Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168701 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agung Triono
"Penghentian obat antiepilepsi OAE dengan terburu-buru meningkatkan risiko relaps pada epilepsi. Risiko resistensi obat pada epilepsi relaps sangat tinggi. Belum ada kesepakatan umum kapan OAE dapat dihentikan dengan aman sehingga tidak terjadi relaps. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian relaps pada anak dengan epilepsi terkontrol danyang belum terkontrol kejangnya, mengetahui karakteristik anak dengan epilepsi terkontrol yang mengalami relaps, mengetahui faktor prediktor epilepsi relaps, mengetahui luaranepilepsi relaps, mengetahui perjalanan EEG anak dengan epilepsi relaps. Penelitian dilakukan pada Juni-Desember 2016. Desain studi adalah kasus-kontrol, retrospektif, multisite dari rekam medis tahun 2012-2016. Studi rekam medis dilanjutkan dengan wawancara dan pemeriksaan EEG untuk kelompok kasus. Kelompok kasus adalah anak-anak dengan epilepsi relaps sedangkan kelompok kontrol adalah epilepsi remisi komplit. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prediktor epilepsi relaps. Angka kejadian epilepsi relaps pada penelitian ini adalah 13,6 . Dilakukan analisis terhadap 63 subyek epilepsi relaps dan 63 subyek epilepsi remisi komplit. Faktor prediktor epilepsi relaps pada analisis bivariat yaitu: epilepsi simptomatik P

An inappropriate antiepileptic drugs AED withdrawal increases the risk of relapse. The risk of drug resistance in epilepsy relapse is very high. There is no consensus when the AED is safely withdrawn, so that epilepsy will not relapse. This study aims to know the incidence of relapse in children with controlled and uncontrolled epilepsy, the characteristics, predictors, outcomes, and EEG evolutions in children with epilepsy relapse. This study was held from June December 2016. This was a case control study with retrospective, multi site medical record evaluation from 2012 2016, followed by interview and EEG examination for the case group. The case group was children with epilepsy relapse, while the control was children with epilepsy complete remission. Bivariate and multivariate analysis was done to identify predictors of relapse. The incidence of epilepsy relapse in this study was 13,6 . We analyzed 63 epilepsy relapse and 63 epilepsy complete remission subjects. Relapse predictors in bivariate analysis were symptomatic etiology P
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Jenny Br.
"Latar Belakang: Epilepsi di negara berkembang dua kali lebih tinggi dibandingkan negara maju. Sekitar 60-70% pasien bebas kejang dengan obat antiepilepsi (OAE) generasi satu, jika tidak respons dan kejang menetap maka dipertimbangkan OAE generasi dua. Keberhasilan pengobatan epilepsi dipengaruhi oleh pelbagai faktor serta bergantung terhadap plastisitas dan maturitas otak hingga usia tiga tahun. Belum ada penelitian yang menilai faktor-faktor keberhasilan terapi OAE generasi dua.
Tujuan: Mengetahui faktor risiko keberhasilan keberhasilan terapi OAE generasi 2 pada pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun.
Metode: Studi kasus kontrol dengan data sekunder berupa rekam medis. Sampel penelitian adalah anak epilepsi berusia di bawah tiga tahun yang mendapatkan minimal salah satu OAE generasi 2 berupa topiramat/levetiracetam/lamotrigin. Subyek terbagi kelompok kontrol (dilakukan matching usia) yang kejangnya tidak terkontrol dan kelompok kasus yang kejangnya terkontrol minimal enam bulan. Faktor risiko yang diteliti adalah tipe kejang, status perkembangan, status neurologis awal, gambaran elektroensefalografi (EEG) awal, evolusi klinis dan evolusi EEG.
Hasil: Didapatkan 60 subyek pada masing-masing kelompok; pada kelompok kasus paling banyak dijumpai 66,7% laki-laki, 31,7% rentang usia 6-12 bulan, 83,3% usia awitan kejang <12 bulan, dan 93,3% tipe kejang umum. Dari 6 faktor risiko yang diteliti, hanya evolusi EEG berperan independen dalam memengaruhi keberhasilan terapi, nilai p<0,001; aOR 9,53; IK95% 3,39-26,77.
Kesimpulan: Pasien dengan evolusi EEG baik memiliki kemungkinan sebesar 9,53 kali lipat lebih besar untuk kerjangnya terkontrol dengan OAE generasi 2, dibandingkan pasien dengan evolusi EEG buruk.

Background: Epilepsy in developing countries is twice compared developed countries. About 60-70% epilepsy patients had seizure-free with first generation antiepileptic drugs (AED), if there is no response and persistent seizures, second generation AED is considered. The success of epilepsy treatment is influenced by various factors and depends on the plasticity and maturity of the brain until the first 3 years. There are no studies that assess the success factors of second generation OAE therapy.
Purpose: To assess the risk factors that affecting the success of second generation therapy in children under 3 years old with epilepsy.
Methods: A case control study with secondary data from medical records. The study sample was children under 3 years old with epilepsy who received at least one of second generation AED (topiramate/levetiracetam/lamotrigine). Subjects were divide into 2 groups, control groups (age matching) whose seizure were not controlled and case groups whose seizure were controlled for at least six months. The risk factors studied were seizure type, developmental status, initial neurological status, initial electroencephalography (EEG), clinical evolution and EEG evolution,
Results: There were 60 subjects in each group; the most proportion in case group were 66,7% males, 31,7% of the age range of 6-12 months, 83,3% onset of seizures <12 months, and 93,3% general seizures. Of the 6 risk factors studied, only the EEG evolution significantly and independently affecting the success of therapy, with p value <0,001; aOR 9.53; 95%CI 3.39-26.77.
Conclusion: Patients with good EEG evolution were 9.53 times more likely to have controlled seizure with second generation AED, compared to patients with poor EEG evolution."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gendis Ayu Ardias
"Latar belakang: Palsi serebral (PS) merupakan gangguan permanen pada perkembangan gerakan dan postur tubuh, bersifat non-progresif, dan dapat menyebabkan keterbatasan aktivitas. Gangguan motorik pada PS dapat disertai dengan gangguan fungsi sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi dan tingkah laku, masalah muskuloskeletal sekunder, dan berisiko untuk terjadinya epilepsi di kemudian hari. Jenis PS yang diyakini berhubungan erat dengan kejadian epilepsi adalah PS tipe spastik dengan topografi kuadriplegia. Meskipun terdapat beberapa teori yang diyakini menjadi etiologi spesifik epilepsi pada PS spastik, masih sekitar 70% kasus belum diketahui penyebabnya.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan desain kasus kontrol yang bertujuan untuk menelaah faktor-faktor risiko epilepsi pada PS spastik. Faktor risiko yang terkait kejadian epilepsi pada PS tipe spastik yang akan diteliti adalah mikrosefal, topografi PS spastik, usia pertama kejang < 1 tahun, riwayat kejang periode neonatal, riwayat infeksi SSP di usia < 2 tahun, temuan abnormal CT scan/ MRI, dan temuan abnormal EEG.
Hasil: Sebanyak 103 subjek populasi kasus (PS spastik dengan epilepsi) dan 103 subjek populasi kontrol (PS spastik tanpa epilepsi) diikutsertakan dalam penelitian ini. Analisis univariat hingga multivariat dilakukan menggunakan program statistical package for the social sciences versi 27 (SPSS 27). Faktor risiko dianggap bermakna apabila nilai p<0,05. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor risiko PS tipe spastik yang paling berperan untuk terjadinya epilepsi pada penelitian ini adalah mikrosefal (p=0,003; OR 3,577; IK 95% 1,559–8,209), topografi PS spastik kuadriplegia dan hemiplegia (p=0,005; OR 6,636; IK 95% 1,797–24,509; dan p=0,006; OR 7,888; IK 95% 1,782–34,914), temuan abnormal CT scan/ MRI (nilai p=0,002; OR 4,153; IK 95% 1,715–10,058), dan temuan abnormal EEG berupa gambaran hipofungsi (p < 0,0001; OR 219,338; IK 95% 40,103–1199,63). Kesimpulan: Mikrosefal, topografi PS spastik kuadriplegia, temuan abnormal CT scan/ MRI, dan temuan abnormal EEG terbukti meningkatkan risiko terjadinya epilepsi pada PS spastik, sedangkan usia kejang pertama < 1 tahun, riwayat kejang neonatal, dan infeksi SSP usia < 2 tahun tidak terbukti meningkatkan risiko terjadinya epilepsi pada PS spastik.

Background: Cerebral palsy (CP) is a permanent and non-progressive disturbance in the development of movement and posture, and causes activity limitations. Motor disturbances in PS can be accompanied by impaired function of sensation, perception, cognition, communication and behaviour, secondary musculoskeletal problems, and the risk of developing epilepsy later in life. The type of CP that is believed to be closely related to the incidence of epilepsy is the spastic type with a quadriplegic topography. Although there are several theories that are believed to be the specific aetiology of epilepsy in spastic PS, the cause is still unknown in about 70% of cases.
Method: This is a case-control study design that aims to examine the risk factors of epilepsi in spastic CP. The risk factors associated with the occurrence of epilepsy that will be involved are microcephaly, topography of spastic CP, age at first seizure <1 year, history of neonatal seizures, history of CNS infection at the age < 2 years, abnormal CT scan/ MRI findings, and abnormal EEG findings.
Result: A total of 103 case population subjects (spastic CP with epilepsy) and 103 control population subjects (spastic CP without epilepsy) were included in this study. Univariate to multivariate analysis was performed using the statistical package for the social sciences version 27 (SPSS 27). Risk factors are considered significant if the p value <0.05. This study showed that the risk factors for epilepsy in spastic CP which were most significant for the occurrence of epilepsy were microcephaly (p=0.003; OR 3.577; 95% CI 1.559 – 8.209), quadriplegia and hemiplegia topography (p=0.005; OR 6.636; 95% CI 1.797- 24.509 and p=0.006; OR 7.888; 95% CI 1.782-34.914), abnormal CT scan/MRI findings (p=0.002; OR 4.153; 95% CI 1.715– 10.058), and hypofunction form of EEG findings (p<0,0001; OR 219.338; 95% CI 40.103–1199.63).
Conclusion: Microcephaly, quadriplegia topography, abnormal CT scan/MRI findings, and abnormal EEG findings have been shown to increase the risk of developing epilepsy in spastic CP. Whereas age of first seizure <1 year, history of neonatal seizures, and CNS infection at age <2 years old were not proven to increase the risk of epilepsy in spastic CP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Indra
"ABSTRAK
Latar Belakang. Anak epilepsi dengan usia awitan di atas lima tahun merupakan kelompok dengan karakteristik epidemiologis dan klinis khas yang mungkin memiliki faktor risiko resistensi terhadap obat anti epilepsi OAE spesifik. Penelitian mengenai resistensi obat pada kelompok usia ini masih sedikit. Tujuan. Mengidentifikasi faktor risiko resistensi OAE pada anak epilepsi dengan usia awitan di atas lima tahun. Metode. Dilakukan penelitian kasus kontrol terhadap anak epilepsi dengan usia awitan di atas lima tahun yang berobat di poliklinik RS Cipto Mangunkusumo dan Mohammad Hoesin bulan Agustus-September 2016. Kelompok kasus adalah anak yang resisten OAE sedangkan kelompok kontrol adalah anak responsif OAE berdasarkan klasifikasi ILAE 2010. Faktor risiko yang diteliti yaitu awitan, jumlah kejang dan lama sakit sebelum berobat, etiologi, jenis kejang, status epileptikus, gambaran EEG awal, evolusi EEG, pencitraan otak dan respon awal terapi. Hasil. Sebanyak 32 pasang anak ikut dalam penelitian. Setelah analisis regresi logistik, faktor yang ditemukan berhubungan dengan resistensi OAE adalah etiologi simtomatik adjusted OR 84,71; IK 95 5,18-1359,15 dan respon awal pengobatan tidak baik adjusted OR 72,55; IK 95 7,08-743,85 . Simpulan. Etiologi simtomatik dan respon awal pengobatan tidak baik merupakan faktor risiko resistensi terhadap OAE pada anak epilepsi dengan usia awitan di atas lima tahun yang bersifat independen.
Background. Epileptic children with onset above five years encompass distinct epidemiological and clinical characteristics that may have specific risk factors for resistance to anti epileptic drugs AED . Studies on this age group are limited. Objective. To identify risk factors for drug resistance in epileptic children with age of onset above five years. Methods. A case control study was conducted on epileptic children with onset above five years visiting Pediatric Neurology clinic of Cipto Mangunkusumo and Mohammad Hoesin Hospital between August and September 2016. Cases consisted of drug resistant children while control consisted of drug responsive children according to 2010 ILAE classification. Risk factors studied include onset, number of seizures and illness duration before treatment, cause, seizure type, status epilepticus, initial EEG and evolution of EEG, brain imaging, and initial treatment response. Results. Thirty two pairs of children were included in the study. After logistic regression analysis, symptomatic etiology and failure to achieve early response to treatment were found to be associated with drug resistance with adjusted OR 84.71 95 CI 5.18 1359.15 and 72.55 95 CI 7.08 743.85 respectively. Conclusion. Poor initial response to AED and symptomatic etiology are independent risk factors for drug resistance in epileptic children with age of onset above five years. "
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salendu, Praevilia Margareth
"Latar belakang : Tidur berguna untuk kesehatan mental, emosi, fisik, dan sistem
imunitas tubuh. Gangguan tidur pada anak semakin menjadi masalah karena akan
berdampak pada mood, perilaku dan intelektual anak. Dilaporkan, insidensi
gangguan tidur pada anak lebih tinggi pada kasus epilepsi.
Tujuan : Mengetahui prevalensi gangguan tidur pada anak dengan epilepsi, serta
menilai hubungan antara faktor-faktor risiko yang memengaruhinya kejadian
gangguan tidur pada anak dengan epilepsi.
Metode : Studi potong lintang yang dilakukan di Poliklinik Anak Kiara RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta dengan populasi anak epilepsi usia 4-18 tahun. Penilain
variabel gangguan tidur menggunakan kuesioner sleep disturbance scale for
children (SDSC) terdiri dari 26 pertanyaan yang telah tervalidasi sebelumnya.
Kuesioner akan diisi oleh orang tua mengenai pola tidur anak dalam 6 bulan
terakhir. Pasien yang sebelumnya memiliki gangguan tidur primer seperti
obstructive sleep apnea (OSA), sindrom epilepsi, disabilitas intelektual, attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD) akan dieksklusi.
Hasil : Didapatkan 99 subyek dengan karakteristik 22,2% menderita epilepsi
intraktabel, 28,2% serebral palsi dan 64,6% tipe kejang umum. Dari hasil
kuisioner SDSC didapatkan 71,7% anak dengan epilepsi mengalami gangguan
tidur, jenis terbanyak 62% gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Faktor
risiko yang terbukti memengaruhi secara independen kejadian gangguan tidur
pada pasien epilepsi adalah tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
elektroensefalografi (EEG) abnormal, dan obat antiepilepsi (OAE) jenis nonbenzodiazepin.
Kesimpulan : Tipe kejang umum, serebral palsi, epilepsi intraktabel,
abnormalitas EEG, dan OAE jenis non-benzodiazepin bermakna secara statistik
independen memengaruhi kejadian gangguan tidur pada epilepsi.

Background : Sleep is affecting mental health, emotional, physical, and immune
system. Sleep disorder in children was increased and became a burden because it
will affect the mood, behaviour and intellectual. Reportedly, the incidence of
sleep disorder is higher in children with epilepsy.
Objective : Knowing the prevalence of sleep disorder in children with epilepsy,
and to assess the risk factors which affecting it.
Methods : A cross-sectional study was conducted at children polyclinic Cipto
Mangunkusumo Hospital in Jakarta with populations of epilepsy children aged 4-
18 years old. The assessment of sleep disorder using the sleep disturbance scale
for children (SDSC), which consist of 26 questions that had been previously
validated. The questionnaire will be filled out by parents regarding the childs
sleep pattern in the past 6 months. Patients who had primary sleep disorders such
as obstructive sleep apnea (OSA), epilepsy syndrome, intellectual disabilities,
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) will be excluded.
Results : There were 99 subjects, with characteristics are 22.2% had intractable
epilepsy, 28.2% had cerebral palsy and 64.6% generalized seizures. The
prevalence of sleep disorder in child with epilepsy in this study was 71.7%, the
most frequent type was disorder of starting and maintaining sleep. Risk factors
that have been shown to independently affecting the incidence of sleep disorder in
epilepsy patients are generalized seizures, cerebral palsy, intractable epilepsy,
electroencephalography (EEG) abnormality, and non-benzodiazepine type
antiepileptic drugs (AED).
Conclusion : Generalized seizure, cerebral palsy, intractable epilepsy, EEG
abnormality, and non-benzodiazepine type of AED are statistically significant
affecting the incidence of sleep disturbance in epilepsy independently."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zidnie Prissilla Primawati
"Latar belakang: Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak, yang menimbulkan berbagai permasalahan gangguan tumbuhkembang, dan kualitas hidup anak dengan insidens terbanyak di bawah usia 1 tahun. Faktor-faktor risiko terjadinya epilepsi di bawah usia 1 tahun seperti herediter, prenatal, perinatal dan pascanatal perlu diketahui sehingga dapat menjadi prediktor kejadian epilepsi dan dapat menatalaksana epilepsi sejak dini.
Tujuan: (1) Mengidentifikasi faktor risiko epilepsi pada anak dengan awitan usia di bawah 1 tahun. (2) Menganalisis besar risiko faktor herediter. (3) Menganalisis besar risiko faktor perinatal (asfiksia, BBLR, prematur). (4) Menganalisis besar risiko faktor pascanatal (kejang demam, mikrosefali, keterlambatan perkembangan, tidak ASI eksklusif). (5) Memberikan gambaran probabilitas timbulnya epilepsi berdasarkan skoring prediktor terhadap faktor risiko.
Metode: Penelitian kasus kontrol dilakukan pada pasien yang terdiagnosis epilepsi dengan awitan usia di bawah 1 tahun yang datang ke Poliklinik Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM dari bulan Januari 2011 hingga Desember 2015. Pengambilan data dilakukan dengan melihat data rekam medis dan wawancara kepada orangtua. Faktor-faktor risiko yang dianggap berpengaruh dianalisis secara multivariat.
Hasil: Insidens epilepsi di bawah usia 1 tahun selama 2011-2015 167 pasien. Pada analisis multivariat didapatkan faktor-faktor risiko yang bermakna berupa riwayat keluarga dengan epilepsi (p<0,001 dan OR 9,098; IK 95% 2,002-41,344), mikrosefali (p<0,001 dan OR 20,772; IK 95% 6,041-71,751), kejang demam (p<0,001 dan OR 13,408; IK 95% 3,855-46,636), tidak diberikannya ASI eksklusif (p<0,001 dan OR 9,667; IK 95% 4,607-20,283) serta keterlambatan perkembangan (p<0,001 dan OR 16,042; IK 95% 6,204-41,478). Probabilitas terjadinya epilepsi di bawah usia 1 tahun bila memiliki 1 faktor risiko yaitu 39%, 2 faktor risiko yaitu 86% dan 3-4 faktor risiko menjadi 98%.
Simpulan: Faktor-faktor risiko yang bermakna berupa riwayat keluarga dengan epilepsi, mikrosefali, kejang demam, keterlambatan perkembangan serta tidak ASI eksklusif.

Background: Epilepsy is the most common cause of morbidity in pediatric neurology, which results in delayed developmental problems and decreased quality of life during infancy. Risk factors of epilepsy in infancy such as hereditary, prenatal, perinatal and postnatal should be detected to be able to find the predictors of the incidence and to promptly manage epilepsy.
Aim: (1) To identify the risk factors of epilepsy in infants. (2) To analyze hereditary factors. (3) To analyze perinatal risk factors (asphyxia, low birth weight, prematurity). (4) To analyze postnatal risk factors (febrile seizure, microcephaly, delayed development, no exclusive breastfeeding). (5) To find the probability of epilepsy based on the predictor score of risk factors.
Method: A case control study for patients diagnosed with epilepsy during infancy who comes to Neurology outpatient clinic Department of Child Health, Faculty of Medicine, University of Indonesia from January 2011 to December 2015. Data was collected from medical records and parent interviews. The risk factors that are considered important are then analyzed multivariately.
Result: The incidence of epilepsy in infant from 2011-2015 is 167 patients. In the multivariate analysis, the significant risk factors are family history with epilepsy (p<0.001 and OR 9.098l 95%; CI 2.002-41.344), microcephaly (p<0.001 and OR 20.772; 95% CI 6.041-71.751), febrile seizure (p<0.001 and OR 13.408; 95% CI 3.855-46.636), no exclusive breastfeeding (p<0.001 and OR 9.667; 95% CI 4.607-20.283) and delayed development (p<0.001 and OR 16.042; 95% CI 6.204-41.478). The probability of epilepsy in infants with more than 1 risk factor is 39%, with 2 risk factors is 86% and with 3-4 risk factors is 98%.
Conclusion: The significant risk factors are family history with epilepsy, microcephaly, febrile seizure, delayed development and no exclusive breastfeeding."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Febriyanti Chusniah
"Menurut World Health Ranking 2020, kematian epilepsi di Indonesia mencapai 706 orang dari total kematian dan menempatkan Indonesia pada peringkat 183 di dunia. Kualitas hidup pasien epilepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak epilepsi. Menggunakan metode cross sectional dengan accidental sampling dan didapatkan 94 responden, yaitu orang tua anak epilepsi berumur 4-18 tahun. Uji yang digunakan adalah Chi Square dengan Quality of Life in Childhood Epilepsy Questionner (QOLCE-16). Hasil penelitian menunjukan rata-rata nilai QOLCE-16 anak epilepsi adalah 42.25 dimana 52.1% anak memiliki kualitas hidup buruk. Faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak epilepsi, yaitu usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, status pendidikan anak, lama pengobatan, frekuensi kejang, jenis OAE, dan durasi epilepsi. Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan pengkajian keperawatan pada pasien epilepsi terkait kualitas hidup.

According to the 2020 World Health Ranking, Indonesia ranked 183rd with 706 epilepsy-related fatalities out of total deaths. Various factors impact the life quality experienced by those with epilepsy. Finding the variables affecting children with epilepsy's life quality is the goal of this study. 94 parents of children with epilepsy between the ages of 4 and 18 were selected from the population using an unintentional sampling technique. Chi Square with Life quality in Childhood Epilepsy Questionner (QOLCE-16) was the test utilized. The study finds 52.1% of children with epilepsy reported a low life quality, with an average QOLCE-16 score of 42.25. AED type, length of therapy, frequency of seizures, length of parental education, and length of epilepsy are all factors that affect the life quality for children with epilepsy. These findings can be referenced when creating life quality nursing assessments for patients with epilepsy."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvi Lavina
"Latar belakang. Gangguan perilaku pada anak epilepsi memiliki prevalens yang tinggi dan dapat menyebabkan dampak psikososial pada anak. Namun sejauh ini di Indonesia belum terdapat studi yang meneliti gangguan perilaku pada anak epilepsi serta faktor-faktor yang berhubungan.
Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui: (1) proporsi dan jenis gangguan perilaku pada anak epilepsi berdasarkan child behavior checklist (CBCL), (2) hubungan antara: usia awitan kejang, frekuensi kejang, durasi epilepsi, obat anti epilepsi, tingkat sosial ekonomi, dan pendidikan orangtua, dengan gangguan perilaku pada anak epilepsi, (3) adaptasi keluarga dalam menghadapi anak epilepsi.
Metode. Penelitian potong lintang di Klinik Neurologi Anak FKUI RSCM. Skrining gangguan perilaku dengan kuesioner CBCL dilakukan pada 30 anak epilepsi tanpa defisit neurologis dan disabilitas intelektual. Studi kualitatif untuk menilai adaptasi keluarga dalam menghadapi anak epilepsi.
Hasil. Terdapat tiga dari tiga puluh anak epilepsi yang mengalami gangguan perilaku, dengan jenis gangguan perilaku eksternalisasi (perilaku melanggar aturan dan agresif), masalah sosial dan gangguan pemusatan perhatian. Faktor usia awitan kejang (p=0,280), frekuensi kejang (p=0,007; RP 0,036; IK95% 0,005-0,245), durasi epilepsi (p=1,000), obat anti epilepsi (p=0,020; RP 0,019; IK95% 0,001-0,437), tingkat sosial ekonomi (p=0,251), dan pendidikan orangtua (p=1,000), tidak berisiko meningkatkan gangguan perilaku. Terdapat sikap dan reaksi, serta persepsi dan stigma orangtua yang negatif dalam menghadapi anak epilepsi yang mengalami gangguan perilaku. Terdapat masalah keluarga sejak anak mengalami epilepsi dan gangguan perilaku. Orangtua tidak dapat menerapkan pola asuh displin dan kemandirian pada anak dengan gangguan perilaku.
Simpulan. Proporsi gangguan perilaku pada anak epilepsi tanpa defisit neurologis dan disabilitas intelektual tidak tinggi. Tidak terdapat faktor-faktor yang memengaruhi gangguan perilaku. Adaptasi keluarga baik dalam menghadapi anak epilepsi tanpa gangguan perilaku, dibandingkan dengan keluarga anak epilepsi yang mengalami gangguan perilaku.

Background. Behavior problems are prevalent in children with epilepsy and have psychosocial impact in children. However, in Indonesia, no research has ever been done to study behavior problems in children with epilepsy and related factors.
Objectives. This study aimed to define: (1) proportion behavior problem and type of behavior disorder based on child behavior checklist (CBCL), (2) the relationship between factors: age at seizure onset, seizure frequency, epilepsy duration, antiepileptic drug, socio-economic, and parents education, with behavior problems in epileptic children, (3) family adaptation on managing children with epilepsy.
Method. A Cross sectional study in Pediatric Neurology Clinic FKUI RSCM. Screening for behavior problems with CBCL questionnaires in 30 children with epilepsy without neurologic deficit and intellectual disability. A qualitative study examined family adaptation on managing children with epilepsy.
Results. There were three of thirty children with epilepsy, who have behavior problems, with externalizing disorder (delinquent and agressive behavior), social and attention problems. Age at seizure onset (p=0,280), seizure frequency (p=0,007; PR 0,036; CI95% 0,005-0,245), epilepsy duration (p=1,000), anti epileptic drug (p=0,020; PR 0,019; CI95% 0,001-0,437), socio-economic (p=0,251), dan parents education (p=1,000), are not risk factors for development of behavior problems. Parents’ behavior and reaction, their perception and stigma are negative on managing children with epilepsy and behavior problems. There are family problems since their children have epilepsy and behavior problems. Parents are unable to discipline children with behavior problems and teach them to be independent.
Conclusion. The proportion of behavior problems in children with epilepsy without neurologic deficit and intellectual disability, are not high. There are no risk factors for development of behavior problems. Family adaptation on managing children with epilepsy without behavior problems are better than family who have children with epilepsy and behavior problems.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Fahlevi
"Sebagian anak epilepsi akan mengalami epilepsi intractabledengan berbagai dampak jangka pendek dan panjang yang dapat menyertainya. Salah satu pilihan terapi epilepsi intractableadalah pemberian obat antiepilepsi (OAE) lini II, namun tidak semua pasien mendapatkan luaran positif berupa terkontrolnya kejang. Hingga saat ini belum ada penelitian di Indonesia yang menilai faktor-faktor prediktor terkontrolnya kejang pada anak dengan epilepsi intractable. Penelitian ini bertujuan untuk menilai luaran klinis serta faktor prediktor terkontrolnya kejang pada anak dengan epilepsi intractableyang mendapatkan OAE lini II. Penilitian ini merupakan penelitian kasus-kontrol dengan menggunakan data retrospektif. Sebanyak 60 pasien anak epilepsi intractable yang terkontrol OAE lini II selama enam bulan (kelompok kasus) dibandingkan dengan 60 pasien yang tidak terkontrol (kelompok kontrol) yang telah dilakukan matchingterhadap usia. Sebanyak 29% dari seluruh anak epilepsi mengalami epilepsi intractabledan hanya 43% di antaranya yang terkontrol dengan OAE lini II. Ada empat faktor prediktor yang dinilai yaitu tipe kejang, frekuensi kejang, perkembangan motorik kasar, serta gambaran electroencephalogram(EEG) awal. Hanya gambaran EEG awal yang memberikan hasil signifikan sebagai prediktor terkontrolnya kejang dalam analisis bivariat dan multivariat dengan nilai rasio odds(OR) 4,28 (95% interval kepercayaan=1,48-12,41) dan p=0,007. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa gambaran EEG awal yang normal merupakan faktor prediktor positif terhadap terkontrolnya kejang pada pasien anak dengan epilepsi intractable.

Children with epilepsy might have short- and long-term complications if they progress into intractable epilepsy. Seizure remission in intractable epilepsy are sometimes not achieved even after administering second line anti-epileptic drugs (AED). To this day, there were no studies that evaluate the predicting factors of seizure control in children with intractable epilepsy. This research aimed to evaluate the clinical outcomes and predictors factor of seizure control in children with intractable epilepsy who received second line AED. This research is a case-control study with retrospective data. Sixty children with intractable epilepsy patients who had controlled seizure with second line AED for six months (case group) compared with sixty patients who had uncontrolled seizure (control group) with age-matched selection. There were four factors analyzed include type of seizure, frequency of seizure, gross motoric development, and initial electroencephalogram (EEG) feature. Initial EEG feature had significant result in bivariate and multivariate analysis with odd ratio (OR) 4,28 (95% confident interval 1,48-12,41) and p value 0,007. We can conclude that normal initial EEG feature is a positive predicting factor of seizure control in children with intractable epilepsy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maghffira Maura R. A. Dunda
"Epilepsi masih menjadi masalah neurologis pada anak, dengan pertambahan kasus sebesar 75%-80% setiap tahunnya di negara-negara berkembang. Sudah terdapat banyak pilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) yang tersedia. Sayangnya, mencapai 30% pasien anak yang menjalani pengobatan tidak mencapai bebas kejang, dan berkembang menjadi epilepsi dengan kejang tidak terkontrol, atau disebut dengan epilepsi intraktabel. Perjalanan pengobatan sangat penting pada keadaan epilepsi anak usia di bawah tiga tahun, yang masih dalam masa perkembangan otak, namun belum banyak penelitian yang melihat evolusi faktor risiko dalam memprediksi kejadian epilepsi intraktabel. Penelitian ini melihat perubahan atau evolusi faktor risiko pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun pada 3 lokasi penelitian di Jakarta, dengan melakukan studi kasus-kontrol.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi peran evolusi faktor risiko untuk memprediksi epilepsi intraktabel anak usia di bawah tiga tahun. Penelitian dilakukan secara retrospektif, menggunakan data sekunder, dengan melihat rekam medis pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun yang diperoleh dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, RS Puri Cinere Depok, dan Klinik Anakku Pondok Pinang Center, Jakarta Selatan. Total subjek sebanyak 102 rekam medis pasien, dengan perbandingan kasus:kontrol yaitu 1:1. Hasil analisis pearson chi-square memperoleh 3 evolusi faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian epilepsi intraktabel, yaitu: evolusi kelumpuhan motorik kasar (p<0,001; OR 7,86; IK95% 3,142-19,659); evolusi status neurologis (p<0,001; OR 9,84; IK95% 3,934-24,614); dan evolusi gelombang epileptiform EEG (p<0,001; OR 23,25; IK95% 7,657-70,599). Evolusi tipe kejang menunjukkan hasil tidak bermakna terhadap kejadian epilepsi intraktabel anak. Hasil analisis multivariat kemudian menunjukkan bahwa evolusi gelombang epileptiform EEG baik/buruk memiliki peran paling kuat dalam memprediksi kejadian epilepsi intraktabel (p<0,001; OR 0,075; IK95% 0,022-0,253). Evolusi gelombang epileptiform EEG buruk merupakan faktor prediktor epilepsi intraktabel anak usia di bawah tiga tahun yang paling berpengaruh.

Epilepsy is still a neurological problem among children, with an increase in cases of 75% -80% annually in developing countries. There are already many choices of Anti-Epileptic Drugs (AED) available. Unfortunately, up to 30% of pediatric patients who undergo treatment do not achieve seizure-free, and develop epilepsy with uncontrolled seizures, also known as intractable epilepsy. The course of treatment is very important in the epilepsy of children under three years of age, who are still in the process of brain development, but not many studies have looked at the evolution of risk factors in predicting the incidence of intractable epilepsy. This study looked at changes or evolution of risk factors for epilepsy patients under three years of age in 3 study locations in Jakarta, by conducting a case-control study. The objective of this research is to Identified the evolution of risk factors role in predicting intractable epilepsy in children under three years of age. The study was conducted retrospectively, using secondary data, by looking at the medical records of epilepsy children under three years of age obtained from RSUPN Cipto Mangunkusumo, Central Jakarta, Puri Cinere Hospital Depok, and Klinik Anakku Pondok Pinang Center, South Jakarta. The total subjects were 102 patient medical records, with a case: control ratio of 1: 1. The results of the Pearson chi-square analysis obtained three significant evolution of risk factors for the incidence of intractable epilepsy, namely: the evolution of gross motor paralysis (p<0.001; OR 7.86; 95% CI 3.142-19.659); evolution of neurological status (p<0.001; OR 9.84; CI95% 3,934-24.614); and EEG epileptiform wave evolution (p<0.001; OR 23.25; IK95% 7,657-70,599). The evolution of seizure types showed no significant effect on the incidence of intractable epilepsy in children. The results of multivariate analysis then showed that the evolution of epileptiform EEG waves good/bad had the strongest role in predicting the incidence of intractable epilepsy (p<0.001; OR 0.075; CI95% 0.022-0.253). The bad evolution of EEG epileptiform waves was the most influential predictor of intractable epilepsy among children under three years of age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>