Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131968 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gilbert Mayer Christianto
"Osteogenesis Imperfecta OI adalah kelainan genetik pada gen pengkode kolagen yang menyebabkan kolagen tipe 1 tidak terbentuk. Manifestasi utama dari kelainan ini adalah pada jaringan ikat seperti tulang, dan kulit. Namun pada tipe yang parah ditemukan juga komplikasi pada sistem saraf, seperti hidrosefalus dan kraniosinostosis. Gangguan pada sistem saraf pusat dalam menyebabkan masalah pada berbagai fungsi otak, seperti perilaku. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan dari keparahan klinis OI dengan gangguan perilaku pada anak usia 5-12 tahun. Sebuah studi potong lintang, menggunakan rumus analitik korelatif numerik-numerik dibutuhkan jumlah sampel minimum 38 orang. Namun hanya 20 anak yang bisa dikumpulkan dari daerah Jakarta dan sekitarnya. Keparahan klinis diukur menggunakan Clinical Scoring System CSS untuk Osteogenesis Imperfecta dan gangguan perilaku anak diukur menggunakan subskala kesulitan dari Parent-Rated Strength and Difficulties Questionnaires SDQ . Subskala kesulitan terdiri dari 4 buah komponen: emotional problem, conduct problem, hyperactivity, peer problem. Uji korelasi juga dilakukan antara skor keparahan klinis dengan keempat komponen ini. Tergantung persebaran data, dilakukan uji pearson atau spearman antara variabel-variabel tersebut. Analisa dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS versi 20. Hasil menunjukkan tidak ada korelasi bermakna dari keparahan klinis Osteogenesis Imperfecta dengan gangguan perilaku anak pada usia 5-12 tahun p > 0,05 . Akan tetapi ditemukan korelasi dengan kemaknaan rendah antara keparahan klinis OI dengan fungsi psikomotor hyperactivity p=0,049, r=0,446 . Perlu diperhatikan jumlah sampel yang didapatkan tidak memenuhi jumlah minimum, sehingga dapat memengaruhi nilai uji statistik.

Osteogenesis Imperfecta OI is a genetic disorder in the collagen coding gene that causes defect in type 1 collagen formation. The main manifestation of this disorder are in connective tissue, such as bone and skin. However in cases with high severity, neurological complications are often found, such as hydrocephalus and craniocytosis. Disorders of the central nervous system will cause various disturbances in brain functions, such as the process of behavior. This study will aim to find the correlation between clinical severity of OI with behavioral disorders in children at 5 12 years of age. A cross ndash sectional study, using numerical analytic correlation formula, minimum sample size of 38 subject was obtained. However only 20 children were able to be collected from Jakarta and the surrounding areas. The clinical severity was measured using Clinical Scoring System CSS for Osteogenesis Imperfecta and children 39 s behavioral disorders were measured using the difficulties subscales of Parent Rated Strength and Difficulties Questionnaires. This subscales consists of four components emotional problem, conduct problem, hyperactivity and peer problem. Correlation test was also performed between clinical severity with these components. Using SPSS version 20, Pearson or Spearman correlation test were conducted depending on the data distribution of the variables. The results showed no significant correlation between clinical severity of Osteogenesis Imperfecta with behavioral disorders of children age 5 12 years p 0.05 . However, correlation with low significance was found between clinical severity of OI with psychomotor function hyperactivity p 0.049, r 0.446 . The number of samples obtained does not meet the minimum number needed, therefore can affect the significance of the statistical test."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Prajnasari Sanjaya
"Anak-anak dengan osteogenesis imperfecta OI diketahui memiliki performa sekolah yang kurang baik dibandingkan teman sebayanya yang normal. Salah satu faktor yang berperan dalam performa sekolah adalah fungsi intelektual. Pada OI tipe letal atau OI dengan tingkat keparahan sangat tinggi, seringkali ditemukan komplikasi neurologis yang mungkin memengaruhi fungsi intelektual anak. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan keparahan klinis osteogenesis imperfecta dengan fungsi intelektual pasien usia 5-12 tahun. Studi ini menggunakan studi potong lintang dengan 20 subjek. Keparahan klinis subjek dinilai menggunakan Clinical Scoring System CSS untuk OI. Kemudian, subjek diperiksa oleh psikolog berlisensi menggunakan instrumen Weschler Intelligence Scale for Children WISC untuk mengetahui skor Full Scale Intelligence Quotient FSIQ sebagai indikator fungsi intelektual anak. Menggunakan uji Pearson satu arah, didapatkan korelasi keparahan klinis OI dengan fungsi intelektual pasien dengan nilai p=0,005 dan nilai r=-0,56. Selain itu, diketahui juga rerata IQ pada penelitian ini adalah 90,40 SD 4,85 dengan proporsi IQ terbesar pada pasien penelitian ini adalah kelompok pasien dengan IQ 91-110 yang dikategorikan sebagai kelompok dengan taraf kecerdasan rata-rata. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa semakin tinggi keparahan klinis OI, semakin rendah fungsi intelektual. Namun, fungsi intelektual ini bukan merupakan satu-satunya faktor dalam menentukan performa sekolah anak. Minat dan motivasi anak, kondisi dan pola belajar anak di rumah, serta keterlibatan orang tua juga dapat mempengaruhi performa sekolah pada anak OI. Kata kunci: Fungsi intelektual; keparahan klinis; osteogenesis imperfecta; performa sekolah.

Children with osteogenesis imperfecta OI are often associated with poor school performance compared to their healthy peers. One of the key factors in determining school performance is the neurodevelopmental function, specifically the intellectual function. In cases of OI with high clinical severity, neurological complications are often found. These neurological complications might affect intellectual function in children. The purpose of this study is to find out the correlation between clinical severity of osteogenesis imperfecta and the intellectual function of pediatric patients aged 5 12. This study is a cross sectional study with subject of 20 pediatric patients having diagnosed with OI. Subjects who meet the inclusion criteria and do not have the exclusion criteria were selected randomly and assessed using Clinical Scoring System CSS in order to determine their clinical severity. Subjects were then examined by blinded, licensed psychologist using Weschler Intelligence Scale for Children WISC to get the IQ score as a determinant of their intellectual function. Using one tailed Pearson correlation test, correlation between clinical severity of OI and patients rsquo intellectual function is significant at p 0.005 and r 0.56. Results also show that the IQ proportion within subjects are highest in the group of patients with IQ score ranged from 91 to 110 which is categorized as average intelligence with the average IQ score of all subjects is 90.40 SD 4.85 . In conclusion, there is a moderate, negative correlation between the clinical severity of OI and the intellectual function of pediatric patients aged 5 12. However, a child rsquo s interests and motivation, study habits, and parents rsquo involvement also have roles in determining school performance in children with OI. Key words Clinical severity intellectual function osteogenesis Imperfecta school performance."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kwari Januar
"Pendahuluan: Osteogenesis imperfecta(OI) merupakan penyakit langka dengan dampak yang luas. Anak dengan OI mengalami gangguan mobilitas dan deformitas karena fraktur multipel dan berulang, memiliki masalah psikososial, masalah mental emosional juga masalah ekonomi (finansial) sebagai dampak tidak langsung, hingga akhirnya berpengaruh terhadap kualitas hidup. Klasifikasi OI berdasarkan keparahan klinis yakni ringan-sedang dan berat. Keparahan klinis OI berkorelasi dengan beratnya penyakit. Sejauh ini belum ada penelitian yang fokus terhadap aspek holistik dan korelasinya dengan QoL OI.
Metode: Penelitian potong lintang secara daring dilaksanakan dari Agustus 2020 hingga Desember 2020 menggunakan berbagai kuesioner (PEDS QL 4.0 untuk QoL, SDQ untuk masalah mental emosional, PSC untuk masalah psikososial dan World Bank untuk evaluasi masalah finansial) pasien OI umur 4-18 tahun. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui faktor mana yang lebih berpengaruh.
Hasil: Lima puluh subjek ikut serta dalam penelitian ini. Kualitas hidup berhubungan dengan keparahan penyakit berdasarkan laporan orangtua p=0.029 PR=5.474, kepatuhan terapi bisfosfonat memengaruhi QoL berdasarkan laporan anak p=0.043 PR=3.167 sementara keparahan OI tidak memengaruhi masalah mental emosional, psikososial dan ekonomi. Penurunan QoL berhubungan dengan masalah fisik dan psikososial menurut laporan anak dan laporan orangtua.
Kesimpulan: Keparahan klinis OI berhubungan dengan QoL yang rendah, tidak ditemukan masalah psikososial, mental emosional dan ekonomi.

Introduction: Osteogenesis Imperfecta (OI) is a rare disease with multiple impact. Children with OI have mobility disorder and deformity due to multiple and recurrent fractures, psychosocial problems, mental emotional problems and also socioeconomic problem (financial) as indirect results, which could affect Quality of Life (QoL). OI classification according to clinical severity level mild-moderate and severe. Clinical severity of OI correlate with disease burden. No research focus on holistic aspect and it correlation with OI QoL.
Methods: We conducted a cross sectional research via daring from August 2020 to December 2020 using multiple questionnaires (PEDS QL 4.0 for QoL, SDQ for mental emotional problems, PSC for psychosocial problems and World Bank for assessing financial problems) to OI patients age 4-18 years. After obtain the QoL value, we conducted analysis to reveal most influencing factors.
Results: Fifty subjects participated in this research. QoL have association with severity of disease according to parent report p=0.029 PR=5.474, bisphosphonate compliance according to children report p=0.043 PR=3.167), OI severity has no association with mental emotional, psychosocial and economic. QoL decrease associated with physical and psychosocial problems.
Conclusion: Osteogenesis imperfecta severity associate with low QoL, without affect mental emotional, psychosocial and economic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nike Dewi Anggraini
"Osteogenesis imperfekta (OI) merupakan adalah penyakit genetik kelainan jaringan ikat berupa kerapuhan tulang dan fraktur berulang tanpa adanya trauma yang signifikan. Terdapat berbagai karakteristik klinis yang khas untuk mendiagnosis OI. Terapi bisfosfonat merupakan terapi utama pada OI yang bermanfaat untuk menurunkan insiden patah tulang agar tercapai kualitas hidup yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik klinis dan luaran terapi bisfosfonat pada pasien anak dengan OI di RSCM. Penelitian ini dilakukan secara potong lintang terhadap 71 pasien OI berusia 0-18 tahun di RSCM pada 16-22 November 2020. Data diambil melalui kuesioner daring yang diisi oleh orangtua atau wali. Karakteristik klinis OI mencakup sklera biru (83%) dan patah tulang pada 69 (97%) pasien dengan lokasi paling banyak di tulang femur (66,2%). Hanya terdapat 18 subyek yang sudah melakukan pemeriksaan pendengaran dengan 4 (22%) diantaranya terdapat gangguan pendengaran. Klasifikasi klinis OI paling banyak adalah tipe berat (57%). Enam puluh lima subyek mengalami patahtulang di usia kurang dari 6 tahun termasuk intrauterin dan perinatal. Sebanyak 95,8% subyek mendapatkan terapi bisfosfonat dan hampir seluruhnya diberikan rutin setiap 6 bulan. Terdapat penurunan median kejadian patah tulang sebelum terapi bisfosfonat sebanyak 3,5 kejadian/tahun menjadi satu kejadian/tahun setelah terapi bisfosfonat. Terapi bisfosfonat dapat menurunkan angka kejadian patah tulang setiap tahun.

Osteogenesis imperfecta (OI) is a genetic disorder of connective tissue causing bone fragility and fractures in the absence of significant trauma. There are many typical clinical features of OI. Bisphosphonate therapy is the main therapy which significantly decreases fracture rate for better quality of life. This study was aimed to observe the clinical features and outcomes of bisphosphonate therapy in pediatric OI patients. A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH) in the period of November 16th-22nd 2020. There were 71 patients aged 0-18 years old included for study analysis. Data were obtained from online questionnaire which was filled by their parents or guardians. The clinical features observed were blue sclera (83%) and fractures which occurred in 69 (97%) patients with the most common location was femur (66.2%). There were only 18 patients who underwent hearing examination and 4 of them (22%) had hearing problem. Most patients had severe OI classification (57%). Sixty-five patients had first fracture when their age <6 years old, including intrauterine and perinatal fractures. A total of 95.8% patients had received bisphosphonate therapy and almost all of patients had received treatment every 6 month. There was a decrease in the number of fractures from 3.5 events/year (before bisphosphonate therapy) to 1 event/year after bisphosphonate therapy. The outcome of bisphosphonate therapy was significant in terms of fracture incidence reduction. Bisphosphonate therapy was able to reduce fracture incidence per year."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Sesaria
"Latar Belakang: Keterlambatan perkembangan motorik dan keseimbangan menjadi masalah dalam kemandirian sehari-hari anak sindrom Down. Aktivitas fisik merupakan rekomendasi yang dapat meningkatkan keseimbangan, namun terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi kondisi ini. Belum ada penelitian mengenai korelasi aktivitas fisik dengan keseimbangan dan kemandirian anak sindrom Down. Hal ini akan memberikan manfaat kedepannya dalam upaya pencegahan risiko jatuh dan kualitas hidup anak dindrom Down.
Objektif: Penelitian ini betujuan untuk mengetahui korelasi antara aktifitas fisik terhadap keseimbangan dan kemandirian anak sindrom Down serta faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Studi potong lintang pada 31 orang anak sindrom Down usia 5 – 12 tahun. Subjek yang telah memenuhi kriteria penerimaan kemudian dilakukan pemeriksaan keseimbangan dengan Pediatric Balance Scale (PBS). Dilakukan pengambilan data aktivitas fisik anak dengan Physical Activity Questionnaire for (PAQ-C) dan kemandirian dengan Modified WeeFIM. Uji korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara aktifitas fisik terhadap keseimbangan dan kemandirian.
Hasil: Hasil penelitian didapatkan adanya korelasi lemah (r=0.368) antara aktivitas fisik dan keseimbangan anak sindrom Down (p<0.05). Faktor usia, jenis kelamin, indeks massa tubuh, tes IQ, penyakit jantung bawaan tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan keseimbangan. Anak dengan riwayat hipotiroid yang telah ditatalaksana memiliki korelasi sedang (r=0.575) terhadap keseimbangan (p<0.05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara keseimbangan dan kemandirian anak. Terdapat korelasi sangat kuat (r=0.906) antara perawatan diri dan mobilisasi (r=0.922) dengan usia anak sindrom Down (p<0.001).
Kesimpulan: Terdapat korelasi antara aktivitas fisik dan keseimbangan anak sindrom Down. Faktor lainnya yang berpengaruh pada hal ini adalah riwayat hipotiroid yang telah diobati. Kemandirian anak sindrom Down lebih karena hubungannya dengan kematangan usia mereka.

Background: Delays in motor development and balance are a problem in the daily independence of children with Down syndrome. Physical activity is a recommendation that can improve balance, but there are factors that influence this condition. There has been no research regarding the correlation between physical activity and balance and independence in children with Down syndrome. This will provide future benefits in efforts to prevent the risk of falls and the quality of life of children with Down's syndrome.
Objective: This research aims to determine the correlation between physical activity with balance in Down syndrome’s children and related factors in order to determine their functional independence.
Methods: Cross-sectional study of 31 Down syndrome children aged 5 – 12 years. Subjects who met the acceptance criteria were then checked for balance using the Pediatric Balance Scale (PBS). Data on children's physical activity was collected using the Physical Activity Questionnaire for (PAQ-C) and functional independence using Modified Wee-FIM. Correlation tests were carried out to see the relationship between physical activity and balance and independence.
Results: The research results showed that there was a weak correlation (r=0.368) between physical activity and balance in children with Down syndrome (p<0.05). The factors age, gender, body mass index, IQ test, congenital heart disease did not show a significant relationship with balance. Children with a history of hypothyroidism who have been treated have a moderate correlation (r=0.575) to balance (p<0.05). There is no significant relationship between balance and children's independence. There is a very strong correlation (r=0.906) between self-care and mobilization (r=0.922) and the age of children with Down syndrome (p<0.001).
Conclusion: There is a correlation between physical activity and balance in children with Down syndrome. Another factor that influences this is a history of hypothyroidism that has been treated. The independence of Down syndrome children is more related to their age maturity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ravenda Tyara Kinanti
"Latar belakang: Infeksi saluran pernapasan atas merupakan penyakit yang umum terjadi pada anak usia sekolah (5-12 tahun). Gejala umumnya bersifat ringan dan self-limiting disease, sehingga menimbulkan perilaku swamedikasi oleh orang tua kepada anak. Perilaku swamedikasi harus dilandasi dengan pengetahuan yang baik. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan orang tua dengan pola swamedikasi gejala infeksi saluran pernapasan atas pada anak usia sekolah (5-12 tahun) di DKI Jakarta. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain cross-sectional. Subjek penelitian merupakan orang tua dengan anak usia 5-12 tahun yang berdomisili di DKI Jakarta. Penelitian menggunakan instrumen kuesioner yang sudah diuji validitas dan reliabilitas, dan disebarkan secara online dalam bentuk google form. Analisis hubungan variabel dilakukan dengan uji Kruskal-Wallis dan uji Mann-Whitney. Hubungan dinyatakan bermakna apabila p<0.05. Hasil: Prevalensi swamedikasi gejala infeksi saluran pernapasan atas pada anak di penelitian ini adalah 90%. Mayoritas orang tua (60%) memiliki tingkat pengetahuan cukup dan sudah tepat dalam pemilihan obat (73.5%). Terdapat hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan orang tua dengan ketepatan pemilihan obat gejala infeksi saluran pernapasan atas pada anak (p=0.021). Faktor dengan hubungan bermakna terhadap tingkat pengetahuan orang tua adalah jenis kelamin (p=0.028), pekerjaan (p=0.004), dan pendapatan (p=0.003). Faktor dengan hubungan bermakna terhadap ketepatan pemilihan obat adalah jenis kelamin (p=0.047). Kesimpulan: Mayoritas orang tua memiliki tingkat pengetahuan cukup dan sudah tepat dalam pemilihan obat. Berdasarkan analisis didapatkan hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan terhadap ketepatan pemilihan obat untuk gejala infeksi saluran pernapasan atas pada anak usia sekolah.

Introduction: Upper respiratory tract infection is common in school-aged children (5-12 years). Symptoms are generally mild and self-limiting and it gives rise to self-medication behaviour by parents towards children. Self-medication behaviour must be based on good knowledge. Therefore, aims of this study is to determine the relationship between the level of parental knowledge and the pattern of self-medication for symptoms of upper respiratory tract infections in school-aged children (5-12 years) in DKI Jakarta. Method: This research was conducted with a cross-sectional design. The subjects were parents with children aged 5-12 years who live in DKI Jakarta. The study used a questionnaire instrument that has been tested for validity and reliability, and distributed online as a Google form. Analysis of variable association was carried out using the Kruskal-Wallis and Mann-Whitney tests. The association is declared significant if p<0.05. Results: The prevalence of self-medication for symptoms of upper respiratory tract infections in children in this study was 90%. Most parents (60%) have sufficient knowledge and are appropriate in selecting drugs (73,5%). There is a significant association between the level of parental knowledge and the accuracy of choosing medication for symptoms of upper respiratory tract infections in children (p=0.021). Factors with a significant association to the level of parental knowledge were gender (p=0.028), occupation (p=0.004), and income (p=0.003). The factor with a significant association to the accuracy of drug selection is gender (p=0.047). Conclusion: Most of parents have a sufficient level of knowledge and are appropriate in selecting drugs. Based on the analysis, a significant association was found between the level of knowledge and the accuracy of drug selection for symptoms of upper respiratory tract infections in school-aged children."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Lestari
"ABSTRAK
Latar belakang: Rinitis alergi RA merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi tinggi pada anak. Akhir-akhir ini, kekurangan vitamin D pada anak dipercaya berhubungan dengan disregulasi sistem imun, yang berujung pada makin beratnya RA. Analisis hubungan antara kadar vitamin D dan keparahan RA diperlukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Tujuan: 1 Mengetahui rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi; 2 Membandingkan rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi dan anak pada populasi normal; 3 Mengetahui rerata kadar 25 OH D serum sesuai dengan tingkat keparahan rinitis alergiMetode: Penelitian potong lintang pada 60 anak usia 6-18 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan berkunjung ke RSCM dan RSI Pondok Kopi. Seluruh subyek dibagi menjadi kelompok rinitis alergi n=30 dan kontrol n=30 . Kemudian, dilakukan pemeriksaan kadar 25 OH D serum dengan cara CLIA chemiluminescence immunoassay . Kadar 25 OH D serum normal, insufisiensi, dan defisiensi lalu dihubungkan dengan RA berdasarkan lama gejala yaitu intermiten dan persisten. Hasil: Rerata kadar vitamin D pada anak dengan rinitis alergi didapatkan 17,75 SB 5,60 ng/mL. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara rerata kadar vitamin D di kelompok RA 17,75 5,60 ng/mL dengan kelompok kontrol 19,22 6,11 ng/mL , p=0,336. Didapatkan hubungan bermakna antara rerata kadar vitamin D pada rinitis intermiten 22,82 4,59 ng/mL dengan rinitis persisten 15,22 4,19 ng/mL , p

ABSTRACT
Background. Allergic rhinitis AR was a global health problem with high prevalence in children. Recently, vitamin D deficiency in children was found to have a correlation with immune system dysregulation, which leads to more severe symptoms of AR. Association between vitamin D serum level and AR incidence is needed to prevent further complications.Aim. 1 to recognize mean vitamin D serum level in children with AR 2 to compare mean vitamin D serum level in children with AR and normal children population 3 to find out mean vitamin D serum level according to severity level of AR.Methods. A cross sectional study was performed in 60 children aged 6 18 years old, who meet the inclusion criteria and visit CM hospital and Islamic Pondok Kopi hospital. All subjects were divided into 2 groups AR group n 30 and control group n 30 . Blood were taken for 25 OH D serum level examination with CLIA method. Association between 25 OH D serum level normal, insufficiency, deficiency and severity level of AR intermittent and persistent was then being analyzed.Results. Mean vitamin D serum level in children with AR was 17,75 SD 5,60 ng mL. There was no significant difference between mean vitamin D serum level in AR group 17,75 5,60 ng mL and control group 19,22 6,11 ng mL , p 0,336. Association was found between mean vitamin D serum level in intermittent rhinitis 22,82 4,59 ng mL and persistent rhinitis 15,22 4,19 ng mL , p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Adelia Selena
"Latar Belakang: Diare merupakan masalah kesehatan yang umum terjadi pada anak usia sekolah (5-12 tahun). Umumnya, gejala diare ringan dan disebabkan oleh infeksi virus yang bersifat self-limiting sehingga menimbulkan perilaku swamedikasi pada orang tua kepada anaknya. Perilaku swamedikasi perlu didasari oleh pengetahuan orang tua yang baik untuk mencapai penggunaan obat rasional. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan orang tua dengan pola swamedikasi diare pada anak usia sekolah (5-12 tahun) dan faktor-faktor yang memengaruhinya di Tangerang dan sekitarnya. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional. Responden adalah orang tua yang memiliki anak 5-12 tahun dan berdomisili di Tangerang dan sekitarnya. Penelitian ini menggunakan instrumen kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya serta disebarkan secara daring dalam bentuk Google Form. Analisis hubungan variabel dilakukan dengan menggunakan Kruskal Wallis dan Mann Whitney. Hubungan dinyatakan bermakna apabila p<0,05. Hasil: Prevalensi swamedikasi diare anak di penelitian ini sebesar 81,9% dengan mayoritas responden memiliki tingkat pengetahuan baik (59,6%) dan ketepatan pemilihan obat sebesar 84,9%. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan orang tua dengan ketepatan pemilihan obat diare anak (p = 0,511). Faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan tingkat pengetahuan orang tua adalah jenis kelamin (p=0,036) dan pekerjaan (p=0,02). Faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan ketepatan pemilihan obat diare anak adalah jenis kelamin (p=0,002). Kesimpulan: Pada penelitian ini, tingkat pengetahuan orang tua sudah tergolong baik. Namun, tidak didapatkan hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan orang tua dengan ketepatan pemilihan obat diare pada anak usia sekolah (5-12 tahun).

Introduction: Diarrhea is a common health problem that occurs in school-aged children (5-12 years old). Generally, the symptoms of diarrhea are mild and self-limiting and giving rise to self-medication behavior among parents towards their children. Self- medication behavior needs to be based on good parental knowledge to achieve rational drug use. Therefore, this research aims to determine the association between the level of parental knowledge and the pattern of self-medication for diarrhea in school-aged children (5-12 years old) and the influencing factors in Tangerang and surrounding areas. Method: This research was conducted with a cross-sectional design. Respondents are parents who have children aged 5-12 years and lived in Tangerang and surrounding areas. This research uses a questionnaire instrument that has been tested for validity and reliability and distributed online as Google Form. Analysis of variable association was carried out using the Kruskal Wallis and Mann Whitney tests. The association is declared significant if p<0.05. Results: The prevalence of self-medication for diarrhea in children in this study was 81.9% with the majority of respondents having a good level of knowledge (59.6%) and accuracy in drug selection was 84.9%. There was no significant association between parents’ knowledge level and the accuracy in children’s diarrhea drug selection (p=0.511). Factors that have a significant association with the level of parents’ knowledge are gender (p=0.036) and occupation (p=0.02). The factor that has a significant association with the accuracy in children’s diarrhea drug selections is gender (p=0.002). Conclusion: In this study, the level of parents’ knowledge was considered good. However, there was no significant association between parents’ knowledge level and the accuracy in children’s diarrhea drug selection in school-aged children (5-12 years)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kharisma Ahmad Abdillah Putra Carensa
"xLatar belakang: Kejadian leukemia akut sebagai kanker tersering pada anak terus meningkat setiap tahun menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas tertinggi akibat penyakit. Umumnya, leukemia akut menyerang anak berusia <15 tahun dan remaja. Terapi definitif (kemoterapi) yang lama dan tidak menyenangkan berisiko dalam mengembangkan gangguan emosi dan perilaku pada anak. Di lain sisi, kehidupan pascapandemi juga turut meningkatkan penggunaan gawai pada kaum remaja yang turut berperan dalam terjadinya gangguan emosi dan perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahu hubungan antara screen-time dengan gangguan emosi dan perilaku pada remaja leukemia. Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang yang dilakukan di Poli Hematoonkologi Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan November 2022. Penelitian ini menggunakan instrumen data screen-time dan kuesioner PSC-17. Analisis dilakukan secara univariat dan bivariat menggunakan aplikasi SPSS versi 24. Hasil: Jumlah remaja leukemia di RSCM 23 orang, tersebar merata secara usia, didominasi anak laki-laki (13/23), jenis leukemia LLA (22/23), tingkat pendidikan anak SD (12/23), tingkat pendidikan ayah dan ibu menengah (11/23; 9/23), pendapatan keluarga < UMP DKI Jakarta (10/23), dan seluruhnya mendapat dukungan emosional keluarga. Nilai median usia dan durasi sakit (bulan) adalah 12,94 (10,05-17,18) tahun dan 16 (0,83-96) bulan. Tingkat screen-time sebagian besar >2 jam/hari (22/23) dengan penggunaan terlama >6 jam/hari (12/23) dan rerata 6.5 ± 3,25 jam/hari, serta digunakan untuk hiburan. Gangguan Emosi dan Perilaku terjadi pada 2/23 orang yaitu gangguan internalisasi (1) dan gangguan eksternalisasi (1). Hubungan antara screen-time dengan gangguan emosi dan perilaku tidak dapat disimpulkan. Kesimpulan: Tingkat screen-time yang tinggi pada remaja leukemia perlu diedukasi kepada orangtua dan remaja, serta 2 orang pasien dengan gangguan emosi dan perilaku perlu diperiksa lebih lanjut.

Background: The incidence of acute leukemia, the most common cancer in children, continues to increase yearly, becoming the highest cause of morbidity and mortality due to disease. Generally, acute leukemia attacks children aged <15 years and adolescents. Long and unpleasant definitive therapy (chemotherapy) is at risk of developing emotional and behavioral disorders in children. On the other hand, post-pandemic life has also increased the use of gadgets among adolescents, contributing to emotional and behavioral disorders. This study aims to determine the relationship between screen time and emotional and behavioural disorders in leukaemic adolescents. Methods: The design of this study was a cross-sectional study conducted at the Children's Hematooncology Polyclinic at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in November 2022. This study used screen-time data instruments and the PSC-17 questionnaire. The analysis was carried out univariate and bivariate using the SPSS version 24 application. Results: The number of leukemia adolescents in RSCM was 23 people, evenly distributed by age, dominated by boys (13/23), type of leukemia ALL (22/23), education level of children SD (12/23), middle education level of father and mother (11/23; 9/23), family income < UMP DKI Jakarta (10/23), and all of them received family emotional support. The median values for age and illness duration (months) were 12.94 (10.05-17.18) and 16 (0.83-96). The screen-time level is mostly >2 hours/day (22/23), with the most frequent use being >6 hours/day (12/23) and an average of 6.5 ± 3.25 hours/day, and it is used for entertainment. Emotional and behavioral disorders occur in 2/23 people, namely internalization disorders (1) and externalization disorders (1). The relationship between screen time and emotional and behavioral disorders is inconclusive. Conclusion: The high level of screen time in adolescents with leukemia needs to be educated to parents and adolescents, and two patients with emotional and behavioral disorders need to be examined further."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadyanto Lim
"Laporan ini memuat efek samping klinis dan biokimia pemberian zoledronic acid dosis awal pada tiga anak bersaudara dengan osteogenesis imperfecta berat. Zoledronic acid diberikan dalam 50 ml larutan garam fisiologis selama 30 menit. Semua pasien mengalami demam dalam kurun waktu 6-48 jam setelah pemberian infus pertama. Tidak ada efek samping terhadap fungsi ginjal, kecuali hipokalsemia dan hipofosfatemia, yang terjadi dalam 48 jam dan 72 jam setelah infus zoledronic acid. Efek samping minimal dapat diatasi dengan mudah.

This report documented the clinical and biochemical side effects on the first dose of intravenous zoledronic acid therapy in three siblings with severe osteogenesis imperfecta. Zoledronic acid was administered in 50 ml 0.9% saline solution over a period of 30 minutes. All patients had fever during the first 6 to 48 hours after the first infusion. There were no renal side effects, apart from asymptomatic hypocalcemia and hypophosphatemia at 48 and 72 hours after zoledronic acid infusion. The minimal clinical side effects were easily manageable."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>