Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101078 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Trismiyanti
"Latar Belakang: leukemia limfositik akut LLA merupakan keganasan terbanyak pada anak dengan terapi utama kemoterapi, yang akan memicu respon hormonal dan inflamasi sehingga menyebabkan berbagai komplikasi, di antaranya gangguan pada saluran cerna dan penurunan status nutrisi. Diperlukan intervensi nutrisi agar status nutrisi dapat terjaga dan masa pertumbuhan serta perkembangan anak dapat berjalan optimal. Beberapa rekomendasi tata laksana nutrisi anak dengan leukemia yang menjalani kemoterapi telah dipublikasikan, namun belum semua rekomendasi tersebut dapat diterapkan karena keterbatasan sarana dan prasarana, sehingga diperlukan modifikasi agar tata laksana menjadi optimal.
Metode: serial kasus ini membahas empat pasien LLA anak yang menjalani kemoterapi dengan berbagai komplikasi terkait nutrisi. Identifikasi pasien berisiko malnutrisi dilakukan dengan melaksanakan skrining nutrisi pada saat pasien masuk perawatan. Tata laksana nutrisi diberikan secara bertahap sesuai kondisi pasien, dengan target pemenuhan energi sesuai BB ideal berdasarkan tinggi badan yang dihitung dengan menggunakan persamaan Schofield. Pemenuhan protein diberikan minimal sebesar 1,5 g/kg BB/hari, dengan target maksimal 3 g/kg BB ideal, karbohidrat 40 - 60 , dan lemak 10 - 30. Mikronutrien diberikan sesuai dengan angka kecukupan gizi, berupa multivitamin dan mineral. Edukasi nutrisi diberikan terhadap pasien dan keluarga saat pasien diperbolehkan pulang.
Hasil: dua orang pasien dalam serial kasus ini mengalami malnutrisi sedang saat dilakukan skrining nutrisi, dan seorang pasien yang menjalani kemoterapi fase konsolidasi mengalami penurunan BB yang diakibatkan komplikasi saat pemberian kemoterapi. Lama rawat pasien berkisar 8 - 14 hari, keempat pasien pulang dalam kondisi baik.
Kesimpulan: tata laksana nutrisi yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi terkait nutrisi pasien LLA anak yang menjalani kemoterapi.

Background acute lymphocytic leukemia ALL is the highest malignancy in children with primary therapy of chemotherapy, which would trigger a hormonal response and inflammation that cause a variety of complications, including disorders of the gastrointestinal tract and decreased nutritional status. Nutritional intervention is needed so that the nutritional status can be maintained and the period of growth and development of children can run optimally. Some child nutritional care recommendations with leukemia who undergo chemotherapy have been published, but not all of these recommendations can be implemented due to limited facilities and infrastructure.
Method this case series discusses four children ALL patients undergoing chemotherapy with various nutrition related complications. Identification of patients at risk of malnutrition was conducted through nutritional screening on admission. Nutritional managements given in stages according to the condition of the patient, with the fulfillment target of energy corresponding ideal body weight based on height were calculated using the equation Schofield. Fulfillment of the protein is given at least equal to 1.5 g kg BW day, with a maximum target of 3 g kg ideal body weight, 40 - 60 carbohydrate and 10 - 30 fat. Micronutrients given in accordance with the Dietary Allowances, in the form of multivitamins and minerals. Nutrition education given to patients and families when the patient is allowed to go home.
Results two malnutrition patients are being currently conducted nutritional screening, and a patient who underwent consolidation phase chemotherapy experienced a weight loss caused complications during chemotherapy. Hospitalized patients ranges from 8 - 14 days, four patients go home in good condition.
Conclusions optimal nutritional care can reduce the risk of complications related to nutrition child ALL patients undergoing chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Damayanti
"Latar Belakang: Di Indonesia, prevalensi kanker pada anak usia 0-14 tahun sekitar 0,4 per mil, dengan Leukemia Limfositik Akut (LLA) merupakan yang tertinggi. Kemoterapi fase induksi dan konsolidasi merupakan terapi untuk mengeliminasi sel kanker dengan efek samping penurunan laju alir dan pH saliva. Efek samping timbul pada hari ke 5-10 setelah kemoterapi dan berlangsung selama 7-14 hari.
Tujuan: Menganalisis pengaruh probiotik Lactobacillus casei terhadap laju alir dan pH saliva pada anak penderita LLA yang sedang menjalani kemoterapi, sebelum dan setelah berkumur probiotik.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan uji eksperimental klinis yang dilakukan pada 11 partisipan anak penderita LLA yang sedang menjalani kemoterapi fase induksi dan konsolidasi. Pemeriksaan klinis status oral dan wawancara mengenai adanya mulut kering juga dilakukan. Pengambilan sampel saliva dilakukan pada pagi hari antara pukul 09.00-11.00 WIB, sebelum dan setelah berkumur probiotik selama 7 dan 14 hari. Setiap partisipan diinstruksikan untuk berkumur probiotik selama 2x30 detik, pagi dan malam, selama 14 hari. Analisis data menggunakan GLM Repeated Measure karena data terdistribusi normal (p<0,05), untuk membandingkan laju alir dan pH saliva sebelum dan setelah berkumur probiotik selama 7 hari hingga 14 hari.
Hasil: Sebanyak 11 partisipan, 9 (81,8%) LLA berisiko tinggi, dan risiko standar 2 (8,2%), 7 (63,6%) partisipan memiliki keluhan mulut kering. Sebelum berkumur probiotik, laju alir dan pH saliva masing-masing adalah 0,56±0,17 dan 6,79±0,22. Setelah 14 hari berkumur probiotik, hasil menunjukkan peningkatan yang signifikan pada laju alir saliva menjadi 0,9±0,28 (p<0,05), sedangkan pH saliva meningkat namun tidak signifikan menjadi 6,99±0,51 (p>0,05).
Kesimpulan: Berkumur probiotik selama 14 hari secara signifikan dapat meningkatkan laju alir saliva dan meningkatkan serta menjaga kestabilan pH saliva pada anak penderita LLA yang sedang menjalani kemoterapi.

Background: In Indonesia, prevalence of cancer in children aged 0-14 years is around 0.4 per mil, and Acute Lymphocytic Leukemia (ALL) is the highest. Induction and consolidation chemotherapy phase were therapy to eliminate cancer cells with side effects of decreasing salivary flow and salivary pH. Side effects appear
on day 5-10 after chemotherapy and last for 7-14 days.
Objective: To analyze effect of probiotics Lactobacillus casei on salivary flow and pH in children with ALL undergoing chemotherapy, before and after probiotics gargling.
Methods: A randomized clinical trial was conducted on 11 participants children with ALL on induction and consolidation phases in chemotherapy. Clinical examination of the oral status and interview regarding the presence of dry mouth were also done. Saliva samples were collected in the morning between 09.00-11.00 a.m., before and after 7 and 14 days probiotics gargling. Each participant was
instructed to gargle probiotics for 2x30 secs, morning and night, for 14 days. Data analysis using GLM Repeated Measure because the data was normally distributed (p<0.05).
Results: A total of 11 participants, 9 (81.8%) were ALL high risk, and standard risk 2 (8.2%), 7 (63.6%) participants had dry mouth sensation. Before gargling probiotics, salivary flow and salivary pH were 0.56±0.17 and 6.79±0.22, respectively. After 14 days of probiotics gargling, results showed significant increase in salivary flow to 0.9±0.28
(p<0.05), while salivary pH changed unsignificantly to 6.99±0.51 (p>0.05).
Conclusion: Probiotics gargling for 14 days can significantly increase salivary flow and improve stability of salivary pH in children with ALL undergoing chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hans Christian
"Latar Belakang: Mukositis merupakan salah satu efek samping yang timbul akibat kemoterapi. Mukositis menyebabkan timbulnya rasa sakit, ketidaknyamanan, kesulitan berbicara, menelan, makan, minum, kekurangan nutrisi, kelemahan sistemik hingga infeksi. Probiotik mengandung mikroorganisme nonpatogen yang memberikan manfaat bagi kesehatan dan membantu dalam pencegahan inflamasi pada rongga mulut. Beberapa studi telah melaporkan manfaat probiotik bagi kesehatan oral. Tujuan: Menganalisis efek probiotik Lactobacillus casei terhadap keadaan klinis mukosa oral pada anak dengan Leukemia Limfositik Akut yang menjalani kemoterapi sebelum berkumur probiotik L.casei, setelah berkumur L.casei selama 7 hari dan 14 hari. Metode Penelitian: Penelitian dilakukan di RS Kanker Dharmais dan RS Kramat 128. Sebelas pasien yang memenuhi kriteria. Tiga hari setelah pemberian kemoterapi, peneliti memeriksa keadaan klinis rongga mulut menggunakan Oral Assessment Guide (OAG). Pasien kemudian mulai berkumur probiotik L.casei dua kali sehari selama 7 hari dan 14 hari. Skor OAG diperiksa kembali setelah berkumur probiotik L.casei selama 7 hari dan 14 hari. Hasil: Terdapat penurunan skor OAG yang bermakna antara sebelum berkumur dengan setelah berkumur probiotik L.casei selama 7 hari dan 14 hari. Kesimpulan: Probiotik L.casei memberikan efek pada anak dengan leukemia limfositik akut yang menjalani kemoterapi dan dapat menjadi terapi alternatif terhadap mukositis oral.

Mucositis is one of the side effects induced by chemotherapy. It results in pain, discomfort, difficulties in talking, swallowing, eating, drinking, poor nutrition, systemic weakness and life-threatening infections. Probiotics contain nonpathogenic live microorganisms that give benefit to our health and help in preventing inflammation in the oral cavity. Several studies have reported the use of probiotics for oral health purposes. Objective: To analyze the effect of probiotic Lactobacillus casei to clinical appearance of oral mucosa in children with Acute Lymphocytic Leukemia that underwent the chemotherapy process before gargling, 7 days after gargling, and 14 days after gargling with probiotic. Methods: The study was held in National Cancer Hospital “Dharmais” and Kramat 128 Hospital. Eleven patients were meet the criteria. Three days after the chemotherapy started, the researcher checked the patient’s oral mucosa condition using Oral Assessment Guide (OAG). Then the patient started to gargle the probiotic twice a day for 7 days and the researcher rechecked the score of oral mucositis after 7 days and 14 days. Results: There was a significance decreasing OAG score between before gargling with 7 days and 14 days after gargling L.casei probiotics. Conclusion: L.casei probiotics gave effects in children with acute lymphocytic leukemia during chemotherapy and could be an alternative therapy for oral mucositis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusi Deviana Nawawi
"Leukemia limfoblastik akut adalah penyakit keganasan hematologi yang paling sering ditemukan pada anak. Perubahan metabolisme pasien kanker dan pengobatan kemoterapi menyebabkan pasien mengalami anoreksia sehingga dapat mengakibatkan pasien mengalami malnutrisi. Kondisi tersebut dapat menurunkan respons terhadap terapi, rendahnya kualitas hidup, dan tingginya mortalitas. Terapi medik gizi yang adekuat diperlukan untuk mendukung proses penyembuhan anak dengan pasien kanker. Asam amino rantai cabang (AARC) merupakan salah satu zat gizi spesifik yang dapat memperbaiki asupan makan dengan cara berkompetisi dengan triptofan pada transporter di otak pada mekanisme lapar-kenyang sehingga menurunkan efek anoreksigenik. Penelitian sebelumnya menunjukkan efek positif pemberian AARC terhadap asupan makan dan menurunkan kadar triptofan bebas di otak pada pasien kanker. Serial kasus ini memaparkan tiga pasien laki-laki dan satu pasien perempuan, berusia 8-14 tahun dengan malnutrisi, mengalami penurunan asupan makan, dan peningkatan kadar inflamasi. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak awal perawatan hingga sebelum pulang dari rumah sakit. Pemberian energi dan protein sesuai fase pada penatalaksanaan gizi buruk dan AARC yang berasal dari bahan makanan sumber serta makanan cair. Asupan energi tertinggi pasien kasus sebesar 54-140 kkal/kgBB dan asupan protein tertinggi sebesar 2-4,7 g/kgBB dengan AARC tertinggi sebesar 8,9-23,4 g. Terdapat penurunan kadar inflamasi pada seluruh pasien kasus. Skala lapar-kenyang terendah sebelum makan 2 dan setelah makan 5, perbaikan tingkat lapar-kenyang pada seluruh pasien kasus diikuti dengan peningkatan jumlah asupan. Satu orang pasien mengalami penurunan berat badan, dua orang tetap, dan satu orang mengalami peningkatan berat badan. Terapi medik gizi yang adekuat dengan pemberian AARC dapat menunjang keberhasilan pengobatan pasien anak malnutrisi dengan lekemia limfoblastik akut yang menjalani kemoterapi.

Acute lymphoblastic leukemia is the most common hematological malignancy in children. Metabolic changes in cancer patients and chemotherapy cause patients to experience anorexia which can increase the risk of malnutrition. These conditions can reduce the response to therapy, lower quality of life, and high mortality. Adequate nutritional management is needed to support the healing process of children with cancer patients. Branched-chain amino acids(BCAA) are specific nutrients that can improve calorie intake by competing with tryptophan on transporters in the brain on the hunger-satiety center, thereby reducing anorexigenic effects. Previous research has shown a positive effect of BCAAs on improving calorie intake and reducing levels of free tryptophan in the brain in cancer patients. This case series describes three male and one female patient, aged 8-14 years, malnutrition, decreased calorie intake, and inflammation. All patients received medical nutrition therapy from early treatment until before leaving the hospital. Provision of energy and protein according to the phase in the management of malnutrition and specific nutrients, BCAAs derived from food and liquid food. The highest energy intake of patients in the case of 54-140 kcal/kg BW, and the highest protein intake of 2-4.7 g/kg BW with the highest AARC of 8.9-23.4 g. All patients experienced a reduction in inflammation. The level of hunger-satiety is 2 before eating, and it is 5 thereafter. In all cases, patients increase their intake after experiencing improvements in their hunger-satiation levels. Two patients' weights remained the same, one gained weight, and one patient lost weight. Adequate nutritional therapy and AARC supplementation can support the successful treatment of malnourished pediatric patients with acute lymphoblastic leukemia on chemotherapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Prika Biantama
"Latar Belakang: Candida albicans merupakan penyebab utama infeksi mikroba oportunistik pada pasien kanker. Pasien Leukemia Limfositik Akut (LLA) yang menjalani kemoterapi memiliki risiko tinggi terkena kandidiasis karena imunosupresi dan melemahnya barier epitel. Penggunaan obat antifungal sistemik dibatasi oleh risiko efek samping yang lebih besar dan berkembangnya strain yang resisten, namun obat antifungal topikal yang tersedia saat ini masih dianggap kurang efektif untuk pasien imunosupresi termasuk pasien kemoterapi. Beberapa penelitian memberikan bukti kelayakan probiotik Lactobacillus casei untuk bertindak sebagai antifungal alternatif di berbagai sistem organ manusia. Tujuan: Menganalisis pengaruh probiotik terhadap jumlah C. albicans di rongga mulut anak penderita LLA selama kemoterapi. Metode: Sampel saliva diambil dari 11 anak penderita LLA selama kemoterapi. Subyek diinstruksikan untuk berkumur dengan probiotik yang mengandung L. casei selama 60 detik, dua kali sehari, selama 14 hari. Sampel saliva tidak terstimulasi dikumpulkan secara berurutan pada 3 titik waktu (awal, 7 hari, dan 14 hari). Jumlah C. albicans dihitung dengan qPCR. Hasil: Perbedaan signifikan secara statistik ditemukan antara jumlah C. albicans pada awal (494.363+180.737 CFU/ml), setelah 7 hari (276.654+69.903 CFU/ml), dan setelah 14 hari (229.286+50.883 CFU/ml) berkumur dengan probiotik. Jumlah yang lebih rendah secara signifikan ditemukan setelah 7 dan 14 hari berkumur dengan probiotik (p<0.05). Kesimpulan: Probiotik L. casei memiliki efek menurunkan jumlah C. albicans di rongga mulut anak leukemia selama kemoterapi.

Background: Candida albicans is the leading cause of opportunistic microbial infections in patients with cancer. Acute Lymphocytic Leukemia (ALL) patients undergoing chemotherapy have high risk of candidiasis due to immunosuppression and weakened epithelial barriers. Systemic antifungal drugs’ usage is limited by the greater risk of side effects and developing resistant strains, yet currently available topical antifungal drugs are still considered ineffective for immunosuppressed patients including chemotherapy patients. Several studies provide evidence for the feasibility of probiotic Lactobacillus casei to act as alternative antifungal in various human organ systems. Objectives: To analyze the effects of probiotic L. casei on the number of C. albicans in oral cavity of children with ALL during chemotherapy.Methods: Saliva samples were taken from 11 children with ALL during chemotherapy. Subjects were instructed to do mouth rinse with probiotics contained Lactobacillus casei for 60s, twice daily, over the course of 14 days. Unstimulated saliva samples were collected sequentially at 3 time points (baseline, 7 days, and 14 days). The number of C. albicans was quantified by qPCR. Results: Statistically significant differences were found between the number of C. albicans at baseline (494.363+180.737 CFU/ml), after 7 days (276.653+69.903 CFU/ml), and after 14 days (229.286+50.883 CFU/ml) mouth rinsing with probiotic L. casei. Significant lower number was found both after 7 and 14 days rinsing with probiotics (p<0.05). Conclusion: Probiotic L.casei has reducing effects on the number of C. albicans in oral cavity of children with ALL during chemotherapy. "
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Novrianda
"Penelitian bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak leukemia limfositik akut yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional dilakukan pada 25 anak secara consecutive sampling. Pengumpulan data menggunakan PedsQLTM 4.0 Generic Core Scale, PedsQLTM 3.0 Cancer Module, dan peran perawat (Cronbach α = 0,90). Hasil menunjukkan terdapat hubungan fase kemoterapi dan peran perawat dengan kualitas hidup generic dan cancer module (p<0,05). Peran perawat merupakan faktor prediktor kualitas hidup generic dan cancer module. Dengan demikian diperlukan upaya peningkatan peran perawat melalui pendidikan pelatihan terkait manajemen kemoterapi dan efek sampingnya.

This study was aimed to determine factors that associated with quality of life of acute lymphoblastic leukemia children who undergoing chemotherapy in Dr. M. Djamil Hospital Padang. The quantitative study with cross sectional approach was done to 25 children by consecutive sampling. Data collection was using PedsQLTM 4.0 Generic Core Scale, PedsQLTM 3.0 Cancer Module, and nurse's role (Cronbach α = 0,90). The results revealed that there was a relationship between chemotherapy phase and nurse's role with generic and cancer module quality of life (p<0,05). Nurse's role was a predominant factor of generic and cancer module quality of life. Thus, it is necessary to increase role of nurse by giving education about treatment and management of chemotherapy side effects.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35870
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putriana Rahim
"Leukemia Limfositik Akut (LLA) merupakan jenis kanker yang paling banyak dijumpai pada anak. Penyakit ini berpotensi untuk disembuhkan, tetapi keberhasilan terapinya ditentukan oleh banyak faktor prognosis, salah satunya adalah status remisi pasca terapi induksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran luaran terapi induksi pasien LLA pada anak di RS. Kanker “Dharmais” tahun 2007-2012. Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu rekam medik dan data register pasien LLA. Metode yang digunakan deskriptif case series untuk mengetahui gambaran status remisi dan status kehidupan pasien berdasarkan faktor prognosis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus baru LLA tiap tahun cenderung meningkat, diikuti dengan angka kematian yang menurun tiap tahunnya. Dari 87 pasien yang diteliti, terjadi 57,5% kasus hidup dan 42,5% kasus meninggal. Berdasarkan faktor prognosis, status remisi banyak dialami oleh kelompok pasien perempuan, umur 1-<10 tahun, LLA-L1, LLA B-cell, jumlah leukosit 50-000-100.000/mm3, Hb <5 gr/dl, trombosit ≥150.000/mm3, dan melakukan terapi induksi sesuai jadwal.
Pasien yang berstatus hidup hingga saat penelitian dilakukan banyak dialami pada kelompok perempuan, umur 1- <10 tahun, LLA-L1, LLA B-cell, leukosit <10.000/mm3, Hb≥10gr/dl, trombosit ≥150.000/mm3, melakukan terapi induksi sesuai jadwal, dan berstatus remisi. Event free survival berdasarkan status remisi pada pasien ini adalah 47,1%. Perlu dilakukannya evaluasi terhadap pengobatan yang digunakan saat ini.

Acute lymphocytic leukemia is the common malignancy that occur in children. This disease is potensial to be cured, but the succesfull outcome is depend on many factors, one of them is remission after induction therapy. The aim of this research is to know how the outcome of induction phase based of prognostic factors. This study use a descriptive case-series of 87 patients that have been treated in “Dharmais” Cancer Hospital from January 2007 to December 2012.
The result shows new cases of LLA increased and mortality cases decreased annually. Based on prognostic factors, remission occuring mostly in female, age between 1-<10 years old, L1 type, LLA B-cell, WBC count 50.000-100.000/mm3, Hb count <5 gr/dl, trombocyte count ≥150.000/mm3, and compliance schedule of therapy.
Patients that survived occuring in female, age between 1-<10 years old, L1 type, LLA B-cell, WBC count <10.000/mm3, Hb count ≥10 gr/dl, thrombocytes count ≥150.000/mm3, compliance schedule of therapy, and that reach remission after induction phase. Event free survival based of remission is to 47,1% among them. It’s necessary to evaluate the treatment program.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S46569
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vinia Rusli
"Latar Belakang. Infeksi jamur invasif (IJI) merupakan salah satu penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan keganasan. Penelitian di beberapa negara mengenai kejadian IJI pada anak dengan populasi beragam mendapatkan hasil yang bervariasi, antara 5%-14%. Sampai saat ini belum ditemukan publikasi di Indonesia mengenai prevalens, karakteristik pasien anak dengan leukemia akut yang menderita IJI, spesies jamur penyebab maupun angka kematian akibat IJI.
Tujuan. Mengetahui prevalens, manifestasi klinis, spesies jamur penyebab, dan mortalitas infeksi jamur invasif pada anak usia 1 bulan -18 tahun dengan leukemia akut yang mendapat kemoterapi dan mengalami neutropenia.
Metode. Penelitian retrospektif deskriptif dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis Januari 2010 sampai Desember 2011 dilakukan pada pasien anak dengan leukemia akut yang mendapat kemoterapi dan mengalami neutropenia, dan dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IKA-RSCM). Infeksi jamur invasif ditetapkan berdasarkan kriteria European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC) 2002.
Hasil. Besar sampel diperoleh 218 episode perawatan dari 102 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Prevalens IJI pada perawatan anak dengan leukemia akut dan neutropenia yang mendapat kemoterapi adalah 12 (5,5%) dari 218 perawatan. Kejadian IJI lebih sering pada pasien dengan jenis kelamin laki-laki, usia di atas 6 tahun, leukemia myeloid akut (LMA), dan kemoterapi fase induksi. Faktor pejamu yang paling banyak ditemukan adalah neutropenia>10 hari dengan manifestasi klinis tersering berupa infeksi saluran napas bawah dan lesi kulit. Spesies jamur penyebab IJI yang ditemukan adalah Candida sp. Mortalitas IJI sebesar 8/12 dengan penyebab kematian terbanyak syok sepsis. Kematian yang disebabkan infeksi jamur tidak dilaporkan.
Simpulan. Prevalens IJI pada perawatan anak dengan leukemia akut dan neutropenia yang mendapat kemoterapi 5,5%. Spesies jamur penyebab IJI yang ditemukan adalah Candida sp. Tidak semua pasien dengan demam neutropenia dilakukan pemeriksaan biakan jamur. Hal ini dapat mempengaruhi angka kejadian IJI yang sebenarnya sehingga perlu penelitian lebih lanjut yang dilakukan secara prospektif untuk mendapatkan gambaran IJI yang lebih pasti.

Background. Invasive fungal infections (IFIs) are a major cause of morbidity and mortality in patients with malignancies. Prevalence of IFIs in children in different countries varies between 5%-14%. There has been no published data of prevalence, characteristics, causative fungi, and mortality rate in children with acute leukemia and chemotherapy-induced neutropenia in Indonesia.
Objectives. To find the prevalence, clinical manifestations, fungal cause, and mortality rate of IFIs in children aged 1 month-18 years with acute leukemia and chemotherapy-induced neutropenia in Indonesia.
Methods. This was a retrospective descriptive study using medical records of children with acute leukemia and chemotherapy-induced neutropenia admitted to Cipto Mangunkusumo Hospital’s Pediatric Department from January 2010-December 2011. Invasive fungal infection was diagnosed according to European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC) 2002 criteria.
Results. A total of 218 admissions from 102 patients met the inclusion criteria. Prevalence of IFIs in acute leukemia children with chemotherapy-induced neutropenia was 12 (5.5%) from 218 admissions. IFIs were more prevalent in boys, age >6 years old, acute myeloid leukemia (AML), and induction phase of chemotherapy. The most common host factor was neutropenia >10 days, with lower repiratory tract infections and skin lesions as the most common clinical manifestations. Fungal pathogen found was Candida sp. Mortality rate was 8/12 with septic shock as the most common cause of death. IFI related mortality was not reported.
Conclusion. Prevalence of IFIs in children admitted with acute leukemia and chemotherapy-induced neutropenia was 5.5%. Fungal pathogen found was Candida sp. Fungal culture was not done in all patients with febrile neutropenia and this factor could influence the prevalence of IFIs. Further prospective research is needed to find more accurate IFIs characteristics.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Dina Maritha
"Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan yang paling sering terjadi pada anak-anak. Angka kesembuhan yang besar terjadi akibat terapi kanker saat ini, namun respon toksik yang terkait dan pembentukan radikal bebas meningkatkan angka kematian akibat pengobatan daripada kematian akibat penyakitnya itu sendiri. Komplikasi kemoterapi meningkatkan rasa ingin tahu dokter untuk mempelajari penggunaan antioksidan sebagai pengobatan tambahan pada kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran N-asetilsistein ​​(NAS) sebagai terapi antioksidan pada anak-anak dengan LLA SR (standard risk) selama fase induksi kemoterapi, dan kemungkinan peran mereka dalam pencegahan dan pengendalian komplikasi hati terkait dengan penggunaan agen kemoterapi. Sebuah uji klinis acak tersamar tunggal NAS dibandingkan dengan plasebo yang dilakukan pada pasien anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Hematologi dan Onkologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada 11 pasien anak-anak usia mereka berkisar antara 2 dan 10 tahun dengan LLA SR yang menjalani kemoterapi fase induksi dan memenuhi kriteria inklusi. Pasien secara acak dialokasikan ke dalam dua kelompok, NAS atau kelompok plasebo. Mereka dievaluasi secara klinis untuk terjadinya komplikasi dan sampel darah dikumpulkan sebagai parameter laboratorium (plasma malondialdehid (MDA), enzim transaminase, dan bilirubin). Sebanyak 11 subjek dilakukan analisis yang terdiri dari 6 pada kelompok n-asetilsistein dan 5 pada kelompok plasebo. Karakteristik subjek didominasi oleh anak laki-laki dengan status gizi kurang. Kadar rerata MDA cenderung mengalami penurunan, sebanyak tiga subjek dari enam subjek pada kelompok perlakuan dan tiga subjek dari lima subjek pada kelompok plasebo. Insidens peningkatan kadar enzim transaminase sebesar 25%. Tidak terjadi kejadian kolestasis pada subjek penelitian. Pengobatan NAS ​​berdasarkan dosis antioksidan cenderung menurunkan kadar MDA, dan mencegah peningkatan enzim transaminase, dan bilirubin.

Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most commonly malignancy in children. Cancer therapies have experienced great success nowadays, yet the associated toxic response and free radicals formation have resulted in significant number of treatment-induced deaths rather than disease-induced fatalities. Complications of chemotherapy increases physicians curiosity to study antioxidant use as adjunctive treatment in cancer. This study aims to evaluate the role of N-acetylcysteine (NAC) as antioxidant therapy in children with ALL during the induction phases of chemotherapy, and their possible role in prevention and control of hepatic complications associated with the use of chemotherapic agents. A randomized single-blind clinical trial of NAC in comparison with placebo conducted in hematology and oncology pediatric patient of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. The study was performed in 11 pediatric patients with ALL with their ages ranging between 2 and 10 years, undergoing induction phase chemotherapy that fulfilled the inclusion criteria consecutively. Patient were randomly allocated into of two groups, NAC or placebo group. They were evaluated clinically for the occurance of complications and blood samples were collected as the laboratory parameters (plasma malondyaldehide (MDA), transaminase enzyme, and bilirubin). A total 11 participants were included in analysis consisted of 6 in n-acetylcysteine group and 5 in placebo group. Characteristics of subject were predominated by boys and moderate malnourished. Mean MDA levels tended to decrease, as many as three subjects from six subjects in the NAC group and three subjects from five subjects in the placebo group. Incidence of increased levels of the transaminase enzyme by 25%. There was no cholestasis events in the study subjects. NAS treatment based on antioxidant doses tends to reduce MDA levels, and prevent the increase in the transaminase enzyme and bilirubin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T57623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Putri Adimukti Ningtias
"Sindrom koroner akut (SKA) berkaitan erat dengan aspek nutrisi. Pencegahan primer dan sekunder dimulai saat diketahui pasien memiliki risiko atau telah mengalami gejala. Permasalahan nutrisi pada SKA dapat menurunkan asupan selama perawatan intensif, terutama pada pasien usia lanjut karena terdapat berbagai komorbid yang dapat menjadi kendala pemberian nutrisi. Risiko malnutrisi selama perawatan di rumah sakit juga dapat terjadi dan akan mempengaruhi luaran klinis. Terapi medik gizi bertujuan mengurangi respons inflamasi, mempertahankan imbang energi dan nitrogen positif, mencegah katabolisme, serta mencegah komplikasi. Serial kasus ini melaporkan empat orang pasien SKA yang dirawat di ruang rawat intensif. Usia pasien antara 51–64 tahun. Status gizi pasien saat admisi berkisar dari berat badan normal hingga obes morbid. Terapi medik gizi yang diberikan menggunakan panduan pada perawatan jantung intensif, sakit kritis, dan panduan lain sesuai kondisi klinis pasien. Pemberian nutrisi ditingkatkan bertahap sesuai kondisi klinis dan toleransi saluran cerna dengan target kebutuhan energi total dan protein tercapai saat persiapan pulang rawat. Mikronutrien yang diberikan adalah vitamin B kompleks dan asam folat. Seluruh pasien pulang dengan perbaikan kondisi klinis. Terapi medik gizi yang adekuat mendukung kesembuhan pasien.

Acute Coronary Syndrome (ACS) is closely related to nutritional aspects. Primary and secondary prevention should be started when the patients are known to be at risk or have experienced the symptoms. Patients with ACS have nutritional problems that can reduce intake during intensive care, particularly in elderly patients, because of various comorbidities that can be nutritional challenges. The risk of malnutrition during hospitalized may also occur and will affect clinical outcomes. Medical therapy in nutrition aims to reduce the inflammatory response, maintain energy and positive nitrogen balance, and prevent catabolism and complications. The patients were 51–64 years old. The nutritional status of patients at admission ranges from normal weight to morbid obesity. Medical therapy in nutrition was given using the guidelines for cardiac intensive care, critical illness, and other guidelines according to the patient's clinical condition. Provision of nutrition was gradually increased according to the clinical and gastrointestinal tolerance with the goal of achieving total energy requirements during discharge planning. The micronutrients given were B-complex vitamins and folic acid. All patients discharged with improvements in clinical conditions. Adequate medical therapy in nutrition supports the patients recovery."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58574
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>