Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105802 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendra Hendra
"Pencahayaan di perpustakaan merupakan aspek penting dalam me-
nunjang aktivitas mahasiswa dan pegawai. Kondisi pencahayaan yang
tidak memenuhi standar dapat mengganggu aktivitas dan menyebabkan
keluhan kesehatan khususnya kelelahan mata. Penelitian ini bertujuan
mengetahui kesesuaian tingkat pencahayaan di ruang perpustakaan yang
ada di lingkungan UI. Penelitian ini menggunakan desain evaluasi dengan
membandingkan hasil pengukuran dengan standar serta melakukan anali-
sis terhadap kondisi lingkungan, respons subjektif pengguna, dan keluhan
kelelahan mata. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kesesuaian penca-
hayaan di perpustakaan berkisar antara 0% sampai 100%. Sebagian besar
pencahayaan mempunyai tingkat kesesuaian antara 30% sampai 60%.
Kondisi ini disebabkan oleh distribusi pencahayaan yang kurang baik kare-
na banyak lampu yang mati, intensitas yang rendah, tata letak peralatan
yang kurang baik, serta warna ruangan yang agak gelap. Di samping itu,
terdapat perpustakaan yang mempunyai pencahayaan yang sangat tinggi
sehingga menyebabkan silau, mengganggu aktivitas, dan menyebabkan
keluhan kelelahan mata. Kelelahan mata yang umum dirasakan oleh ma-
hasiswa dan pegawai adalah mata selalu terasa mengantuk dan tegang pa-
da daerah leher dan bahu. Umumnya keluhan yang dirasakan selama
melakukan aktivitas tersebut mengindikasikan tingkat pencahayaan di per-
pustakaan harus segera dibenahi agar sesuai dengan standar dan mem-
perkecil risiko kelelahan mata.
employees activity. Lighting conditions that do not meet the standard
can disrupt activity and cause eye fatigue. This study aimed to determine
the suitability level of lighting in library of UI. This study performed evalua-
tion design by comparing results with standard and an analysis of environ-
mental conditions, subjective response, and eye fatigue. Results showed
the level of suitability of lighting in the library ranged from 0% to 100%. Most
of the illumination has a level of suitability from 30% to 60%. This condition
is caused by poor lighting distribution because some lamps are not lit, low
intensity, poor layout of equipment, and slightly darker color of the room.
Besides, there are libraries that have a very high lighting causing glare, dis-
turbing activity, and cause eye fatigue. Common eye fatigue felt by stu-
dents and employees is sleepy eyes and pain in the neck and shoulders.
Complaints generally felt during activity. This indicates that the level of
lighting in the library must be immediately corrected to meet standard and
minimize the risk of eye fatigue."
Universitas Indonesia, 2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Irina Darmawan
"Secara nasional, konsumsi garam beryodium cukup adalah 62,3% dan di
Provinsi Jawa Barat adalah 58,3%. Cakupan konsumsi garam beryodium
tingkat rumah tangga di Kota Bekasi hanya sekitar 62,14%. Pemantauan
garam beryodium di tingkat rumah tangga oleh Dinas Kesehatan Kota
Bekasi tahun 2004 menunjukkan bahwa garam yang mengandung yodium
cukup adalah 51%. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui analisis fak-
tor demand dan supply terhadap konsumsi garam beryodium tingkat rumah
tangga di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Bekasi Barat Kota Bekasi
dengan menggunakan desain cross sectional. Populasi yang diteliti yaitu
110 orang ibu dengan menggunakan uji chi square. Pada faktor demand di-
dapatkan hasil bahwa ada hubungan pengetahuan dengan konsumsi ga-
ram beryodium tingkat rumah tangga. Namun, tidak ada hubungan antara
pendapatan dengan konsumsi garam beryodium tingkat rumah tangga.
Pada faktor supply didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara ke-
tersediaan di pasar dan harga dengan konsumsi garam beryodium tingkat
rumah tangga. Untuk meningkatkan cakupan konsumsi garam beryodium
tingkat rumah tangga diperlukan kerja sama dari berbagai pihak.
Nasionaly, the consumption of iodized salt is 62,3% and in Province of West
Jawa is 58,3%. The coverage consumption of iodezed in household level
in Bekasi city only about 62,14%. The monitoring iodezed salt in household
level by district health departemen in 2004 showed that the enough iodezed
salt is 51%.This research was conducted to determine the factor analysis of
demand and supply of iodized salt consumption at household level in the
District of West Bekasi. This iodesed salt udy used cross sectional design.
The population that was studied was 110 mothers using chi square test. On
the demand factor, the result shows that there is a relationship between
knowledge and the consumption of iodized salt at household level. How-
ever, there is no relationship between the revenue and the consumption of iodized salt at household level. While in the supply factor, shows that there
is no relationship between availability and price in the market and the con-
sumption of iodized salt at household level. To improve the coverage of
iodized salt consumption at household level, it is required cooperation from
various parties."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ajeng Tias Endarti
"Program Jaminan Persalinan (Jampersal) dirancang untuk meningkatkan akses ibu hamil pada fasilitas pelayanan kesehatan yang pada gilirannya berkontribusi terhadap penurunan kematian ibu. Artikel ini bertujuan menilai cakupan Jampersal di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan sumber data sekunder yaitu profil kesehatan dan laporan kesehatan ibu dan anak (KIA) Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor tahun 2011. Cakupan Program Jaminan Persalinan yang meliputi pelayanan antenatal care (ANC), persalinan, dan pascapersalinan berada pada kisaran 2,67% - 12,56%, dengan cakupan tertinggi pelayanan persalinan (12,56%). Berdasarkan uji analysis of variance (ANOVA) ditemukan perbedaan yang bermakna antara cakupan di wilayah pembangunan barat (25,05%), tengah (9,43%), dan timur (11,08%) (nilai p = 0,012). Uji multiple comparison menunjukkan perbedaan rata-rata cakupan Jaminan Persalinan di wilayah barat dan wilayah tengah yang bermakna (p = 0,011; IK 95% = 3,12 ? 29,60). Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan intensitas sosialisasi program oleh petugas kesehatan dan elemen masyarakat. Sosialisasi meningkatkan pengenalan sasaran terhadap program tersebut, khususnya kelompok miskin. Perbedaan cakupan Jampersal dapat juga disebabkan oleh perbedaan cakupan jaminan kesehatan yang lain. Masyarakat yang sudah mempunyai jaminan kesehatan menjadi tidak berhak untuk mengikuti program Jampersal. Direkomendasikan untuk melakukan sosialisasi Jampersal yang difokuskan pada kelompok sasaran kategori miskin yang belum mempunyai jaminan kesehatan.

Delivery insurance (Jampersal) was designed to increase pregnant woman to access health care fasility that contributed to reduce maternal death. The study aimed to describe Jampersal coverage for delivery. It utilized Bogor District health profile and maternal and child health report 2011. Coverage of Jampersal was about 2,67 - 12,56%, for antenatal care, delivery care, and postnatal care, the highest coverage was for delivery (12,56%). Analysis of variance test showed the significance among the coverage in west (25,05%), central (9,43%), and east (11,08%) area (p = 0,012). Multiple comparison analysis then showed that difference coverage was significance between west and central area (p = 0,011; 95% CI = 3,12 - 29,60). Different coverage might be associated with the intensity of Jampersal promotion done by both health workers and communities. Promotion will be essential for the success of program due to its abili ty to increase the community recognition, particularly for lower socioeconomic group, to Jampersal. It also might be influenced by discrepancy of other health insurances coverage. Those who already had health insurance would not be eligible for Jampersal. It is recommended to increase the Jampersal promotion focused to the poor groups that have not been covered by any other health insurance."
Jakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan MH Thamrin Jakarta Timur, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Guspianto
"Upaya menurunkan kematian ibu menjadi prioritas utama program pem-
bangunan kesehatan nasional. Pelayanan antenatal care (ANC) menjadi
bagian dari ?Empat Pilar Safe Motherhood? sebagai kebijakan Kementerian
Kesehatan untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu (AKI).
Kualitas layanan ANC dari aspek kinerja bidan di desa diukur antara lain
dengan parameter tingkat kepatuhan terhadap standar ANC dalam mem-
berikan kepuasan kepada ibu hamil. Penelitian ini bertujuan untuk menge-
tahui berbagai faktor yang berhubungan dengan kepatuhan bidan di desa
terhadap standar ANC. Desain penelitian cross sectional ini menggunakan
data sekunder Dinas Kesehatan Kabupaten Muaro Jambi dengan sampel
165 bidan di desa. Penelitian ini menemukan tingkat kepatuhan bidan di de-
sa terhadap standar ANC masih di bawah standar minimal sekitar 74,28%.
Berbagai faktor yang memengaruhi tingkat kepatuhan bidan di desa ter-
hadap standar ANC adalah supervisi, pengetahuan, dan komitmen organi-
sasi. Supervisi merupakan faktor yang paling dominan dan faktor penge-
tahuan merupakan perancu hubungan faktor supervisi dan komitmen or-
ganisasi dengan tingkat kepatuhan terhadap standar ANC. Disarankan un-
tuk melaksanakan upaya supervisi secara kontinu dan komprehensif di-
awali dari pengukuran tingkat kepatuhan, mengidentifikasi permasalahan,
melakukan upaya perbaikan, dan memberikan umpan balik sehingga mutu
pelayanan kesehatan khususnya ANC dapat terus ditingkatkan.
Efforts to reduce maternal mortality is national health development program
priority. Antenatal care (ANC) became part of the ?Four Pillars of Safe
Motherhood? as a policy of the Ministry of Health to accelerate the reducing
of maternal mortality rate (MMR). The quality of ANC in terms of perfor-
mance of services are measured by village midwives compliance towards
the ANC standards in giving satisfaction to pregnant women. This study
aimed at identifyng factors that influenced compliance rate of village mid- wifes towards ANC standards. This is a cross sectional study using se-
condary data from District Health Office Muaro Jambi, using 165 village mid-
wifes as sample. This study found that compliance rate of village midwifes
is still below the minimum ANC standard, 74,28%. This study proved that
factors that influence compliance of village midwifes to ANC standards are
supervision, knowledge, and organizational commitment. Supervision is the
most dominant factor and knowledge is the confounder factor in the rela-
tionship between supervision and organizational commitment to compli-
ance towards ANC standards. It is recommended to carry out continuously
and comprehensive supervision by measuring compliance, identify prob-
lems, make improvements, and provide feedback so that quality of health
care especially ANC could continously improved."
Bidang Perencanaan Dinas Kesehatan Kabupaten Muaro Jambi, 2012
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sudijanto Kamso
"Data tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan sindrom metabolik pada kelompok eksekutif di Indonesia yang diperlukan untuk upaya pencegahan penyakit kardiovaskular sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan determinan sindrom metabolik pada kelompok eksekutif. Penelitian dilakukan di Jakarta dan sekitarnya dengan menggunakan rancangan cross sectional. Jumlah responden yaitu 220 orang eksekutif laki-laki dan 68 orang eksekutif wanita. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran antropometri, analisis biokimia darah, analisis asupan makanan, pengukuran angka stres, dan pengukuran indeks aktivitas. Analisis regresi logistik ganda dilakukan untuk mengetahui hubungan beberapa independen variabel dengan dependen variabel. Analisis ini menghasilkan indeks massa tubuh (overweight, odds ratio (OR) = 5,54; obesitas, OR = 7,44) dan rasio total kolesterol/high density lipoprotein (HDL)-kolesterol (OR = 8,83) sebagai determinan sindrom metabolik pada kelompok eksekutif. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemeriksaan profil lipid dan pengukuran antropometri sederhana yang teratur pada kelompok eksekutif penting dilakukan untuk mendeteksi risiko sindrom metabolik.

Available datas on metabolic syndrome among Indonesian executives are limited, despite the fact of the importance of these data for cardiovaskular prevention. The objective of this study was to assess prevalence of metabolic syndrome and its associations between anthropometric measures, lipid profiles, blood pressure, nutrient intakes, and life style in executive group. A cross sectional study was undertaken in some factories in Jakarta, using multistage random sampling. The respondents were 287 executives, 219 male and 68 female. Data were collected through anthropometric measurements, biochemical blood analysis, nutrient intake, stress score, and activity index assessment. Multiple logistic regression analysis used to assess associations between independent variables and metabolic syndrome. This study showed that body mass index (overweight, odds ratio (OR) = 5,54; obesity, OR = 7,44) and ratio serum total cholesterol to high density lipoprotein (HDL)-cholesterol (OR = 8,83) were potential determinants of metabolic syndrome. This study shows the importance of routine check of lipid profile, blood pressure, and simple anthropometric assessment to detect the risk of metabolic syndrome in the elderly."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Krisnawati Bantas
"Sindrom metabolik (SM) adalah suatu kombinasi gangguan medis
yang meningkatkan risiko diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler.
Salah satu kriteria sindrom metabolik adalah obesitas sentralis. Beberapa
sumber mendefinisikan sindrom metabolik menggunakan ukuran lingkar
pinggang yang berbeda yang belum tentu sesuai apabila diterapkan untuk
populasi Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapat nilai titik po-
tong lingkar pinggang yang optimal sebagai salah satu kriteria SM yang
sesuai dengan antropometri populasi Indonesia. Penelitian ini bersifat
deskriptif menggunakan data sekunder yang berasal Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) Indonesia 2007. Sampel terdiri dari 13.262 orang beru-
sia diatas 15 tahun pria dan wanita tidak hamil. Sebagai variabel dependen
adalah S, dan variabel independen adalah ukuran lingkar pinggang.
Analisis statistik yang digunakan adalah Receiver operating characteristic
(ROC) curve dengan software analisis data. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai titik potong optimal dari ukuran lingkar pinggang untuk mengi-
dentifikasi subjek-subjek dengan faktor risiko multiple (ganda) dari SM di
Indonesia adalah 85 cm untuk pria dan 83,5 cm untuk wanita. Disimpulkan
bahwa penentuan kriteria ukuran lingkar pinggang sebagai salah satu kom-
ponen penentu SM harus disesuaikan untuk setiap komunitas.
Metabolic syndrome (MS) is a combination of several medical condi-
tions which increase the risk of type 2 diabetes and cardiovascular disease.
One of the criteria of MS is central obesity. There are some resources which
provide the definition of MS that used difference waist circumference, which
was not always necessarelly in accordance with the Indonesian population.
The aimed of this study was to determine the optimal cut-off point of waist
circumference as a component of MS which appropiate to the anthopo-
metric of Indonesia population. This was a descriptive study, and used a
secondary data from Riskesdas 2007. Sample was consisted of 13.262
men and non pregnant women, age over 15 years-old. MS was as depend-
ent variable, and waist circumference was as independent variable.
Statitical analysis was done by using software data analyzes with ROC
curve methode. The result of study showed that optimal cut-off point of waist
circumference to identify subjects with multiple risk of MS was 85 cm for
Indonesian men and 83,5 for Indonesian women. It was concluded that the
determination of the criteria of waist circumference as one of the criteria of
SM should be adjusted for every community."
Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Indonesia, 2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aria Kusuma
"Bayi sangat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh Makanan Pendamping Air Susu Ibu lokal (MP-ASI lokal). Sampai saat ini belum di-ketahui keamanan penyajiannya dari kontaminasi mikrobiologi. Penelitian ini bertujuan mengetahui kontaminasi Escherichia coli (E. coli) pada penyajian MP-ASI lokal dan mengamati hubungan antara kondisi sanitasi rumah, seperti Sarana Air Bersih (SAB), tempat mencuci peralatan makan bayi, kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL), kondisi tempat sampah dan keberadaan hewan berkeliaran di dalam rumah terhadap kontaminasi E. coli pada penyajian. Desain penelitian ini adalah potong lintang yang mengamati penyajian MP-ASI lokal bagi bayi usia 6-12 bulan pada 138 rumah. Lokasi penelitian pada 21 Dusun di Kabupaten Solok. Analisis dilakukan untuk mengidentifikasi gambaran kontaminasi E. coli pada penyajian MP-ASI lokal, kondisi faktor sanitasi rumah tangga, mengetahui hubungan antara faktor sanitasi rumah dengan kontaminasi E. coli dan faktor yang paling berhubungan dengan kontaminasi tersebut. Penelitian ini menemukan lebih dari separuh (72,5%) MP-ASI lokal yang disajikan terkontaminasi E. coli. Keberadaan hewan yang berkeliaran di dalam rumah memiliki risiko dua kali lebih besar terkontaminasi E. coli pada penyajian MPASI lokal bagi bayi usia 6-12 bulan di rumah tangga.

Infant is the most vulnerable group of safer infectious diseases caused by complementary food. Meanwhile complementary food safety was unknown. The study aimed to know Escheria coli (E. coli) contamination in serving complementary food and relationship of house sanitation condition as clean water facilities, places for dishes infant food utensils, domestic waste water facilities condition, garbage facilities condition and the present of domestic animals in house to E. coli contamination in serving. Study design was cross sectional, object of observation were 138 household that serving complementary food for 6-12 month old infants. Location of study was in 21 sub-vilages at Solok District. Data analysis was used to know description of E. coli contamination, household sanitation condition, relationship between household sanitation factor with E. coli contamination and the most significant sanitation factors that have relationship with that contamination. This study found (72.5%) serving complementary food have been contaminated by E. coli. The domestic animals in the house, 2 times more risks to have E. coli contimination in complementary serving."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Selma
"Masih banyak ditemukan resep obat antituberkulosis anak dengan kombinasi beberapa obat dalam racikan puyer yang tidak sesuai standar program pemberantasan tuberkulosis (TB) paru Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mengetahui situasi dan permasalahan berhubungan praktik peresepan puyer sebagai obat anti tuberkulosis (OAT).
Pada periode Mei hingga Desember tahun 2009, penelitian diawali dengan pengukuran persentase peracikan OAT dalam bentuk puyer, dilanjutkan dengan penelitian kualitatif eksploratif. Data dikumpulkan dari rumah sakit, puskesmas, apotek dan dinas kesehatan di Jakarta, Bandung, Medan, dan Makassar. Pada tiap fasilitas kesehatan, 30 sampel resep pengobatan diambil untuk pasien tuberkulosis anak usia 1 _ 12 tahun. Kemudian dilakukan wawancara mendalam terhadap dokter anak, apoteker, keluarga pasien, dan pegawai dinas kesehatan yang terkait. Penelitian menemukan persentase peracikan OAT adalah 25% untuk campuran rifampicin dan isoniazid, dan 18% untuk campuran rifampicin, isoniazid, dan pyrazinamid.
Semua informan menyadari bahwa praktik peracikan puyer tergolong pengobatan yang irasional, tetapi situasi yang mereka hadapi membuat mereka terus meresepkan dan membuat peracikan puyer. Ketersediaan fixed dose combination (FDC) yang rendah untuk OAT serta harga yang mahal menjadi alasan utama. Pemerintah dan organisasi profesi perlu meningkatkan pembinaan secara terus menerus kepada tenaga kesehatan berhubungan serta meningkatkan akses masyarakat terhadap FDC untuk tuberkulosis anak.

There are still many practices of treating sick children with a mixture of several medicines for children suffering from tuberculosis, called it "puyer". It is not following the standard from Ministry of Health. This study explored the complex situation dealing with the practice of compounded medicines.
It was innitially by assessment the percentage of "puyer" prescription, and followed by the qualitative study, from May to December 2009. Data were collected from hospitals, primary health cares and pharmacies in Jakarta, Bandung, Medan, and Makassar. From every health cares facilities, 30 prescriptions were collected for children age 1 to 12 years old. Then, we conducted in-depth interviews with pediatricians, pharmacist, patients? families and health officers about ?puyer? prescription for children. The prevalence of prescription consists of ?puyer? for children were 25% for isoniazid and rifampicin and 18% for isoniazid, pyrazinamid, and rifampicin.
All informants knew ?puyer? prescription is irrational, because the complex situation they faced they continued to give ?puyer? to patients. Low availability and high price of fixed doses combination (FDC) are main reasons. The government and association of doctors/pharmacist should enforce discipline to their member to obey therapy standard. The government should improve access to FDC medicines for children suffering tuberculosis.
"
Pusat Humaniora Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Kelelahan merupakan salah satu faktor penyebab kecelakaan transportasi, ditandai dengan menurunnya kinerja fisik dan mental yang mengakibatkan kurangnya kewaspadaan karena rasa kantuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko dan faktor pendukung kelelahan pada operator alat berat. Penelitian dilakukan pada operator alat berat di 3 tambang batubara di Kalimantan (2 area di Kalimantan Timur dan 1 area di Kalimantan Selatan), melibatkan 353 operator alat berat yang bekerja dengan 3 sif. Hasilnya menunjukkan bahwa keluhan kelelahan semakin tinggi dengan meningkatnya usia, lama kerja, dan kerja pada sif 3 (malam hari).
Kelelahan paling banyak dirasakan oleh operator dump truck (bagian hauling) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pekerjaan (postur saat bekerja, faktor variasi pekerjaan, beban kerja dan vigilance) dan faktor-faktor bukan pekerjaan (kondisi medan atau area tambang yang berisiko, penerangan yang kurang pada malam hari, dan rute yang selalu berubah). Faktor lain-nya berkaitan dengan masalah sosial-psikologis, baik yang berhubungan dengan pekerjaan maupun lingkungan kerja, seperti waktu istirahat, standar gaji yang belum memadai, pengaturan jadwal cuti yang sering tidak jelas, dan masalah karier. Disimpulkan, secara umum kelelahan meningkat dengan bertambahnya usia dan lama kerja, dengan kelelahan yang lebih besar pada pekerja sif 3. Umumnya, penurunan waktu reaksi pekerja sif malam lebih besar daripada waktu reaksi pekerja sif siang.

Fatigue is one of the causes of transportation accidents, characterized by reduced physical and mental performance resulting in reduced alertness due to drowsiness. The present study was to determine the risk factors and contributing factors of fatigue suffered by heavy equipment operators. The study was conducted at three coal mining sites in Kalimantan (2 areas in East Kalimantan and 1 area in South Kalimantan) involving 353 heavy equipment operators who work in shifts. It was found that fatigue complaint Pekerjaan, Nonpekerjaan, dan Psikologi Sosial sebagai Penyebab Kelelahan Operator Alat Berat di Industi Pertambangan Batu Bara Work-related, Non-work related, and Social Psychology as Causes of Heavy Equipment Operators Fatigue in Coal Mining Industry is higher by older age, longer work, and work at shift 3 (night time).
The fatigue is mostly complained by dump truck (hauling part) operators which was influenced by work-related factors (work posture, job variety, workload, vigilance) and non-work related factors (terrain or mine risk area, lack of lighting at night, and route track which is always changed). Another factors related with socio-psychological factors, either related with job or working environment, such as adequacy of rest time, remuneration system, leave system, and insecure career. It is concluded that in general the fatigues were increased as the worker ages were older and longer duration of work, with higher fatigues were suffered at shift 3. Generally, reduced reaction time among shift 3 workers is higher than that those of daytime shift.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>