The increasing prevalence of non-communicable diseases in Indonesia and the consumption trend of sugar-sweetened beverages have become a concern for the government, so a proposal on the excise policy plan has emerged. This plan has been communicated by the Minister of Finance at a joint meeting with Commission XI of The House of Representatives of the Republic of Indonesia in 2020. Still, it has not been approved by the legislator until now. Hence, it is necessary to analyze the factors considered by stakeholders in realizing the policy of sugar-sweetened beverages excise, both from the problem streams, policy streams, and politics streams. This study aims to analyze the excise policy process for sugar-sweetened beverages from the perspective of Kingdon's multiple streams theory. The approach used in this study is a post-positivist paradigm with data collection in library research and field research. The results showed that factors were considered so that the sugar-sweetened beverages excise policy could not be implemented in 2022. In problem streams, other excise policies, plastic excise, are prioritized to be implemented. In policy streams, stakeholder involvement has not been integrated. In the politics stream, stakeholders are more partial to the industry considering the economic conditions affected by the Covid-19 Pandemic and Commission XI of The House of Representatives of the Republic of Indonesia has not approved the sugar-sweetened beverages excise policy.
"Diabetes merupakan penyakit menahun berupa gangguan metabolik yang ditandai dengan kenaikan kadar gula darah. Prevalensi diabetes di dunia mencapai 537 juta orang dan diproyeksikan terus meningkat setiap tahunnya. Indonesia menempati peringkat ke-7 diantara 10 negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak. Konsumsi gula yang tinggi pada minuman berpemanis mampu meningkatkan risiko untuk terjadinya penyakit sindrom metabolik, termasuk diabetes mellitus tipe 2. Minuman berpemanis memiliki eksternalitas negatif, maka dari itu perlu diterapkan cukai pada minuman tersebut untuk mengurangi konsumsinya. WHO telah merekomendasikan untuk menerapkan cukai pada minuman berpemanis. Lebih dari 40 negara telah menerapkan kebijakan ini. Namun Indonesia belum menerapkan kebijakan cukai minuman berpemanis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi cukai minuman berpemanis di berbagai negara dan bagaimana implikasi dari kebijakan tersebut. Metode yang digunakan adalah literature review dengan menggunakan online database seperti PubMed, ScienceDirect, Springer Link dan Scopus yang menghasilkan 15 artikel terinklusi yakni artikel yang terbit sepuluh tahun terakhir (2013-2023). Hasil studi terinklusi dari 15 artikel menjelaskan bahwa negara yang telah mengimplementasikan cukai minuman berpemanis menetapkan tarif cukai dengan sistem cukai spesifik berdasarkan volume atau kadar gula serta ad valorem berdasarkan persentase harga produk. Implikasi dari kebijakan cukai minuman berpemanis di bidang kesehatan dapat menyebabkan penurunan konsumsi minuman berpemanis karena kenaikan harga barang yang menyebabkan konsumen memilih untuk beralih ke minuman yang lebih sehat, menyebabkan penurunan asupan energi, penurunan prevalensi penyakit tidak menular seperti obesitas, diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular, serta penghematan biaya perawatan kesehatan akibat penyakit tersebut. Sedangkan di bidang ekonomi, cukai minuman berpemanis dapat menambah penerimaan negara, tidak berdampak terhadap hilangnya pekerjaan dan menyebabkan resistensi industri terhadap kebijakan cukai minuman berpemanis.