Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164439 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Azsmar Haliem
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai permohonan kepailitan yang diajukan oleh kejaksaan dengan alasan kepentingan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UUKPKPU. Adapun kondisi-kondisi yang dapat dijadikan alasan kepentingan umum itu sendiri, belum didefinisikan secara jelas dalam peraturan perundangan-undangan. Hal ini menyebabkan luasnya cakupan unsur kepentingan umum. Metode penelitian pada skripsi ini merupakan penelitian hukum dalam bentuk yuridis normatif, khususnya membahas penerapan kepentingan umum dalam permohonan kepailitan pada Putusan No. 02/Pailit/2005/PN.Niaga/Mdn, dan, Putusan No. 23/Pdt.Sus/Pailit/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst yang telah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan analisis penulis, penerapan permohonan kepailitan oleh kejaksaan dengan alasan kepentingan umum telah sesuai dengan UUKPKPU, namun, hendaknya Pemerintah memperbarui peraturan pelaksana dan peraturan teknis turunan lainnya tentang Kepentingan Umum dalam kepailitan, agar terdapat kejelasan terkait keadaan-keadaan yang merupakan alasan kepentingan umum.

ABSTRACT
This thesis discusses about bankruptcy petition by the state prosecutor for public interest, as regulated under Article 2 paragraph 2 Indonesia Bankruptcy Code UUKPKPU . The conditions that can be used for public interest for itself have not been defined clearly in the legislation. The research method in this thesis is legal research in normative juridical form, especially discussing about public interest in bankruptcy petition in court decision No. 02 Pailit 2005 PN.Niaga Mdn, and, No. 23 Pdt.Sus Pailit 2013 PN.Niaga.Jkt.Pst. Based on writer rsquo s analysis, the judge rsquo s decision has been appropriated with UUKPKPU, but the government should update the legislation about public interest in bankruptcy."
2017
S69916
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erick Andhika
"Pemberian pinjaman dan perolehan pinjaman merupakan kegiatan yang lazim terjadi. Hal ini dapat terjadi dikarenakan di antara kedua belah pihak telah memiliki suatu kepercayaan bahwa pinjaman tersebut akan dikembalikan pada tanggal yang disepakati. Apabila pada tanggal yang telah ditentukan belum atau tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut, maka salah satu cara pengembalian pinjaman tersebut adalah dengan mengajukan permohonan pailit. Dalam skripsi ini membahas mengenai salah satu tugas dan kewenangan kejaksaan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap suatu badan usaha demi kepentingan umum. Pengajuan permohonan pailit ini, dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Cibadak sebagai suatu tindak lanjut dari putusan pengadilan pidana yang mana terdapat perintah untuk melelang dan membagikan harta tersebut secara adil kepada seluruh investor.

Lending and acquisition loans are common activities. This can occur because in between the two sides have had a belief that the loan will be reimbursed on an agreed date. When on a date specified cannot restore the loan, then one way of the loan repayment is by applying for bankruptcy. In this thesis deals with one of the tasks and authorities of the Attorney General to file a petition in bankruptcy against a business entity for the sake of public interest. The filing of a petition in bankruptcy, was carried out by Cibadak State Prosecutor as a follow-up of the Criminal Court's verdict where there is an order to the property and share auctions are fair to all investors.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56672
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Kinanti Pangesti Putri
"ABSTRAK
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan syarat
kepailitan yang wajib dipenuhi dan dibuktikan di persidangan. Berdasarkan pasal tersebut maka terhadap debitor yang memiliki lebih dari satu kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dapat dipailitkan apabila dapat dibuktikan secara sederhana dalam persidangan. Oleh karena itu penulis ingin meneliti apakah Permohonan Pailit yang diajukan oleh para pekerja PT Indah Pontjan telah memenuhi syarat pailit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan apakah putusan pengadilan dan Mahkamah Agung telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bentuk penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara studi kepustakaan. Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan yaitu mantan pekerja yang dilakukan pemutusan hubungan kerja merupakan kreditur preferen dalam kepailitan dan utang berupa upah pekerja beserta hak-hak lainya yang timbul akibat pemutusan hubungan kerja merupakan utang dalam kepailitan. Oleh karena itu permohonan pailit yang diajukan para mantan pekerja PT Indah Pontjan terhadap PT Indah Pontjan telah sesuai dengan syarat pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan syarat pailit tersebut telah dapat dibuktikan secara sederhana dengan adanya Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 04/G/2008/PHI. Mdn tanggal 8 Januari 2008 jo Putusan Nomor 905 K/Pdt.
Sus/2008 tanggal 24 Maret 2009 jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 03 PK/Pdt. Sus/2010 tanggal 16 Februari 2010. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang meskipun terhadap harta debitur telah terdapat penetapan eksekusi putusan pengadilan sebelumnya, debitur tetap dapat dimohonkan pailit selama syarat pailit terpenuhi dan dapat dibuktikan secara sederhana.

ABSTRACT
Article 2 paragraph (1) of Law of The Republic of Indonesia Number 37
of 2004 on Bankruptcy and Suspension of obligation for Payment of Debts
stipulates the conditions of bankruptcy which must be fulfilled and proven before the court. In accordance with the mentioned article, debtor having two or more creditors and not paying at least one debt which has been matured and payable can be declared bankrupt provided that the provisions of bankruptcy can be simply proven before the court. Therefore, author wants to examine whether the petition for declaration of bankruptcy filed by workers of PT Indah Pontjan has met the provision of bankruptcy stipulated in Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts and to examine whether court decision and Supreme Court decision are complied with Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debt. This research is a form of normative legal research with typology research is explanatory research. Data used is secondary data, the data collection techniques used is study literature. From the research, author obtains conclusions that former workers who are performed the termination of employment constitute preferred creditors in bankruptcy and debts in the form of wages of workers and other rights arising from employment termination constitute debts in bankruptcy. Therefore, petition for declaration of bankruptcy filed by former workers of PT Indah Pontjan against PT Indah Pontjan has met the conditions of bankruptcy stipulated in article
2 paragraph 1 Law of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on
Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts. Further, the
conditions of bankruptcy can be simply proven before the court by the existence of Court Decision of Industrial Relations Court Number 04/G/2008/PHI. Mdn dated 8 January 2008 jo Court Decision Number 905 K/Pdt. Sus/2008 dated 24 March 2009 jo Supreme Court Decision Number 03 PK/Pdt. Sus/2010 dated 16 February 2010. In accordance with Article 31 paragraph 1 Act of The Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts, although there is already execution related to the debtor's assets, debtor still can be declared bankrupt provided that all conditions of bankruptcy are met and proven simply before the court."
2016
T45592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarissa Zahira Hidayansyah
"Asas itikad baik merupakan asas umum hukum perjanjian yang digunakan sebagai bentuk pembatasan para pihak dalam melaksanakan kebebasan berkontrak. Asas itikad baik digunakan untuk mengetahui itikad para pihak dalam melaksanakan perjanjian yang dinilai berdasarkan peraturan perundang-undangan, nilai kepatutan, kebiasaan, kesusilaan baik, maupun ketertiban umum sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1337 dan pasal 1339 KUHPerdata. Namun, tidak terdapat definisi yang jelas dalam mengartikan suatu itikad baik dalam perbuatan hukum tertentu yang membawa adanya beragam perspektif dan pendapat dalam mengartikan itikad baik suatu perbuatan hukum. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana penerapan itikad baik dan kebebasan berkontrak dalam penerbitan jaminan kebendaan berdasarkan perjanjian fasilitas pinjaman (facility agreement) dengan melakukan studi kasus pada Putusan Nomor 3/Pdt.Sus-Lain lain/2021/PN Niaga Mdn jo. No. 7/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Niaga Mdn berkaitan dengan penerbitan Segenap Akta Jaminan Fidusia dan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang diduga sebagai bentuk itikad buruk kreditor separatis untuk menyembunyikan harta boedel pailit debitor yang mana telah merugikan kreditor konkuren karena harta debitor hanya dapat membayar pelunasan utang kreditor separatis. Tidak terdapat unsur-unsur yang dapat menegaskan adanya itikad buruk dalam penerbitan jaminan kebendaan tersebut sehingga jaminan kebendaan yang timbul berdasarkan perjanjian fasilitas pinjaman berlaku secara sah di mata hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya.

The principle of good faith is a general principle of contract law used as a form of limitation of the parties in exercising freedom of contract. The principle of good faith is used to determine the parties' intentions in carrying out the agreement, which is assessed based on statutory regulations, decency, customs, good decency, and public order, as emphasized in articles 1337 and 1339 of the Civil Code. However, there is no clear definition of interpreting good faith in a particular legal action which brings a variety of perspectives and opinions in interpreting the good faith of a legal action. By using the juridical-normative research method, this paper will analyze how good faith and freedom of contract are applied in issuing material guarantees based on a facility agreement by conducting a case study on Decision Number 3/Pdt.Sus-Lainlain/2021/ PN Niaga Mdn jo. No. 7/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Niaga Mdn relating to the issuance of all Fiduciary Guarantee Deeds and Mortgage Deeds (APHT), which are suspected of being a form of bad faith of separatist creditors to hide the debtor's bankrupt assets which have harmed concurrent creditors due to assets debtors can only pay off the debts of separatist creditors. No elements can confirm the existence of bad faith in the issuance of the material guarantee so that the material guarantee that arises based on the loan facility agreement is valid in the eyes of the law and binds the parties who make it.;

Nama : Claudio Richard

Program Studi : S1 Akuntansi
Judul : Analisis Proses Valuasi Bisnis Pada PT Sekuritas XXX Indonesia
Pembimbing : Dr. Gede Harja Wasistha, CMA
Laporan magang ini bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian prosedur analisis serta valuasi bisnis yang terjadi pada PT Sekuritas XXX Indonesia dengan teori yang ada terutama analisis top-down yang mulai dari analisis makroekonomi, industri, keunggulan bersaing, keuangan, hingga akhirnya proses proyeksi laporan keuangan dan berujung pada proses valuasi bisnis. Selain itu, terdapat pula tujuan lain yaitu melaporkan pengembangan diri sendiri yang digambarkan dalam refleksi diri berdasarkan pengalaman saat menjalani proses magang pada PT Sekuritas XXX Indonesia. Berdasarkan proses evaluasi yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa keseluruhan proses valuasi bisnis yang terjadi pada PT Sekuritas XXX Indonesia sudah sesuai dengan teori yang ada bahkan lebih komprehensif dan rinci sehingga menghasilkan hasil yang lebih akurat dan terpercaya.


Name : Claudio Richard

Program : Accounting – Undergraduate Program
Title : Analysis of the Business Valuation Process at PT Sekuritas XXX Indonesia
Supervisor : Dr. Gede Harja Wasistha, CMA
This internship report aims to evaluate the suitability of business analysis and valuation procedures that occur at PT Sekuritas XXX Indonesia with existing theories, especially top-down analysis starting from macroeconomic analysis, industry, competitive advantage, finance, projecting financial reports and ending with business valuation process. In addition, there is also another purpose for reporting self-development which is described in self-reflection based on experience while undergoing the internship process at PT Sekuritas XXX Indonesia. Based on the evaluation process that has been carried out, it can be concluded that the entire business valuation process that occurs at PT Sekuritas XXX Indonesia is in accordance with the existing theory and is even more comprehensive and detail to produce more accurate and reliable results.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirza Omar Hikam
"Setiap perbuatan hukum seharusnya dilakukan dengan iktikad baik dan tidak merugikan orang lain termasuk dalam pengajuan PKPU namun dalam praktik kerap terjadi pengalihan piutang oleh kreditor kepada pihak ketiga dan kreditor tersebut kemudian mengajukan permohonan PKPU terhadap debitor sebagaimana tampak diantaranya dalam Putusan Nomor 17/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn. Skripsi ini merupakan penelitian yuridis-normatif dan menggunakan pendekatan cases approach dan statutes approach untuk menelaah: (1) bagaimana pengaturan persyaratan permohonan PKPU oleh kreditor yang mengalihkan piutang melalui cessie?; (2) bagaimanakah pandangan pengadilan atas kedudukan cessionaris dalam permohonan PKPU?; dan (3) bagaimanakah penerapan hukum oleh Majelis Hakim atas iktikad baik cedent dalam Putusan Nomor 17/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn.? Hasil penelitian menemukan bahwa: (1) Permohonan PKPU harus memenuhi ketentuan Pasal 222 jo. Psl 8 UU-KPKPU yang mana cessie yang dilakukan cedent harus memenuhi ketentuan Pasal 613 jo. Buku III KUHPerdata. (2) Pengadilan pada umumnya mengakui praktik cessie dalam permohonan PKPU meskipun tidak seragam dalam memandang kedudukan cessionaris sebagai kreditor lain. (3) Majelis Hakim dalam kasus a quo kurang cermat mempertimbangkan keberadaan iktikad buruk Pemohon PKPU karena menggunakan dasar hukum yang tidak relevan. Oleh karena itu, selain melakukan amandemen terhadap UU-KPKPU dan KUHPerdata untuk lebih mengakomodir asas keseimbangan dalam hukum kepailitan nasional, Penulis menyarankan agar para pihak dalam kontrak mempertegas kebolehan/larangan cessie atas hak kontraktual sesuai asas kebebasan berkontrak dan iktikad baik.

Every legal action should be carried out in good faith but there are problem in Decision Number 17/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn. This thesis is a juridical- normative research and used a cases approach and a statutes approach to examine: (1) how are the requirements for PKPU applications by creditors who transfer receivables through cessie?; what is the legal standing of the cessionary in the PKPU application?; and how is the Panel of Judges decided on the good faith of cedent in Decision Number 17/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Mdn.? The results of the study found that: PKPU applications must meet the provisions of Article 222 jo. Article 8 UU-KPKPU in which cessie by cedent must comply with the provisions of Article 613 jo. Book III of the Civil Code. (2) Courts generally recognize the practice of cessie in PKPU applications, although they are not uniform in viewing the position of cessionaries as other creditors.
(3) The Panel of Judges in the a quo case did not carefully consider the existence of the PKPU Petitioner's bad faith because it used an irrelevant legal basis. Thereforethe author suggests that the parties to the contract emphasize the cessie's permissibility/prohibition of contractual rights in accordance with the principles of freedom of contract and good faith. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matthew Sebastian
"PKPU merupakan upaya hukum untuk mencegah pengadilan menetapkan kepailitan dengan mengajukan rencana perdamaian dan restrukturisasi utang, yang dapat diajukan oleh debitor atau kreditor sebelum putusan pailit diumumkan. Selama proses PKPU, kekayaan debitor dibekukan, kewajiban membayar utang dihentikan, dan tindakan eksekusi ditunda, sementara debitor tidak boleh mengelola asetnya. Penerapan PKPU penting untuk kelangsungan usaha debitor dan kreditor, namun sering terjadi kerancuan dalam penerapan hukum tentang penarikan penjamin sebagai termohon PKPU, seperti yang terlihat dalam Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian analisis-deskriptif untuk menganalisis permasalahan yang ada berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa Pasal 254 UUK-PKPU mengatur bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku bagi keuntungan sesama debitor dan penanggung, namun ketentuan ini menimbulkan kerancuan dalam kasus PKPU yang melibatkan corporate guarantor. Dalam Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn, hakim memutuskan untuk mengikutsertakan corporate guarantor sebagai termohon PKPU yang mana telah mencampurkan konsep kepailitan di dalam perkara PKPU. Penulis menyarankan adanya pedoman tambahan, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung, untuk memperjelas keikutsertaan personal, corporate, dan bank guarantee dalam proses PKPU demi menciptakan kepastian hukum.

PKPU is a legal measure to prevent the court from declaring bankruptcy by proposing a peace plan and debt restructuring, which can be submitted by the debtor or creditor before the bankruptcy decision is announced. During the PKPU process, the debtor's assets are frozen, debt payment obligations are halted, and execution actions are suspended, while the debtor is not allowed to manage their assets. The implementation of PKPU is crucial for the continuity of the debtor's and creditor's businesses, but legal errors often occur especially in Article 254 UUK-PKPU that explains about involving guarantors as PKPU respondents, as seen in Decision Number 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn. The author uses a juridical-normative method with a qualitative approach in descriptive-analytical research to analyze existing issues based on applicable regulations. The study found that Article 254 of the UUK-PKPU states that the postponement of debt payment obligations does not apply for the benefit of co-debtors and guarantors, but this provision creates confusion in PKPU cases involving corporate guarantors. In Decision Number 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn, the judge decided to include the corporate guarantor as a PKPU respondent, thereby mixing the concept of bankruptcy in the PKPU case. The author suggests additional guidelines, such as a Supreme Court Circular, to clarify the participation of personal, corporate, and bank guarantees in the PKPU process to create legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bryan Imanuel
"Kebutuhan akan tempat tinggal merupakan kebutuhan penting bagi semua orang. Dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan terbatasnya ketersediaan tanah di masa sekarang, pihak pengembang mulai membangun pembangunan rumah tinggal dalam bentuk rumah susun. Rumah susun atau apartemen adalah bentuk dari perumahan vertikal yang dimiliki secara pemilikan bersama dengan perbandingan proporsional. Namun dalam perkembangannya pembangunan rumah susun mengalami berbagai macam kendala, salah satu di antaranya berupa kendala dalam hal pembangunan dan kendala finansial yang dapat berujung pada pihak pengembang dinyatakan pailit. Contohnya kasus Apartemen Bliss Park dimana pihak pembeli dan pengembang melakukan PPJB dengan akta di bawah tangan. Tak lama kemudian, pengembang Apartemen Bliss Park dipailitkan oleh para kreditornya karena alasan finansial. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang kedudukan hukum dan hak pembeli satuan rumah susun yang membeli rumah susun tersebut, dan bagaimanakah seharusnya PPJB dibuat oleh pihak pengembang. Penelitian ini mengunakan metode penelitian yuridis normatif dengan bentuk penelitian deskriptif analitis dimana penulis menelaah dan menjelaskan permasalahan yang diteliti secara analitis. Hasil penelitian ini adalah bahwa kedudukan hukum bagi pembeli yang mengunakan akta di bawah tangan tidak begitu kuat di mata hukum karena akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, namun pembeli dapat menuntut haknya kepada pelaku pembangunan setelah proses kepailitan selesai dilaksanakan. Selain itu, Peraturan PUPR No. 11 Tahun 2019 dibuat untuk melindungi kepentingan pembeli rumah susun. Peraturan PUPR No. 11 Tahun 2019 menetapkan bahwa akta PPJB jual beli rumah harus dibuat di hadapan Notaris dan mengikuti format yang telah ditentukan dalam PUPR tersebut.

The need of housing is an important need. With the increase of population and the limited availability of land, developers started to build housing in the form of flats. Flats are a form of vertical housing that is owned jointly in proportion. Along the development of flats, it had experienced various obstacles, one of them being construction and financial problems that lead into the bankruptcy of said developer. For example, the case of Bliss Park Apartment where the buyers and developers had made Sale and Purchase (S&P) in a privately made deed. The developer was then declared bankrupt by its creditors for financial reasons. The problems raised in this study are the legal status and rights of the buyers of the apartments, and how the S&P deed should be made by the developers. This study uses a normative juridical research method with a descriptive analytical research where the research will analyse and explain the problem of the study in an analytical way. This study finds that the legal position for buyers with a privately made deed is not legally strong because privately made deeds do not have perfect proof of strength, but the buyers can claim their rights to the developers after the bankruptcy process is completed. In addition, PUPR Regulation No. 11 of 2019 was made to protect the interests of apartment buyers, which stipulates that the S&P deed of houses must be made before a notary and following the format specified in the PUPR"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William Khoswan
"Perkembangan dalam teknologi serta ilmu pengetahuan menyebabkan batasan negara-negara di dunia semakin hilang terutama dalam bidang perekonomian internasional. Hal ini akan menjadi sebuah masalah baru apabila berkaitan dengan kepailitan lintas batas, khususnya pengeksekusian harta Debitor pailit yang memiliki aset di luar wilayah berlakunya putusan pailit. Prinsip teritorial dan prinsip kedaulatan negara yang dimiliki sebagian besar negara merupakan salah satu faktor utama tidak dapatnya suatu putusan pailit diakui dan ditegakkan di negara lain. Faktor tersebut menyebabkan putusan pailit di sebuah negara tidak dapat dijadikan dasar untuk mengeksekusi harta Debitor pailit yang berada di yurisdiksi negara lain sehingga menyebabkan berkurangnya harta Debitor yang akan digunakan untuk membayar utang-utangnya kepada Para Kreditornya yang tentunya dalam hal ini hak Kreditor terhadap piutangnya tidak dapat dipenuhi sepenuhnya. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang diwujudkan dengan melakukan studi kepustakaan, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana pengimplementasian kepailitan lintas batas di landasan hukum kepailitan Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maupun peraturan berkaitan lainnya dan dibandingkan dengan pengimplementasian kepailitan lintas batas di Malaysia. Selain itu akan dibahas juga mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan agar pengeksekusian harta Debitor pailit yang terletak di negara asing dapat dilaksanakan. Berkaitan dengan itu, Penulis menarik kesimpulan bahwa Indonesia belum memiliki instrumen hukum kepailitan lintas batas sebagai dasar pengeksekusian harta Debitor pailit yang terletak di negara asing. Berbeda dengan Malaysia yang memiliki perjanjian bilateral dengan Singapura dan peraturan mengenai pengakuan putusan asing dengan beberapa negara yang diatur dalam peraturan tersebut. Sehingga hingga saat ini, upaya yang dapat dilakukan oleh Para Kreditor adalah mengajukan permohonan ulang di negara yang bersangkutan. Namun ada baiknya bahwa pemerintah Indonesia melakukan perjanjian bilateral dengan beberapa negara, mengadopsi UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency, atau membentuk perjanjian regional dengan negara anggota ASEAN.

Developments in technology have caused the boundaries of countries in the world to disappear, especially in the field of the international economy. This will become a new problem if it relates to cross-border bankruptcy, especially the execution of bankrupt debtors who have assets outside the area where the bankruptcy decision is enforced. Territorial principles and the principle of state sovereignty which are owned by most countries are one of the main factors in which a bankruptcy decision cannot be recognized and enforced in other countries. These factors cause a bankruptcy decision in one country to not be used as a basis for executing the assets of a bankrupt debtor who is in the jurisdiction of another country, causing a reduction in the debtor’s assets that will be used to pay his debts to his creditors. By using normative juridical research methods realized by conducting literature studies, this paper will analyze how cross-border bankruptcy is implemented on the basis of Indonesian bankruptcy law, namely Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Obligations for Payment of Debt compared with the implementation of cross-border insolvency in Malaysia. I In this regard, the author draws the conclusion that Indonesia does not yet have cross-border insolvency legal instruments as a basis for executing bankrupt debtors’ assets located in foreign countries. In contrast to Malaysia, which has a bilateral agreement with Singapore and regulations regarding the recognition of foreign judgments with several countries regulated in these regulations. Until today, the efforts that can be made by creditors are re-litigation in the country concerned. However, it is good that the Indonesian government enters into bilateral agreements with several countries, adopts the UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency, or forms regional agreements with ASEAN member countries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candy Nurul Khasanah
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai kepailitan yang permohonannya diajukan oleh debitor sendiri (voluntary petition) berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU serta UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Penulis melakukan tinjauan yuridis terhadap kasus kepailitan PT. Mandala Airlines yang permohonannya diajukan oleh perseroan itu sendiri sebagai debitor pailit. Untuk mengetahui bagaimana pengajuan permohonan pailit yang diajukan oleh debitor sendiri, maka dibahas juga mengenai perbandingan voluntary petition di Indonesia dengan negara Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif untuk menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah apakah penerapan kepailitan yang diajukan debitor sendiri telah sesuai pelaksanaannya berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 dan apakah telah menerapkan prinsip commercial exit from financial distress bagi debitor yang berupa perseroan. Melalui penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban mengenai aspek hukum terhadap pengajuan pailit oleh debitor sendiri (voluntary petition) berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004.

ABSTRAK
This thesis discusses about bankruptcy which is filed by the debtor (voluntary petition) based on Bankruptcy and Suspension of Payment Law No. 37 Year 2004 and Company Law No. 40 Year 2007. The author also did a juridical analysis towards the bankruptcy case of PT. Mandala Airlines, whereas the request for bankruptcy was initiated by the company as a debtor. Commenting on the above aspects, will be discusses about the comparison of voluntary petition between Indonesia and other countries that is United States, Japan, and Australia. The method of this research is qualitative normative interpretive to generate a descriptive analytical data. The primary issue for this thesis is the implementation of voluntary petition from the case study whether it was in accordance based on Bankruptcy and Suspension of Payment Law No. 37 Year 2004. And then the applicability of the bankruptcy principle "commercial exit from financial distress" especially for the corporate debtor. Therefore, with the research can solve this problem about voluntary petition based on Bankruptcy and Suspension of Payment Law No. 37 Year No. 2004.
"
2016
S63185
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Anisaa
"Perjanjian penanggungan utang diatur di dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Dalam perjanjian penangungan utang terdapat tiga definisi, yaitu kreditor, debitor, dan pihak ketiga. Pihak ketiga adalah orang yang akan menjadi penanggung utang debitor kepada kreditor, pada saat debitor tidak memenuhi prestasinya. Perjanjian penanggungan tidak dapat melebihi perikatanperikatan dalam perjanjian pokok. Pelepasan hak-hak istimewa yang ada dalam perjanjian penanggungan kerap menjadi dasar kreditor untuk mengajukan permohonan pailit terhadap guarantor. Seorang personal guarantor yang telah melepaskan hak-hak isitimewanya secara tegas dan syarat kepailitan telah terpenuhi, maka kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap guarantor, baik secara bersama-sama dengan debitor maupun tanpa menyertakan debitor di pengadilan niaga. Pelepasan hak istimewa inilah yang merugikan personal guarantor.

Guaranty statements are regulated in Article no. 1820 ? 1850 of Indonesian Civil Code. There are three parties involved in a guaranty statement: the creditor, the debtor, and the third party. The third Party has a role of being the personal guarantor in case that the debtor failed to fulfill its obligation (breach of contract). The guarantor has the privileges. If the priviliges has been released by the guarantor and the requirements for bankruptcy petition have been fulfilled, the creditor can sue the guarantor simultaneously with, or exclude the debtor to be declared bankrupt in the commercial court. Personal guarantor can have an inflicted loss because his privilege relinquishment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65492
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>