Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3129 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Baggini, Julian
Basingstoke : Palgrave Macmillan, 2012
100 BAG p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Becker, Edward F.
"Willard Van Orman Quine's work revolutionized the fields of epistemology, semantics and ontology. At the heart of his philosophy are several interconnected doctrines: his rejection of conventionalism and of the linguistic doctrine of logical and mathematical truth, his rejection of the analytic/synthetic distinction, his thesis of the indeterminacy of translation and his thesis of the inscrutability of reference. In this book Edward Becker sets out to interpret and explain these doctrines. He offers detailed analyses of the relevant texts, discusses Quine's views on meaning, reference and knowledge, and shows how Quine's views developed over the years. He also proposes a new version of the linguistic doctrine of logical truth, and a new way of rehabilitating analyticity. His rich exploration of Quine's thought will interest all those seeking to understand and evaluate the work of one of the most important philosophers of the second half of the twentieth century."
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2012
191 BEC t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
I.R. Poedjawijatna
Jakarta: Rineka Cipta, 1994
100 POE p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wattimena, Reza Alexander Antonuis, 1983-
Yogyakarta: Kanisius, 2015
100 REZ f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Widjayanti Darmono
"Tesis ini akan mengkaji bagaimana pengetahuan orang Jawa abad ke-XII terhadap lingkungannya, sebagaimana tercermin dalam Kakawin Sumanasantaka.
Untuk dapat melangsungkan kehidupannya, manusia seperti halnya mahluk hidup pada umumnya, harus secara aktif melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Adaptasi yang dilakukan manusia itu bersumber pada pengetahuan budaya (sistim ideologi) yang dimilikinya. Pengetahuan budaya itu terdiri atas: pengalaman, pengetahuan, gagasan, kepercayaan, aturan-aturan, petunjuk-petunjuk dan lain sebagainya.
Dari hasil analisis terhadap kakawin Sumanasantaka, diketemukan bahwa isi kakawin tersebut sesungguhnya juga menggambarkan tentang sistim pengetahuan orang Jawa abad ke-XII dalam beradaptasi terhadap lingkungannya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Boedisantoso, bahwa sistim pengetahuan yang dimiliki oleh penduduk setempat kadang-kadang tidak bisa diuji secara empirik, namun apabila dikaji secara cermat, sesungguhnya merupakan hasil abstraksi pengalaman manusia yang cukup panjang dalam beradaptasi dengan lingkungannya (Boedhisantoso,1986: 5).
Sedangkan adaptasi menurut Bennett adalah proses tingkah laku yang memungkinkan orang, baik secara individual maupun kelompok, dapat mengatasi kondisi lingkungan serta perubahannya. Dalam menanggapi kondisi lingkungan serta perubahannya itu, pertama kali orang melakukan antisipasi. Antisipasi adalah proses dalam kognisi individu dalam menanggapi, merumuskan, mencari dan memilih alternatif dalam meramalkan kondisi yang dihadapi.(Bennett 1976: 847-852).
Adapun sistim pengetahuan yang dimiliki oleh orang Jawa abad ke XII adalah: sistim pengetahuan tentang perubahan musim, pelestarian lingkungan alam dan pemanfaatan serta pengolahan sumber daya alam dan lingkungan.
Sistim pengetahuan tentang perubahan musim itu, didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman mereka terhadap gejala-gejala alam yang tampak, kondisi tumbuh-tumbuhan dan perilaku binatang. Dengan pengetahuan yang dimiliki itu, mereka dapat mengantisipasi musim apa yang sedang atau yang akan terjadi.
Sistim pengetahuan tentang pelestarian lingkungan, didasarkan adanya kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supernatural pada sebuah pertapaan dan sekitarnya. Dengan adanya kepercayaan tersebut, maka orang-orang tidak ada yang berani memperlakukan tempat tersebut dengan seenaknya. Apabila dikaji secara cermat sistim kepercayaan tersebut, sesungguhnya mengandung pelestarian lingkungan.
Dalam memanfaatkan lingkungan alamnya, orang-orang Jawa abad ke XII senantiasa berlandaskan pada filsafat hidupnya, "memayu hajuning bawana", artinya "memelihara keselamatan dunia", yaitu memanfaatkan lingkungan dengan sebaik-baiknya. Dengan adanya falsafah tersebut, maka orang-orang Jawa pada waktu itu dalam memanfaatkan lingkungannya, hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Doludea
"Siapakah manusia itu? Pertanyaan ini mungkin sudah sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dan sejak itu juga manusia selalu berupaya untuk menjawab dan kembali mempertanyakan tentang siapakah sebenarnya dirinya itu. Siapakah Aku ini?, atau, apakah Aku ini? Manusia itu merupakan suatu masalah, sebuah persoalan bagi dirinya sendiri. Atau lebih tepat lagi, suatu misteri yang misterius, rahasia yang menarik, yang menantang, dan yang mengajak kita untuk terus menyelidiki tentang kedirian dari diri kita."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S16087
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bur Rasuanto
"Skripsi ini adalah tesis Gregory Bateson mengenai akalbudi, atau yang dalam bahasa Inggeris disebut mind. Faham Barat mengenai akalbudi selama ini dalam garis besarnya mengambil dua cara pendekatan. Pertama, mendekati akalbudi itu dengan pertanyaan: apakah akalbudi? Kedua, mendekatinya dengan melihat akalbudi itu sebagai sesuatu yang bersifat psikis dan bertanya: apakah fakta-fakta psikis, sifat mental atau proses psikis itu? Yang pertama mendekati akalbudi dengan mempersoalkan substansinya. Yang kedua mendekati akalbudi dengan mempersoalkan esensinya..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1982
S16021
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggono Wisnudjati
"Permasalahan tentang siapakah aku yang sebenarnya merupakan permasalahan pokok di dalam filsafat manusia. Permasalahan ini belum memiliki jawaban yang tuntas dan menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh karena manusia dapat dilihat dari berbagai macam segi _ Salah satunya adalah dari segi jiwa dan tubuhnya. Plato merupakan salah satu filsuf yang berefleksi tentang manusia dari segi jiwa dan tubuhnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S15996
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachru Nofrian
"Fokus utama skripsi ini adalah kritik atas fondasionalisme dalam pemikiran Richard Rorty, Metode yang digunakan bersifat deskriptif. Pemikiran (filsafat) modern dapat dikatakan titik equilibrium antara filsafat dan fondasionalisme daiam suatu masa. Ambisi Rorty adalah menjadikan filsafat bebas dari fondasionalisme. Rorty mengawali pembahasan tentang fondasionalisme dengan menelusuri para filsuf mulai dari Descartes sampai dengan Kant. Sedangkan filsuf seperti Husserl, Heidegger dan Russell juga dikatakan masih terjebak pada fondasionalisme. Agar dapat lebilt mudah dan tajam dalam memahami Rorty, perlu memahami pemikiran Filsuf tersebut dan juga Sellar, Quine, Rawls, Wittgenstein, Dewey. Peirce dan Davidson. Filsuf seperti tersebut yang pertama dibahas pada Bab 11, sedangkan yang terakhir dibahas pada Bab III. Karakter mendasar dari fondasionalisme adalah kesadaran dan kebenaran. Melalui kesadaran, semua penampakan adalah kesadaran atau ada dalam kesadaran. Eksistensi dan esensi ada dalam kesadaran. Dengan demikian ada keterpisahan antara kesadaran, dapat disebut ruang privat atau res cogitans dan natur, disebut ruang publik atau res extensa. Kesadaran kemudian berperan sebagai mahkamah pemikiran yang menentukan realitas, dengan demikian kesadaran mengatasi perbedaan esensi-eksistensi yang ada dalam filsafat atau pemikiran sebelumnya. Dengan adanya kesadaran. muncul kekuatan pikir sebagai penentu pengetahuan. Kesadaran merupakan pandangan yang terpisah dari realitas itu sendiri. Pada filsafat sebelumnya, tidak terdapat keterpisahan yang mampu memberikan kekuasaan pengetahuan pada manusia ini. Konsekuensi logis dari kekuatan pikir ini adalah munculnya sumber pengetahuan: rasionalitas dan empirisitas; pemilik pengetahuan, yaitu subyek dan yang diketahui, yaitu obyek; dan kondisi pengetahuan : subyektivitas dan obyektivitas. Kebenaran adalah keakuratan dan ketepatan representasi dengan realitas, disebut juga korespondensi. Filsafat Rorty merupakan usaha menghilangkan kesadaran yang memiliki keyakinan dan pengetahuan yang berada dalam kesadaran tersebut. Untuk itu, ia memulai filsafatnya dengan mengotak-atik ontologi epistemologi, yaitu mental-fisikal. Ia menganalisa antara mental-fisikal dengan partikularitas-universalitas. Selama ini, mental merupakan properti pengetahuan yang dimiliki subyek yang ada secara intuitif melalui kesadaran. Mental menghasilkan reduksi realitas universal, sementara realitas yang belum direduksi adalah realitas partikular atau hanya penampakan. Akibatnya, pengetahuan bergantung pada mahkamah pemikiran. Rorty menolak inidengan melihat bahwa ontologi adalah realitas partikular-universal saja, bukan mental-fisikal. Dengan kata lain, mental-fisikal hanyalah bagian dari distingsi ontologi partikular-universal itu tadi. Dengan ontologi epistemologi tersebut, maka pengetahuan lebih bergantung pada konteks daripada pada kesadaran. Kalaupun kesadaran ada, maka ia ada dalam konteks, yang artinya lebih ditentukan oleh proses sosial, justifikasi sosial dan sebab sosial. Di sinilah bahasa menjadi hanya bahasa, bukan gambaran realitas yang paling benar ataupun yang paling Ada. Bahasa tidak lagi memiliki unsur-unsur metafisis, baik itu melalui logika matematika ataupun logika bahasa, dan terlebih lagi tidak ada penentuan makna dari bahasa atas suatu realitas secara mental. Intuisi yang berasal dari mental digantikan intuisi sosial yang bersifat spontan. Pengetahuan ini bukan berarti tidak ada makna, tapi justru menjadi banyak makna. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah tidak ada kebenaran yang absolut, kebenaran adalah permainan bahasa dan bersifat historis, bukan ahistoris. Kebenaran bersifat kontingen (berubah), bukan necessary. Oleh karena itu, seluruh perangkat pengetahuan, seperti rasionalitas dan obyektivitas yang selama ini menjadi house of knowledge dari ilmu pengetahuan menjadi banal (tumpul), lebih jauh lagi, itu semua adalah mitos. Rorty ingin mengembalikan semua kekuasaan pengetahuan pada manusia itu sendiri, bukan pada kesadaran yang bersifat nonhuman tersebut. Intuisi spontan membawanya pada metafora. Baginya metafora penting karena bisa memperluas ruang logis yang kemudian diilmiahkan melalui proses sosial dan justifikasi sosial. Definisi-definisi seperti: sejarah adalah semata-mata perjuangan kelas. cinta adalah satu-satunya aturan, adalah sebuah metafora yang kemudian mengalami justifikasi sosial menjadi definisi dari sesuatu. Implikasi sosial pemikiran Rorty adalah perlunya percakapan (konversasi) dalam menghilangkan masalah utama manusia, yaitu kesendirian. Baginya, semua metode ilmu pengetahuan bukan ditujukan untuk menekankan realisme, yaitu korespondensi yang paling akurat dengan realitas partikular diluarsana, tapi hanya suatu metafora yang mungkin berguna bagi suatu jaman, atau masa, sebelum diperluas lagi oleh metafora lainnya. Ia lebih melihat percakapan sebagai suatu evolusi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S16109
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>