Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174726 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Resti Rahmadika Akbar
"ABSTRAK
Lingkungan pembelajaran pada pendidikan kedokteran menentukan kesuksesan akademik mahasiswa. Akan tetapi, pendidikan kedokteran merupakan sumber terbesar yang menyebabkan mahasiswa stres, selain masalah pribadi, finansial ataupun masalah keluarga. Tujuan dari penelitian ini untuk menilai hubungan antara persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran dengan tingkat stres mahasiswa. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang, dilaksanakan mulai dari Desember 2016 sampai Juni 2017, melibatkan mahasiswa tingkat I, II, III dan IV Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah (FK UNBRAH), Padang, dengan total jumlah mahasiswa 595 orang. Persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran dinilai menggunakan kuesioner Dundee Ready Educational Environment Measure (DREEM) dan tingkat stres mahasiswa dinilai dengan kuesioner Depresion Anxiety Stress Scale (DASS) 42. Kedua kuesioner telah tervalidasi dan tersedia dalam Bahasa Indonesia. Responden yang terlibat dalam penelitian ini sejumlah 477 (80,1%). Persepsi seluruh mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran didapatkan nilai median 132(92-200), yang bermakna "lebih banyak positif dibandingkan negatif". Terdapat perbedaan bermakna persepsi mahasiswa tingkat I terhadap lingkungan pembelajaran dengan tingkat lainnya. Tingkat stres mahasiswa FK UNBRAH termasuk kategori normal. Hubungan persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran dan tingkat akademik bermakna dengan korelasi negatif sangat lemah (p<0,05). Semakin baik persepsi mahasiswa terhadap lingkungan pembelajaran, semakin rendah tingkat stres mahasiswa.

ABSTRACT
Learning environment in medical education is one of several aspect determine students' academic success. The medical education itself has been the biggest source of depression or stress for students, besides personal, financial, or family problems. The purpose of this study is to assess the correlation between students' perception about their learning environment and their stress levels. This study was a cross sectional study, conducted from December 2016 to April 2017, involving the 1st, 2nd, 3rd, 4th year students of the Faculty of Medicine, Baiturrahmah University (FK UNBRAH), Padang, with a total of 595 students. Students' perceptions on their learning environment were assessed using the Dundee Ready Educational Environment Measure (DREEM) questionnaire and the student stress level was assessed by the questionnaire of Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42). Both questionnaires have been validated and available in Bahasa. Respondents involved in the study were 477 (80.1%). The median of the students's perceptions on their learning environment was 132 (92-200), which means "more positive than negative". Students' perceptions on learning environment between 1st year students with other academic year differed significantly. The median value of student stress level was categorized as normal. There was no statistically significant difference in stress level based on academic level and gender. The correlation between students' perception toward learning environment and academic level was found to be significant with very weak negative correlation (p<0,05). The better students' perception of the students to the learning environment, the lower the stress level."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satryansyah Putra Sadikin
"Latar Belakang Dalam menjalankan pendidikan, stres merupakan hal yang seringkali dialami oleh mahasiswa. Stres sendiri dapat berdampak pada performa akademis mahasiswa. Terdapat berbagai penyebebab dari stres, salah satunya adalah penyesuaian diri. Refleksi diri merupakan suatu hal yang dapat dilakukan untuk menyesuaikan diri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antar refleksi diri dengan tingkat stres pada mahasiswa pre-klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Metode Penelitian ini menggunakan metode pendekatan cross sectional. Pengambilan data dilakukan secara daring dengan membagikan dua kuesioner yaitu Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) dan Medical Student Stressor Questionnaire (MSSQ) kepada 106 responeden. Hasil Berdasarkan hasil penelitian pada 108 responden mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, terdapat 51,9% mahasiswa memiliki kemampuan refleksi tinggi, sedangkan 48,1% mahasiswa memiliki kemampuan refleksi rendah. Penelitian ini menunjukkan 54,6% mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia alami stres berat, diikuti 7,41% stres ringan, 26,85% mahasiswa dengan stres sedang dan 11,11% mahasiswa alami stres sangat berat. Pada penelitian tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kemampuan refleksi diri dengan tingkat stres. Kesimpulan Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kemampuan refleksi diri dengan tingkat stres pada mahasiswa pre-klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tidak terdapatnya hubungan dapat disebabkan berbedanya mekanisme koping masing-masing individu. Disarankan penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan variabel yang lebih luas.

Introduction In education, stress is frequently experienced by students. Stress itself can impact a student's academic performance. There are various causes of stress, one of which is adaptation. Self-reflection is something that can be done to adapt. The purpose of this study is to ascertain the relationship between self-reflection and the level of stress among pre-clinical students at the Faculty of Medicine, University of Indonesia. Method This research employed a cross-sectional approach. Data collection was conducted online by distributing two questionnaires, namely the Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) and the Medical Student Stressor Questionnaire (MSSQ), to 106 respondents. Results Based on the research results involving 108 respondents of pre-clinical students at the Faculty of Medicine, University of Indonesia, it was found that 51,9% of students had high levels of self-reflection ability, while 48,1% had low levels of self-reflection ability. The study indicated that 54.6% of students at the Faculty of Medicine, University of Indonesia experienced severe stress, followed by 7.41% experiencing mild stress, 26.85% with moderate stress, and 11.11% experiencing very severe stress. The research did not find any significant correlation between self-reflection ability and the level of stress. Conclusion There is no significant relationship between self-reflection and stress levels among preclinical students at Faculty of Medicine, University of Indonesia. The absence of a relationship can be caused by differences in the coping mechanisms of each individual. It is recommended that further research consider broader variables."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktavinda Safitry
"Latar Belakang: Kompetensi "mengambil keputusan terhadap dilema etika yang terjadi pada pelayanan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat" tercantum dalam SKDI 2005 sehingga harus ada dalam kurikulum dan dilaksanakan di dalam modul. Penerapan proses pengambilan keputusan etis (PKE) berkaitan dengan manajemen pasien, karena itu pembelajaran pada tahap klinis pendidikan kedokteran menjadi keharusan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses pembelajaran pengambilan keputusan etis di tahap klinispendidikan kedokteran di FKUI.
Metode: Penelitian merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan mengidentifikasi komponen Buku Kurikulum, Buku Rancangan Pengajaran modul praktik klinik, dan dokumen lain; wawancara mendalam pengelola program studi, pengelola modul, staf pengajar; serta Focus Group Discussion (FGD) pada mahasiswa.
Hasil: Tidak ada modul praktik klinik yang lengkap mencantumkan PKE dalam dokumen. Pengelola modul kurang memahami kompetensi PKE SKDI 2006. Sebagai klinisi, staf pengajar mampu mengidentifikasi dan mengambil keputusan penyelesaian dilema etika. Mahasiswa memahami PKE dan menemukan kasus berdilema etika dalam proses pembelajaran tahap klinik. Mahasiswa mendiskusikan dilema etika yang ditemui dengan residen dan/atau dokter penanggungjawab kasus. Mahasiswa memiliki prior knowledge yang didapat pada tahap preklinik.
Kesimpulan: Proses pembelajaran pengambilan keputusan etis di tahap klinis merupakan hidden curriculum.Perlu dilakukan peningkatan kapasitas staf pengajar di bidang teori etika kedokteran dan penyusunan modul agar PKE menjadi komponen tertulis dalam kurikulum.

Background: Ethical Reasoning is one of competency component stated in the ?2006 Indonesian Medical Doctor Competencies Standard? therefor it has to be taught in medical faculties. The competency should be stated in all documents related to the curriculum. The learning of ethical reasoning should be done in clinical years since it is related to patient's managements. This research was done to evaluate the ethical reasoning learning process in the clinical stage medical education in Faculty of Medicine University of Indonesia.
Method: This is a descriptive qualitative research which identifies the component of curriculum inside the curriculum documents; indepth interview to the module developer, module organizer, and teachers; and focus group discussion with clinical year medical students.
Result: Ethical Reasoning Competency was not written as the aim of any module, as seen in the Instructional Design of all documents. The module developer did not recognize this competency despite their daily practice of ethical reasoning. The students learnt ethical reasoning in clinical stage by observing the medical staff during their interaction with patient with ethical dilemma. The student were able to identify the cases based on their prior knowledge from previous stage.
Conclusion: Ethical reasoning learning process in clinical stage is part of hidden curriculum.Capacity building for faculty members in medical ethics theory and module development for the faculty member are needed to make the ethical reasoning process as a part of the curriculum.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agatha
"Latar belakang: Penggunaan internet meningkat terutama dengan adanya pandemik COVID-19 yang terjadi, hal ini berkontribusi terhadap kejadian adiksi internet. Usia remaja dan dewasa muda, sepertinya usia seorang mahasiswa, merupakan populasi paling rentan terhadap penggunaan internet dan adiksi internet. Adiksi internet sering juga dihubungkan dengan beberapa aspek psikologis, salah satunya yang akan dibahas pada penelitian ini, merupakan kualitas tidur. Metode: Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dengan metode analitik observasional. Data penelitian didapat dengan menyebarkan kuesioner daring menggunakan Google Forms, berisi lembar informed consent, kuesioner data demografik, Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), dan Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI). Kuesioner disebarkan melalui sosial media kepada populasi target. Kemudian data yang didapat dilakukan uji statistik menggunakan program SPSS, untuk menemukan hubungan antara masalah adiksi internet dan gangguan tidur. Hasil: Dari 282 responden penelitian yang merupakan mahasiswa FKUI tahap akademik, ditemukan prevalensi adiksi internet yaitu 23,40% (n=66), dan prevalensi gangguan tidur yaitu 45,39% (n=128). Hubungan dari variabel adiksi internet dan gangguan tidur diuji menggunakan uji Kai-Kuadrat dan ditemukan hubungan signifikan (Nilai p 0,000 (<0,05)). Dari 66 populasi adiksi internet, 46 juga mengalami gangguan tidur. Selain itu, dilakukan juga uji korelasi antara faktor demografik dan pola penggunaan internet terhadap gangguan tidur, menggunakan uji Spearman. Hasil uji korelasi tidak ditemukan hubungan signifikan (Nilai p<0,05). Mahasiswa FKUI cenderung menggunakan internet untuk media sosial (63,48%) dibandingkan dengan pembelajaran (20,92%). Kesimpulan: Ditemukan hubungan bermakna antara adiksi internet dan gangguan tidur pada mahasiswa
Background: Internet usage has increased during the ongoing COVID-19 pandemic, this has contributed to the incidence of internet addiction. Adolescents and young adults are the population most vulnerable population to internet use and internet addiction. Several psychological aspects are often related to internet addiction, one of which will be discussed in this study is sleep quality. Methods: The study that was conducted is a observational analysis cross-sectional design. The data in this research was obtained by distributing an online questionnaire using Google Forms, containing an informed consent sheet, a demographic data questionnaire, the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), and the Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI). The questionnaire was distributed via social media to the target population. Then the data obtained were statistically tested using the SPSS program, to find the relationship between internet addiction problems and sleep disorders. Results: In a total of 282 respondents from Pre-Clinical students of the Faculty of Medicine, University of Indonesia, it was found that the prevalence of internet addiction was 23.40% (n=66), and the prevalence of sleep disorders was 45.39% (n=128). The relationship between internet addiction and sleep disorders was tested using the Chi-Square test and a significant relationship was found (p-value 0.000 (<0.05)). Of the 66 respondents with internet addiction, 46 also experience sleep disorders. In addition, a correlation test was also conducted between demographic factors and internet usage patterns on sleep disorders, using the Spearman test. Correlation test found no significant relationship (p-value <0.05). FKUI students use the internet for social media (63.48%) compared to learning (20.92%). Conclusion: There is significant relationship between internet addiction and sleep disorders among university students."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Anindita Putri
"Latar belakang: Stres merupakan respons fisiologis terhadap situasi yang dianggap mengancam dan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi terutama menstruasi pada wanita. Studi menyatakan bahwa secara umum mahasiswa mengalami stres selama menjalankan proses pendidikan dan semakin meningkat selama pandemi COVID-19. Hal ini menjadi perhatian, terutama bagi mahasiswa kedokteran yang sering mengalami stres akademik. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara stres dengan kejadian gangguan menstruasi. Maka dari itu, perlu diteliti mengenai hubungan tingkat stres dengan gangguan menstruasi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat stres dengan gangguan menstruasi pada mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang analitik dengan subyek mahasiswa preklinik FKUI yang didapat melalui metode consecutive sampling. Data demografi dan menstruasi diambil menggunakan kuesioner yang telah tervalidasi. Data tingkat stres diambil menggunakan kuesioner Perceived Stress Scale-10 (PSS-10). Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi-Square atau Fisher Exact melalui perangkat lunak SPSS versi 26.0.
Hasil: Data yang didapat dari 100 mahasiswa preklinik FKUI semester 1 hingga 7 menunjukkan tingkat stres ringan-sedang dialami oleh 95% mahasiswa dan stres berat dialami oleh 5% mahasiswa. Prevalensi gangguan menstruasi sebesar 91% yang meliputi gangguan frekuensi (12%), durasi menstruasi berkepanjangan (9%), pola menstruasi ireguler (26%), volume menstruasi banyak (40%), dan nyeri sedang-berat (71%). Analisis hubungan tingkat stres dengan gangguan menstruasi menunjukkan nilai p = 1,000.
Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan bermakna antara tingkat stres dengan gangguan menstruasi pada mahasiswa preklinik FKUI.

Introduction: Stress is a physiological response to a threatening situation and one of factor that affects reproduction health especially menstruation on women. Studies show that in general, students experience stress during study process and that stress is increasing during COVID-19 pandemic. This thing become great concern for medical students which often experience academic stress. Several studies show that there is a correlation between stress and menstrual disorders. Therefore, the correlation between stress level and menstrual disorders on preclinical students of Faculty of Medicine Universitas Indonesia needs to be investigated.
Objective: This study is aimed to discover correlation between stress level and menstrual disorders among preclinical students of Faculty of Medicine Universitas Indonesia.
Methods: This is a cross-sectional analytic study with preclinical students as a subject that was obtained through consecutive sampling method. Demographic and menstruation profile are obtained through validated questionnaire. Stress level is obtained through Perceived Stress Scale-10 (PSS-10). Variables are analyzed using Chi-Square or Fisher Exact test with SPSS software version 26.0.
Results: Data from 100 preclinical students of FKUI on first semester until seventh semester shows 95% of students experience mild-moderate stress and 5% of heavy stress. Prevalence of menstrual disorders is 91% which include frequency disorder (12%), prolonged duration (9%), irregular pattern (26%), heavy volume (40%), and moderate-severe pain (71%). Bivariate analysis between stress level and menstrual disorders shows p value of 1.000.
Conclusion: There is no significant correlation between stress level and the incidence of menstrual disorders on preclinical students of Faculty of Medicine Universitas Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldeka Kamilia Mufidah
"Pendahuluan: Pendidikan dokter terdiri dari dua tahap pembelajaran, yaitu tahap akademik (preklinik) dan tahap klinik. Dosen yang ideal merupakan komponen terpenting dalam proses pembelajaran tersebut. Kedua tahap pembelajaran tersebut memiliki metode dan lingkungan pembelajaran yang berbeda sehingga diperkirakan terdapat perbedaan atribut dosen kedokteran yang ideal antara tahap akademik dengan klinik. Penelitian ini bertujuan membandingkan atribut dosen kedokteran yang ideal antara tahap akademik dengan klinik menurut persepsi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang (cross sectional) ini menggunakan data primer yang diperoleh dari pengisian mandiri kuesioner yang valid dan reliabel (Cronbachs alpha 0.950). Sampel diperoleh secara cluster random sampling dari populasi mahasiswa tingkat tiga dan lima Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebanyak 200 orang. Data yang diperoleh dianalisis bivariat.
Hasil: Hasil analisis bivariat menunjukkan terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa tahap akademik dengan klinik terhadap atribut dosen yang ideal yaitu atribut penuh persiapan (p 0.010), kompetensi klinis (p 0.028), bersikap tidak diskriminatif (p 0.001), pengajaran yang interaktif (p 0.035), non-judgmental (p 0.005), dan memberikan tugas yang jelas dan sesuai topik (p0.005). Terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa berjenis kelamin perempuan dengan laki-laki terhadap atribut dosen yang ideal, yaitu atribut profesionalisme (p 0.014) dan empati (p 0.010), serta terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa dari Jabodetabek dengan luar Jabodetabek terhadap atribut dosen yang ideal, yaitu atribut role model (p 0.027). Hasil analisis peringkat menunjukkan atribut dosen kedokteran yang ideal pada tiga peringkat teratas pada tahap akademik ialah profesionalisme, pengetahuan, komitmen terhadap perkembangan peserta didik, kejelasan, bersikap jujur, respek, mampu membimbing mahasiswanya dalam proses pembelajaran, dan keterampilan komunikasi yang baik. Sedangkan pada tahap klinik ialah pengetahuan, kompetensi klinis, respek, profesionalisme, mampu menciptakan suasana yang kondusif untuk pembelajaran, ketulusan hati, kejelasan, dan bersikap jujur.
Diskusi: Pada tahap akademik, pembelajaran cenderung lebih terstruktur dan dominan kuliah, dengan lingkungan belajar yang formal sehingga dosen yang penuh persiapan dipersepsi sebagai dosen yang ideal. Sementara di tahap klinik, pembelajaran lebih bersifat experiential, mahasiswa dominan memelajari keterampilan klinik dengan lingkungan belajar tidak formal berupa lingkungan pelayanan kesehatan, sehingga kompetensi klinik dan pengajaran yang interaktif menjadi atribut yang ideal. Baik mahasiswa tahap akademik maupun mahasiswa tahap klinik memandang atribut terpenting yang harus dimiliki seorang dosen ideal adalah penguasaan pengetahuan, profesionalisme, kejelasan dan kualitas personal seperti jujur dan respek.

Medical education consists of two stages of learning, preclinical and clinical. An ideal medical teacher needs attributes for supporting learning process. Both stages have different environments of learning and learning methods, so that the ideal medical teachers attributes in both stages are estimated to be different. This study aims to compare the attributes of ideal medical teacher between preclinical stage and clinical stage according to medical students view in faculty medicine of Universitas Indonesia.
Method: This cross-sectional study using primary data with questionnaire which is valid and reliable (Cronbachs alpha 0.950). The sample was obatained by cluster random sampling from two groups, medical students in third years and fifth years of Faculty Medicine of Universitas Indonesia. Total 200 data were analyzed by bivariate analysis.
Result: The results of bivariate analysis showed that there were differences in perceptions between preclinical and clinical students on the ideal attributes of medical teacher, such as well-prepared (p 0.010), clinical competence (p 0.028), non-discriminative (p 0.001), interactive teaching (p 0.035), non-judgmental (p 0.005), and provide clear and on-topic assignment (p 0.005). There are differences in perceptions between female and male students on the ideal attributes of medical teacher, such as professionalism (p 0.014) and emphaty (p 0.010) and there are differences in perceptions between students from Jabodetabek and outside Jabodetabek on the ideal attributes of medical teacher, such as role model (p 0.027).  The results shown that the ideal attributes of medical teacher based on top three in preclinic stage are professionalism, knowledge, commitment to the development of students, clarity, honest, respect, guiding students in the learning process, and good communicator skill. Meanwhile in clinical stages are knowledge, clinical competence, respect, professionalism, creating conducive atmosphere to learning, sincerity, clarity, and honest.
Discussion: In the preclinical stage, learning methods are more structured such as lectures with a formal learning environment, so that the well-prepared attribute is considered as ideal attributes for medical teacher. While in the clinical stage, learning methods are more experiential and students tend to be more in learning clinical skills with a non-formal learning environment, so that the clinical competent and interactive teaching attributes are considered as important attribute for medical teacher. Both students at the preclinical and clinical stages considered the attributes of knowledge, professionalism, clarity, and personal attributes such as honest and respect as the important attributes for ideal medical teacher.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
James Marcus Wiguna Wahjudi
"
ABSTRAK
Empati adalah kemampuan yang perlu dimiliki seorang dokter untuk dapat memberikan pelayanan yang berpusat pada pasien dengan baik. Mahasiswa kedokteran diharapkan untuk dapat mempelajari empati kedokteran dalam masa pendidikannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah tingkat empati pada mahasiswa kedokteran dipengaruhi oleh tingkat stres. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat tingkat stres dan empati pada berbagai tingkat pendidikan. Desain penelitian ini adalah potong lintang. Kuesioner Perceived Stress Scale-10 digunakan untuk mengukur tingkat stres sementara kuesioner Jefferson Scale of Physician Empathy digunakan untuk mengukur tingkat empati. Keduanya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan divalidasi, kemudian disebarkan kepada 504 mahasiswa program studi pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tingkat stres pada mahasiswa kedokteran mencapai tingkat tertinggi pada tahun pertama dan terus turun di tahun berikutnya. Perbedaan tingkat stres yang signifikan ditemukan antara mahasiswa preklinik tahun 1 hingga 3 dengan mahasiswa tahun akhir profesi tahun kedua . Rerata tingkat empati meningkat pada 3 tahun pertama, lalu turun secara signifikan pada profesi tahun pertama p=0,001 dengan uji mann-whitney dan kembali meningkat pada profesi tahun kedua p=0,014 dengan uji mann-whitney . Akan tetapi, tidak ditemukan korelasi antara tingkat pendidikan dengan tingkat empati r= 0,008 dan p=0,861 dengan uji spearman . Tidak ditemukan korelasi pula antara tingkat stres dengan tingkat empati r=-0,031 dan p=0,246 dengan uji spearman . Penelitian ini menunjukkan kemungkinan terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi pola penurunan tingkat empati pada saat memasuki tahap profesi. Penelitian lebih lanjut untuk meneliti variabel lain diperlukan untuk menentukan faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat empati mahasiswa kedokteran.

ABSTRAK
Empathy has been known as critical ability for medical doctors to be able to conduct good patient centered care. Medical students are expected to learn this in the medical school. This study is conducted to identify whether medical students rsquo empathy level is affected by their stress level. Also, this study aims to examine the empathy and stress level of medical students across education years. The study design is cross sectional. The translated version of Perceived Stress Scale 10 Questionnaire is used to measure stress level while Jefferson Scale of Physician Empathy Questionnaire is used to measure empathy level. The questionnaires were validated and administered to a total of 504 students of the undergraduate medical education program in Faculty of Medicine Universitas Indonesia. We found that stress level among medical students peaks on the first year and continues to decline over years. Significant stress level difference are found between preclinical year students year 1 to 3 compared to final year students second clinical year . Empathy level increases over the first 3 years, then declines significantly upon entering first clinical year p 0,001 and increases again the next year p 0,014 . However, no correlation was found between the ldquo education year rdquo variable and ldquo empathy level rdquo variable r 0,008 and p 0,861 on spearman test . Also, no correlation was found between ldquo stress level rdquo and ldquo empathy level rdquo variable r 0,031 and p 0,246 on spearman test . This finding suggests that there may be other underlying factors that contributes to empathy decline in medical students upon entering clinical year. Further research exploring other variables should be conducted to identify those factors."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lalu Ahmad Gamal Arigi
"Latar Belakang: Pendidikan kedokteran dianggap sebagai salah satu pendidikan yang memiliki stressor tinggi. Banyaknya sumber stressor dari mahasiswa tersebut apabila tidak sejalan dengan strategi coping yang baik maka berdampak terhadap keinginan untuk menunda menyelesaikan tugas akademik. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan dan perbandingan jenis penggunaan strategi coping dengan prokrastinasi akademik pada mahasiswa kedokteran tahap preklinik. Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dilakukan pada 202 mahasiswa semester 2, 4, 6 Fakultas Kedokteran Universitas Mataram pada April 2023. Data didapatkan menggunakan instrument Brief Cope dan kuesioner Prokrastinasi akademik yang sebelumnya sudah dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Hasil: Terdapat hubungan antara penggunaan strategi coping dengan prokrastinasi akademik mahasiswa kedokteran Preklinik dengan nilai p=0.002 (<0.05). Terdapat perbedaan nilai penggunaan strategi coping dan Prokrastinasi akademik pada mahasiswa semester 2, 4 dan 6 dengan nilai uji P pada nilai penggunaan strategi coping 0,008 (p<0,05) dan nilai prokrastinasi akademik sebesar 0,010 (p<0,05). Problem focused coping pada aspek planning dan jenis prokrastinasi akademik pada aspek penundaan dalam memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang dihadapi memiliki nilai rata-rata tertinggi yaitu 3.20 dan 2.55. Kesimpulan: Prokrastinasi akademik pada mahasiswa merupakan masalah yang sering terjadi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhinya yaitu strategi coping. Sehingga diperlukan pengembangan dan penerapan strategi coping yang efektif guna mengurangi prokrastinasi akademik dan meningkatkan prestasi akademik serta kesejahteraan mereka.

Background: Medical education is an education that has a high stressor. The many sources of stress for these students, if not accompanied by effective coping strategies, will have an impact on starting and delaying completing academic assignments. This study explores the relationship and comparison of coping strategies and academic procrastination in medical students at the preclinical stage. Methods: This study used a cross-sectional study design and was conducted on 202 students in grades 2, 4, and 6 of the Faculty of Medicine, University of Mataram, in April 2023. Data were obtained using the Brief Cope instrument and an academic procrastination questionnaire, which had been tested for validity and reliability. Results: There was a relationship between the use of coping strategies and academic procrastination in preclinical medical students, with p = 0.002 (<0.05). There are differences in scores using coping strategies and academic procrastination for students in grades 2, 4, and 6, with a P value of 0.008 (p<0.05) for coping strategies and 0.010 (p<0.05) for academic procrastination. Problem-focused coping on planning aspects and types of academic procrastination on aspects of delays in starting or completing assignments have the highest average scores of 3.20 and 2.55. Conclusion: Academic procrastination among students is a problem that often occurs. One of the factors that can influence it is the coping strategy. It is necessary to develop and implement effective coping strategies to reduce academic procrastination and increase academic achievement and welfare."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrew Pratama Kurniawan
"Latar Belakang: Stres dialami semua orang tidak terkecuali mahasiswa. Namun, mahasiswa fakultas kedokteran memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada mahasiswa di fakultas lainnya. Stres dikhawatirkan dapat berdampak negatif seperti gangguan kesehatan, penurunan kemampuan kognitif, kecemasan, dan burnout. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat stres mahasiswa tahap akademik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan kaitannya dengan performa akademik.
Metode: Penelitian cross-sectional ini menggunakan instrumen PSS-10 yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia untuk mengukur tingkat stres mahasiswa dan performa akademik berupa nilai modul terakhir mahasiswa. Nilai dikelompokkan menjadi 3 yaitu nilai sangat memuaskan (A- dan A), memuaskan (B-, B dan B+), dan kurang memuaskan (
Hasil: Skor stres mahasiswa tingkat 1 paling tinggi dengan skor median 21,00±(6,721), tingkat 2 dengan skor median 18,50±(6,013), dan tingkat 3 dengan skor median 19,00±(6,543). Pada semua tingkat ditemukan kelompok mahasiswa dengan nilai sangat memuaskan memiliki median dan mean tingkat stres paling rendah dibanding dengan tingkat lainnya. Analisis tingkat stres antar kelompok nilai hanya bermakna secara statistik pada mahasiswa tingkat 3 (p<0,05).
Simpulan: Tidak ditemukan pengaruh yang pasti antara stres dengan performa akademik dikarenakan hubungan bermakna hanya ditemukan pada mahasiswa tingkat 3 fakultas kedokteran (nilai p <0,05).

Introduction: Everyone definitely has experienced stress in their daily life regardless. However, medical students experience a higher level of stress than other college students in other faculty. Stress could induce some negative impacts such as declining health, lowering cognitive skills, anxiety, and burnout. Therefore, this study aims to measure the stress level of preclinical medical students in University of Indonesia and its correlation with academic performance.
Method: This cross-sectional study used PSS-10 questionnaire that has been translated to Indonesia language as an instrument to measure stress level. Their academic performance is measured by students’ final grade in the last module. Final grades are divided to three groups, highly satisfactory with grades of A- and A, satisfactory with grades from B- to B+, and less satisfactory with grade below B-. Kruskal-wallis or ANOVA test is used to find a statistical significance between stress levels in groups.
Results: The result is first year students have the highest stress level with the median score of 21,00±(6.754), second year students with median score of 19,00±(6.029), and the third year students have the median score of 19,00±(6.543). In every year, the very satisfactory group has the lowest mean score and median stress score compared to other groups in the same year, with a statistical difference only appear in third year students (p<0.05).
Conclusion: There are not enough evidence to conclude a significance correlation between stress level and academic performance, since the statistical difference is only found in the third year medical students (p<0.05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marco Raditya
"Introduksi: Burnout stress adalah sebuah masalah yang sedang berkembang di antara mahasiswa kedokteran, dengan prevalensi saat ini berjenjang dari 45-71%. Kondisi ini berpengaruh terhadap keadaan psikologis dan fisiologis, dan berdampak negatif pada kesehatan dan produktivitas. Studi terkini menunjukkan bahwa aktivitas fisik berpotensi mengurangi burnout. Dengaan begitu, studi ini dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan antara tingkat burnout dan tingkat aktivitas fisik, terutama pada mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia. 
Metode: Sebuah studi potong lintang dilakukan kepada 318 mahasiswa yang dipilih secara stratified random sampling. Maslach Burnout Inventory General Survey (MBI-GS) digunakan untuk mengukur burnout, dan International Physical Activity Questionnaire Short Form (IPAQ-SF) untuk aktivitas fisik. Tes korelasi dan regresi multipel dilaksanakan untuk menentukan hubungan antara seluruh variabel. 
Hasil: Mayoritas mahasiswa memiliki burnout tingkat sedang secara keseluruhan dan aktivitas fisik tingkat sedang. Uji korelasi Spearman menunjukkan korelasi positif antara burnout aspek pencapaian individu dengan aktivitas fisik intensitas sedang (r=0.127, p=0.024), dan aktivitas fisik total (r=0.113, p=0.045). Namun, korelasi dengan depersonalisasi dan kelelahan emosional tidak dapat disimpulkan karena tidak signifikan secara statistik. Lalu, ditemukan asosiasi signfikan secara statistic antara aspek depersonalisasi dengan jenis kelamin (r=-2.411, p=0.016) dan program studi (r=1.007, p=0.001). Sementara itu, ditemukan bahwa minimal 40% mahasiswa mengalami burnout tingkat tinggi pada setidaknya satu aspek dan 25,7% memiliki tingkat aktivitas fisik rendah walaupun mayoritas mahasiswa memiliki tingkat sedang di keduanya. Selain itu, kondisi terberat dari kedua variabel dapat ditemukan pada mahasiswa tingkat 3.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara burnout stress bagian pencapaian individu dengan aktivitas fisik.

Introduction: Burnout stress is an emerging problem among medical students, with the current prevalence ranging from 45-71%. This condition affects both psychologically and physiologically, lowering health and productivity. Current studies suggest physical activity as a plausible mechanism to reduce burnout stress. Thus, this study is conducted to identify the relationship between burnout stress level and physical activity level, especially in preclinical medical students of Universitas Indonesia.
Methods: A cross-sectional study is done on 318 students selected through stratified random sampling. The Maslach Burnout Inventory General Survey (MBI-GS) is used to measure burnout stress, along with the International Physical Activity Questionnaire Short Form (IPAQ-SF) for physical activity. Correlation and multiple regression test are conducted to determine relationship between all variables.
Results: Most students have an overall moderate burnout stress level and moderate physical activity level. Spearman correlation show statistically significant association between personal achievement with moderate-intensity (r=0.127, p=0.024), and total physical activity (r=0.113, p=0.045). Meanwhile, correlation on depersonalisation and emotional exhaustion are inconclusive due to statistically insignificance. On the other hand, statistically significant association between depersonalisation with both gender (r=-2.411, p=0.016) and study program (r=1.007, p=0.001) is present. Additionally, a minimum of 40% students have severe burnout on at least one aspect, while 25.7% have low physical activity level in spite of the moderate majority. In addition, both conditions are most severe among grade III students.
Conclusion: In conclusion, association between burnout stress and physical activity is present on personal accomplishment aspect.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>