Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159370 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tiara Nachita
"ABSTRAK
Tesis ini meneliti mengenai akibat hukum perceraian antara suami isteri terhadap
harta bersama yang belum dibagi yang menjadi objek dalam Perjanjian Pengikatan
Jual Beli. Dalam pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas harta bersama
yang belum dibagi, diperlukan persetujuan dari mantan isteri atau suami, apabila
tidak ada persetujuan maka akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang tidak
setuju itu. Dalam penelitian ini, penulis mengangkat 2 (dua) pokok permasalahan,
yang pertama adalah bagaimana akibat hukum perceraian suami isteri terhadap
harta bersama yang belum dibagi yang menjadi objek dalam Perjanjian Pengikatan
Jual Beli? Lalu yang kedua adalah bagaimana tanggungjawab Notaris atas
Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagaimana dalam putusan Majelis Pemeriksa
Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta Nomor:
02/PTS/Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/III/2015? Penelitian ini menggunakan metode
yuridis normatif yang menekankan pada norma-norma hukum tertulis dengan
pendekatan yuridis yang mempergunakan sumber data sekunder, digunakan untuk
menganalisa berbagai peraturan perundang-undangan di bidang hukum perkawinan
dan jabatan Notaris, buku-buku dan artikel-artikel yang mempunyai korelasi dan
relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa, akibat hukum yang terjadi atas pembuatan Perjanjian
Pengikatan Jual Beli ini adalah dirugikannya pihak isteri sebagai orang yang turut
memiliki hak atas objek tersebut dan dirugikannya pihak pembeli dalam perjanjian
tersebut. Lalu tanggungjawab Notaris atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang
dibuatnya adalah dijatuhkannya sanksi administratif berupa teguran tertulis yang
dijatuhkan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta karena
Notaris terbukti melanggar Pasal 16, 39 dan 47 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Jabatan Notaris.

ABSTRACT
This thesis examines the legal consequences of a divorce between husband and wife
to the undivided joint marital property that being an object on sale and purchase
agreement. In making a sale and purchase agreement of undivided joint marital
property, the consent of the spouses is required, if the consent is none, it will cause
a losses to the disagreed party. In this study, the authors raised two main ideas,
first, how is the effect of a divorce between husband and wife to the undivided joint
marital property that being an object on sale and purchase agreement? The second
is how the responsibility of Notary on the sale and purchase agreement as
mentioned in Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta
Nomor: 02/PTS/Mj.PWN.Prov.DKIJakarta/III/2015? The research method that
will be used in this study is juridical-normative. The results of this study indicate
that, the legal consequences of making this sale and purchase agreement is the
disadvantage of the wife as the person who also has the right to the object and also
disadvantage of the buyer in the agreement. Then the responsibility of the Notary
on the Sale and Purchase Agreement he made is an administrative sanction in the
form of written warning imposed by the Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris DKI
Jakarta because the Notary was proven to violate Articles 16, 39 and 47 Law
Number 2 Of 2014 Concerning Amendment to Law Number 30 Of 2002 Concerning
Jabatan Notaris."
2017
T48926
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonia Regita Irawan
"Perkawinan akan menimbulkan suatu akibat hukum terhadap hadirnya harta bersama. Harta bersama dalam hal ini tidak hanya mencakup aktiva, namun juga mencakup pasiva atau utang bersama. Tidak jarang apabila terdapat suatu objek berupa harta bersama yang dijadikan sebagai jaminan untuk suatu utang bersama berupa perjanjian kredit yang dilakukan dengan pihak bank. Apabila objek yang hendak dijadikan jaminan berupa tanah beserta dengan bangunan di atasnya, maka pembebanan jaminan dapat dilakukan dengan lembaga jaminan hak tanggungan. Suatu permasalahan akan timbul ketika perkawinan harus berakhir karena adanya perceraian. Sama halnya dengan perkawinan, perceraian pun akan menimbulkan suatu akibat hukum terhadap harta dan utang bersama. Setelah perceraian, harta dan utang bersama seharusnya dibagi dengan besaran yang sama untuk suami dan istri. Akan tetapi, dalam praktiknya bisa saja terdapat salah satu pihak yang hanya menginginkan harta bersama tanpa mengingat bahwa harta sebagaimana dimaksud masih menjadi objek jaminan atas utang bersama berupa perjanjian kredit yang pernah dilakukannya. Keadaan demikian pun sejatinya tercermin dalam Putusan Nomor 130/Pdt.G/2019/PN Kpg. Dalam menganalisis keadaan demikian, Penulis menggunakan metode penelitian doktrinal sehingga menghasilkan penulisan yang bersifat deskriptif analitis. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa pembagian harta bersama yang objeknya masih menjadi jaminan untuk utang bersama tidak selalu dibagi dengan bagian yang sama besarnya untuk suami dan istri ketika mereka bercerai. Keadaan demikian jelas berbeda dengan ketentuan pembagian harta bersama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Marriage will have legal consequences on the presence of joint marital property. Joint marital property in this case does not only include assets but also includes liabilities or joint debts. It is not uncommon for there to be an object in the form of joint marital property that is used as guarantee for a joint debts in the form of a credit agreement with the bank. If the object to be used as a guarantee is in the form of land along with the building on it, then the guarantee can be done with the institution of mortgage rights. A problem will arise when a marriage must end due to divorce. Similar to marriage, divorce will also have legal consequences on joint assets and debts. After divorce, joint assets and debts should be divided equally for husband and wife. However, in practice, there can be one party who only wants the assets without considering that the property in question is still an object of guarantee for joint debt in the form of a credit agreement. This situation is reflected in Decision Number 130/Pdt.G/2019/PN Kpg. In analyzing this situation, the author uses a doctrinal research methods to produce analytical descriptive writing. The results of the research show that the division of joint marital property whose object is still guaranteed for joint debt is not always divided into equal parts for the husband and wife when they divorce. This situation is different from the provisions on the division of joint property in Law No. 1 of 1974 concerning Marriage and the Civil Code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bifi Enggawita
"Putusnya perkawinan karena perceraian memiliki konsekuensi hukum bagi berbagi aset bersama. Sebagai konsekuensi hukum dari pembagian aset bersama setelah putusan pengadilan terjadi yaitu terjadi pengalihan hak baik dengan cara dijual membeli atau memberikan dalam properti bersama. Pengalihan aset bersama setelah perceraian harus dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak yaitu mantan istri dan mantan suami, namun belum selesai harus dan ada tindakan melawan hukum. Pokok bahasan dari pencipta merupakan akibat hukum dari jual beli dan pemberian harta kekayaan secara bersama-sama oleh satu orang pihak setelah perceraian dan menganalisis Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1808 K / Pdt / 2017. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah yuridis normatif dengan mengkaji ketentuan peraturan perundang-undangan didukung oleh hasil wawancara. Konsekuensi hukum pengalihan aset bersama setelah bercerai tanpa persetujuan kedua belah pihak (mantan suami dan mantan istri) batal demi hukum yang dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor: 1808 K / Pdt / 2017 yang menyatakan bahwa dilakukan pengalihan hak secara sepihak batal demi hukum. Jadi seharusnya para pihak siapa yang akan mengalihkan harta bersama setelah perceraian dengan menjualnya pembelian atau hibah harus mendapat persetujuan kedua belah pihak.

The dissolution of a marriage due to divorce has legal consequences for it share assets together. As a legal consequence of sharing the assets together after the court verdict occurs, there is a transfer of rights either by sale or purchase or by giving away in joint property. Transfer of joint assets after divorce must be carried out with the consent of both parties, namely the ex-wife and ex-husband, but it must not be completed and there are actions against the law. The subject matter of the creator is the legal consequence of buying and selling and giving of assets jointly by one person parties after the divorce and analyzing the Supreme Court Decision Number: 1808 K / Pdt / 2017. The research method used by the author is normative juridical by reviewing the provisions of laws and regulations supported by the results of interviews. The legal consequence of transferring joint assets after divorce without the consent of both parties (ex-husband and ex-wife) is null and void which is strengthened by the decision of the Supreme Court Number: 1808 K / Pdt / 2017 which states that the transfer of rights is unilaterally null and void by law. So, the parties who will transfer the joint property after the divorce by selling it, a purchase or a grant, must have the consent of both parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawati Zagoto
"ABSTRAK
Penulisan tesis ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, spesifikasi penelitian adalah penelitian adalah evaluatif-analitis, pengumpulan data menggunakan data primer dan data sekunder sebagai sumber datanya, Yang jadi pokok permasalahan adalah mengapa dalam pembuatan akta pendirian Perseroan Terbatas Tertutup, selain harus mengerti dan memahami ketentuan Undang-undang Tentang Perseroan Terbatas, notaris juga perlu mengetahui dan mengerti hubungan hukum perkawinan yang ada diantara calon pendiri/pemegang saham dan bagaimanakah peranan notaris menurut Undang-undang Jabatan Notaris dalam rangka mempertahankan nilai-nilai luhur suatu Badan Hukum Perseroan Terbatas. Perseroan Terbatas adalah merupakan suatu Badan Hukum yang merupakan persekutuan modal dan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan Akta Notaris. Oleh karena tidak diatur dalam ketentuan khusus, Perseroan Terbatas Tertutup sepenuhnya tunduk pada Ketentuan Undang-undang nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Dalam Ketentuan Tentang Perseroan Terbatas tidak terdapat larangan/pembatasan karena hubungan hukum tertentu yang ada diantara pendiri/pemegang saham untuk menjadi pendiri/pemegang saham dalam suatu Perseroan Terbatas PT. Tertutup, termasuk hubungan hukum perkawinan suami isteri baik yang menikah tanpa membuat Akta Perjanjian Kawin maupun dengan membuat Akta Perjanjian Kawin. Saham-saham yang terdaftar atas nama suami dan isteri dalam PT. Tertutup yang menikah tanpa Akta Perjanjian Kawin adalah merupakan 1 (satu) pihak dalam perjanjian persekutuan modal karena terjadi percampuran harta suami isteri, sedangkan suami isteri yang menikah dengan membuat Akta Perjanjian Kawin tetap masing-masing Suami dan Isteri sebagai pihak yang mandiri dalam perjanjian persekutuan modal karena diantara Suami dan Isteri tidak terjadi percampuran harta (pisah harta sama sekali).
ABSTACT
This thesis uses normative juridical approach, specifications are prescriptive analytical research, data collection using with primery and secondary data as the data source. The issue is why in the manufacture of Deed of Company Private Limited, besides having to know and understand the provisions on the Company Law, a Notary also need to know and understand the legal relationship of marriage existing between prospective shareholders if there are shareholders, and how the role of the Notary according to Law Notary in order to maintain high values of a Company legal entity as mandated by the provisions of the Limited Liability Company Act. Limited Company. Therefore not provided for in the special conditions, the provisions of Private Limited Company is fully subject to the provisions of the Company Law. In terms of the limited liability Company, there is no prohibition barring certain legal relationships that exist among the founders of shareholders in a Private Limited Company, including the legal relationship of a couple who marriage without the Deed of Covenant Marriage and a couple who make that deed. Shares registered in the name of husband and wife in a Private Limited Company who married without Deed f Covenant Marriage is an alliance of the party in the capital due to the mixing property of husband and wife, while the marriage couple who make a Deed of Covenant Marriage remains of each husband and wife as an independent party in the capital because the partnership agreement between the husband and wife treasure mixing does not occur. (separate property altogether)."
2013
T35244
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arliyani Hidayati
"Skripsi ini membahas perceraian dengan alasan suami menuduh isteri berzina disertai penyangkalan anak dan apakah pemeriksaan perceraian Li?an dalam Putusan Nomor:xxxx/Pdt.G/2010/PA.Slw telah sesuai dengan ketentuan Hukum Islam, lalu bagaimana kedudukan anak Li?an beserta akibat hukum suami istri berdasarkan Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Skripsi ini dibuat berbentuk yuridis-normatif menggunakan metode deskriptif analitis. Dapat disimpulkan bahwa Suami menuduh istrinya berzina harus melihat dengan mata kepalanya sendiri tidak bisa hanya berdasarkan prasangka dan kecemburuan semata, tetapi tidak dapat membuktikannya dengan empat orang saksi maka dilakukan sumpah li'an sesuai Al-Qur'an surat an-Nur ayat 6 sampai ayat 9. Berakibat suami istri bercerai untuk selamanya dan anak bernasab kepada istri, suami tidak wajib memberi nafkah.

This research discusses divorce by reason of the husband accuses his wife of adultery with the child and whether the denial of inspection Li'an divorce in Decision No. xxxx/Pdt.G/2010/PA.Slw in accordance with the provisions of Islamic law, and how the position of the child Li'an husband and wife and their legal consequences based on Islamic Law and Law No. 1 of 1974. This research paper is composed form of juridical-normative descriptive analytical method. It can be concluded that the husband accuses his wife of adultery should look eye his own head could not only based on prejudice and jealousy alone, but can not prove it by four witnesses then made oath according Li'an the Qur'an's vein an- Nur verse 6 to verse 9. Resulted divorced husband and wife and children and for nasab to the wife, the husband is not obliged to make a living."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45284
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabela Mulia Junaedi
"Putusnya perkawinan atau perceraian akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak, yakni pembagian harta bersama. Harta bersama merupakan harta benda yang diperoleh suami dan istri selama ikatan perkawinan. Hukum positif di Indonesia menetapkan bahwa apabila terjadi perceraian, masing-masing suami dan istri berhak mendapatkan separuh bagian dari harta bersama. Ketentuan ini didasarkan pada tanggung jawab suami untuk mencari nafkah, sementara istri yang bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga. Akan tetapi, pembagian tanggung jawab sebagaimana dimuat dalam hukum positif telah mengalami pergeseran. Saat ini, sebagian istri tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga turut serta bekerja mencari nafkah. Dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 266K/AG/2010 tersebut dinilai cukup penting untuk dijadikan rujukan oleh para hakim di Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa harta bersama, khususnya dalam hal suami tidak bekerja terlebih suami juga tidak berupaya memberikan kontribusi apapun dalam rumah tangga. Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor 161/Pdt.G/2020/PN.JMB seharusnya lebih mempertimbangkan pada aspek social justice, yakni mengenai kontribusi atau usaha dari para pihak, dimana Majelis Hakim tidak secara langsung membagi rata bagian yang diberikan untuk para pihak, tetapi Majelis Hakim dapat menilai terlebih dahulu bagaimana keadaan masing- masing pihak serta usaha para pihak dalam rumah tangganya. Selain itu, Majelis Hakim seharusnya membagi harta bersama sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 266K/AG/2010, yang menetapkan bahwa suami mendapatkan bagian harta lebih kecil daripada bagian milik istri, yakni 1⁄4 bagian berbanding 3⁄4 bagian harta bersama. Adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 266K/AG/2010 juga tampak bahwa Mahkamah Agung telah berupaya untuk menyeimbangkan asas keadilan dalam pembagian harta bersama atas dasar adanya suatu keadaan khusus yang apabila tetap diterapkan pembagian 50 : 50 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 128 KUH Perdata dan Pasal 97 KHI, justru akan menimbulkan rasa ketidakadilan antara para pihak. Tulisan ini membahas mengenai pembagian harta bersama perkawinan dalam hal suami tidak bekerja menurut doktrin dan putusan pengadilan dengan menggunakan metode analisis yuridis-normatif, khususnya pada pertimbangan hukum yang diterapkan dalam Putusan Nomor 161/Pdt.G/2020/PN.JMB dan Putusan Nomor 266K/AG/2010.

The dissolution of marriage or divorce will have legal consequences for the parties involved, namely the division of joint assets. Joint assets refer to the property acquired by the husband and wife during the marriage. Indonesian positive law stipulates that in the event of divorce, each husband and wife is entitled to receive half of the joint assets. This provision is based on the husband's responsibility to provide for the family's livelihood, while the wife is responsible for managing the household. However, the allocation of responsibilities as stated in positive law has undergone a shift. Currently, some wives not only play the role of a homemaker but also contribute by working to earn a living. The existence of Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010 is considered significant and serves as a reference for judges in Indonesia in resolving disputes over joint assets, especially when the husband is not employed and does not contribute in any way to the household. The panel of judges in case number 161/Pdt.G/2020/PN.JMB should have considered the aspect of social justice, which includes the contributions or efforts made by each party. The judges should not directly divide the assets equally between the parties but should assess the circumstances and the efforts made by each party in their respective households. In addition, the judges should divide the joint assets in accordance with Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010, which establishes that the husband receives a smaller share of the assets compared to the wife, namely one-fourth (1⁄4) versus three-fourths (3⁄4) of the joint assets. The existence of Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010 also shows that the Supreme Court has attempted to balance the principle of justice in the division of joint assets based on the presence of specific circumstances. If the equal division of assets (50:50) as stated in Article 128 of the Civil Code and Article 97 of the Islamic Law Compilation were applied, it would actually result in injustice between the parties. This paper discusses the division of joint marital assets when the husband is not employed according to legal doctrine and court decisions, using a juridical-normative analysis method, particularly focusing on the legal considerations applied in Case Number 161/Pdt.G/2020/PN.JMB and Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neyditama Sakni Suryaputra
"Surat kuasa pada perkara perceraian harus sesuai dengan peraturan hukum acara yang berlaku, karena peraturan hukum acara tidak boleh ditafsirkan lain oleh majelis hakim. Praktik penggunaan Surat Kuasa Istimewa dalam bentuk Akta Dibawah Tangan Masih marak terjadi, walaupun praktik seperti itu tidak sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1796 KUHPdt jo. Pasal 123 HIR/147 Rbg. Tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis pelaksanaan penggunaan Surat Kuasa Istimewa legalisasi pada proses perkara perceraian di Pengadilan Agama dan akibat hukum penggunaan surat kuasa istimewa legalisasi pada proses perceraian di Pengadilan Agama. Bentuk penelitian ini adalah yuridis empiris. Tipe penelitian ini berbentuk evaluatif dan metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif, lalu hasil penelitian ini diolah secara sistematis dan kualitatif agar menghasilkan penelitian yang preskriptif dan sehingga dapat mengidentifikasi permasalahan hukum dari pemberian kuasa melalui surat kuasa dikaitkan dengan pelaksanaan peraturan tersebut pada perkara perceraian di Pengadilan Agama Kalianda dan memberikan solusi atas Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Urgensi dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan antara peraturan hukum tentang surat kuasa dengan pelaksanaan surat kuasa yang digunakan pada proses perkara perceraian di Pengadilan Agama Kalianda. Hasil penelitian disimpulkan : 1) Pelaksanaan perwakilan pada proses Mediasi dan Ikrar Talak perkara Perceraian menggunakan Surat Kuasa Istimewa dalam bentuk akta dibawah tangan yang didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Agama dan ditanda-tangani oleh Panitera Pengadilan Agama, atau waarmerking/legalisasi oleh notaris. 2) Surat Kuasa yang digunakan pada proses Mediasi dan Ikrar Talak di Pengadilan Agama Kalianda tidak sesuai dengan Ketentuan khusus diatas dan berakibat hukum surat kuasa istimewa tersebut tidak dapat dipakai sebagai dasar perwakilan pada proses Mediasi dan Ikrar Talak. Serta dapat mengakibatkan tidak sahnya perwakilan pada mediasi dan ikrar talak sehingga dapat dianggap perbuatan tersebut tidak sah dan Putusan/Penetapan Cerai dapat dibatalkan oleh putusan tintingkat Banding, Kasasi, ataupun Peninjauan Kembali.

The power of attorney in divorce cases must be under the applicable procedural law regulations because procedural law regulations must not be interpreted otherwise by the panel of judges. The practice of using a Special Power of Attorney in the form of an Underhand Deed is still rife, although such a practice is not by the provisions of Article 1796 of the Indonesian Civil Code. Article 123 HIR/147 Rbg. The purpose of this study is to analyze the implementation of the use of a legalization Special Power of Attorney in the divorce case process in the Religious Court and the legal consequences of using a legalization special power of attorney in the divorce process in the Religious Court. This form of research is empirical juridical. This type of research is evaluative and the data analysis method used in this study is qualitative, then the results of this research are processed systematically and qualitatively in order to produce prescriptive research and so as to identify legal problems from granting power of attorney through power of attorney associated with the implementation of the regulation in divorce cases at the Kalianda Religious Court and provide solutions to the Supreme Court Regulations of the Republic of Indonesia. The urgency of this study is that there is a difference between the legal regulations regarding power of attorney and the implementation of power of attorney used in divorce proceedings at the Kalianda Religious Court. The results of the study concluded: 1) The implementation of representation in the process of Mediation and Pledge of Talaq for Divorce cases using a Special Power of Attorney in the form of a deed underhand registered with the clerk of the Religious Court and signed by the Registrar of the Religious Court, or waarmerking / legalization by a notary. 2) The Power of Attorney used in the Mediation and Talaq Pledge process at the Kalianda Religious Court is not in accordance with the above special provisions and consequently the special power of attorney cannot be used as a basis for representation in the Mediation and Talaq Pledge process. And can result in the invalidity of representation at mediation and talaq pledges so that it can be considered invalid and the Divorce Decision/Determination can be annulled by an appeal, cassation, or judicial review decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Ariani
"Suatu perceraian, seperti halnya perkawinan, memiliki akibat-akibat hukum yang tertentu, salah satunya adalah terhadap harta benda dalam perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan membagi harta benda di dalam perkawinan menjadi dua kelompok yaitu harta pribadi/harta bawaan dan harta bersama. Dalam hal terjadi perceraian bagaimanakah pengaturannya?
Berdasarkan hal tersebut penulis mengajukan pokok permasalahan sebagai berikut, pertama, Dapatkah diperjanjikan pembagian harta kekayaan antara suami dan isteri sebelum perceraian terjadi?; kedua, Bagaimana jika timbul sengketa berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian yang tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak?
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan untuk mencari dan mengumpulkan serta meneliti pengaturan mengenai perceraian dan akibatnya berdasarkan literatur yang ada.
Pada akhirnya penulis memperoleh kesimpulan bahwa pembagian harta kekayaan antara suami dan isteri dapat diperjanjikan sebelum perceraian terjadi. Apabila terjadi sengketa dalam hal pelaksanaan perjanjian tersebut, maka untuk penyelesaian sengketa pembagian harta bersama antara suami isteri yang beragama Islam merupakan kewenangan dari Pengadilan Agama, sementara untuk penyelesaian sengketa pembagian harta bersama antara suami isteri yang beragama lainnya selain agama Islam dan untuk penyelesaian sengketa mengenai harta bawaan/harta pribadi suami isteri merupakan kewenangan dari Pengadilan Negeri.
Penulis juga mengajukan saran agar untuk penyelesaian semua perkara perdata diantara sesama pemeluk agama Islam, bukan hanya perkara-perkara perdata tertentu raja, seyogyanya merupakan bagian dari kewenangan Pengadilan Agama, yaitu dengan tujuan dimungkinkan keberlakuan hukum Islam bagi para pihak yang berperkara."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq Rahman
"Pengertian harta benda perkawinan mencakup harta bawaan dan harta bersama dalam perkawinan. Sebenarnya hukum Islam yang didasarkan pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah tidak mengenal pengertian harta benda perkawinan ataupun pemisahan harta perkawinan menjadi harta bawaan dan harta bersama. Hukum Islam hanya mengenal pengertian tentang hak milik yang dimiliki oleh setiap orang dan haK tersebut harus dihormati selama perkawinan berlangsung, keberadaan harta benda perkawinan kurang begitu terasa, karena masing-masing pihak, baik suami maupun isteri mempunyai hak dan kewajiban masing-masing dalam menjalankan kehidupan rumah tangga. Tetapi keberadapan harta benda perkawinan, terutama adanya harta bersama dalam perkawinan menjadi penting apabila perkawinan putus karena perceraian. Tentu akan menjadi permasalahan apabila bekas isteri menuntut pembagian harta yang diperoleh selama perkawinan dari bekas suaminya apabila tidak ada suatu ketentuan yang tegas mengenai hal tersebut . Oleh karena itu beberapa sarjana Islam melakukan suatu ijtihad untuk menemukan garis hukum mengenai harta benda perkawinan. Kemudian dari hasil ijtihad tersebut, beberapa sarjana berpendapat bahwa ada harta benda perkawinan setelah sebelumnya ada syirkah yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian perkawinan. Ada pula sarjana yang berpendapat bahwa harta benda perkawinan otomatis ada begitu ikatan perkawinan disahkan, karena perkawinan merupakan miitsaaqan ghaliidzan (ikatan yang kokoh). Dengan adanya harta benda perkawinan dan peraturan perundang-undangan (di Indonesia dapat dilihat dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam) tentang bagaimana pembagiannya, maka akan ada kepastian hukum mengenai bagaimana pembagian harta benda perkawinan terutama sekali harta bersama apabila terjadi perceraian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S21028
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Ramdani
"ABSTRAK
Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh 3 hal, yaitu: a kematian salah satu pihak, b perceraian, c keputusan pengadilan. Tidak seperti putusnya perkawinan karena kematian saah satu pihak dan karena keputusan pengadilan yang biasanya tidak banyak menimbulkan masalah hukum, putusnya perkawinan karena perceraian justru banyak menimbulkan masalah-masalah hukum pada masyarakat. Salah satunya ialah timbul hasrat ingin bersatu kembali dalam satu perkawinan yang sah setelah terbitnya akta cerai. Yang menjadi permasalahan pokok dalam hal ini ialah realisasi atas hasrat tersebut ialah dengan cara mengajukan pembatalan perceraian ke pengadilan mengingat bagi non Muslim tidak dikenal istilah rujuk dan bagi yang beragama Kristen tidak dikenal cerai, sementara Penjelasan Pasal 72 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2003 mengatur bahwa alasan boleh diajukannya pembatalan akta ialah karena akta cacat hukum sebab dalam proses pembuatannya didasarkan pada keterangan yang tidak benar dan tidak sah. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lainnya yang bersifat data sekunder yang ada di perpustakaan maupun jurnal hukum lainnya. Kesimpulan: walaupun tidak ada istilah rujuk dan istilah cerai, namun perceraian telah dinyatakan sah sejak putusan pengadilannya didaftarkan di Kepaniteraan. Pembatalan perceraian tidak dapat diajukan dengan alasan masih saling mencintai dan sepakat untuk mengakhiri perceraian karena hal tersebut tidak termasuk dalam kriteria Penjelasan Pasal 72 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2006. Hal yang dapat dilakukan seharusnya ialah melakukan perkawinan kembali sesuai dengan prosedur perkawinan yang berlaku.

ABSTRACT
Article 38 of Law no. 1 Year 1974 regulates the marriage breakup caused by 3 things, namely a death of one party, b divorce, c court decision. Unlike the breakup of marriage due to the death of one party and because the court decision which usually does not cause many legal problems, the breakup of marriage due to divorce actually raises many legal problems to the community. One of them is the desire to re unite in a legitimate marriage after the issuance of the divorce certificate. The main problem in this case is the realization of the desire is by filing the cancellation of divorce to the court considering the non Muslims are not known terms of reference and for the Christian is not known divorce, while the Elucidation of Article 72 paragraph 1 of Law no. 23 Year 2003 stipulates that the reason for the cancellation of the deed is due to the legal deed because in the process of making it based on invalid and unauthorized information. The research method that writer use in this thesis writing is normative law, that is research conducted or aimed at written regulation and other legal materials that is secondary data exist in libraries and journals of other law. Conclusion although there is no term references and divorce terms, the divorce has been declared valid since the court 39 s decision was registered in the Registrar 39 s Office. The cancellation of a divorce can not be filed on the grounds of still loving and agreeing to end the divorce because it is not included in the criteria of Elucidation of Article 72 paragraph 1 of Law no. Act No. 23 Year 2006. What can be done should be to re marry in accordance with the applicable marriage procedure."
2017
S68485
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>