAP. This study found no association between overnutrition and VAP two sided p 0.436 by Fisher rsquo s test , probably because the sample was too small. Prospective studies with adequate sample sizes are needed to understand the link between overnutrition and VAP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koe Stella Asadinia
"Latar belakang: Ventilator-associated pneumonia VAP merupakan jenis infeksi nosokomial terbanyak pada pasien pediatric intensive care unit PICU. VAP menyebabkan pemanjangan durasi ventilasi mekanik, durasi hospitalisasi, dan kematian. Omeprazole direkomendasikan sebagai profilaksis dan pengobatan stress ulcer pada pasien PICU dengan ventilator. Omeprazole diduga dapat meningkatkan kejadian VAP melalui peningkatan kolonisasi bakteri lambung. Namun, belum banyak studi yang meneliti pengaruh ini pada populasi pasien PICU.
Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian omeprazole terhadap kejadian VAP pada Pasien PICU di RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo.
Metode: Studi ini dilaksanakan dengan metode cross-sectional dengan 58 subjek. Sampel diambil dari rekam medis pasien PICU tahun 2014 hingga 2016. Subjek terdiri dari dua kelompok, yaitu pasien PICU dengan ventilator yang diberi omeprazole dan tidak diberi omeprazole.
Hasil: Karakteristik subjek meliputi jenis kelamin, usia, status gizi, faktor risiko potensial, dan keluaran berupa durasi hospitalisasi, durasi intubasi, dan kematian. Sejumlah 9 dari 29-31 subjek yang diberi omeprazole mengalami VAP dan 3 dari 29-10 subjek yang tidak diberi omeprazole mengalami VAP. Uji Chi-square menunjukkan hubungan tidak bermakna antara omeprazole dan kejadian VAP dengan nilai p=0.105 dan prevalence ratio PR 3.00-95 CI 0.903-9.970.
Diskusi: Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pemberian omeprazole tidak berpengaruh terhadap kejadian VAP pada pasien PICU.

Background: Ventilator associated pneumonia VAP is the most common nosocomial infection among pediatric intensive care unit PICU patients. VAP prolongs duration of intubation and hospitalization and increases mortality. Omeprazole is often used as prophylaxis and therapy for stress ulcer, a common disease in PICU patients. Omeprazole is suspected to increase VAP incidence through gastric colonization.
Aim: To determine the effect of omeprazole on incidence of ventilator associated pneumonia among RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo PICU Patients.
Methods: This is a cross sectional study with 58 subjects obtained from PICU medical records from 2014 to 2016. Subjects were put into two categories 1 PICU patients who received omeprazole, and 2 PICU patients who did not receive omeprazole.
Results: Subject characteristics include sex, age, nutritional status, potential risk factors, and outcome duration of hospitalization, duration of intubation and mortality. A number of 9 of 29 31 patients who received omeprazole developed VAP and 3 of 29 10 patients who did not receive omeprazole developed VAP. Chi square test showed no significant difference in the incidence of VAP in the two categories p 0.105 and prevalence ratio PR 3.00 95 CI 0.903 9.970.
Discussion: Omeprazole does not affect the incidence of VAP on PICU patients in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Riahdo Juliarman
"Latar Belakang: Ventilator-associated pneumonia (VAP) merupakan infeksi yang sering terjadi di intensive care unit (ICU) dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Pengetahuan tentang prediktor mortalitas dapat membantu pengambilan keputusan klinis untuk tatalaksana pasien. Studi-studi tentang faktor prediktor mortalitas VAP menunjukkan hasil yang berbeda-beda dan tidak ada penelitian yang komprehensif di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien VAP di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien ICU RSCM yang didiagnosis VAP selama tahun 2003-2012. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (hidup atau meninggal) selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan pada variabel kelompok usia, infeksi kuman risiko tinggi, komorbiditas, renjatan sepsis, kultur darah, prokalsitonin, ketepatan antibiotik empiris, acute lung injury, skor APACHE-II, dan hipoalbuminemia. Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 201 pasien diikutsertakan pada penelitian ini. Didapatkan angka mortalitas selama perawatan sebesar 57,2%. Kelompok usia, komorbiditas, renjatan sepsis, prokalsitonin, ketepatan antibiotik empiris, dan skor APACHE II merupakan variabel yang berpengaruh terhadap mortalitas pada analisis bivariat. Prediktor mortalitas pada analisis multivariat adalah antibiotik empiris yang tidak tepat (OR 4,70; IK 95% 2,25 sampai 9,82; p < 0,001), prokalsitonin > 1,1 ng/mL (OR 4,09; IK 95% 1,45 sampai 11,54; p = 0,01), usia ≥ 60 tahun (OR 3,71; IK 95% 1,35 sampai 10,20; p = 0,011), dan adanya renjatan sepsis (OR 3,53; IK 95% 1,68 sampai 7,38; p = 0,001).
Kesimpulan: Pemberian antibiotik empiris yang tidak tepat, prokalsitonin yang tinggi, usia 60 tahun atau lebih, dan adanya renjatan sepsis merupakan pediktor independen mortalitas pada pasien VAP.

Background: Ventilator-associated pneumonia (VAP) is a frequent infection with high mortality rates in intensive care unit (ICU). The prediction of outcome is important in decision-making process. Studies exploring predictors of mortality in patients with VAP produced conflicting results and there are no comprehensive reports in Indonesia.
Objective: To determine predictors of mortality in patients with VAP in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: We performed a retrospective cohort study on patients admitted to the ICU who developed VAP between 2003?2012. Clinical and laboratory data along with outcome status (survive or non-survive) were obtained for analysis. We compared age, presence of high risk pathogens infection, presence of comorbidity, septic shock status, blood culture result, procalcitonin, appropriateness of initial antibiotics therapy, presence of acute lung injury, APACHE II score, and serum albumin between the two outcome group. Logistic regression analysis performed to identify independent predictors of mortality.
Results: A total of 201 patients were evaluated in this study. In-hospital mortality rate was 57.2%. Age, comorbidity, septic shock status, procalcitonin, appropriateness of initial antibiotics therapy, and APACHE II score were significantly different between outcome groups. The independent predictors of mortality in multivariate logistic regression analysis were inappropriate initial antibiotics therapy (OR: 4.70; 95% CI 2.25 to 9.82; p < 0.001), procalcitonin > 1.1 ng/mL (OR: 4.09; 95% CI 1.45 to 11.54; p = 0.01), age ≥ 60 years old (OR: 3.71; 95% CI 1.35 to 10.20; p = 0.011), and presence of septic shock (OR: 3.53; 95% CI 1.68 to 7.38; p = 0.001).
Conclusion: Inappropriate initial antibiotic therapy, high serum procalcitonin level, age 60 years or older, and presence of septic shock were independent predictors of mortality in patients with VAP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arisanti Prabandini
"Ventilator associated-pneumonia VAP adalah pneumonia yang terjadi pada pasien yang terpasang ventilator melalui trakeostomi atau intubasi endotrakeal selama lebih dari 2 hari perawatan. VAP merupakan infeksi yang paling sering terjadi pada ICU dan menjadi penyebab morbiditas mayor, mortalitas, serta peningkatan biaya perawatan. Penelitian retrospective dengan pendekatan cross sectional bertujuan untuk mendapatkan gambaran kejadian VAP pada pasien di ICU RSUD dr. Soedono Madiun bulan Mei 2016 ndash; April 2017. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar pasien yang mengalami VAP adalah berusia dewasa madya 45,2 dengan jenis kelamin laki-laki 52,4 pada late onset 66,7 . Skor komorbiditas rendah 81,0 dan terbesar adalah cedera serebrovaskuler 35,7 . Sering di jumpai bakteri gram negatif 88,1 . Kejadian VAP tinggi disebabkan lama perawatan, kepatuhan klinisi pada pelaksanaan hand hygiene, SOP VAP bundle masih dalam pengembangan, serta mutasi perawat. Penting dilaksanakan penyusunan SOP intervensi VAP bundle yang efektif dan pendokumentasian kejadian VAP sesuai dengan standar CPIS sehingga kejadian VAP dilaporkan tepat.

Ventilator associated pneumonia VAP is defined as pneumonia that occured in patient with mechanical ventilation used tracheostomy or endotracheal intubation more than 2 days treatment. VAP is the most common infection in intensive care units ICUs and cause of mortality, major morbidity, and increased finansial burden. This retrospective study with cross sectional approach aimed to explain the VAP incidence of patient in ICU RSUD dr. Soedono Madiun in periode May 2016 until April 2017. The result of this study indicated that the most of patients that developed VAP was median age adult 45,2 male 52,4 late onset VAP 66,7 . The comorbidity score was low 81,0 and the most common was cerebrovascular injury 35,7 . The negative gram bacteria. was the most common microorganism 88,1 . The VAP incidence was high, because of the patient rsquo s length of stay, clinician rsquo s submission of hand hygiene, standard operational procedure of VAP bundle care still unfixed, and staff mutation. So important to arranged effective standard operational procedure of VAP bundle care and appropriate documentation of VAP incidence used CPIS until VAP incidence report was right."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S68892
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Seno Dwi Aribowo
"Perawat memiliki peran yang penting untuk mencegah pasien Intensive Care Unit yang terpasang ventilator agar tidak mengalami Ventilator Associated Pneumonia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan perawat Intensive Care Unit terhadap pencegahan Ventilator Associated Pneumonia di RSUP Fatmawati Jakarta. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional dengan analisis deskriptif pada 57 perawat Intensive Care Unit. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan perawat Intensive Care Unit RSUP Fatmawati berada dalam kategori sedang dengan persentase 74,04%. Penelitian ini menyarankan untuk perawat mengikuti pelatihan pencegahan Ventilator Associated Pneumonia sebagai upaya peningkatan pengetahuan dan penurunan angka kejadian Ventilator Associated Pneumonia di ruang Intensive Care Unit.

Nurses have important role to prevent Ventilator Associated Pneumonia in the mechanically ventilated patients in the Intensive Care Unit. This study aimed to described the level of knowledge of Intensive Care Unit nurses in the prevention of Ventilator Associated Pneumonia at RSUP Fatmawati Jakarta. This study used a cross sectional method with analytic descriptive to 57 nurses. The results of this study showed that the level of knowledge of Intensive Care Unit nurses at RSUP Fatmawati Jakarta are in the average-level with a percentage of 74.04%. This study suggested to following nursing training about Ventilator Associated Pneumonia prevention in order to increasing the knowledge level of Ventilator Associated Pneumonia prevention and as well as reducing the number of Ventilator Assoiated Pneumonia in the Intensive Care Unit."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S64595
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gina Purnamayanti
"ABSTRAK
Kesulitan berkomunikasi merupakan stressor yang paling berat bagi pasien yang menggunakan ventilasi mekanis. Ketidakmampuan berkomunikasi karena penggunaan alat bantu nafas dapat menyebabkan ansietas. Komunikasi efektif dapat membantu menurunkan ansietas dan kesulitan berkomunikasi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efektifitas writing board dan communication board dalam menurunkan ansietas dan kesulitan berkomunikasi pasien dengan ventilasi mekanis. Desain penelitian menggunakan quasi eksperimen dengan pre-post test without control grup pada 24 pasien yang menggunakan ventilasi mekanis di ruang rawat intensif. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang signifikan pada penurunan ansietas dan kesulitan berkomunikasi sebelum dan sesudah intervensi baik pada kelompok writing board maupun communication board p value < 0,05 , namun tidak ada perbedaan penurunan ansietas dan kesulitan berkomunikasi antara kedua kelompok tersebut p value > 0,05 . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa writing board dan communication board dapat direkomendasikan menjadi alternatif metode komunikasi yang efektif digunakan pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanis di ICU.

ABSTRACT
Communication difficulties is the most severe stressor for patients receiving mechanical ventilation. Inability to communicate due to the use of ventilatory support can cause anxiety. Effective communication can help reduce anxiety and communication difficulties. This study aimed to compare the effectiveness of writing board and communication board in lowering anxiety and communication difficulties in patients receiving mechanical ventilation. A total of 24 intensive care patients receiving mechanical ventilation, were included in this quasi experimental study that involved pre and post test without control group. The results showed a significant effect on the reduction of anxiety and communication difficulties before and after intervention in both communication board and writing board group p value 0.05 . This study results showed that writing board and communication board could be recommended as an effective alternative method of communication used in intensive care patients receiving mechanical ventilation "
2017
T46948
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hildebrand Hanoch Victor
"Latar Belakang. Pneumonia nosokomial adalah infeksi paru yang terjadi setelah pasien dirawat di rumah sakit setelah lebih dari 48 jam, tanpa adanya tanda dari infeksi paru pada saat perawatan. Jika dibandingkan dengan individu usia muda, pada individu usia lanjut lebih sering didapatkan adanya penyakit infeksi yang bersumber dari komunitas dan nosokomial dengan hasil akhir yang lebih buruk. Penilaian domain Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G) diharapkan dapat menjelaskan faktor yang berperan terhadap pneumonia nosokomial pada pasien usia lanjut.
Tujuan. Mengetahui proporsi pasien usia lanjut yang dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan mengalami pneumonia nosokomial dan apakah domain P3G merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian pneumonia nosokomial.
Metode. Kohort retrospektif dengan melihat rekam medis pasien usia ≥ 60 tahun yang menjalani rawat inap dalam rentang waktu Januari-September 2019 di ruang rawat medis Ilmu Penyakit Dalam Geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan mengambil data sekunder dari penelitian divisi geriatri. Sampel yang diambil adalah pasien yang dirawat inap dengan usia ≥ 60 tahun yang mengalami pneumonia nosokomial. Pengolahan data menggunakan aplikasi Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 16.0. 
Hasil. Dari 228 subjek, proporsi pneumonia nosokomial pada pasien usia lanjut yang menjalani rawat inap adalah 31,14%. Rerata usia adalah 69 tahun dengan rentang usia subjek antara 60-89 tahun. Status nutrisi (RO 2,226, IK95% 1,027-4,827) dan status fungsional (RO 3,578, IK95% 1,398-9,161) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian pneumonia nosokomial pada pasien usia lanjut yang menjalani rawat inap di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Simpulan. Proporsi pasien usia lanjut yang mengalami pneumonia nosokomial adalah 31,14%. Status nutrisi dan status fungsional merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian pneumonia nosokomial pada pasien usia lanjut yang dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Background. Nosocomial pneumonia is a lung infection that occurs after the patient is hospitalized for more than 48 hours, without any signs of pulmonary infection at the time of treatment. When compared with young individuals, elderly individuals are more likely to have community-sourced and nosocomial infections with worse outcomes. Comprehensive Geriatric Assessment (CGA) domains are expected to explain the factors that contribute to nosocomial pneumonia in elderly patients.
Objective. To determine the proportion of elderly treated at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital and experienced nosocomial pneumonia and whether the CGA domains influence nosocomial pneumonia.
Methods. A retrospective cohort by looking at the medical records of patients aged 60 years or older who were hospitalized in the medical ward of Geriatric Internal Medicine at Dr. Cipto Mangunkusomo National Central General Hospital in January-September 2019 and taking secondary data from the geriatric division research. The samples were taken from hospitalized patients aged 60 years or older who had nosocomial pneumonia. Data processing using the application of Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 16.
Result. From 228 subjects, the proportion of nosocomial pneumonia in elderly patients who were hospitalized was 31,14%. The mean age was 69 years with the subject's age range between 60-89 years. Nutritional status (OR 2.226, CI 95% 1.027-4.827) and functional status (OR 3.578, 95% CI 1.398-9.161) are factors that influence the incidence of nosocomial pneumonia in elderly patients who are hospitalized at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital.
Conclusion. The proportion of elderly patients with nosocomial pneumonia was 31.14%. Nutritional status and functional status are factors that influence the incidence of nosocomial pneumonia in elderly patients who are hospitalized at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Muhammad Yanuar Abdurrahman
"Pneumonia merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan bawah yang dapat disebabkan oleh kerusakan lingkungan fisik akibat dampak urbanisasi. Intervensi manajemen jalan nafas dengan mengajarkan anak napas dalam merupakan intervensi yang bertujuan untuk mengatasi masalah hambatan pertukaran gas. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan mendeskripsikan asuhan keperawatan pada anak dengan Pneumonia dan menganalisis penerapan intervensi manajemen jalan napas melalui napas dalam. Hasil karya ilmiah ini menunjukkan bahwa intervensi manajemen jalan napas melalui teknik napas dalam sangat efektif dilakukan pada anak dengan Pneumonia dibuktikan dengan  status pernapasan dan status oksigenasi anak yang membaik. Rekomendasi karya ilmiah ini adalah penerapan intervensi manajemen jalan napas pada anak dengan Pneumonia secara teratur dan terencana di ruang rawat anak di rumah sakit.

Pneumonia is a lower respiratory tract infection that can be triggered by damage to the physical environment due to the impact of urbanization. An airway management intervention by teaching children to conduct deep breathe is an intervention aimed at overcoming the problem of gas exchange. This paper aims to describe nursing care in children with Pneumonia and analyze the application of airway management interventions through deep breathing. The results of deep breathing implementation show that airway management intervention through deep breathing techniques was very effective in children with Pneumonia as evidenced by respiratory status and improved oxygenation status of children. The recommendation is that to implement airway management interventions in children with Pneumonia regulary and planned."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>