Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 228321 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Waruwu, Satria Saronikhamo
"ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menentukan beberapa jenis larangan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha guna memastikan terciptanya persaingan usaha yang sehat. Salah satu ketentuan yang diatur ialah persoalan mengenai kartel yang diatur didalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menetaplam kartel sebagai salah satu perjanjian yang dilarang, yang proses pembuktiannya menggunakan pendekatan rule of reason. Sehingga untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha terhadap dugaan pelanggaran terhadap Pasal 11 Undang-Undang 5/1999, Komisi Pengawas Persaingan Usaha harus membutkikan bahwa perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut bersifat unreasonable dan akibat yang ditimbulkan dari perjanjian tersebut bersifat mematikan atau menghilangkan persaingan antar pelaku usaha.Didalam penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha didalam beberapa kasus, majelis komisi hanya mendasarkan kesalahan pelaku usaha pada pembuktian terpenuhi atau atau tidaknya semua unsur didalam Pasal 11 Undang-Undang 5/1999. Artinya bahwa didalam beberapa kasus, majelis komisi mengesampingkan pengujian terhadap alasan-alasan/pertimbangan yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menyatakan bahwa perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut bersifat reaosonable restraint. Dari beberapa putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang memeriksa dan memutus persoalan praktek Kartel terlihat bahwa tidak semua kasus diperiksa dan diputuskan dengan menggunakan pendekatan rule of reason dan hal ini tidak mencermikan aspek kepastian hukum didalam penegakan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.Tidak terwujudnya konsistensi dan kepastian hukum didalam beberapa kasus dugaan pelanggaran Pasal 11 Undang mdash;Undanag 5/1999 salah satunya disebabkan karena terlalu semptinya cakupan perjanjian yang dartikan sebagai kartel. Sehingga diperlukan adanya revisi ketentuan Undang-Undnag 5/1999 guna menetapkan berbagai jenis tindakan yang secara teori dipandang sebagai bentuk kartel, kedalam satu pasal tertentu. Dengan demikian tidak muncul kerancuan mengenai bentuk tindakan yang dpandang sebagai kartel dan dan tidak muncul dualisme pendekatan dalam membuktikan praktek kartel di Indonesia.

ABSTRACT
Act 5 1999 on Monopolistic Practices and Unfair Business Competition determine some kind of prohibition that should not be done by business actor to create the fair athmosphere of business competition. One of the regulation is about Cartel which is regulated in Article 11 Law No 05 1999. Article 11 No 05 1999 set Cartel as one of the banned agreement, however Rule of Reason approach is a method to prove it. So to prove business actor violation to Article 11 Law No. 05 1999, KPPU have to prove that the agreement between business actor is unreasonable and give a fatal impact to business competition.In some KPPU law enforcement case, council commision of KPPU based the violance of business actor to the complete proof or at least complete some instrument in Article 11 No. 05 1999. Means, in some case, council comission put testing of reasons that can be user as the basic agreement that as reasonable restraint. From some KPPU decision that eximaned Cartel show that not every case that eximined by Rule of Reason approachment and this is not mirrored the law enforcement aspect in Indonesian Business Competition Law.Inconsistence and legal uncertainty in some Articel 11 Law No. 05 1999 violance is caused by the small definition of the agreement as a Cartel agreement. This is why revision for Law No. 05 1999 is needed to give certainty to any action that is stated absolutely as a Cartel, in one certain Articel. As the result, it will not make any dualism of Cartel definition Indonesian Business Competition."
2017
T48117
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erica Winlie
"Dalam hukum persaingan usaha dikenal dua pendekatan, yaitu per se dan rule of reason. Umumnya, pasal-pasal di UU Monopoli menggunakan salah satu dari pendekatan tersebut, namun ternyata terdapat pasal yang dapat diperiksa dengan keduanya, salah satunya adalah Pasal 15 ayat (2) tentang tying agreement. Kaidah ini dapat ditemukan dalam Peraturan KPPU No 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15, namun belum secara menyeluruh diaplikasikan. Jauh sebelum Indonesia, negara Amerika Serikat sebagai negara pelopor hukum persaingan usaha ternyata telah menerapkan dua pendekatan tersebut pada tying agreement lebih dulu, dan tampaknya lebih konsisten dalam membedakan antar kedua pendekatan tersebut. Tulisan ini menganalisis: (1) pengaturan tying agreement di Indonesia dan Amerika Serikat; dan (2) penerapan pendekatan per se dan rule of reason pada perkara tying agreement di Indonesia dan Amerika Serikat. Untuk menganalisis fenomena tersebut, tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan studi perbandingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan tying agreement di kedua negara tersebut dilandasi oleh model pengaturan dan instrumen pengubah yang berbeda, yaitu Indonesia pada UU Monopoli diikuti dengan perkembangan pada Peraturan KPPU tentang Pedoman Pasal 15, dan Amerika Serikat pada Sherman Act dan Clayton Act diikuti dengan perkembangan melalui presedens. Dalam penerapannya, hakim Amerika Serikat lebih konsisten memisahkan antara kedua pendekatan dibandingkan Majelis Komisi yang tidak secara menyeluruh menerapkan Peraturan KPPU tentang Pedoman Pasal 15. Maka, penting bagi Majelis Komisi untuk menerapkan pedoman tersebut secara menyeluruh, juga bagi KPPU untuk membentuk pedoman baru yang lebih tegas atau setidak-tidaknya mensosialisasikan pedoman yang sudah ada kepada masyarakat.

In antitrust law, there are two approaches, namely per se and rule of reason. Generally, articles in the Monopoly Law use one of these approaches, but there are articles that can be examined with both, one of which is Article 15 paragraph (2) on tying agreements. This provision can be found in KPPU Regulation No. 5/2011 on Article 15 Guidelines, but it has not been thoroughly applied. Long before Indonesia, USA as a pioneer of antitrust law has applied the two approaches to tying agreements and has been more consistent in distinguishing between them. This paper analyzes: (1) the regulation of tying agreements in Indonesia and USA; and (2) the application of per se and rule of reason approaches in tying agreement cases in Indonesia and USA. To analyze the phenomenon, this paper uses normative juridical research method with comparative study. The results show that the regulation of tying agreements in both countries is based on different regulatory models and changing instruments, Indonesia in Monopoly Law followed by developments in KPPU Regulation on Article 15 Guidelines, and USA in Sherman Act and Clayton Act followed by developments through precedence. In its application, USA judges are more consistent in separating between the two approaches than the Majelis Komisi which does not thoroughly apply the KPPU Regulation on Article 15 Guidelines. Therefore, it is important for Majelis Komisi to apply the guidelines thoroughly, for KPPU to establish new guidelines that are stricter or at least socialize the existing guidelines to the society."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeceline Paramitha Setiawan
"Kartel penetapan harga merupakan praktik yang merugikan konsumen dan mengganggu mekanisme pasar yang sehat. Dalam penelitian ini diuraikan mengenai penerapan pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap kasus kartel penetapan harga minyak goreng yang dijelaskan dalam Putusan KPPU Nomor 15/KPPUI/2022. Di Indonesia, cara untuk menentukan pengguna-an pendekatan atau analisis tersebut biasanya dilihat dari ketentuan atau bunyi pasal-pasal dimaksud. Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kepastian hukum penerapan pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 dan analisis penerapan kedua pendekatan tersebut terhadap kasus penetapan harga minyak goreng. Adapun metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, yang melibatkan analisis berdasarkan bahan kepustakaan yang bersifat doktrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KPPU menggunakan pendekatan Rule of Reason dalam menilai kasus ini, di mana penetapan harga oleh pelaku dianggap merugikan persaingan dan konsumen. Pendekatan ini mempertimbangkan konteks dan dampak dari praktik kartel terhadap pasar. Di sisi lain, pendekatan Per Se Illegal menganggap kartel penetapan harga sebagai praktik yang secara otomatis dilarang tanpa mempertimbangkan dampak atau alasan di balik praktik tersebut. Namun, dalam putusannya, KPPU lebih condong menggunakan pendekatan Rule of Reason karena kompleksitas dan konteks pasar minyak goreng yang dinilai. Hal tersebut secara konsep disebut Truncated Rule of Reason yang dipopulerkan pertama kali pada tahun 1894 di Amerika Serikat. Singkatnya, konsep pendekatan ini dapat dianalogikan sebagai suatu konsep “pencangkokan” di antara pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason. Oleh karenanya dalam kasus kartel penetapan harga, diperlukan pembuktian lebih lanjut mengenai dampak mana yang lebih besar untuk melihat efisiensi dan kesejahteraan konsumen. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan pendekatan Rule of Reason oleh KPPU dalam Putusan Nomor 15/KPPU-I/2022 sesuai dengan kebutuhan untuk menilai praktik kartel secara holistik, mempertimbangkan dampak dan konteks pasar. Meskipun demikian, perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai kedua pendekatan ini agar dapat diterapkan dengan tepat dan efektif dalam kasus-kasus kartel di masa depan.

Price-fixing cartels are practices that harm consumers and disrupt healthy market mechanisms. This study describes the application of the Rule of Reason and Per Se Illegal approaches by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU) to the cooking oil price fixing cartel case described in KPPU Decision Number 15/KPPUI/2022. In Indonesia, the way to determine the use of these approaches or analyses is usually seen from the provisions or wording of the articles in question. The problem formulations raised in this study are: How is the legal certainty of the application of Per Se Illegal and Rule of Reason approaches based on Law No. 5 Year 1999 and the analysis of the application of the two approaches to the case of cooking oil price fixing. The research method to be used in this research is normative legal research method, which involves analysis based on doctrinal literature materials. The results showed that KPPU used the Rule of Reason approach in assessing this case, where price fixing by the perpetrators was considered detrimental to competition and consumers. This approach considers the context and impact of cartel practices on the market. On the other hand, the Per Se Illegal approach considers a price-fixing cartel as a practice that is automatically prohibited without considering the impact or reasons behind the practice. However, in its decision, KPPU is more inclined to use the Rule of Reason approach due to the complexity and context of the cooking oil market being assessed. This is conceptually called the Truncated Rule of Reason which was first popularized in 1894 in the United States. In short, the concept of this approach can be analogized as a concept of "grafting" between the Per Se Illegal and Rule of Reason approaches. Therefore, in the case of a price fixing cartel, further substantiation is required as to which impact is greater in terms of efficiency and consumer welfare. The conclusion of this study shows that the application of the Rule of Reason approach by the KPPU in Decision No. 15/KPPU-I/2022 is in accordance with the need to assess cartel practices holistically, considering market impact and context. Nonetheless, there is a need for a deeper understanding of these two approaches so that they can be applied appropriately and effectively in future cartel cases."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas ndonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Saputro
"Krisis multi dimensi yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari adanya persaingan usaha tidak sehat dengan segala bentuknya. Terjadinya pemusatan ekonomi pada segelintir pihak dan praktek-praktek monopoli membuat pasar menjadi terdistorsi dan membahayakan pertumbuhan perekonomian yang didasari pada persaingan usaha yang sehat. Banyaknya kasus-kasus persekongkolan tender yang terjadi di Indonesia mengindikasikan bahwa selama ini kesempatan berusaha tidak mendapatkan perlindungan yang memadai, dan hanya dapat dinikmati oleh pihakpihak yang kuat dan dekat dengan kekuasaan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diharapkan mampu untuk mengurangi bahkan menghilangkan praktek-praktek persekongkolan tender di Indonesia. Dalam hukum persaingan usaha dikenal dua macam metode pendekatan yang digunakan dalam menganalisis kasus-kasus persaingan usaha, yaitu per se illégal dan rule of reason.
Terdapat perbedaan mendasar antara kedua metode pendekatan tersebut. Pendekatan rule of reason membutuhkan analisis ekonomi untuk mengetahui akibat dari perbuatan tersebut, sedangkan per se ¿Ilegal tidak lagi mensyaratkan adanya analisis ekonomi. Dalam Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 yang mengatur mengenai persekongkolan tender terlihat menggunakan analisis secara rule of reason, dimana hal tersebut bertolak belakang dengan beberapa putusan KP PU yang menggunakan pendekatan per se illégal.
Penyelesaian kasus-kasus yang terjadi di negara-negara lain adalah menggunakan pendekatan per se illégal dalam kasus-kasus persekongkolan tender (bid rigging) bahkan dipertegas dengan mengkategorikan sebagai perbuatan pidana.
Hal ini menunjukkan bahwa P'asal 22 UU No.5 Tahun 1999 perlu diadakan perubahan mengingat persekongkolan tender sama sekali tidak berkaitan dengan struktur pasar (structure), dan tidak terdapat unsur pro-persaingan sama sekali. Persekongkolan tender lebih mengutamakan perilaku (behavior) berupa perjanjian untuk bersekongkol iconspiracy) yang pada umumnya dilakukan secara diam-diam. Hal tersebut juga perlu dilakukan agar terdapat kesesuaian dengan penanganan kasus-kasus persekongkolan tender di negara-negara yang telah berpengalaman, sehingga tercipta suatu konvergensi antara aturan hukum di Indonesia dengan negara lain, sepanjang hal tersebut bermanfaat dan baik untuk diaplikasikan.(is)"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T36599
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasudungan, Archie Michael
"Skripsi ini membahas bagaimana pendekatan yang digunakan KPPU dan otoritas penegakan hukum persaingan usaha lainnya dalam memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif menggunakan data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan yang berbeda dalam penerapan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat menghasilkan putusan yang berbeda. Pendekatan yang lebih tepat untuk diterapkan adalah Rule of Reason. Di dalam menggunakan pendekatan Rule of Reason, KPPU dan otoritas penegakan hukum persaingan usaha lainnya perlu membuktikan unsur tambahan. Pertama, unsur perilaku penyalahgunaan posisi dominan yang dibuktikan dengan mengacu pada ketentuan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atau pada tindakan anti-persaingan lainnya. Kedua, unsur dampak negatif terhadap persaingan yang dilakukan dengan menilai pengaruh pemilikan saham mayoritas atau pendirian beberapa perusahaan sejenis terhadap: (a) tingkat kompetisi di pasar bersangkutan; (b) price leadership; (c) excessive pricing; (d) excessive profit; dan (e) kerugian konsumen.

This Thesis answers the problem of how is the approach that KPPU and other antitrust law authorities used in examining cases involving Article 27 Law Number 5 Year 1999. This research is a normative legal research using secondary data. The result of this research shows that applying different approaches in cases involving Article 27 Law Number 5 Year 1999 could resulting in different decision. Rule of Reason is the more suitable approach to be applied in such cases. In applying Rule of Reason, KPPU and other antitrust law authorities have to prove additional factors. First, the abuse of dominant position, be evidenced by referred to Article 25 (1) Law Number 5 Year 1999 or other anti-competition acts. Second, negative impact on competition in the relevant market, be evidenced by judging the effect of majority shareholding or establishment of similar companies towards: (a) competitiveness in the relevant market; (b) price leadership; (c) excessive pricing; (d) excessive profit; and (e) consumers loss."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44815
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Anjaswari
"Dari semua praktik bisnis yang tidak sehat, Kartel dipersepsikan sebagai bentuk paling berbahaya dari tidakan persaingan usaha karena para pelakunya sepakat melakukan konspirasi mengenai hal-hal yang bersifat sangat pokok dalam suatu transaksi bisnis. Kartel akan menyebabkan kerugian bagi konsumen. Sifat kerahasiaan kartel menjadi hambatan terbesar bagi otoritas persaingan usaha untuk membuktikkan eksistensi kartel, Indonesia juga mengalami hal tersebut. Untuk sejumlah alasan tersebut, beberapa negara di Barat menggunakan pendekatan per se illegal. Per se illegal memiliki beberapa keunggulan dibanding rule of reason dalam mengungkap keberadaan kartel.
Tesis ini membahas mengenai pengaturan penerapan pendekatan per se illegal dalam Anti Monopoly Act (AMA) di Jepang dan The Regulation of Monopolies and Fair Trade Act (FTA) di Korea Selatan serta kemungkinan penerapan pendekatan per se illegal dalam hukum persaingan di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang menggunakan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian menyarankan untuk menerapkan ketentuan mengenai pendekatan per se illegal melalui amandemen Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 sejalan dengan itu menambahkan kewenangan KPPU terkait penggeledahan.

From of all the unfair business practices, Cartel are perceived as the the most dangerous from of competitive business, because the principals agreed the conspiracy on matters that are staples in a business transaction. Cartel would cause harm to consumers. The confindential nature of cartel has been the biggest obstacle for the Competition authority?s effort to prove the existence of the cartel, Indonesia also experienced it. From some reasons, numerous jurisdictions have adopted approach of per se illegal. Per se illegal has several advantages compared to a rule of reason in expose the existence of cartel.
This study discussed the rule on Anti Monopoly Act (AMA) in Japan and The Regulation of Monopolies and Fair Trade Act (FTA) in South Korea also addressed the possibility application Per Se illegal approach in Indonesia. The study used juridical-normative research method which emphasis on the use of statute and comparative approach. The result suggest to implement provisions concerning Per Se Illegal approach trough amandement Law Number 5 year 1999 and in line with the added KPPU?s authority related search and seizure.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T42653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hannan Abdallah
"Rule of Reason adalah suatu pendekatan untuk mengevaluasi akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Terkait dengan pembuktian kartel, kelebihan pendekatan ini adalah menggunakan analisis ekonomi dalam membuktikan eksistensi dari perjanjian kartel antar pelaku usaha. Namun di sisi lain, penggunaan analisis ekonomi (yang merupakan bukti tidak langsung) masih merupakan kontrovensi, tidak hanya karena sifatnya yang memiliki ambiguitas, namun karena metode-nya yang belum diatur secara tegas dalam sistem hukum di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis metode yang digunakan oleh KPPU dalam membuktikan kartel dengan mengacu pada Peraturan KPPU mengenai Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 UU No.5/99 sebagai acuan minimum bagi KPPU dalam pembuktian kartel. Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisa validitas penggunaan analisa ekonomi berdasarkan hukum di Indonesia.

Rule of reason is a legal approach by competition authorities or the courts where an attempt is made to evaluate the pro-competitive features of a restrictive business practices against its anti-competitive effects in order to decide whether or not the practices should be prohibited. In term of cartel detection, one of many advantages of rule of reason approach is the use of an economic analysis to prove the existence of a gentlemen's agreement among the alleged cartel members. However, on the other hand, the use of economic analysis (which is an indirect evidence), still remains controversy, not only because its ambiguity, but also its method has not yet clearly been regulated under Indonesian Law. This research is to analyze the method employed by Commission (KPPU) in proving alleged case of cartels according to Commission Guidelines on Article 11 of Act No. 5 / 1999 as minimum reference of the Commission in proving cartels. This research is also to examine the validity of economic analysis according to national law system.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S59976
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Maria Tri Anggraini
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan pendekatan per se illegal dan rule of reason dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Di samping itu, penelitian berusaha untuk mengetahui kesulitan-kesulitan penerapan kedua pendekatan tersebut. Selanjutnya apakah pendekatan tersebut sudah dengan tepat ditetapkan dalam penerapan pasal-pasal teretntu dalam UU No. 5 Tahun 1999. Akhirnya, penelitian ini bertujuan untuk melihat dalam berbagai studi kasus, apakah penerapan salah satu pendekatan sebagaimana dikehendaki oleh UU No. 5 Tahun 1999 dapat mencapat tujuan dari UU tersebut. seperti efisiensi dan perlindungan kepentingan konsumen.
Penulisan ini akan mempergunakan metode penelitian yuridis normatif, yakni metode penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Di samping itu digunakan pula metode perbandingan hukum, dengan memperhatikan latar belakang politik dan ekonomi dari negara-negara yang diperbandingkan tersebut. Adapun faktor-faktor yang diperbandingkan dalam sistem hukum meliputi hal-hal yang antara lain berkaitan dengan perkembangan sistem hukum, karakteristik pola pikir di bidang hukum, eksistensi dan kewenangan lembaga hukum setempat, cara penanggulangan masalah hukum, serta ideologi dari masing-masing sistem hukum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
D1060
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Satria Ansgarianto Wibowo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap faktor pendorong penerapan konsep Business Continuity Management System (BCMS) pada sektor publik dan hal-hal yang perlu dipersiapkan organisasi dalam penerapan BCMS sesuai dipersyaratkan standar ISO 22301:2019. Objek penelitian adalah Sekretariat Utama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang memegang fungsi pendukung jalannya kegiatan pengawasan BPKP. Penerapan dilakukan dengan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Jenis data primer adalah hasil wawancara yang dilakukan dengan wawancara semi-terstruktur dengan narasumber meliputi unit manajemen risiko, unit teknis manjemen insiden, dan unit pengelola teknologi informasi. Analisis data dilakukan dengan membandingkan faktor pendorong penerapan BCMS organisasi dan membandingkan kondisi organisasi dengan persyaratan BCMS. Hasil penelitian adalah terdapat urgensi dan kebutuhan organisasi akan terhadap penerapan BCMS terutama dalam faktor dukungan infomal manajemen puncak, belum meratanya praktik continuity pada organisasi, dan peningkatan dependensi organisasi pada teknologi informasi. Organisasi perlu membuat kebijakan BCMS, peningkatan kompetensi dan awareness mengenai BCM, dan pemutakhiran prosedur dalam mempersiapkan penerapan BCMS pada organisasi. Penelitian ini diharapkan berkontribusi sebagai dasar kajian rencana implementasi BCMS pada sektor publik ke depannya.

Business Continuity Management System (BCMS) is not widely implemented in Indonesian public sector, therefore his study aims to reveal the drivers of BCMS implementation at the public sector and preparation that organization should done for BCMS implementation as required by the ISO 22301:2019 standard. The object of the study is Chief Secretariat of Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) which has supporting function for government’s internal audit as BPKP core-business. The research done with case study method with qualitative approach. The primary data in the study was collected through semi-structured interview with people from risk management unit, incidents management unit, and IT management unit. The data analysis carried out with the benchmarking the drivers of BCMS implementation with previous study and literature and benchmarking the organizaiton existing condition with BCMS requirements. The study found that there are urgency and need for BCMS implementation in the organization, with the main drivers are informal top-management support, uneven continuity practices, and the increase of organization’s dependency of information technology. Organization need to create the BCMS policy, enhance the competency and awareness about BCMS, and update the incident response procedure as the preparations of BCMS implementation. This research contributing for future public sector implementation of BCMS."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Raihan
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai latar belakang perubahan global approach menjadi designated jurisdiction approach dalam desain kebijakan CFC rule di Indonesia. Penelitian ini menganalisis kelebihan maupun kelemahan dari masing-masing pendekatan. Selain itu, penelitian ini juga membahas mengenai kelemahan pada upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah terkait dengan kebijakan CFC rule. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan analisis data kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini adalah terdapat kelemahan dalam CFC rule Indonesia diantaranya terkait dengan definisi entitas, definisi kontrol, dan cakupan pemilihan yurisdiksi. Oleh karena itu, untuk memperkuat CFC rule Indonesia dapat melakukan redefinisi terhadap entitas, kontrol, dan batasan pemilihan yurisdiksi.

ABSTRACT
This research discusses about the background change of designated jurisdiction approach into global approach in designing CFC rule policy in Indonesia. This research analyzes the advantages and disadvantages of each approach. In addition, this research also discusses the weaknesses in efforts made by the government related to CFC rule policy. The research method used qualitative descriptive method. This research concludes that there are weaknesses in Indonesian CFC rule, such as the definition of entity, definition of control, and the scope of the election of jurisdiction. Therefore, to strengthen the CFC rule Indonesia can redefine entities, controls, and limitation on the selection of jurisdictions."
2017
S67547
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>