Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88347 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ade Iva Murty
"Perkembangan metode kualitatif dalam psikologi sesungguhnya juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teori dalam ilmu psikologi dan sosial pada umumnya. Studi meta analisis kualitatif ini berusaha menguraikan pemosisian metode kualitatif, seperti yang sudah teijadi dalam perkembangan ilmu psikologi. Pertama, metode kualitatif bersifat saling melengkapi dengan metode kuantitatif. Penekanan metode kualitatif pada intersubjectivity dalam membangun makna, akan memberikan gambaran yang melengkapi capture gejala psikologi dari sudut kuantitatif. Kedua, pendekatan kuantitatif g«ngat menekankan pada keterukuran konstruk-konstruk secara objektif dan kasat mata, padahal g««g»t. banyak gejala psikologi justru berada pada tataran yang tidak mudah untuk diamati, bahkan hanya direfleksikan. Melalui pendekatan kualitatif, maka terdapat eksplorasi dan pendalaman berbagai konstruk yang selama ini dianggap sulit bahkan tidak mungkin menjadi objek studi. Ketiga, data yang lahir dari penelitian psikologi dengan metode kualitatif, bersifat kreatif dan inovatif, bahkan dapat dikatakan berjalan beriringan dengan perkembangan teknologi. Emergent qualitative method ini semakin membuka berbagai kemungkinan bagaimana memahami individu, kesadaran dan perilakunya."
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Pancasila, 2016
150 MS 7:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Kristi Poerwandari
Jakarta: LPSP3 UI, 1998
150.72 KRI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Asrigantini
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1989
S2047
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandra Listiarini
"Latar Belakang: Pertumbuhan janin terhambat (PJT) merupakan suatu kondisi dimana pertumbuhan janin tidak mencapai potensi genetiknya. Diagnosis PJT dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG) serial, namun pemeriksaan USG memiliki beberapa keterbatasan. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) plasenta terutama MRI difusi, yaitu Diffusion Weighted Image (DWI) dan Apparent Diffusion Coefficient (ADC), merupakan modalitas pemeriksaan yang dapat mengatasi keterbatasan dari pemeriksaan USG dengan melihat perubahan di level mikrostruktural secara tidak langsung.
Tujuan: Melihat peran nilai ADC plasenta dalam mendiagnosis PJT.
Metode: Pencarian sistematis menggunakan data dasar Scopus dan PubMed dilakukan pada September 2021. Studi yang membandingkan pemeriksaan MRI DWI-ADC plasenta antara pasien yang memiliki kehamilan normal dan PJT atau insufisiensi plasenta di suia kehamilan trimester kedua dan ketiga dengan pemeriksaan USG dan atau kondisi bayi saat dilahirkan sebagai referensi baku, diidentifikasi. Analisis statistik dari nilai ADC plasenta antara pasien normal dan PJT diuji.
Hasil: Empat studi diidentifikasi. Didapatkan nilai rerata ADC plasenta pada janin PJT dan/atau insufisiensi plasenta lebih rendah dibandingkan dengan janin normal. Namun, batas nilai rerata ADC plasenta pada janin dengan PJT dan janin normal sulit untuk ditentukan, karena hasil yang tumpang tindih antara janin dengan PJT dan janin normal. Kualitas bukti sedang.
Kesimpulan: Penurunan nilai rerata ADC plasenta dapat membantu dalam mendiagnosis adanya PJT pada kehamilan trimester kedua dan ketiga.

Background: Intrauterine growth retardation (IUGR) is a condition in which the growth of the fetus does not reach its genetic potential. The diagnosis of IUGR is made by serial ultrasonography (USG), but ultrasound examination has some limitations. Magnetic resonance imaging (MRI) of the placenta, especially diffusion MRI, which are Diffusion Weighted Image (DWI) and Apparent Diffusion Coefficient (ADC), is an examination modality that can overcome the limitations of ultrasound examination by looking at changes in the microstructural level indirectly. 
Objectives: To evaluate the role of placental ADC values ​​in diagnosing IUGR.
Methods: A systematic search of Scopus and PubMed database were performed through September 2021. Studies comparing DWI-ADC MRI of the placenta between patients who had a normal pregnancy and IUGR or placental insufficiency in the second and third trimesters of pregnancy with ultrasound examination and/or the condition of the baby at birth as a standard reference, were identified. Statistical analysis of placental ADC values ​​between normal and IUGR patients was tested.
Results: Four studies were identified. The mean value of placental ADC in IUGR and/or placental insufficiency was lower than in normal fetuses. However, the cut-off values of mean placental ADC ​​in IUGR and normal fetuses are difficult to determine, because of the overlapping results between IUGR and normal fetuses. The quality of evidence was moderate. 
Conclusion: Decreased mean placental ADC values can help in diagnosing the presence of IUGR in the second and third trimesters of pregnancy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febian Sandra
"Latar belakang: Karsinoma papiler tiroid merupakan kanker endokrin tersering dengan angka kejadian yang terus meningkat. Agresivitas dari karsinoma papiler tiroid salah satunya dipengaruhi oleh adanya ekstensi ekstratiroid yang dapat meningkatkan risiko rekurensi, metastasis kelenjar limfe dan metastasis jauh, sehingga memerlukan tatalaksana yang lebih agresif. Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas pilihan dalam mendeteksi ekstensi ekstratiroid karena resolusi serta ketersediaan yang luas, tetapi USG memiliki operator-dependent dengan hasil false positive dan false negative yang cukup tinggi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan modalitas yang penggunaannya semakin meningkat dalam mengevaluasi kelenjar tiroid dengan keunggulan memiliki kontras jaringan lunak yang baik serta memiliki kemampuan multiplanar. Telaah sistematis dan meta-analisis ini dibuat dnegan tujuan untuk membandingkan akurasi diagnostik USG dan MRI dalam menentukan ekstensi ekstratiroid pada karsinoma papiler tiroid. Metode: Pencarian sistematis dilakukan untuk mengidentifikasi studi yang membandingkan akurasi diagnostik USG dan MRI dalam menentukan ekstensi ekstratiroid dengan referensi baku pemeriksaan histopatologi melalui basis data PubMed, Scopus, Neliti dan Sinta serta grey literature menggunakan kata kunci yang telah ditentukan. Temuan yang diektraksi dari setiap studi terpilih adalah positif benar, positif palsu, negatif benar dan negatif palsu untuk menentukan nilai sensitivitas, spesifisitas, likelihood ratio (LR), dan diagnostic odds ratio (DOR) masing-masing uji indeks. Penilaian kualitas metodologi studi dilakukan dengan metode QUADAS-2, sedangkan penilaian kualitas bukti dilakukan menggunakan GRADE. Hasil: Pencarian sistematis mengindentifikasi 8 studi. Tiga studi diantaranya memiliki risiko bias yang tinggi dan studi lain setidaknya memiliki satu risiko bias yang tidak jelas pada salah satu domain. Sensitivitas, spesifisitas, LR+, LR- dan DOR USG secara berurutan adalah 85% (95% CI, 63-95%), 80% (95% CI, 73-86%), 4,3 (95% CI 3,3-5,7), 0,19 (95% CI 0,07-0,49) dan 23 (95% CI 8-65). Sensitivitas, spesifisitas, LR+, LR- dan DOR MRI secara berurutan adalah 84% (95% CI, 77-89%), 92% (95% CI, 86-96%), 10,9 (95% CI 6,1-19,7), 0,17 (95% CI 0,12-0,25) dan 64 (95% CI 31-132). Kualitas bukti rendah. Kesimpulan: MRI dan USG memiliki performa diagnostik yang hampir sebanding dalam menentukan ekstensi ekstratiroid. USG memiliki sensitivitas yang lebih tinggi, sedangkan MRI memiliki spesifisitas yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, USG tetap disarankan menjadi modalitas awal, sedangkan MRI disarankan menjadi modalitas selanjutnya apabila temuan pada USG inkonklusif. Akan tetapi, penerapan temuan telaah sistematis dan meta-analisis ini terbatas karena keterbatasan pada kualitas metodologi dan kualitas bukti.

Background: Papillary thyroid carcinoma is one of the most endocrine cancer with increasing cases over three decades. Aggressive behaviour of papillary thyroid cancer is affected by extrathyroidal extension which could increase reccurency, lymph node metastases and distant metastases, hence need more aggressive treatment. Ultrasonography (USG) has good resolution for superficial organs and are modality of choice to evaluate extrathyroidal extension, but it is operator-dependent with high false positive dan false negative value. The use of Magnetic Resonance Imaging (MRI) to evaluate thyroid gland has increase. MRI provides superior soft tissue resolution with multiplanar view. This systematic review and meta-analysis are written to compare diagnostic accuracy of USG and MRI to determine extrathyroidal extension in papillary thyroid carcinoma. Methods: Studies which compared diagnostic accuracy of USG and MRI to determine extrathyroidal extension in papillary thyroid carcinoma with histopathological examination as reference standard were identified through PubMed, Scopus, Neliti dan Sinta and other grey literature using pre-determined keywords. Findings extracted from each eligible study included true positive, true negative, false positive and false negative to obtain sensitivity, specificity, likelihood ratio (LR) and diagnostic odds ratio (DOR). Methodological quality assessed using QUADAS-2 and evidence quality decided by GRADE. Results: Systematic search identified 8 studies. Three studies indicated high risks of bias and other studies at least have one unclear risk of bias in one domain. Sensitivity, specificity, LR+, LR- and DOR of USG were 85% (95% CI, 63-95%), 80% (95% CI, 73-86%), 4,3 (95% CI 3,3-5,7), 0,19 (95% CI 0,07-0,49) and 23 (95% CI 8-65). Sensitivity, specificity, LR+, LR- and DOR of MRI were 84% (95% CI, 77-89%), 92% (95% CI, 86-96%), 10,9 (95% CI 6,1-19,7), 0,17 (95% CI 0,12-0,25) and 64 (95% CI 31-132). The quality of evidence was low. Conclusion: MRI and USG has comparable diagnostic performance. USG has higher sensitivity, while MRI has higher specificity. USG still recommended as first modality, and MRI suggested when USG are inconclusive. However, application of this systematic review and meta-analysis are limited since methodological and evidence quality are also limited."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christy Amanda Billy
"Latar belakang: Kanker payudara adalah kanker dengan insiden tertinggi dan penyebab kematian utama akibat kanker pada perempuan di dunia. Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas pencitraan yang memiliki sensitivitas tinggi, tetapi spesifisitas terbatas, dalam mendeteksi kanker payudara. Diffusion weighted imaging (DWI) dan magnetic resonance spectroscopy (MRS) adalah sequence MRI fungsional yang dilaporkan memiliki spesifisitas yang lebih baik dibandingkan protokol MRI standar dalam membedakan lesi payudara jinak dan ganas. Telaah sistematis dan meta-analisis ini dibuat dengan tujuan membandingkan akurasi diagnostik sequence DWI dan MRS dalam membedakan lesi payudara jinak dan ganas. Metode: Pencarian sistematis dilakukan untuk mengidentifikasi studi yang membandingkan akurasi diagnostik antara sequence DWI dan MRS dalam membedakan lesi payudara jinak dan ganas yang terdeteksi lewat pemeriksaan fisik atau radiologis, dengan referensi baku pemeriksaan patologi anatomi. Pencarian dilakukan pada Maret 2021 lewat data dasar Scopus dan PubMed menggunakan kata kunci yan telah ditentukan, daftar pustaka dari artikel terpilih, dan grey literature. Temuan utama yang diekstraksi dari tiap studi adalah jumlah positif benar, positif palsu, negatif benar, dan negatif palsu untuk mendapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, likelihood ratio (LR), dan diagnostic odds ratio (DOR) masing-masing uji indeks. Penilaian kualitas metodologi studi dilakukan menggunakan QUADAS-2. Penilaian kualitas bukti dilakukan menggunakan GRADE. Hasil: Delapan studi (632 perempuan, 687 lesi payudara) diidentifikasi. Proporsi lesi ganas payudara 38,2–72,4%. Tiga studi menunjukkan risiko bias yang tinggi pada salah satu domain. Empat studi menunjukkan setidaknya dua risiko bias yang tidak jelas. Sensitivitas spesifisitas, LR+, LR-, dan DOR sequence DWI secara berturutan adalah 90% (95% CI 86–93%), 83% (95% CI 67–93%), 5,4 (95% CI 2,6–11,4), 0,12 (95% CI 0,09–0,17), dan 45 (95% CI 18–109). Sensitivitas, spesifisitas, LR+, LR-, dan DOR sequence MRS secara berturutan adalah 85% (95% CI 66–94%), 85% (95% CI 76–91%), 5,7 (95% CI 3,3–10,0), 0,17 (95% CI 0,07–0,45), dan 33 (95% CI 8–131). Kualitas bukti rendah–sedang. Kesimpulan: Sequence DWI dan MRS memiliki akurasi diagnostik yang hampir sebanding dalam membedakan lesi payudara jinak dan ganas. Sequence DWI memiliki sensitivitas lebih baik, sedangkan sequence MRS memiliki spesifisitas lebih baik. Akan tetapi, penerapan temuan telaah sistematis dan meta-analisis ini terbatas karena kualitas metodologi studi dan kualitas bukti yang terbatas.

Background: Breast cancer is cancer with the highest incidence and leading cause of cancer death among women worldwide. Magnetic resonance imaging (MRI) is an imaging modality of high sensitivity, but limited specificity in detecting breast cancer. Diffusion weighted imaging (DWI) and magnetic resonance spectroscopy (MRS) are functional MRI sequences reported to have higher specificity compared to standard MRI protocol in differentiating benign and malignant breast lesions. This systematic review and meta-analysis are written to compare diagnostic accuracy of DWI and MRS sequence in differentiating benign and malignant breast lesion. Methods: Studies that compared diagnostic accuracy of DWI and MRS sequence in differentiating benign and malignant breast lesions, previously detected through physical or radiological examination, with pathological examination as reference standard were identified. Scopus and PubMed were systematically searched through March 2021. Reference lists of eligible studies and various grey literatures searches were searched additionally. Findings extracted from each eligible study included true positive, true negative, false positive, dan false negative value to estimate sensitivity, specificity, likelihood ratio (LR), and diagnostic odds ratio (DOR) of each index tests. Methodological quality was assessed using QUADAS-2. Evidence quality was summarized using GRADE. Results: Eight studies (632 women, 687 breast lesions) were identified. Proportion of malignant breast lesions were 38.2–72.4%. Three studies displayed high risks of bias in one domain. Four studies displayed at least two unclear risk of bias. Sensitivity, specificity, LR+, LR-, and DOR of DWI sequence were 90% (95% CI 86–93%), 83% (95% CI 67–93%), 5.4 (95% CI 2.6–11.4), 0.12 (95% CI 0.09–0.17), and 45 (95% CI 18–109), respectively. Sensitivity, specificity, LR+, LR-, and DOR of MRS sequence were 85% (95% CI 66–94%), 85% (95% CI 76–91%), 5.7 (95% CI 3.3–10.0), 0.17 (95% CI 0.07–0.45), and 33 (95% CI 8–131), respectively. The quality of evidence was low to moderate. Conclusion: DWI and MRS sequence has comparable diagnostic accuracy in differentiating benign and malignant breast lesions. DWI sequence has higher sensitivity, while MRS sequence has higher specificity. However, limited methodological and evidence quality limits the application of research findings."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oke Dimas Asmara
"Latar Belakang: Gagal napas akut merupakan kondisi mengancam nyawa dan penyebab kondisi ini seperti pneumonia dan edema paru harus segera diketahui sehingga terapi yang sesuai dapat dilakukan. Berbagai panduan klinik untuk kasus gagal napas akut tidak menempatkan USG paru sebagai salah satu modalitas diagnostik. Meta-analisis ini dibuat dengan tujuan mengetahui akurasi USG paru dengan protokol BLUE dalam mendiagnosis penyebab gagal napas akut.
Metodologi: Pencarian secara sistematik dilakukan pada studi potong lintang yang membandingkan akurasi diagnosis protokol BLUE dengan pemeriksaan baku emas untuk setiap diagnosis penyebab gagal napas. Pencarian studi dilakukan dari enam database online yaitu Pubmed/MEDLINE, Embase, Cochrane Central, Scopus, Ebscohost/CINAHL dan Proquest dan sumber gray literature lain pada tanggal 6- 7 September 2020. Penulis melakukan ekstraksi data secara manual dari studi yang memenuhi eligibilitas dan melakukan analisis untuk mendapatkan data gabungan dari sensitivitas, spesifisitas, likelihood ratio dan diagnostic odds ratio.
Hasil: 509 artikel didapatkan dari pencarian studi dengan total akhir 4 artikel yang memenuhi kriteria eligibilitas dan dapat dilakukan meta-analisis. Tidak ada risiko bias yang serius pada 4 studi ini berdasarkan penilaian risiko bias QUADAS-2. Keempat artikel ini mempunyai jumlah total sampel sebesar 770 individu. Dari 4 studi tersebut, 3 studi melakukan penelitiannya di ICU dan 1 studi di IGD. Sebagian besar studi menggunakan operator yang bersertifikasi dan mempunyai pengalaman cukup, sedangkan 1 studi menggunakan operator yang baru diberikan pelatihan. Sensitivitas, spesifisitas, LR+, LR-, DOR protokol BLUE dalam mendiagnosis pneumonia adalah 84% (95% CI, 76-89%), 98% (95% CI, 93-99%), 42 (95% CI, 12-147), 0.12 (95% CI, 0.07-0.2) dan 252 (95% CI, 81-788) secara berurutan. Sensitivitas, spesifisitas, LR+, LR-, DOR protokol BLUE dalam mendiagnosis edema paru adalah 89% (95% CI, 81-93%), 94% (95% CI, 89-96%), 14 (95% CI, 8-25), 0.165 (95% CI, 0.11-0.24) dan 116 (95% CI, 42-320) secara berurutan.
Kesimpulan: Hasil meta-analisis ini menunjukan bahwa protokol BLUE mempunyai sensitivitias dan spesifisitas yang tinggi dalam mendiagnosis pneumonia dan edema paru pada pasien gagal napas akut. Penulis merekomendasikan penggunaan protokol BLUE pada setiap pasien dengan gagal napas akut.

Background: Acute respiratory failure (ARF) is a life-threatening condition. ARF can be caused by variety of pathological conditions such as pneumonia or pulmonary oedema and knowing the etiology of ARF is a vital component in managing ARF. Bedside lung ultrasound in Emergency (BLUE) protocol rarely used for assessing lung pathologies despite multiple studies have shown its reliable performance.
Methods: We conduct meta-analysis to compare diagnostic accuracy of BLUE protocol with gold standard for each diagnosis. Systematic search was done in 6 databases (Pubmed/MEDLINE, Embase, Cochrane Central, Scopus, Ebscohost/CINAHL dan Proquest) and multiple gray-literature sources for crosssectional studies that fulfill eligibility criteria. We manually extracted the data from eligibile studies and calculated pooled sensitivity, pooled specificity, likelihood ratio and diagnostic odds ratio. We follow PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic reviews and Meta-Analyses) guideline throughout these processes.
Results: Four studies, from total 509 articles collected, containing 770 subjects were included in this meta-analysis. Pooled sensitivity, pooled specificity, LR+, LR-, DOR of BLUE protocol in diagnosing pneumonia were 84% (95% CI, 76- 89%), 98% (95% CI, 93-99%), 42 (95% CI, 12-147), 0.12 (95% CI, 0.07-0.2) and 252 (95% CI, 81-788), respectively. Pooled sensitivity, pooled specificity, LR+, LR-, DOR of BLUE protocol in diagnosing pulmonary oedema were 89% (95% CI, 81-93%), 94% (95% CI, 89-96%), 14 (95% CI, 8-25), 0.165 (95% CI, 0.11-0.24) and 116 (95% CI, 42-320), respectively.
Conclusions: BLUE protocol has good diagnostic accuracy to diagnose pneumonia and pulmonary oedema. We recommend implementing BLUE protocol as a tool in evaluating cause of ARF.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawati Negara
"Penelitian ini berangkat dari permasalahan keterbatasan informasi dan data menyangkut peranan sektor kehutanan yang lebih bersifat sektoral dan hanya mencakup sub sektor kehutanan primer saja, dan tidak mencakup sub sektor industri pengolahan kayu sehingga belum memberikan gambaran yang jelas tentang peran sektor kehutanan secara riil dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu penulis ingin menganalisis peranan sektor kehutanan dalam penciptaan output, nilai tambah bruto dan penyerapan tenaga kerja, keterkaitannya dengan sektor ekonomi lain, dampak pengganda serta posisi sektor kehutanan dalam jangka waktu 1995-2008, serta melihat perubahan struktur perekonomian (economic landscape) yang terjadi dalam kurun waktu 1995 - 2008. Model yang digunakan adalah model input output dengan memanfaatkan tabel Input Output Nasional tahun 1995, 2000 dan 2008 (updating) yang disusun BPS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan dalam penciptaan output, nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja nasional relatif kecil dan trennya menurun dalam jangka waktu 1995-2008, dengan sub sektor industri kayu memberikan sumbangan lebih besar daripada sub sektor kehutanan primer. Berdasarkan indeks keterkaitan ke depan dan ke belakang, sektor kehutanan bukan merupakan sektor unggulan dengan besaran indeks yang cenderung menurun, namun sub sektor kehutanan memiliki kemampuan dalam mendorong sektor-sektor hilirnya yang menggunakan output produksi sub sektor kehutanan primer, sementara sub sektor industri kayu memiliki kemampuan untuk menarik sektor hulunya dengan menggunakan outputnya sebagai input produksi.
Dari hasil analisis pengganda dan analisis dampak, diperoleh kesimpulan bahwa sektor kehutanan termasuk dalam sektor yang memilik dampak pengganda yang besar terhadap perekonomian nasional, hal ini berarti bahwa untuk setiap kenaikan permintaan akhir sektor kehutanan sebesar Rp 1 juta akan menyebabkan kenaikan pada output, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja terhadap perekonomian secara keseluruhan. Berdasarkan analisis Multiplier Product Matrix (MPM) diketahui dalam jangka waktu 1995 - 2008 economic landscape Indonesia telah bergeser dari sektor primer yang berbasis sumber daya alam menuju sektor sekunder (industri) dan sektor tersier (perdagangan dan jasa).

Development of the forestry sector played important role in Indonesia economy, but limited information and data on the role of the forestry sector, which is have a sectoral character and not yet include linkages with other economic sectors. The research was conducted to identify the role of forestry sector in output creation, the linkages of forestry sector with other economic sectors, and also identify the output, income and labour multiplier of forestry sector in production process involving other sectors. The model used is the National Input Output tables 1995, 2000 and 2008 (update) made by the Central Bureau of Statistics (BPS).
The results showed that the contribution of the forestry sector in the output creation, value added and employment is relatively small and the trend decline in the period 1995-2008, with sub-sector, timber industry contributes more than primary forestry sub-sectors. Based on the index of forward linkage and backward linkages, the forestry sector is not the dominant sector with mass index tended to decrease, but forestry subsector has the ability to encourage intermediate sectors that use the output of primary production forestry subsector while the sub-sector, timber industry has the ability to attract top sector using the output as an input to production.
Accounting multiplier analysis finds out that, the forestry sector, including in the sector have a major multiplier impact on the national economy, this means that for every increase in demand for the end of the forestry sector amounted to Rp. 1 million will cause an increase in output, incomes and employment to the economy as a whole. Based on the analysis Multiplier Product Matrix (MPM) is known in the 1995-2008 period of Indonesia's economic landscape has shifted from resource-based primary sector to secondary sector (industry) and tertiary sector (trade and services)."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T28059
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>