Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189312 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Ardiyati Apriani
"Latar belakang dan tujuanDry eye merupakan kelainan yang paling sering ditemui dalam bidang ilmu kesehatan mata dan sering dialami oleh wanita menopause. Gejala yang dikeluhkan pasien yaitu mata terasa perih, seperti ada pasir, lengket, gatal, pegal, merah, rasa menusuk, rasa terbakar, cepat merasa mengantuk dan cepat lelah. Keluhan ini mengganggu aktivitas pasien sehari-hari. Akupunktur dapat memperbaiki keluhan pasien dry eye. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek dan angka keberhasilan akupunktur terhadap perbaikan nilai Uji Schirmer I dan Skor OSDI dibandingkan dengan Carboxymethyl-celullose CMC 0,5 pada dry eye yang dialami wanita menopause.MetodePenelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimental. Penelitian terdiri atas 69 pasien dry eye yang dialami wanita menopause terdiri dari 23 orang kelompok CMC 0,5 , 23 orang kelompok 1x akupunktur dan 23 orang kelompok 2x akupunktur. Pada kelompok CMC 0,5 diberikan obat tetes mata CMC 0,5 4 kali 1 tetes setiap hari selama 7 hari. Pada kelompok 1x akupunktur dilakukan penusukan pada titik Ex HN3 Yintang, GB 1 Tongziliao, BL1 Jingming, LI 4 Hegu, LR 3 Taichong, SP6 Sanyinjiao dan GB 37 Guangming selama 20 menit. Pada kelompok 2 kali akupunktur dilakukan penusukan pada titik yang sama dan diulang pada hari ketiga setelah perlakuan pertama. Dilakukan evaluasi efek terapi pada hari ke-1, hari ke-3, hari ke-7 dan hari ke-14 pasca perlakuan.HasilAkupunktur mempunyai efek dalam meningkatkan nilai uji Schirmer I dan menurunkan skor OSDI. Angka keberhasilan CMC 0,5 87 , 1x akupunktur 91.3 dan 2x akupunktur 100 terhadap nilai uji Schirmer I pada evaluasi hari ke-7 pasca perlakuan. Angka keberhasilan CMC 0,5 91.3 , 1x akupunktur 87 dan 2x akupunktur 100 terhadap skor OSDI pada evaluasi hari ke-7 pasca perlakuan. Tidak ada efek samping yang timbul pada penelitian ini.KesimpulanEfek Akupunktur sama baiknya dengan tetes mata CMC 0,5 dalam memperbaiki Uji Schirmer I dan Skor OSDI pada dry eye yang dialami wanita menopause.

Background and aimDry eye is most common condition reported by patients who seek opthalmologic care and by menopause women. The symptoms are ocular discomfort, foreign body sensation, sandiness, grittiness, itching,stinging, redness, blurring, burning, sleepiness and tired eyes. These symptom disturb patient rsquo s daily activity. Acupuncture can improve dry eye patient rsquo s complain. This study aim is to evaluate acupuncture efficacy in improving schirmer test I and OSDI score compared CMC 0,5 for dry eye in menopause women.MethodsThis study used the quasi experimental clinical trial. The study consist of 69 patient rsquo s dry eye in menopause women which divided in to 23 patients for CMC 0,5 group, 23 patients for once acupuncture group and 23 patients for twice acupuncture group. In CMC 0,5 group, patients was given 4 times 1 drop everyday for 7 days. In once acupuncture group, acupuncture was doing on Ex HN3 Yintang, GB 1 Tongziliao, BL1 Jingming, LI 4 Hegu, LR 3 Taichong, SP 6 Sanyinjiao dan GB 37 Guangming for 20 minutes. In twice acupuncture group, acupuncture was doing at the same points on the first day and repeated on the 3rd day after the first one. Evaluation was performed at the first, third, seventh and fourtenth days after first therapy.ResultAcupuncture has effect in increase Schirmer I test and decrease OSDI score. The efficasy CMC 0,5 87 , 1x acupuncture 91.3 dan 2x acupuncture 100 in increasing Schirmer I test on the seventh day evaluation. The efficasy of CMC 0,5 91.3 , 1x acupuncture 87 dan 2x acupuncture 100 in decreasing OSDI score on the seventh day evaluation. No side effect happened in this study.ConclusionAcupuncture can improve Schirmer Test I and OSDI score on dry eye menopause women as good as CMC 0,5 "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darwin Gozali
"Tujuan: Menilai efektifitas dan efek samping fluorometolon (full) 0,1% dalam penatalaksanaan dry eye tipe defisiensi akuos
Metode: Penelitian ini merupakan studi uji Minis prospektif, randomisasi dan tersamar ganda di sebuah panti wredha. Sebanyak 35 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini merupakan dry eye defisiensi akuos tipe non-Sjogren. Subjek diacak ke dalam 2 kelompok yaitu kelompok I mendapatkan fluorometolon 0,1% dan kelompok 2 mendapatkan hidroksipropil metilselulosa 0,3% (kontrol). Penilaian efektifitas berdasarkan skor gejala, tes Schirmer tanpa anestesi, fluorescein break up time (FBUT), pewarnaan fluoresein dan sensitivitas kornea dilakukan pada hari 0, 14 dan 28. Pemeriksaan derajat metaplasia skuamosa dilakukan 2 kali yaitu pada hari 0 dan 28. Penilaian efek samping dilihat dari tekanan intraokular dan katarak. Analisis statistik dilakukan di dalam dan antar kelompok.
Hasil: Kedua kelompok mengalami perbaikan gejala, tanda klinis dan derajat metaplasia yang bermakna dari data dasar. Namun tidak didapatkan perbaikan bermakna antara hari 14 dan 28 pada kelompok kontrol. Hasil tes Schirmer dan FBUT lebih baik secara bermakna di kelompok fluorometolon dibanding kelompok kontrol pada hari 14 dan 28. Perbaikan pewarnaan fluoresein lebih berkurang secara bermakna pada kelompok fluorometolon dibanding kelompok kontrol pada hari 28. Skor gejala, sensitivitas kornea dan perbaikan derajat metaplasia tidak berbeda bermakna antar kelompok namun cenderung lebih balk pada kelompok fluorometolon. Efek samping berupa rasa Iengket dan gatal pada ke dua kelompok tidak berbeda bermakna. Tekanan intraokular cenderung stabil dan tidak didapatkan progresifitas katarak selama penelitian.
Kesimpulan: Fluorometolon 0,1% topikal memberikan perbaikan gejala dan tanda Minis yang bermakna pada dry eye defisiensi akuos tipe non-Sjogren.

Purpose: To evaluate the effectiveness and safety of fluorometholone (fml) 0.1% in non-Surgery dry eye syndrome.
Methods: A prospective, randomized, double-masked, clinical trial was conducted in a nursing home. Thirty-five non-Sjogren dry 'eye subjects were included in the study. The subjects were randomized into two groups. Group 1 subjects received fluorometholone 0.1% and group 2 received hydroxypropyl methylcellulose (control). The eye symptom severity score, Schirmer test without anesthesia values, fluorescein break up time (FBUT), fluoresecein staining scores and corneal sensitivity were evaluated before treatment, 14 and 28 days after start the treatment. The degree of squamous metaplasia was evaluated before treatment and day 28. Intraocular pressure, cataract formation and other side effects were recorded to evaluate the safety in both groups. Statistical analyses were performed within and between groups.
Results: Both groups had significant differences compared with their baseline measurements in all of the parameters. However, subjects in the control group showed no significantly improvements between day 14 and day 30. There were no significant differences between groups on symptom severity score and corneal sensitivity on day 14 and 28. The degree of squamous metaplasia was not significantly different between groups on day 28. The FML group had significantly better Schirmer test value and FBUT on days 14 and 28 compared to control group. The fml group subjects also had significantly lower fluorescein staining on days 28. The side effects detected in fml group were sticky and itchy, comparable to control group. Intraocular pressure was stable and no progression of cataract formation.
Conclusion: Topical fluorometholone 0.1% had a clearly beneficial effect both on subjective and objective clinical parameters of non-Sjogren dry eye patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aisyah Rahmawati
"Latar belakang: Diagnosis dry eye disease (DED) ditegakkan dengan serangkaian pemeriksaan gejala subjektif dam tanda klinis objektif, namun sayangnya alat penunjang pemeriksaan tidak selalu dimiliki oleh fasilitas layanan kesehatan, sehingga kuesioner yang valid dan reliabel berperan sebagai alternatif untuk menegakkan diagnosis. Kuesioner dry eye Indonesia yang telah dikembangkan untuk populasi Indonesia masih belum tervalidasi dengan jumlah pertanyaan yang belum ideal. Tujuan: Mendapatkan item pertanyaan kuesioner dry eye Indonesia bagian diagnosis yang valid dan reliabel serta mengetahui korelasi klinis antara gejala subjektif dan tanda klinis objektif DED pada pasien. Metode: Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu (1) focus group discussion (FGD) untuk menilai content validity index (CVI), (2) pretesting untuk menilai cognitive debriefing, validitas, dan reliabilitas pada 30 sampel, dan (3) testing untuk menilai validitas, reliabilitas, dan korelasi klinis dengan tanda klinis objektif pada 60 partisipan. Partisipan melengkapi kuesioner dry eye Indonesia dan ocular surface disease index (OSDI), kemudian dilakukan uji tear break up time (TBUT), tear break up pattern (TBUP), pewarnaan okular, dan Schirmer. Hasil: Jumlah pertanyaan kuesioner dry eye Indonesia dari studi sebelumnya adalah 31 item. Dari hasil FGD dikerucutkan menjadi 14 item pertanyaan, dengan nilai CVI 0,98. Pada tahap pretesting, seluruh item dinyatakan dapat dipahami oleh seluruh subjek dengan nilai validitas dan reliabilitas baik. Dari hasil testing, didapatkan validitas yang dinilai dari corrected item total correlation dan reliabilitas yang dinilai dari Cronbach’s alpha yang baik pada 10 item pertanyaan kuesioner. Sensitivitas dan spesifisitas kuesioner didapatkan 91,1% dan 100% dengan AUC 98,2% (IK95% 94,4%-100%), nilai potong diagnosis DED adalah 10,5. Skor kuesioner dry eye Indonesia didapati berkorelasi positif kuat dengan skor OSDI (r=0,808; p<0,001) dan berkorelasi negatif lemah (r=- 0,339; p=0,008) dengan TBUT, namun tidak didapati korelasi yang bermakna terhadap Schirmer dan pewarnaan okular. Kesimpulan: Kuesioner dry eye Indonesia bagian diagnosis memiliki validitas, reliabilitas, serta sensitivitas dan spesifisitas yang sangat baik untuk mendiagnosis DED. Korelasi klinis antara skor kuesioner dry eye Indonesia didapatkan bermakna terhadap skor OSDI dan TBUT.

Background: Diagnosis of dry eye disease (DED) is established through a series of examinations of subjective symptoms and objective clinical signs. Unfortunately, diagnostic tools are not always available in healthcare facilities, making valid and reliable questionnaires an alternative for diagnosis. Indonesian dry eye questionnaire developed for the Indonesian population has not yet been validated with an ideal number of questions. Objective: To obtain valid and reliable diagnostic questions for the Indonesian dry eye questionnaire and to determine the clinical correlation between subjective symptoms and objective clinical signs of DED in patients. Methods: This study consists of three stages: (1) focus group discussion (FGD) to assess the content validity index (CVI), (2) pretesting to evaluate cognitive debriefing, validity, and reliability in 30 samples, and (3) testing to assess the validity, reliability, and clinical correlation with objective clinical signs in 60 participants. Participants completed the Indonesian dry eye questionnaire and the Ocular Surface Disease Index (OSDI), followed by testing tear break-up time (TBUT), tear break-up pattern (TBUP), ocular staining, and Schirmer. Results: Thenumber of questions in the Indonesian dry eye questionnaire from the previous study was 31 items, narrowed down to 14 items through FGD with a CVI value of 0.98. In the pretesting stage, all items were found to be understandable by all subjects with good validity and reliability. In the testing phase, 10 questionnaire items showed good validity assessed from corrected item total correlation and reliability assessed from Cronbach’s alpha. The questionnaire demonstrated a sensitivity of 91.1%, specificity of 100%, and an AUC of 98.2% (95% CI 94.4%-100%), with a diagnostic cutoff score for DED at 10.5. The Indonesian dry eye questionnaire score showed a strong positive correlation with OSDI score (r=0.808; p<0.001) and a weak negative correlation (r=- 0.339; p=0.008) with TBUT, but no significant correlation was found with Schirmer and ocular staining. Conclusion: The diagnostic section of the Indonesian dry eye questionnaire has excellent validity, reliability, sensitivity, and specificity for diagnosing DED. Clinical correlations were found between the questionnaire score and OSDI score and TBUT."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fredy Christianto
"Latar Belakang: Dry eye disease (DED) merupakan sekelompok gangguan pada lapisan tirai mata yang terjadi akibat penurunan produksi air mata atau instabilitas dari tirai mata. Salah satu penyebab terjadinya DED adalah penurunan sekresi air mata akibat penurunan refleks berkedip, yang sering terjadi pada pekerja visual display terminal (VDT). Blinking therapy merupakan salah satu terapi yang dapat diberikan pada penderita DED untuk meningkatkan blink rate dan menurunkan jumlah incomplete blink. Metode: Pencarian literatur dilakukan pada database Pubmed, Cochrane Library, dan Google Scholar dengan kata kunci dry eye disease, blinking therapy, dan ocular surface disease index. Pencarian menghasilkan tiga artikel terpilih yang kemudiaan ditelaah kritis. Hasil: Blinking therapy dapat dilakukan secara konvensional, menggunakan software animasi pada komputer, ataupun menggunakan kacamata khusus wink glass. Blinking therapy dapat memberikan perubahan nilai OSDI yang signifikan secara statistik dalam jangka waktu terapi 20 menit hingga 4 minggu. Kesimpulan: Blinking therapy dapat digunakan sebagai tata laksana pada pasien dengan DED untuk memperbaiki gejala mata kering sesuai dengan parameter yang dinilai pada OSDI.

Background: Dry eye disease (DED) is a group of tear film disturbances that is caused by decrease in tear production or tear film instability. One of the causes of DED is reduced tear secretion, which often happens in visual display terminal (VDT) workers. Blinking therapy is one of the therapies that can be given to DED patients to increase blink rate and reduce the number of incomplete blinks.
Methods: Literature searching was done on database such as Pubmed, Cochrane Library, and Google Scholar. The keywords used on the literature searching were dry eye disease, blinking therapy, and ocular surface disease index. Three articles were chosen and critically appraised.
Results: Blinking therapy can be done using conventional method, using animation software on computer, or by using specifically designed wink glass. Blinking therapy shows statistically significant changes in OSDI scores with therapy duration ranging from 20 minutes to 4 weeks.
Conclusion: Blinking therapy can be done as a treatment for DED patients to improve dry eye symptoms as measured in OSDI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nendyah Roestijawati
"Latar Belakang : Penggunaan VDT merupakan salah satu faktor risiko sindroma dry eye pada pekerja. Faktor risiko lainnya adalah faktor pekerja dan lingkungan kerja. Penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan penggunaan VDT, faktor pekerja dan lingkungan kerja dengan sindroma dry eye pada karyawan Universitas X Jakarta.
Metoda Penelitian : Desain penelitian cross sectional. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner, sedangkan untuk data lingkungan kerja dilakukan dengan pengukuran. Diagnosis sindroma dry eye ditegakkan dengan pemeriksaan tes Schirmer dan Break-up Time (BUT).
Hasil : Prevalensi sindroma dry eye pada karyawan Universitas X Jakarta sebesar 48,61%. Tidak didapatkan hubungan bermakna penggunaan VDT, faktor pekerja dan lingkungan kerja dengan sindroma dry eye pada karyawan Universitas X. Faktor yang berhubungan dengan sindroma dry eye pada karyawan pengguna VDT di Universitas X Jakarta adalah usia.
Kesimpulan dan saran : Perlunya upaya pencegahan sindroma dry eye melalui pemeriksaan kesehatan mata secara berkala terutama kemampuan akomodasi mata yang menurun seiring dengan meningkatnya usia.

Association Between Visual Display Terminal (VDT) Work, Worker And Workplace Environment Factors With Dry Eye .Syndrome In Universitas X JakartaBackground : VDT work is risk factor for dry eye syndrome. The other risk factor of thy eye syndrome are worker and workplace environment _factors. To find out association between VDT work, worker and workplace environment factors with thy eye syndrome a study was done in X University Jakarta.
Methods : A cross sectional study was used. Data of VDT work was collected by questionnaire, while for workplace environment was collected by measurement. Dry eye syndrome was determined using Schirmer test and Break-up Time (BUT) test.
Results' : The prevalence of dry eye syndrome among workers in X University Jakarta is 48,61%. There was no association between VDT work, worker and workplace environment factors with dry eye syndrome. The risk factor that associated with dry eye syndrome among VDT worker was age.
Conclusions : Periodical medical check up was needed to prevent dry eye syndrome especially eye accommodation examination that related with age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T 13644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denisa Anggi Kurnia
"Latar Belakang: Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) merupakan penyakit autoimun yang menyerang mukosa tubuh penderita dengan angka mortalitas mencapai 35%. Manifestasi okular pada SSJ dilaporkan antara 60-90% kasus. Manifestasi mata kering merupakan keluhan yang dapat ditemui pada fase akut maupun pada fase kronik serta ditemukan pada 46%-59% kasus. Masalah mata kering pada pasien SSJ okular menimbulkan gangguan subjektif seperti sensasi benda asing, nyeri, fotofobia, gangguan penglihatan, dan kesulitan dalam membuka mata. Tatalaksana mata kering pada SSJ okular bervariasi, namun belum didapatkan adanya baku emas terapi untuk pasien SSJ okular dengan mata kering. Tetes mata serum tali pusat saat ini mulai dikembangkan dan dipilih sebagai tatalaksana pada kelainan permukaan okular. Penelitian terdahulu melaporkan efektivitas yang baik dan keamanan dari pemberian tetes mata serum tali pusat pada kasus mata kering. Penelitian-penelitian ini melaporkan perbaikan baik secara subjektif maupum objektif pada kasus mata kering. Meskipun memberikan hasil yang memuaskan, belum terdapat penelitian yang menunjukkan efek pemberiannya pada kasus mata kering terkait SSJ. Tujuan: Menilai efek pemberian tetes mata serum tali pusat pada pasien SSJ okular dengan mata kering dibandingkan dengan penggunaan sodium hialuronat 0,1%. Metode: Uji eksperimental tersamar ganda pada dua kelompok. Kelompok pertama mendapat tetes mata serum tali pusat dan kelompok lain mendapat tetes mata sodium hialuronat 0,1% Hasil: Penelitian berlangsung pada bulan April 2020-Desember 2020 dengan jumlah sampel sebanyak 10 pasien. Rerata usia yaitu 41,8 ± 15,7 dengan jumlah subyek perempuan lebih banyak dari laki-laki (7 vs 3). Sebanyak 6 pasien sudah menjalani operasi mata. Perubahan nilai NIBUT, Schirmer I, dan skor keratoepiteliopati lebih besar bermakna pada kelompok serum tali pusat (1,3 vs 0,15; 2 vs 0,5; 6 vs 0). Perubahan skor OSDI kelompok serum tali pusat lebih tinggi pada kelompok serum namun tidak bermakna secara statistik. Kesimpulan: Secara klinis pemberian tetes mata serum tali pusat menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tetes mata sodium hialuronat 0,1%.

Background: Stevens-Johnson syndrome (SJS) is an autoimmune disease that attacks the mucosa of the patient with a mortality rate of up to 35%. Ocular manifestations in SJS are reported in 60-90% of cases. Dry eye manifestation is found in the acute phase as well as in the chronic phase and counted in 46%-59% cases. Dry eye problems in ocular SJS patients cause subjective complaints such as foreign body sensation, pain, photophobia, visual disturbances, and difficulty in opening the eyes. The management of dry eye in ocular SJS varies, but there is no gold standard therapy for with dry eye in ocular SJS patients. Umbilical cord serum eyedrops are currently being developed and used as the treatment for ocular surface disorders. Previous studies have reported good efficacy and safety in dry eye patients receiving umbilical cord serum eyedrops. These studies reported both subjective and objective improvements in dry eye cases. Although it gives satisfactory results, there are no studies that show the efficacy in of dry eye patients associated with SJS. Objective: to evaluate the efficacy of umbilical cord serum eyedrops for severe dry eye in ocular SJS, compared with sodium hyaluronate 0,1% eyedrops. Method: a double-blind randomized control trial comparing two groups. Result: From April 2020 – December 2020 there were 10 eyes from 10 patients included in this study. Mean age of our study is 41,8 ± 15,7 and women is more frequent than men (7 vs 3). Six patients had underwent ocular surgeries prior the study. Changes in NIBUT, Schirmer I, and keratoepitheliopathy scores were significantly greater in the cord serum group (1.3 vs 0.15; 2 vs 0.5; 6 vs 0). Changes in the umbilical cord serum OSDI score were higher in the serum group but not statistically significant. Conclusion: Administration of umbilical cord serum eyedrops showed better clinical outcome compared to sodium hyaluronate 0,1% eyedrops."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arian Aditya Adi Nugroho
"Latar Belakang: Dry eye (DE) menjadi salah satu masalah kesehatan terbanyak yang dilaporkan di lingkungan kantor. Studi sebelumnya telah melaporkan sebesar 1 dari 3 pekerja perkantoran mengalami DE. Gejala DE dapat memengaruhi kenyamatan mata dan menurunkan kualitas hidup, yang selanjutnya dapat memperburuk produktivitas kerja dan menimbulkan beban ekonomi akibat perawatan medis dan menurunnya performa pekerja. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan gejala DE pada pekerja perkantoran dan pekerja lapangan di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional potong lintang untuk menilai gejala DE pada pekerja perkantoran dan penebang tebu dengan menggunakan kuesioner Ocular Surface Disease Index (OSDI) versi Bahasa Indonesia. Penelitian ini juga menilai faktor risiko yang berperan pada terjadinya DE. Hasil: Sebanyak 268 subjek penelitian (142 pekerja kantoran dan 126 penebang tebu) diikutsertakan dalam analisis data. Lebih dari setengah (56.3%) pekerja mengalami gejala DE (OSDI >12). Prevalensi DE lebih besar pada pekerja perkantoran (37.7%) dibandingkan penebang tebu (18.7%) (OR 3.74, IK 95% 2.25, 6.23). Faktor yang mempengaruhi terjadinya DE antara lain usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, durasi jam kerja, status merokok, penggunaan lensa kontak, penyakit sistemik dan durasi menggunakan gadget. Hasil analisis multivariat menunjukan usia merupakan faktor yang paling memengaruhi terjadinya DE (p < 0.001). Kesimpulan: Penebang tebu memiliki risiko tiga kali lebih rendah untuk mengalami DE dibandingkan pekerja perkantoran. Hal ini disebabkan adanya pengaruh lingkungan pada pekerja perkantoran yang dapat meningkatkan risiko terjadinya DE. Kata Kunci: Dry Eye; Mata Kering; OSDI; Risiko Pekerjaan; Pekerja Perkantoran; Penebang Tebu.

Background: Dry eye (DE) is one of the most common health problems in the office environment. Previous study has reported that 1 out of 3 office workers experienced DE. The symptoms of DE may affect eye health and reduce the quality of life, which in turn decrease work productivity and cause an economic burden due to medical treatment and decreased worker performance. This study aimed to compare the severity of DE in office workers and field workers in Indonesia. Methods: This study was a cross-sectional observational study to assess the severity of DE in office workers and sugarcane loggers using the Indonesian version of the Ocular Surface Disease Index (OSDI) questionnaire. This study also assessed the risk factors that play a role in the occurrence of DE. Results: A total of 268 research subjects (142 office workers and 126 sugarcane loggers) were included in the data analysis. More than half (56.3%) of workers experienced DE symptoms (OSDI >12). The prevalence of DE was higher among office workers (37.7%) than sugarcane loggers (18.7%) (OR 3.74, 95% CI 2.25, 6.23). Factors that influence the occurrence of DE included age, gender, type of work, duration of working hours, smoking status, use of contact lenses, systemic diseases and duration of using gadgets. The results of multivariate analysis indicated that age was the most influencing factor for ED (p < 0.001). Conclusion: Sugarcane loggers have three times less risk of presenting DE symptoms than office workers. It is due to environmental influences on office workers which might increase the risk of DE. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Ditra Novara
"Penggunaan gawai oleh mahasiswa terus mengalami perkembangan. Sistem pembelajaran yang berubah drastis akibat pandemi Covid-19 mengharuskan para mahasiswa untuk menghabiskan lebih banyak waktu dengan gawainya sehingga berisiko mengalami gejala sindrom mata kering. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan durasi penggunaan gawai dengan gejala sindrom mata kering pada mahasiswa rumpun ilmu kesehatan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional. Penelitian melibatkan 237 mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan Universitas Indonesia sebagai sampel penelitian yang dipilih melalui urposive sampling. Instrumen penelitian adalah Kuesioner Penggunaan Gadget dan kuesioner Ocular Surface Disease Index. Sebanyak 54,9% responden memiliki durasi penggunaan gawai yang tinggi. Prevalensi gejala sindrom mata kering ditemukan pada 149 responden (62,9%). Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel durasi penggunaan gawai dengan gejala sindrom mata kering pada mahasiswa rumpun ilmu kesehatan (p <0,001). Simpulan penelitian ini adalah semakin tinggi durasi penggunaan gawai, maka semakin tinggi pula gejala sindrom mata kering yang dialami penderita. Mahasiswa sebagai kelompok yang rentan terpapar penggunaan gawai dengan waktu yang cukup lama perlu memberi perhatian lebih terhadap kemungkinan timbulnya masalah penglihatan, termasuk sindrom mata kering.

The use of gadgets among university students continues to grow. The learning system that has drastically changed due to the Covid-19 pandemic requires students to spend more time with their gadgets, putting them at risk of experiencing symptoms of dry eye syndrome. This study aims to determine the relationship between the duration of gadget usage and symptoms of dry eye syndrome in health sciences cluster students. This study is a quantitative study with a crosssectional design. The research sample was selected using purposive sampling with a total of 237 Health Sciences Cluster Students of Universitas Indonesia. The research instruments were the Kuesioner Penggunaan Gadget and the Ocular Surface Disease Index questionnaire. A total of 54.9% of respondents had a high duration of device use. The prevalence of dry eye syndrome symptoms was found in 149 respondents (62.9%). The results of the analysis showed that there was a significant relationship between the variable duration of gadget and symptoms of dry eye syndrome in health sciences cluster students (p <0.001). In summary, the higher the duration of device use, the higher the symptoms of dry eye syndrome experienced by patients. Students as a vulnerable group exposed to the use of gadgets for a long time need to pay more attention to the possibility of vision problems, including dry eye syndrome."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Adinda Putri
"Mata merupakan salah satu bagian tubuh yang penting pada hidup manusia. Menggunakan bantuan mata, kita dapat menjalankan berbagai macam aktivitas dengan mudah. Namun, banyak sekali penyakit yang dapat menyerang mata, salah satunya adalah mata kering. Sebuah studi yang ada telah mengkonfirmasi bahwa sebagian besar pasien dengan penyakit mata kering dilaporkan mengalami disfungsi kelenjar meibom. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengevaluasi kinerja kelenjar meibom pada pasien mata kering. Akan tetapi, pada kenyataannya hasil evaluasi kelenjar meibom oleh tenaga profesional masih sangat subjektif. Seorang dokter mata bisa memiliki pendapat mengenai tingkat kerusakan kelenjar meibom yang berbeda dengan dokter lainnya. Sehingga, alat diagnostik yang efektif diperlukan untuk mengevaluasi kelenjar meibom agar terhindar dari hasil penilaian tenaga profesional yang subjektif. Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan segmentasi kelenjar meibom dengan bantuan deep learning untuk menghindari penilaian tenaga profesional yang subjektif. Penelitian ini menggunakan arsitektur yang bernama U-Net. Data yang dimiliki berjumlah 139 citra meibography berasal dari pasien penyakit mata kering dari Rumah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Departemen Kirana yang terdiri dari 35 citra meibography kelopak mata atas pada mata kanan, 34 citra meibography kelopak mata atas pada mata kiri, 35 citra meibography kelopak mata bawah pada mata kanan, dan 35 citra meibography kelopak mata bawah pada mata kiri. Kemudian citra meibography melalui tahapan anotasi untuk mendapatkan ground truth dan di resize menjadi ukuran 256 x 256. Selanjutnya data tersebut mengalami augmentasi dengan teknik rotasi dan teknik horizontal flip. Sehingga total data citra meibography menjadi 417 citra. Pada penelitian ini data citra meibography dibagi menjadi 3 bagian yaitu data training, data validation, dan data testing. Pada kasus pertama, jumlah data training adalah 80% dari citra meibography yang dimiliki, data validation sebanyak 10% citra meibography dari data training, dan data testing sebanyak 20% citra meibography yang dimiliki. Pada kasus kedua, pembagian data training dan data testing masih sama akan tetapi pembagian data validation adalah 20% dari data training. Pada kasus terakhir pembagian data training dan data testing masih sama akan tetapi pembagian data validation adalah 30% dari data training. Dengan melakukan 5 kali percobaan untuk masing-masing kasus pembagian data, didapat bahwa kasus pertama menghasilkan rata-rata akurasi 94,50% dan rata-rata Intersection over Union (IoU) 72,70%, kasus kedua menghasilkan nilai rata-rata akurasi 94,49% dan rata-rata Intersection over Union (IoU) yaitu 73,86%, dan kasus terakhir memiliki rata-rata akurasi 94,14% dan Intersection over Union (IoU) 72,15%.

The eye is one of the essential body parts in human life. With the eye's help, we can carry out various activities easily. However, many diseases can attack the sights, including dry eyes. An existing study has confirmed that most patients with dry eye disease reported meibomian gland dysfunction. Therefore, it is crucial to evaluate the performance of the meibomian glands in dry eye patients. However, the results of the evaluation of the meibomian glands by professionals are still very subjective. An ophthalmologist may have an opinion regarding the level of meibomian gland damage that is different from other doctors. Thus, an effective diagnostic tool is needed to evaluate the meibomian glands to avoid subjective professional assessment results. Therefore, in this study, segmentation of the meibomian glands was carried out with the help of deep learning to prevent subjective professional judgments. This research uses an architecture called U-Net. The data is 139 meibographic images derived from dry eye patients from Cipto Mangunkusumo Hospital Kirana Department consisting of 35 meibographic images of the upper eyelid on the right eye, 34 meibographic images of the upper eyelid on the left eye, 35 meibographic images of the lower eyelid in the right eye, and 35 meibography images of the lower eyelid in the left eye. Then the meibography image goes through the annotation stages to get the ground truth and is resized to a size of 256 x 256. Furthermore, the data is augmented using rotation techniques and horizontal flip techniques. So, the total meibography image data becomes 417 images. In this study, meibography image data is divided into three parts: training data, validation data, and testing data. In the first case, the amount of training data is 80% of the meibography image, validation data is 10% of the meibography image from the training data, and testing data is 20% of the meibography image. In the second case, the distribution of training data and testing data is still the same, but the distribution of validation data is 20% of the training data. In the last case, the training data distribution and testing data are still the same, but the distribution of validation data is 30% of the training data. By conducting five trials for each case of data division, it was found that the first case produced an average accuracy of 94.50% and an average Intersection over Union (IoU) of 72.70%, the second case made an average accuracy value of 94.49% and the average Intersection over Union (IoU) is 73.86%, and the third case has an average accuracy of 94.14% and Intersection over Union (IoU) 72.15%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Priya Darsini
"Tesis ini bertujuan untuk menilai stabilitas LAM mata kering terkait sindrom Sj gren SS yang diberikan terapi kombinasi tetes mata sodium hialuronat 0,1 SH dan hydroxypropyl HP -guar, atau monoterapi tetes mata sodium hialuronat SH. Sebanyak 17 pasien SS dalam penelitian ini dibagi ke dalam 2 kelompok. Kelompok pertama mendapatkan kombinasi SH dan HP-guar sementara kelompok kedua mendapatkan terapi SH. NIKBUT, Schirmer, skor pewarnaan okular dan sitologi impresi, serta keluhan subjektif yang dilakukan sebelum dan sesudah pemberian obat. Setelah terapi selama 28 hari, terdapat peningkatan median NIKBUT, Schirmer, skor pewarnaan okular, densitas sel Goblet dan keluhan subjektif pada mata kering terkait SS.

The objectives of the study is to assess the stability of dry eye LAM associated with Sj gren syndrome SS given combination therapy of sodium hyaluronate 0.1 SH and hydroxypropyl HP guar, or monotherapy sodium hyaluronic SH. A total of 17 SS patients in this study were divided into 2 groups. The first group received a combination of SH and HP guar while the second group received SH therapy. NIKBUT, Schirmer, ocular staining score and impression cytology, as well as subjective complaints made before and after drug administration. After 28 days of therapy, there was a median increase in NIKBUT, Schirmer, ocular staining scores, Goblet cell density and subjective complaints on SS related dry eyes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>