Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116393 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wulan Ayudyasari
"Prediktor keparahan pankreatitis bilier yang telah banyak digunakan seperti kriteria Ranson, Imrie modifikasi, dan APACHE II membutuhkan waktu pengumpulan data hingga 48 jam dengan variabel diagnostik multipel sehingga sulit untuk diterapkan. Studi ini bertujuan untuk mencari prediktor keparahan tunggal agar dapat segera ditentukan tatalaksana terbaik bagi tiap pasien.Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien pankreatitis bilier akut di RSCM tahun 2008-2016. Kadar glukosa darah sewaktu GDS awal, derajat keparahan, dan mortalitas dicatat dan dianalisis menggunakan SPSS 20.0.Sebanyak 41 pasien pankreatitis bilier dari 140 pasien pankreatitis akut memenuhi kriteria inklusi dari studi ini. Rerata usia pasien 49,2 tahun, 24 58,5 laki-laki dan 17 41,5 perempuan. Median kadar GDS kasus ringan, sedang, dan berat adalah 109,5 mg/dL; 131 mg/dL; dan 171 mg/dL. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar GDS pada pankreatitis bilier ringan dengan berat, nilai p 0,008.Pada kurva ROC GDS terhadap pankreatitis bilier berat didapatkan AUC 0,885 IK 95 0,743 ndash; 1,000 . Nilai cut-off GDS 154,5 mg/dL memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang optimal dalam memprediksi pankreatitis bilier akut berat, yaitu 75 dan 91,8 . Kadar GDS tersebut memiliki nilai prediksi positif dan negatif sebesar 50 dan 97,1 . Tidak didapatkan hubungan antara kadar GDS dengan mortalitas, nilai p 0,249. Didapatkan hubungan antara derajat keparahan dengan mortalitas dengan nilai p 0,021 dan OR 0,028. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar GDS 154,5 mg/dL dapat memprediksi pankreatitis bilier akut berat dengan akurasi yang baik.

The established severity predictors of gallstone pancreatitis such as Ranson criteria, modified Imrie, and APACHE II usually require several days and multiple diagnostic variable to be fulfilled so that they are not convenient to use. This study was held to find a simple severity predictor of gallstone pancreatitis to immediately choose the best management for each patient.The data were derived retrospectively from the medical records of acute gallstone pancreatitis patients during 2008 2016. Random blood glucose RBG level on admission, severity grading, and mortality were recorded and analyzed using SPSS 20.0.Forty one gallstone pancreatitis out of 140 acute pancreatitis patients were included in this study. The mean age was 49,2 years old, 24 58,5 were male and 17 41,5 were female. The median RBG level in mild, moderately severe, and severe disease were 109,5 mg dL 131 mg dL and 171 mg dL respectively. There was a significant difference of RBG level on mild and severe disease, p value 0,008.The ROC curve of RBG and severe gallstone pancreatitis revealed the AUC of 0,885 CI 95 0,743 ndash 1,000 . The cut off point of RBG level 154,5 mg dL had the optimal sensitivity 75 and specificity 91,8 to predict severe disease. The positive and negative predictive value of RBG level 154,5 mg dL were 50 and 97,1 . There was no significant difference between RBG level and mortality, p 0,249. There was a relationship between severity grading and mortality, p 0,021 and OR 0,028. We can conclude that RBG level of 154,5 mg dL can acurately predict severe disease.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Widya Khorinal
"ABSTRAK
Latar Belakang. Hiperglikemia yang terjadi selama masa perawatan di rumah sakit pada pasien dengan penyakit kritis telah diketahui akan memberikan luaran klinis yang buruk bahkan dapat berujung pada kematian. Hiperglikemia yang terjadi pada pasien sindrom koroner akut (SKA) akan berakibat pada gangguan regenerasi sel endotel dan pembentukan pembuluh darah kolateral (revaskularisasi). Sayangnya, manajemen hiperglikemia sampai saat ini masih belum dicapai kata sepakat terutama perbedaan dalam menentuksn nilai potong dalam evaluasi glukosa lanjutan.
Tujuan. Untuk mengetahui pengaruh hiperglikemia selama perawatan terhadap kesintasan
(mortalitas) enam bulan pasien SKA dan mencari nilai potong ideal jntuk evaluasi lanjutan dan target kendali selama perawatan
Metodologi. Penelitian dilakukan secara kohort retrospestif pada pasien SKA di dirawat di instalasi ICCU RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, dengan melibatkan pasien yang dirawat sampai dengan Desember 2011. Pengambilan data subjek penelitian dilakukan melalui data sekunder dengan pendaraan rekam medis dan dilakukan secara konsekutif.
Hasil. Kami mendapatkan 807 pasien SKA selama periode Januari tahun 2000 sampai dengan Desember tahun 2011 yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Hiperglikemia selama perawatan terjadi 242 (30 %) subjek penelitian. Hiperglikemia yang memberikan pengaruh pada kesintasan enam bulan dengan meningkatkan resiko kematian (HR 2,16 dengan IK 95% 1,77 sampai 2,63). Nilai potong glukosa darah yang memberikan kemaknaan pada kesintasan berada pada nilai 142,5 mg/dL.
Kesimpulan. Pasien dengan hiperglikemia memiliki kesintasan yang lebih buruk dibandingkan pasien tanpa hiperglikemia. Nilai glukosa darah 142,5 mg/dL dapat dipergunakan sebagai nilai potong untuk evaluasi glukosa darah lanjutan selama masa perawatan.

ABSTRACT
Background. Hyperglicemia during hospitalization especially on critically ill patients has worse clinical outcome and deadly. Patient with hyperglicemiain in acute coronary syndrome (ACS) will hamper endotelial regeneration and revascularization of coronary blood vessels. Unforrtunately, up until now rate of blood glucose cut off in hyperglycemia management had not reached any consession although we undoubtfully agree that this concept is very important in evaluation and choosing goal treatment.
Aim. To determine the impact of hyperglicemia during admission in six month mortality rate of ACS patients and the best blood glucose cut off for evaluation and goal treatment.
Method. This research used retrospective cohort on ACS patients admitted in ICCU, Cipto Mangukusumo Hospital, Jakarta, untill December 2011. Subjects' data were collected through medical records consecutively.
Results. This research found that there were 807 ACS patients admitted during Januari 2000 to December 2011 that met inclusion and exclusion criterias. Hyperglicemia during admission was found on 242 (30 %) subjects. This condition statistically proven to increase six month mortality rate (HR 2, 16 with CI 95% 1,77 till 2,63). The best rate of Blood Glucose cut of for evaluation and management was 142,5mg/dL.
Conclussion. There was significant difference mortality rate between hyperglicemia patients and non hyperglicemia.Blood glucose level on 142, 5 mg/dL could be used as cut off evaluation during admission."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhiky Raymonanda Madangsai
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner merupakan tindakan yang memiliki risiko kematian. Terdapat beberapa skor prediksi mortalitas jangka pendek yang saat ini digunakan untuk memprediksi risiko kematian 30 hari pasien pasca-bedah pintas arteri koroner salah satunya skor ACEF. Namun skor yang telah digunakan saat ini masih memerlukan penyempurnaan karena kemampuan prediksinya yang belum optimal. Peningkatan kadar glukosa darah berkaitan erat dengan peningkatan mortalitas. Namun peranan glukosa darah sebagai prediktor mortalitas belum terdapat dalam skoring ACEF.
Tujuan: Mengetahui kemampuan kadar glukosa darah satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner sebagai prediktor mortalitas 30 hari dan kemampuan sebagai modifikator skor ACEF.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani prosedur bedah pintas arteri koroner di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode januari 2015 hingga desember 2022. Pada data umur, kreatinin, fraksi ejeksi, glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan kematian dari rekam medis pasien dibuat model prediksi dan dilakukan analisis performa diskriminasi dan kalibrasi.
Hasil: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan variabel ACEF dari 322 pasien dikaji dan dianalisis. Terdapat 11,8% pasien meninggal dengan median Glukosa Darah Sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner 220.  Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner memiliki AUC terbesar 0,537. Skor ACEF memiliki AUC 0,843. Modifikasi skor ACEF dengan glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner berupa skor prediksi baru memiliki AUC 0,843
Simpulan: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner tidak dapat memprediksi mortalitas 30 hari.

Background: Coronary Artery Bypass Graft Surgery (CABG) is one of cardiac surgery with risk of mortality. There are already many scores to predict mortality in 30 days after CABG, one of them is ACEF score. Although it is relatively easy to use, ACEF score is still considered imperfect. Other studies have shown that hyperglycemia increases risk of mortality, including post CABG. Hyperglycemia or blood glucose is still rarely found in established scoring systems.
Objective: To find added predictive value of adding blood glucose to ACEF score in predicting 30-days post CABG mortality.
Methods: This study is a retrospective cohort study. Data was collected from medical records of patients who went CABG in RSUPN Cipto Mangunkusumo from January 2015 to December 2022. Age, creatinine, ejection fraction, and mortality were analyzed and synthesized to make new models. We calibrated and found the discrimination of new model.
Results: We analyzed one hour-post CABG blood glucose level and ACEF score component from 322 patients. Thity-day mortality following surgery was observed in 38 subjects (11.8%). The median blood glucose was 220. The AUC of blood glucose to predict 30-days mortality is 0,537. The AUC of ACEF score in this study is 0,843. The model of adding blood glucose to ACEF score has AUC 0,843.
Conclusion: One hour post CABG blood glucose level didn’t add predictive value to ACEF of 30 days post CABG mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Pramudita
"Latar belakang: Skor MSOFA telah dikembangkan sebagai critical care triage pada rumah sakit dengan sumber daya terbatas. Di Indonesia telah diteliti performa MSOFA sebagai prediktor mortalitas terhadap pasien penyakit kritis namun terbatas pada pasien bedah. Hasil evaluasi prediksi mortalitas MSOFA menunjukkan kemampuan prediksi mortalitas yang cenderung rendah. Penambahan variabel lain pada skor MSOFA untuk meningkatkan prediksi mortalitas perlu diteliti lebih lanjut. Hiperglikemia pada penyakit kritis tanpa riwayat diabetes melitus (hiperglikemia akibat stres) berdasarkan penelitian merupakan faktor risiko independen terhadap mortalitas.
Tujuan: Melakukan validasi MSOFA serta nilai tambah kadar glukosa darah sebagai prediktor mortalitas pasien penyakit kritis tanpa riwayat diabetes melitus.
Metode penelitian: Penelitian prospektif kohort pada pasien penyakit kritis medis maupun bedah di RSUPN Cipto Mangunkusumo selama periode Agustus hingga Desember 2013. Pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, saturasi oksigen perifer, glasgow coma scale, pemeriksaan laboratorium kadar kreatinin, pemeriksaan glukosa darah sewaktu serta A1C dalam 24 jam pertama perawatan. Outcome penelitian ini adalah mortalitas dalam 28 hari. Analisis statistik menggunakan tes Hosmer-Lemeshow, plot kalibrasi serta kurva ROC.
Hasil: Subjek penelitian sebanyak 150 pasien. Mortalitas terjadi pada 52 pasien (34,67%) dengan sepsis sebagai masalah terbanyak. Kalibrasi MSOFA menunjukkan Hosmer-Lemeshow x2=13,748(p=0,056). Diskriminasi MSOFA menunjukkan AUC 0,83 (IK 95% 0,76-0,89). Hiperglikemia terjadi pada 79 pasien (52,67%). Penambahan kadar glukosa darah pada MSOFA tidak menunjukkan peningkatan AUC.
Simpulan: Validasi MSOFA menunjukkan kalibrasi dan diskriminasi yang baik pada pasien penyakit kritis baik medis maupun bedah. Penambahan kadar glukosa darah pada skor MSOFA tidak meningkatkan kemampuan prediksi mortalitas.

Background: MSOFA, a simple scoring system, has been developed as a critical care triage in centers with limited resources. Previous study have evaluated MSOFA’s performance but limited only in surgical critically ill patients which showed a low precision in predicting mortality. Addition of another variable to improve MSOFA’s performance merits further investigation. Hyperglycemia in critically ill patients without previous history of diabetes (stress hyperglycemia) has been shown to be an independent risk factor of mortality.
Objective: to evaluate MSOFA scoring system’s performance and addition of admission blood glucose test to predict mortality in critically ill patient without previous history of diabetes.
Methods: This was a prospective cohort study recruiting medical and surgical critically ill patients admitted to Cipto Mangunkusomo Hospital during a period of August to December 2013. History taking, physical examination, peripheral oxygen saturation, Glasgow Coma Scale, creatinine, blood glucose and A1C were obtained within 24 hour of admission. The outcome was mortality within 28 days. Performance of MSOFA was evaluated with the Hosmer-Lemeshow goodness of fit test and measuring the AUC.
Results: 150 patients completed the study protocols. Mortality was observed in 52 patients (34,67%) with sepsis being the most prevalent diagnosis. Calibration of MSOFA showed a Hosmer-Lemeshow test x2=13.748 (p = 0.056). Receiver Operating Curve (ROC) of MSOFA showed an AUC of 0,83 (95% CI 0,76-0,89). Stress hyperglycemia was evident in 79 patients (52,67%) recruited in this study. Addition of blood glucose to MSOFA scoring system did not show improvement in MSOFA’s performance.
Conclusion: We have validated MSOFA in this study which showed good calibration and discrimination in both medical and surgical critically ill patients. Adding blood glucose to MSOFA scoring system did not improve MSOFA’s performance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkiani Juleshodia Wulandari
"Diabetes Mellitus DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia. Saat ini, sedang dikembangkan penanganan dengan menggunakan analog hormon GLP-1 yaitu hormon inkretin yang berperan meningkatkan sekresi insulin. Hibiscus sabdariffa Linn H.sabdariffa sudah sering digunakan untuk pengobatan DM, namun belum diketahui perannya terhadap peningkatan kadar GLP-1. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi H.sabdariffa terhadap kadar GLP-1. Penelitian ini studi eksperimental in-vivo menggunakan 36 ekor tikus jantan Sprague-Dawley usia 8-10 minggu yang dibagi menjadi 6 kelompok secara acak: Kontrol C , Kontrol H.sabdariffa 200 mg/kgBB/hari C-Hib 200 , Kontrol H.sabdariffa 500 mg/kgBB/hari C-Hib 500 , Kontrol DM C-DM , DM-H.sabdariffa 200 mg/kgBB/hari DM-Hib 200 , DM-H.sabdariffa 500 mg/kgBB/hari DM-Hib 500 . Pemberian H.sabdariffa menggunakan ekstrak metanol selama 5 minggu. Pengukuran gula darah sewaktu GDS menggunakan glucometer Accucheck sedangkan pengukuran insulin dan GLP-1 menggunakan ELISA. Uji statistik menggunakan one-way ANOVA. Kadar GLP-1 pada kelompok C-DM lebih rendah dibanding dengan kelompok C p

Diabetes mellitus DM is a metabolic disease characterized by hyperglycemia. Treatment with GLP 1 hormone analogue has been developed nowadays. GLP 1 is an incretin hormone that contribute on increasing insulin secretion. Hibiscus sabdariffa Linn H.sabdariffa already known to DM treatment, but there was no data about the role of H. sabdariffa on increasing GLP 1 level. Therefore, this study aimed to investigate potentiation of H. sabdariffa to GLP 1 level. This study was an in vivo experimental study which conducted in 5 weeks using 36 male Sprague Dawley rats aged 8 10 weeks that were randomly divided into 6 groups normal control group C , methanol extract H.sabdariffa treated control group 200 mg kgBW day C Hib 200 , methanol extract H.sabdariffa treated control group 500 mg kgBW day C Hib 500 , DM control group C DM DM H.sabdariffa treated group 200 mg kgBW day DM Hib 200 and DM H.sabdariffa treated group 500 mg kgBW day DM Hib 500 . Random blood glucose level were measured by glucometer Accucheck, insulin and GLP 1 plasma level were measured using ELISA method. Statistical analysis was using one way ANOVA. GLP 1 level in C DM rats were lower than control group p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58584
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihda Fakhriyana Istikarini
"ABSTRAK
Seseorang dengan riwayat keluarga diabetes berisiko 2-6 kali lebih besar dibanding yang tidak memiliki riwayat keluarga. Penelitian cross-sectional ini bertujuan mengetahui hubungan antara adanya riwayat keluarga diabetes dan asupan makanan 24 jam dengan kadar glukosa darah sewaktu. Sejumlah 101 orang masyarakat Depok berusia 20-50 tahun berpartisipasi dalam penelitian ini. Sampel dibagi dalam dua kelompok; 51 orang dengan riwayat keluarga diabetes dan 50 orang tanpa riwayat keluarga. Pengambilan sampel glukosa darah dan food recall 24 jam dilakukan pada seluruh partisipan kedua kelompok. Hasil penelitian menunjukkan adanya riwayat keluarga diabetes berhubungan dengan glukosa darah responden (p<0,001), namun tidak ditemukan hubungan jumlah asupan kalori (p=0,686), asupan karbohidrat (p=0,763), dan persentase asupan karbohidrat dalam sehari (p=0,589). Penelitian ini menunjukkan bahwa riwayat keluarga secara independen dapat meningkatkan risiko diabetes, apalagi jika ditambah dengan konsumsi karbohidrat berlebihan akan semakin meningkatkan risiko diabetes. Rekomendasi penelitian ini adalah pemberian edukasi tentang pola diet pada masyarakat yang berisiko diabetes harus lebih spesifik.

ABSTRACT
People with family history of diabetes have higher risk for diabetes 2-6 times compared to people without family history. This cross-sectional study determined the association between family history of diabetes and 24-hour food intake with random blood glucose levels. A total of 101 Depok community aged between 20-50 years participated in this study. The samples were divided into two groups, 51 people with family history of diabetes and 50 people without family history. The sample of blood glucose and 24-hour food recall were examined to all the participants in both groups. The results showed that risk factor of family history of diabetes was associated with the blood glucose (p<0.001), but there was no association between the amount of caloric intake (p=0.686), carbohydrate intake (p=0.763), and the percentage of carbohydrates within 24 hours (p=0.589). This study showed that family history can independently increase the risk of diabetes, especially when coupled with excessive carbohydrates intake will further increase diabetes risk factors. Recommendations of this study is the education about dietary patterns in people at risk of diabetes should be more specific.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
S59817
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Eka Putra
"ABSTRAK
Pemeriksaan thyroid-stimulating hormon TSH) merupakan salah satu pemeriksaan utama dalam mendiagnosis kelainan pada kelenjar tiroid. World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemeriksaan kadar TSH menggunakan bahan serum. Penggunaan plasma dapat membantu pencapaian turn around time (TAT) laboratorium namun perbedaan hasil pengukuran antara serum dan plasma belum diketahui. Pada penelitian dibandingkan hasil pengukuran kadar TSH menggunakan tabung penampung serum dengan clot activator tanpa gel pemisah (Tabung I), tabung penampung plasma dengan antikoagulan heparin tanpa gel pemisah (Tabung II), dan tabung penampung plasma dengan antikoagulan heparin dan gel pemisah (Tabung III). Selain itu juga dilihat gambaran kadar TSH berdasarkan jenis kelamin, usia, dan kadar glukosa darah sewaktu. Desain penelitian adalah potong lintang dengan menggunakan 89 subjek penelitian yang dipilih secara censecutive sampling. Didapatkan median kadar TSH pada tabung I, II, dan III secara berturut-turut sebesar 1,380 (0,032-7,420) µIU/mL, 1,380 (0,030-7,480) µIU/mL, dan 1,360 (0,030-7,460) µIU/mL. Tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar TSH ketiga tabung secara statistik. Median selisih kadar TSH antara tabung II dan III dengan tabung I secara proporsional didapatkan sebesar -0,9% (-7,2 - 2,2)% dan -1,7% (-8,0 - 1,6)%. Penyimpangan kadar TSH tabung II dan III yang didapatkan telah sesuai dengan nilai ketidaktepatan yang dapat diterima menurut Ricos. Didapatkan gambaran median kadar TSH pada kelompok laki-laki dan perempuan secara berturut-turut sebesar 1,500 (0,032-4,250) µIU/mL dan 1,345 (0,058-7,420) µIU/mL. Median kadar TSH pada kelompok usia 31-40 tahun dan >61 tahun secara berturut-turut sebesar 1,190 (0,609-3,240) µIU/mL dan 1,730 (0,088-5,760) µIU/mL. Pada kelompok glukosa darah sewaktu <200 mg/dL didapatkan nilai median glukosa darah sewaktu pada kelompok kadar TSH di atas nilai rujukan, dalam rentang nilai rujukan dan dibawah nilai rujukan secara berturut-turut sebesar 175 (151-199) mg/dL, 89 (60-190) mg/dL, dan 107 (73-117) mg/dL. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa spesimen dari ketiga tabung penampung dapat digunakan untuk pemeriksaan kadar TSH tanpa memberikan perbedaan hasil yang bermakna baik secara statistik maupun secara klinis. Gambaran kadar TSH yang didapatkan menunjukkan nilai median kadar TSH lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan, terdapat pola peningkatan kadar TSH pada kelompok usia yang lebih tua, dan nilai median glukosa lebih tinggi pada kelompok kadar TSH di atas rentang nilai rujukan.

ABSTRACT
Thyroid-stimulating hormone (TSH) is one of the important laboratory parameters in diagnosing the thyroid gland abnormalities. The World Health Organization (WHO) recommends using serum samples to measure TSH levels. The use of plasma samples can help to improve laboratory turn around time (TAT) but the difference of measurements results between serum and plasma samples is unknown. The aims of this atudy were to compare TSH levels using serum tubes with clot activator (Tube I), plasma tubes with heparin anticoagulants (Tube II), and plasma tubes with heparin anticoagulant and gel separator (Tube III), and to show an overview of TSH levels according to gender, age, and random blood glucose levels. A cross sectional study was conducted using 89 blood samples from subjects that were selected by consecutive sampling. The median TSH levels in tubes I, II, and III were 1.380 (0.032-7.420) µIU/mL, 1.380 (0.030-7.480) µIU/mL, and 1.360 (0.030-7.460) µIU/mL respectively. There were no statistically significant differences in TSH levels of the three tubes. The median TSH levels differences of tubes II and III compared to tube I were -0.9% (-7.2 - 2.2) and -1.7% (-8.0 - 1.6) respectively. Biases of the measurement results obtained were in accordance with the spesicified desirable bias according to Ricos. The median TSH levels of the male and female groups was 1.500 (0.032-4.250) µIU/mL and 1.345 (0.058-7.420) µIU/mL respectively. Median TSH levels of 31-40 years old age group and >61 years old age group were 1.190 (0.609-3.240) µIU/mL and 1.730 (0.088-5.760) µIU/mL respectively. In the group of blood glucose level <200 mg/dL, the median of blood glucose level according to above, within, and below reference range of TSH were 175 (151-199) mg/dL, 89 (60-190) mg/dL, and 107 (73-117) mg/dL. In conclusion, specimens from the three tubes could be used to examine TSH levels without giving neither statistically nor clinically significant difference. The measurement of TSH levels obtained in the study showed a higher median TSH levelin the male group compared to the female group, higher TSH levels in the older age group, and a higher median glucose level in the TSH group above the reference range of TSH.

"
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arindya Rezeki
"Latar belakang: Gagal jantung dekompensasi akut (GJDA) termasuk penyakit kardiovaskular dengan mortalitas serta tingkat readmisi yang tinggi. Resistensi insulin saat ini merupakan salah satu faktor yang dapat menjadi prediktor terhadap prognosis pasien GJDA. Indeks trigliserida glukosa (ITG) telah dilaporkan sebagai salah satu prediktor risiko kardiovaskular dan petanda resistensi insulin yang sederhana. Namun, hubungan ITG terhadap kejadian readmisi 30-hari dan kematian dalam 6 bulan pascarawat pasien GJDA masih belum diteliti.
Tujuan: Mengetahui hubungan ITG dengan kejadian readmisi 30-hari dan kematian dalam 6 bulan pascarawat pasien GJDA yang dirawat pertama kali.
Metode: Studi dilakukan dengan desain kohort retrospektif. Data subjek diambil dari rekam medis berdasarkan admisi pasien yang memenuhi kriteria inklusi dari Januari 2018 – November 2021. Luaran klinis yang dinilai adalah readmisi 30 hari dan kematian dalam 6 bulan pascarawat. Data tersebut diolah dengan analisis multivariat dan laju kesintasan pada subjek.
Hasil: Total subjek dalam penelitian ini adalah 467 orang, dengan 158 subjek mengalami luaran klinis readmisi 30-hari dan kematian dalam 6 bulan pascarawat. Proporsi readmisi sebesar 29% (135 subjek) dan kematian dalam 6 bulan pascarawat sebesar 5% (23 subjek). Analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan luaran klinis readmisi 30- hari adalah hipertensi (p 0.05, HR 1.493, 95% IK 1.019 – 2.187), usia (p 0.013, HR 0.98, 95% IK 0.964 – 0.996), fraksi ejeksi <50% (p 0.016, HR 1.888, 95% IK 1.124 – 3.172), tekanan darah sistolik saat admisi (p 0.012, HR 1.010, 95% IK 1.001–1.017), denyut nadi sebelum pulang (p 0.017, HR 0.989, 95% IK 0.979 – 0.998), gula darah puasa (p 0.017, OR 0.992, 95% IK 0.986 – 0.999), dan nilai ITG ( p <0.001, OR 28.9, 95% IK 10.112 – 83.068). Sedangkan faktor independen terhadap luaran kematian dalam 6 bulan pascarawat adalah tanpa penggunaan diuretik (p 0.02, HR 6.89, 95% IK 2.022 – 23) dan gula darah puasa (p 0.017, OR 0.992, 95% IK 0.986 – 0.999).
Kesimpulan: Nilai ITG dapat menjadi prediktor readmisi 30-hari, namun tidak berhubungan dengan luaran kematian dalam 6 bulan pasarawat pada pasien GJDA

Background: Acute decompensated heart failure (ADHF) is a cardiovascular disease with high mortality and readmission rates. Currently, insulin resistance has been reported to predict prognosis of ADHF patients. Triglyceride glucose index (TyG) has now been proposed as an independent predictor of cardiovascular risk and a simple marker of insulin resistance. However, the association between TyG and 30-days readmission and 6 months mortality after hospitalization remains unclear.
Objective: To investigate TyG as a predictor of 30-day readmission and 6 months mortality after hospitalization in ADHF patients.
Methods: The study was conducted in a retrospective cohort. Data were taken from medical records based on the admission of patients who met the inclusion criteria from January 2018 – November 2021. The clinical outcomes were 30-days readmission and 6 months mortality. The data were analyzed by multivariate analysis and the survival rate of the subjects.
Results: This study included 467 subjects, with 158 subjects have clinical outcomes. The readmission rate is 29% (135 subjects), and 6 month mortality after hospitalization is 5%. Multivariate analysis showed that the factors associated with 30-days readmission were hypertension (p 0.05, HR 1.493, CI 95% 1.019 – 2.187), age (p 0.013, HR 0.98, CI 95% 0.964 – 0.996), ejection fraction <50% (p 0.016, HR 1.888, CI 95% 1.124 – 3.172), systolic blood pressure on admission (p 0.012, HR 1.010, 95% CI 1.001 – 1.017), heart rate predischarge (p 0.017, HR 0.989, CI 95% 0.979 – 0.998), gfsting blood glucose (p 0.017, OR 0.992, CI 95% 0.986 – 0.999), dan TyG (p <0.001, OR 28.9, 95% IK 10.112 – 83.068). Independent factors for 6 months mortality were no diuretic medication (p 0.02, HR 6.89, 95% IK 2.022 – 23) and fasting blood glucose (p 0.017, OR 0.992, 95% IK 0.986 – 0.999).
Conclusion: Triglyceride glucose index can predict 30-days readmission, but does not associated with 6-months mortality in ADHF patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Rahmanita Safitri
"Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan kondisi darurat global dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi. Penyebab terbanyak luaran buruk adalah komorbid yaitu diabetes melitus (DM). Prevalensi dan dampak sesehatan DM di Indonesia tinggi sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh DM terhadap luaran buruk pasien dengan COVID-19. Luaran buruk pada penelitian ini adalah jika selama perawatan pernah terdapat perawatan di ruang intensif, penggunaan ventilator mekanik dan atau kematian. Penelitian ini mencoba menganalisis apakah parameter metabolik yaitu HbA1c, glukosa darah sewaktu (GDS) dan profil lipid pada 48 jam awal perawatan dapat digunakan untuk memprediksi luaran buruk pasien dengan COVID-19 . Sejumlah 66 data pasien yang terdiri dari 33 data luaran buruk dan 33 luaran tidak buruk diikutsertakan pada penelitian. Ditemukan hubungan bermakna secara statistik pada rerata HbA1c, GDS, dan trigliserida sedangkan HDL, LDL dan kolesterol total tidak ditemukan perbedaan bermakna. Parameter HbA1c, GDS, dan trigliserida berturut-turut mempunyai luas Area Under the Curve (AUC) 71,1% ;71,9 dan 66,7%. Analisis regresi logistik didapatkan model prediksi luaran buruk menggunakan trigliserida >155,4 mg/dL, GDS >122,5 mg/dL, serta ada tidaknya komorbid hipertensi, penyakit ginjal dan komorbid lain.

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is global emergency with high morbidity and mortality. Bad outcome mostly caused by any comorbidity such as diabetic mellitus. Prevalens and impact of diabetes in Indoensia was high so there was high corncern of diabetic effect on COVID-19 bad outcome. Bad outcome in this study refers to intensive care hospitalization, mechanichal ventilation support and death. This study try to analyze whether metabolic parameter HbA1c, random blood glucose (RBG) and lipid profile at 48 hours admission can be used for predicting COVID-19 bad outcome. Sixty six data from patient consist of each 33 bad and good outcome was collected in this study. There is significant association between bad outcome to mean difference HbA1c, RBG and lipid profile but there is no significant association in HDL, LDL and total cholesterol. HbA1c, RBG, and triglyserida have Area Under the Curve (AUC) 71,1% ;71,9 and 66,7%. Regression logistic analysis generate bad outcome prediction model using triglyseride >155,4 mg/dL, RBG >122,5 mg/dL, and whether or not hypertension, renal disease and other comorbidity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Adhyaksanti
"Pneumonia komunitas adalah penyebab kematian terbesar di Indonesia. Sistem skor PSI dan CURB-65 telah digunakan dalam menentukan keparahan penyakit dan keputusan tempat rawat berdasarkan risiko kematian dalam 30 hari. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan sistem skor modifikasi PSI dan modifikasi CURB-65 pada pasien CAP sebagai prediktor mortalitas 30 hari di RS Persahabatan. Penelitian ini adalah kohort prospektif yang dilakukan pada pasien CAP yang dirawat di RS Persahabatan sejak bulan Oktober 2012-Maret 2013. Gejala klinis nilai laboratorium, foto toraks, penyakit penyerta skor PSI dan CURB-65 serta hasil akhir berupa kematian dicatat untuk dianalisis. Selama 30 hari subjek penelitian diikuti. Sebanyak 167 pasien CAP mengikuti penelitian ini didapatkan angka kematian sebesar 18,6%. Sensitivitas PSI sama dengan CURB-65 yaitu sebesar 77,4%. Spesifisitas PSI sedikit lebih tinggi dari pada CURB-65 (58,1% vs 53,7% p < 0,001). Risiko relatif mortalitas berdasarkan PSI pada kelompok risiko tinggi sebesar 3,64 kali dibandingkan kelompok risiko rendah, sedangkan risiko relatif mortalitas berdasarkan CURB-65 pada kelompok risiko tinggi sebesar 3,15 kali dibandingkan kelompok risiko rendah. Skor CURB-65 dapat dipertimbangkan sebagai prediktor mortalitas pada pasien CAP yang di rawat inap.

Community Acquired Pneumonia (CAP) is the first leading disease with the highest mortality in hospitalized patient in Indonesia. Pneumonia severity assessment systems such as the pneumonia severity index (PSI) and CURB-65 were designed to predict severity of illness and site of care base on 30-d mortality. The purpose of this study is to comparing the PSI with CURB-65 in patient admitted with CAP as predictor 30 days mortality in Persahabatan Hospital, Jakarta. This is a prospective cohort study in hospitalized community acquired pneumonia patients in Persahabatan Hospital since October 2012- Maret 2013. Clinical symptoms, laboratory findings, chest x-ray , comorbidities, score of PSI and CURB-65, 30 days mortality were recorded for analysis. Thirty days mortality outcome were recorded to analysis which score system as the best to predict 30 days mortality. One hundred and sixtty seven patients CAP were studied with an overall 30-d mortality of 18,6%. Sensitivity of PSI were simillar with CURB-65 for predicting patients who died within 30 d (77,4% ; p < 0.001). Specificity of PSI was slighty higher than CURB-65 (58,1% vs 53,7% p < 0,001). Score PSI have risk mortality 3,64 times in high risk group CAP than low risk group CAP. Score CURB-65 have risk mortality 3,15 times in high risk group CAP than low risk CAP. CURB-65 modification was considerable to predict mortality in CAP patients hospitalized.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>