Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25483 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kozok, Uli, 1959-
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kozok, Uli, 1959-
"That is why the impressive results of the fieldwork and subsequent analytical research by the German scholar, Dr. Uli Kozok, are remarkable. By devoting considerable time and funds to his project in the interior of Sumatra, Kozok has produced results that will change the writing of the history of Malay. ... By conducting fieldwork (Kozok saw the text in Kerinci in August 2002), by following up leads from the colonial literature (Voorhoeve0 ̂as compilation), by analyzing the text.
Contents :
- List of Tables
- List of Figures
- Abbreviations
- Preface
- About the contributors
- 1. Pusaka: Kerinci Manuscripts
- 2. Kerinci and the Ancient History of Jambi
- 3. Tanjung Tanah Manuscript TK 214
- 4. Script and Language of the Tanjung Tanah Manuscript
- 5. Tanjung Tanah Manuscript TK 215
- 6. Sanskrit in a Distant Land: The Sanskritized Sections
- Bibliography
- Index
- Nalanda-Sriwijaya Series
- Images of TK 214
"
Singapore: Institute of South East Asia Studies, 2015
e20443954
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Diliman: U.P. Law Center, 1977
340.59 COD
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Singapore: Singapore University Press, 1970
349.595 REA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Roberts, Robert, 1868-
London: Curzon Press, 1971
297.122 ROB s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Roberts, Robert, 1868-
New Delhi: Kitab Bhavan, 1977
297.122 ROB s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Moyer, David S.
's-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1975
BLD 340.14 MOY l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Moyer, David S.
The Hague: Martinus Nijhoff, 1975
340.14 MOY l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lady Arianita
"Perintah Jabatan merupakan salah satu bentuk dari dasar penghapus pidana. Hal ini termuat dalam Pasal 51 KUHP. Unsur yang menarik dalam Pasal 51 KUHP adalah mengenai ambtenaar pejabat/pegawai negeri yang hal ini tidak terdapat penjelasannya, dalam KUHP hanya terdapat perluasan maknanya saja. Hubungan Atasan dan Bawahan yang tercantum dalam Pasal 51 KUHP merupakan suatu hubungan yang bersifat publik. Namun, pada penerapannya Hakim dalam pertimbangannya menerapkan Pasal 51 KUHP bukan hanya pada orang-orang yang termasuk dalam pengertian ambtenaar yang diperluas oleh KUHP, melainkan hingga sektor swasta. Hal ini menunjukan bahwa pada penerapannya Pasal 51 KUHP sudah berkembang. Perkembangan ini dibuktikan dengan berbagai macam putusan yang terlihat bahwa Pasal 51 KUHP digunakan karena pada zaman sekarang hal tersebut sangat dibutuhkan terlebih apabila seseorang Bawahan melakukan sesuatu Tindak Pidana atas perintah dari Atasan. Selain itu perkembangan ini juga sangat erat hubungannya dengan perkembangan ajaran penyertaan. Akan tetapi bukan berarti setiap perintah yang diberikan oleh Atasan merupakan suatu perintah yang akan menghapuskan pidana, tetap ada batasan mengenai perintah tersebut untuk dipertanggungjawabkan. Demikian, perkembangan Pasal 51 KUHP bukan hanya untuk menghapuskan pidana seseorang melainkan tetap melihat batasan mengenai hal yang diperintahkan dari Atasan kepada Bawahan.
The order of an official is one of the basic forms of the abolition of a criminal sanction. It rsquo s written in article 51 of the criminal code. An interesting aspect about article 51 is about meaning of ambtenaar official civil servants , which hasn rsquo t explained. In the criminal code, there rsquo s only an expansion of its meaning. Relationship between a superior and their subordinate, which is written in article 51 of the criminal code, is only regulated in public relationship. However, Judges implement article 51 of criminal code in their decision not only to people who are included in the expansion of ambtenaar in the criminal code, but to the private sector too. This situation shows that the implementation of article 51 of the criminal code have developed. This development is evidenced by the wide variety of decisions, which article 51 of the criminal code has been using. Because nowadays, it is very necessary, especially when someone does a crime on orders from their superior. Furthermore, this development is closely related with the development of participation. But this doesn rsquo t mean that every order from the superior is a reason to eliminate criminal sanctions, since there are limits regarding the order that makes the subordinate accountable for their actions. So, the development on article 51 of the criminal code is not just to erase criminal sanctions for a subordinate undertaking orders from their superior, but it also has to be within the limits set by the superior to the subordinate. "
2017
S66362
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Wulandari
"Saat ini, tindak pidana penyerobotan tanah sering kali terjadi dengan semakin banyaknya populasi dan kepentingan manusia dengan jumlah tanah yang tersedia tetap sama. Tindak pidana yang termuat dalam Pasal 167 KUHP semula hanya melindungi hak bertempat tinggal, namun perkembangannya menjadi pasal yang digunakan untuk tindak pidana penyerobotan. Begitu pentingnya tanah menjadi pemicu munculnya perkara-perkara yang saling bersinggungan atas satu kasus yang sama. Lembaga prae judicieel geschil menjadi jembatan atas perkara-perkara tersebut baik perkara pidana, perdata, bahkan tata usaha negara demi memberikan kepastian hukum bagi para justiabelen khususnya untuk mencegah lahirnya putusan yang bertentangan. Mulanya prae judicieel geschil diatur dalam ketentuan Pasal 29 AB. Sementara dalam KUHP, lembaga prae judicieel geschil dimuat dalam Pasal 81 sedangkan di luar KUHP diatur dalam PERMA 1/1956, SEMA 4/1980, KUHPerdata hingga UU PTUN. Dengan metode yuridis normatif dan melakukan wawancara kepada beberapa narasumber, ditemukan berbagai persoalan praktik dalam penerapan lembaga prae judicieel geschil dalam kasus penyerobotan. Ketentuan Pasal 81 KUHP tidak dengan tegas menentukan siapa yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penundaan schorsing , namun dengan merujuk KUHAP pasal tersebut merupakan kewenangan Penuntut Umum untuk melimpahkan berkas ke Pengadilan. Sementara itu, PERMA 1/1956 maupun SEMA 4/1980 dengan tegas menentukan kewenangan itu berada pada tangan Hakim. Ketentuan-ketentuan tersebut bukan merupakan kewajiban bagi Hakim untuk melakukan penundaan, justru hal ini merupakan kebijaksanaan Hakim untuk menentukan sikap. Dengan kasus yang beragam, penggunaan prae judicieel geschil harus ditinjau secara kasuistis yang mana bila perkara pidana dan perdata sekaligus berjalan sebaiknya dilakukan koordinasi internal dari masing-masing Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.
Nowadays, criminal acts of annexation have raised in numbers since there is significant increase of human population and business but at the same time areas of land are definitive. Article 167 Indonesia Criminal Code was formed to protect right to reside in the first place but through many progresses and precedents it is now used as an article that penalizes land annexation. The need of land in many sectors has triggered the entry of registered cases in various fields of law for only one matter of annexation and ownership. The institution of prae judicieel geschil is one meeting point among the existing criminal, civil, or even state administration cases. It aims to provide law certainty for justiabelen especially to prevent contradictions among verdicts or civil decisions even state administration resolutions. Prae judicieel geschil has been regulated in Article 29 Algemeine Bepalingen. On the other hand, it is also expressed in Article 81 Indonesia Criminal Code, Supreme Court Rule Number 1 Year of 1956, Supreme Court Circular Letter Number 4 Year of 1980, Indonesia Civil Code, and State Administration Act. By means of normative juridic method and interviewing legal practitioners, this research found numerous issues of prae judicieel geschil implementation especially in annexation cases. Article 81 Indonesia Criminal Code does not directly assert whom has the competence to postpone criminal process. Reffering to definition in Indonesia Criminal Procedure Code, it is related to Public Prosecutors competence to register the criminal cases to Court. Instead, Supreme Court Regulations as stated above have clearly affirmed that the authority relies on Judges rsquo wisdom and comprehension. Considering the vary of cases Judges will proceed, implementation of prae judicieel geschil should be examined case by case and supported by coordiations of the involving Judges."
2017
S66024
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>