Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96548 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Silalahi, Henry Ratno Diono
"ABSTRAK
Latar Belakang : Penyakit kardiovaskular merupakan ancaman bagi pasien lupus eritematosus sistemik LES . Penilaian indeks massa tubuh IMT sebagai faktor risiko tradisional penyakit kardiovaskular bersifat tidak akurat akibat terjadinya kaheksia reumatoid pada pasien LES. Pengukuran persentase lemak viseral secara khusus diperkirakan dapat menggantikan IMT. Kekakuan arteri KA merupakan prediktor penyakit kardiovaskular dan penelitian yang ada membuktikan bahwa terjadi peningkatan kekakuan arteri pada pasien LES. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui korelasi antara persentase lemak viseral dengan kekakuan arteri pada pasien LES. Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien LES yang berobat di poliklinik Reumatologi/ Alergi-Imunologi RSCM dalam periode Maret-Mei 2016. Dilakukan pengukuran KA lokal dengan USG arteri karotis komunis menggunakan teknik rf-echotracking untuk mendapatkan nilai pulse wave velocity PWV serta penilaian persentase lemak viseral menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis BIA - Karada Scan HBF-214.Hasil Penelitian : Sebanyak 56 pasien perempuan yang menderita LES diikutsertakan dalam penelitian ini. Rerata nilai KA PWV yaitu 7,23 1,40 m/detik yang termasuk dalam kategori kaku. Rerata persentase lemak viseral didapatkan 4,28 2,74 yang termasuk dalam kategori normal. Pada analisis bivariat tidak didapatkan korelasi persentase lemak viseral dengan KA, dengan nilai r = 0,101 p = 0,458 Kesimpulan : Tidak terdapat korelasi antara persentase lemak viseral dengan kekakuan arteri pada pasien LES yang memiliki persentase lemak viseral yang normal.

ABSTRACT
Background Cardiovascular disease is a threat for systemic lupus erythematosus SLE patients. Assessment of body mass index BMI as the traditional risk factor for cardiovascular disease is not accurate due to the occurrence of rheumatoid cachexia. The measurement of visceral fat percentage is expected to replace the assesment of BMI . Arterial stiffness AS is a predictor of cardiovascular disease and many studies have shown arterial stiffness in SLE patients. This study was aimed to find correlation between visceral fat percentage and arterial stiffness in SLE patients. Methods A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital rheumatology allergy immunology outpatient clinic between March May 2016. Arterial stiffness was measured by carotid artery ultrasound using rf echotracking technic to get pulse wave velocity PWV value. Assessment of visceral fat percentage was measured by using bioelectrical impedance analysis BIA Karada Scan HBF 214 . Results 56 SLE female subjects met the inclusion criteria. Mean of PWV 7,23 1,40 m s, which was categorized in stiff artery. Mean of visceral fat percentage 4,28 2,74 , which was categorized in normal. In bivariate analysis we found no correlation between visceral fat percentage with arterial stiffness r 0,101 p 0,458 Conclusion There was no correlation between visceral fat percentage with arterial stiffness PWV in SLE patients with normal percentage of visceral fat. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58667
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
"Latar Belakang: Anti dsDNA merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis yang berasal dari LES dan belum ada penelitian yang melihat hubungan antara kadar anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunik intima-media arteri karotis.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang, melibatkan 84 pasien LES dengan kriteria inklusi adalah pasie LES yang memenuhi kriteria diagnosis sesuai dengan ACR 1997 atau SLICC 2012, dan kriteria eksklusi adalah bila terdapat variasi anatomi pembuluh darah yang tidak dapat dilakukan pengukuran. Anti dsDNA diperiksa dengan menggunakan ELISA dan USG Doppler dilakukan pada pasien untuk mengukur ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis (max-IMT). Analisa statistik dilakukan dengan uji parametrik Pearson dan bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji non parametrik Spearman.
Hasil: Delapan empat responden (82 perempuan dan 2 laki-laki) dilakukan analisa. Rerata usia pasien 35,5±8,9 tahun dengan 64,3% berusia di bawah 40 tahun, median anti dsDNA 38,9 IU/L(0,9 ? 750 IU/L) dan Median max-IMT adalah 581 μm (385-1800 μm). Terdapat 43 (51,2 %) pasien dengan ketebalan pada tunika intima-media arteri karotis, 36 (42,9%) pasien dengan ketebalan saja, 6 (7,1%) pasien dengan ketebalan pada tunika intimamedia dan plak dan 1 (1,2%) pasien dengan plak di near wall bulbus kiri tanpa disertai dengan ketebalan pada tunika intima-media. Plak terutama ditemukan pada bulbus karotis kanan dan kiri. Berdasarkan uji korelasi speraman's tidak terdapat korelasi antara ati dsDNA dengan ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis. (r = 0,073, p= 0,520).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis pada pasien LES.

Background: Anti dsDNA is considered as one of SLE-related risk factors for atherosclerosis. The evaluation of Carotid intimal-media thickness has recently became one of the surrogate markers for atherosclerosis. Until now, there hasn't been any study relate the level of anti dsDNA antibody with Carotid intimal-media thickness. This study is conducted to determine the correlation between anti dsDNA and Carotid intima-Media Thickness.
Methods: This is a cross sectional study, 84 SLE patients were included. Patients diagnosed as SLE according to ACR 1997 or SLICC 2012 criteria were included in the study, while SLE patients with anatomical variation which difficult to measured were excluded from this study. Doppler ultrasound was carried out for patients and max-IMT was measured. Anti dsDNA was measured with ELISA.
Study results: Eighty four subjects (82 female, 2 male) were included. Mean age was 35,5 ±8,9 years old, 64,3 % between 18-39 years old, median anti dsDNA level 38,9 IU/L (0,9 - 750 IU), and median max-IMT value was 581 μm. There were 43 (51,2 %) patients Carotid intima-media thickness, 36 (42,9%) patients with increased IMT only, 6 (7,1%) patients with increase IMT and Plaque, and 1 (1,2%) patient with plaque in near wall left bulbus without increased IMT. Based on spearman's correlation test there are no correlation between anti dsDNA and max-IMT (r=-0,073, p= 0,520).
Conclusion: There are no correlation between anti dsDNA level and Carotid intimal-media thickness this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Perdana Aditya Rahman
"ABSTRAK
Latar Belakang
Kejadian trombosis merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien LES, selain infeksi dan aktivitas penyakit. Faktor risiko trombosis pada LES sangat beragam seperti sindrom antifosfolipid, aterosklerosis dini, autoantibodies dan inflamasi yang akan mengaktifkan trombosit dan jalur koagulasi. Studi ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara MPV dengan D-dimer dan Mex-SLEDAI dan mencari titik potong dari MPV yang memberikan peningkatan D-dimer.
Metode
Studi potong lintang pada pasien LES yang tidak mengonsumsi antiplatelet/ antikoagulan. Penelitian ini mengeksklusi pasien dengan tuberkulosis/ herpes zoster aktif, wanita hamil, sepsis dan gangguan hati. Seluruh pasien dinilai aktivitas penyakitnya dengan Mex-SLEDAI dan sampel darah diambil untuk pemeriksaan MPV dan D-dimer. Korelasi antara MPV dengan Mex-SLEDAI dan D-dimer dianalisis dengan uji Spearman.
Hasil Penelitian
Enam puluh tiga subyek (62 perempuan, 1 laki-laki), dengan median usia 33 (18-55) tahun. Median durasi terdiagnosis adalah 3 (0-25) tahun. Keterlibatan mukokutan, muskuloskeletal dan nefritis didapatkan pada 82,5%, 79,4%, dan 50,7% berturut-turut. Skor Mex-SLEDAI berentang dari 0 – 13, dengan 60.3% subyek dalam kondisi remisi (< 2) dan 27% berada dalam kondisi aktif (> 5). Median dari MPV adalah 9,9 (8,2-12,9) fL dan median dari D-dimer 365,51 (97,58 – 4938,1) ng/ml. Tidak didapatkan korelasi antara MPV dengan D-dimer (r= 0,049, p= 0,700), dan MPV dengan Mex-SLEDAI (r= 0,018, p= 0,888). Tidak didapatkan perbedaan MPV antara kelompok D-dimer normal dan tinggi, yaitu 9,75 (8,6 – 12,9) dan 10,1 (8,2 – 12,8) fL, p = 0,641. Dari kurva ROC, MPV 10,3 fL memiliki sensitifitas 48,1% dan spesifisitas 75% dalam memprediksi peningkatan D-dimer.
Kesimpulan
Tidak didapatkan korelasi antara MPV dengan D-dimer dan MPV dengan Mex-SLEDAI. Tidak didapatkan perbedaan MPV antara kelompok D-dimer normal dan tinggi. Titik potong MPV untuk memprediksi peningkatan D-dimer adalah 10.3 fL.

ABSTRACT
Background
Thrombotic event is one of mortality cause in SLE patients beside infection and disease activity. Thrombotic risk factors in SLE consist of antiphospholipid syndrome, accelerated atherosclerosis, autoantibodies and inflammation that will activate platelet and coagulation cascade. This study aimed to determine the correlation between MPV with D-dimer and Mex-SLEDAI as parameter of disease activity, and to find the cut-off value of MPV that correlate with D-dimer levels.
Methods
A cross sectional study of SLE patients who do not consume antiplatelet/ anticoagulant medication. Active tuberculosis/ herpes zoster, pregnant woman, sepsis, and liver disorders were excluded. All patients were assessed for Mex-SLEDAI score and blood sample for MPV and D-dimer was taken. Correlation between MPV with Mex-SLEDAI and D-dimer was analyzed using Spearman’s analysis test.
Study Results
Sixty three subjects (62 females, 1 male), with median age 33 (18-55) years old. Median duration of diagnosis is 3 (0–25) years. Mucocutaneous, musculoskeletal and nephritis were found in 82.5%, 79.4% and 50.7% subjects respectively. Mex-SLEDAI score ranging from 0–13, 60.3% subjects are in remission (<2) and 27% in active disease (>5). Median of MPV 9.9 (8.2–12.9) fL and median of D-dimer 365.51 ng/ml (97.58–4938.10). There were no correlation between MPV with D-dimer (r=0.049, p=0.700), and MPV with Mex-SLEDAI (r=0.018, p=0.888). There is no difference of MPV among groups with normal or high D-dimer, which are 9.75 (8.6 – 12.9) and 10.1 (8.2 – 12.8) fL, p = 0.641. From ROC curve, MPV 10.3 fL had 48.1% sensitivity and 75% specificity in predicting D-dimer increment.
Conclusions
There are no correlation between MPV with D-dimer level and MPV with Mex-SLEDAI score. There is no difference of MPV among group with normal and high D-dimer levels. Cut-off value for MPV to predict increased D-dimer level was 10.3 fL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58760
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Immanuel Adhimulia
"Trombositopenia merupakan manifestasi hematologis pada pasien lupus eritematosus sistemik (LES) yang berhubungan dengan prognosis buruk. Kadar C3, C4, dan anti-dsDNA berhubungan dengan aktivitas penyakit pada pasien LES. Peningkatan aktivitas penyakit berhubungan dengan penurunan kadar trombosit pada pasien LES melalui aktivasi komplemen dan interaksi autoantibodi dengan trombosit. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui korelasi kadar serum C3, C4, dan anti-dsDNA terhadap hitung trombosit pada pasien LES dengan trombositopenia. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan menggunakan desain studi potong lintang. Penelitian ini merekrut subjek LES dengan hitung trombosit <150.000/µL. Kadar C3, C4, dan anti-dsDNA serta hitung trombosit diukur pada awal kunjungan pasien. Didapatkan 41 subjek LES dengan trombositopenia. Hitung trombosit memiliki korelasi yang bermakna terhadap kadar C3 (p=0.004; r=0.445) dan anti-dsDNA (p=0.001; r=-0.481). Namun, tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara hitung trombosit dengan kadar C4 (p=0.052; r=0.306). Terdapat korelasi yang bermakna antara hitung trombosit dengan aktivitas penyakit dan kadar C3 serta anti-dsDNA pada subjek LES dengan trombositopenia. Namun, tidak terdapat korelasi yang bermakna antara hitung trombosit dengan kadar C4.

Thrombocytopenia is a hematological manifestation in systemic lupus erythematosus (SLE) patients that is associated with a poor prognosis. C3, C4, and anti-dsDNA levels have been associated with disease activity in SLE patients. Increased disease activity is associated with decreased platelet levels in SLE patients through complement activation and autoantibody interactions with platelets. The aim of this study was to determine the correlation of serum levels of C3, C4, and anti-dsDNA with platelet counts in SLE patients with thrombocytopenia. This research is an observational analytical study using a cross-sectional study design. This study recruited subjects of SLE patients with platelet counts <150,000/µL. C3, C4, and anti-dsDNA levels and platelet counts were measured at the initial patient visit. This study recruit 41 samples of SLE patients with thrombocytopenia. Platelet count had a significant correlation with C3 levels (p=0.004; r=0.445) and anti-dsDNA (p=0.001; r=-0.481). However, no significant correlation was found between platelet count and C4 levels (p=0.052; r=0.306). There is  a significant correlation between platelet count and disease activity and C3 and anti-dsDNA levels in SLE patients with thrombocytopenia. However, there was no significant correlation between platelet count and C4 levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusiani
"Latar Belakang: Lupus Eritematosus Sistemik LES adalah suatu penyakit autoimun kronik yang melibatkan multiorgan dan multietiologi. Komplikasi kardiovaskular pada pasien LES merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar. Proses aterosklerosis diketahui terjadi pada pasien LES usia muda dan menjadi salah satu faktor penyebab disfungsi diastolik. Penegakkan diagnosis disfungsi diastolik memerlukan pemeriksaan yang cukup mahal dan tidak merata di setiap fasilitas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode diagnostik yang lebih mudah dan murah tetapi tetap dapat diandalkan untuk penegakkan diagnostik tersebut, seperti metode sistem skoring. Umur, lama sakit, komorbiditas hipertensi dan atau diabetes mellitus dan atau dislipidemia , anemia, Index Massa Tubuh IMT , kadar serum kreatinin, dan APS diketahui berhubungan dengan disfungsi diastolik dan dapat menjadi determinan diagnosis disfungsi diastolik pada pasien LES.
Tujuan: Menetapkan sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES berdasarkan determinan umur, lama sakit, komorbiditas, anemia, IMT, kadar serum kreatinin, dan APS.
Metode: Penelitian uji diagnostik potong-lintang cross sectional terhadap 127 pasien LES di RSCM sejak bulan April 2017 sampai Mei 2017. Data yang digunakan adalah data primer berupa wawancara, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan ekokardiografi transtorakal, serta data sekunder yang diperoleh dari rekam medis.
Hasil: Terdapat 9 7.08 subjek penelitian yang mengalami disfungsi diastolik. Lima dari tujuh determinan masuk dalam analisis multivariat. Setelah pemodelan, didapatkan APS dengan bobot skor 2 dan komorbiditas dengan bobot skor 1 yang selanjutnya menjadi bagian dari sistem skoring diagnosis disfungsi diastolik pasien LES. Sistem skoring ini kemudian di uji dengan kurva ROC dan didapatkan AUC sebesar 80.3 95 IK 62.7-97.8 dengan titik potong terbaik adalah lebih sama dengan 2. Skor ge;2 memiliki sensitifitas 44 , spesifisitas 94.9 , nilai prediksi positif 60 , dan nilai prediksi negatif 95.7 . Uji validasi interna dan eksterna menghasilkan nilai yang baik.
Simpulan: Proporsi disfungsi diastolik pasien LES di RSCM adalah 7.08 . Determinan diagnosis disfungsi diastolik pasien LES adalah APS dan komorbiditas. Skor ge;2 merupakan titik potong terbaik untuk menentukan bahwa pasien LES mengalami disfungsi diastolik.

Background : Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease involving multiorgan and multietiology. Cardiovascular complication in SLE patients is one of the highest causes of morbidity and mortality. It is known that premature atherosclerosis occurs in young SLE patients and related to diastolic dysfunction. The diagnostic of diastolic dysfunction requires a quite expensive and uneven examination at every health facilities. Therefore, it's necessary to have an accessible and inexpensive but reliable diagnostic method, such as a scoring system. Age, duration of pain, comorbidities hypertension and or diabetes mellitus and or dyslipidemia , anemia, Body Mass Index BMI , serum creatinine level, and APS are known to be associated with diastolic dysfunction and can be a determinant diagnostic of diastolic dysfunction in SLE patients.
Objective : Establish a diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients with determinants of age, duration of pain, comorbidities, BMI, serum creatinine level, and APS.
Methods : A cross sectional diagnostic study with 127 SLE patients in RSCM from April 2017 to May 2017. The data used are primary data such as interviews, physical examination, and transthoracic echocardiography, as well as secondary data was obtained from medical records.
Results : There were 9 7.08 subjects with diastolic dysfunction. Five from seven determinants can be used in multivariate analysis. After modeling, APS was obtained with score of 2 and comorbidities with score of 1, further it becomes a part of diagnostic scoring system of diastolic dysfunction in SLE patients. The scoring system was tested with ROC curve and obtained AUC of 80.3 95 IK 62.7 97.8 with the best cut off point was ge 2. A score of ge 2 had a sensitivity of 44 , specificity of 94.9 , positive predictive value of 60 , and negative predictive value of 95.7 . Internal and external validation test produce a good value.
Conclusions : The proportion of diastolic dysfunction in SLE patients in RSCM is 7.08 . Diagnostic determinants of diastolic dysfunction in SLE patients are APS and comorbidities. A score of ge 2 is the best cut off point for determining that SLE patients has a diastolic dysfunction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Nadim
"Latar Belakang. Depresi sering ditemukan pada pasien lupus eritematosus sistemik (LES) dan berhubungan dengan aktivitas penyakit LES. Kurangnya perhatian klinisi terhadap penapisan hingga tatalaksana depresi pada LES sangat berperan. Hospital Anxiety and Depression Scal (HADS) merupakan salah satu skala pengukuran depresi berbentuk kuesioner yang sering dan mudah digunakan serta memiliki banyak terjemahan yang tervalidasi sedangkan Mexican- Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (Mex-SLEDAI) merupakan sistem skoring untuk menilai aktivitas penyakit LES dengan biaya minimal namun mempunyai reliabilitas dan validitas yang baik. Rasio neutrofil-limfosit (RNL) merupakan penanda inflamasi sistemik sedangan anti-dsDNA merupakan autoantibodi spesifik pada LES yang kadarnya meningkat seiring dengan aktivitas penyakit. Saat ini di Indonesia, belum ada penelitian yang mengkorelasikan antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA dan skor Mex-SLEDAI pada LES.
Tujuan. Mengetahui korelasi antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA dan skor Mex-SLEDAI pada pasien LES.
Metode. Studi ini menggunakan desain potong lintang, dilakukan analisis data primer pasien LES usia 18-60 tahun. Dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik serta pengisian kuesioner HADS diikuti dengan pengambilan sampel darah untuk menilai kadar anti-dsDNA dan melengkapi perhitungan skor Mex-SLEDAI. Korelasi antara skor HADS-D dengan RNL, kadar anti-dsDNA, dan skor Mex-SLEDAI didapat dengan uji korelasi Spearman menggunakan SPSS.
Hasil. Dilakukan analisis pada 121 subjek. Seluruh sampel adalah perempuan dengan median usia 31 (24-39) tahun. Median skor HADS-D sebesar 6 (4-7), median RNL sebesar 2,64 (1,945-3,91), median anti-dsDNA sebesar 133,5 (29,8-388,5), dan median skor Mex-SLEDAI sebesar 5 (3-10). Terdapat korelasi positif sangat lemah antara skor HADS-D dengan RNL (r 0,18 dan p 0,048). Terdapat korelasi positif lemah antara skor HADS-D dengan Mex-SLEDAI (r 0,244 dan p 0,007). Tidak terdapat korelasi antara skor HADS-D dengan anti-dsDNA.
Kesimpulan. Terdapat korelasi positif antara skor HADS-D dengan RNL dan skor Mex-SLEDAI tetapi tidak ada korelasi antara skor HADS-D dengan kadar anti-dsDNA pada pasien dengan LES.

Background. Depression is common in systemic lupus erythematosus (SLE) and can increase SLE disease activity. Lack of clinical attention to screening until the management of depression play an important role. Hospital Anxiety Depression Scale (HADS) is a depression measurement scales that is often and easy to use while Mexican-Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index (Mex-SLEDAI) is a scoring system to asses disease activity at lower cost but has good reliability and validity. Neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) is a systemic inflammation marker whereas anti-dsDNA is a specific antibody for SLE. In  Indonesia, there are no studies that correlate HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score in SLE patients.
Objective. To determine the correlation between HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score in SLE patients.
Methods. This study used a cross-sectional design that analysed the primary data of SLE patients aged 18-60 years. Interviews and physical examinations were carried out as well as filling out the HADS questionnaire followed by blood sampling to assess anti-dsDNA levels and calculate Mex-SLEDAI score. The correlation between HADS-D score with NLR, anti-dsDNA level, and Mex-SLEDAI score were obtained by using the Spearman correlation test using SPSS.
Results. This study analysed on 121 subjects with a median age of 31 (24-39) years. The median HADS-D score was 6 (4-7), median NLR was 2.64 (1.945-3.91), median anti-dsDNA level was 133.5 (29.8-388.5), and median Mex- SLEDAI score was 5 (3-10). There is a very weak positive correlation between HADS-D and NLR (r 0.18 and p 0.048) and weak positive correlation between HADS-D and Mex-SLEDAI (r 0.244 and p 0.007). There is no correlation between HADS-D and anti-dsDNA.
Conclusion. There are positive correlation between HADS-D score with NLR and Mex-SLEDAI score but there is no correlation between HADS-D score with anti-dsDNA level in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raihanah Suzan
"Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien lupus eritematosus sistemik perempuan usia dewasa.
Metode: Peneltian ini merupakan penelitian potong lintang pada 36 pasien SLE perempuan dewasa dari Poliklinik Reumatologi di RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Pengambilan data subyek meliputi usia, klasifikasi penyakit SLE, obat-obatan yang digunakan, tipe kulit, penggunaan tabir surya, bagian tubuh yang tertutup pakaian, lama terpajan sinar matahari, indeks massa tubuh (IMT), asupan vitamin D, dan kadar 25(OH)D serum.
Hasil: Sebagian besar (41,7%) subyek berusia antara 36–45 tahun, tergolong klasifikasi SLE ringan (52,8%), selalu menggunakan tabir surya (63,9%), tipe kulit IV (69,4%), dan memakai pakaian yang menutupi seluruh/sebagian besar tubuh (69,4%), serta tidak terpajan dan terpajan sinar matahari <30 menit (77,8%). Semua subyek menggunakan kortikosteroid. Separuh subyek memiliki berat badan normal berdasarkan IMT, sebagian besar (55,6%) subyek mempunyai asupan vitamin D cukup berdasarkan AKG 2012, dan 28 subyek (77,8%) menderita defisiensi vitamin D ( kadar 25(OH)D serum <50 nmol/L). Didapatkan korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada subyek penelitian (r = 0,52; P <0,01).
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif yang sedang antara asupan vitamin D dengan kadar 25(OH)D serum pada pasien SLE perempuan dewasa (r = 0,52; P <0,01).

Objective: the aim of the study is to investigate the correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 36 adult woman patients with SLE from Rheumatology Clinic of the Departemen of Internal Medicine Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. Data collection included age, SLE classification, drugs, skin type, use of sunscreen, part of the body covered by clothes, length of sun exposure, body mass index (BMI), vitamin D intake, and serum 25(OH)D concentration.
Results: Most of the subjects (41.7%) aged 36–45 years old, classified as mild SLE (52.8%), always used sunscreen (63.9%), skin type IV (69.4%), wearing clothes that covered all or almost of the body (69.4%), and not exposed or had sun exposure less than 30 minute (77.8%). All subjects used corticosteroid. Based on BMI half of the subjects had normal body weight, Based on AKG 2012 most (55.6%) had adequate vitamin D intakes, and 28 subjects (77.8%) were in vitamin D-deficient (serum 25(OH)D concentration <50 nmol/L). There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration in subjects (r = 0.52; P <0.01).
Conclusion: There were moderate positive correlation between vitamin D intake and serum 25(OH)D concentration of adult woman SLE patients (r = 0.52, P <0.01).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Anindito
"ABSTRAK
Latar Belakang:
Perkembangan dalam tatalaksana Lupus eritematosus sistemik (LES) telah meningkatkan
kesintasan pasien dengan LES. Kualitas hidup merupakan komponen evaluasi terapi LES dan
value based medicine. Salah satu kuesioner khusus untuk menilai kualitas hidup adalah
Lupus QoL. Saat ini di Indonesia belum ada kuesioner khusus penilaian kualitas hidup pada
pasien dengan LES. Penelitian ini bertujuan membuktikan Lupus QoL sahih dan andal dalam
menilai kualitas hidup pasien dengan LES di Indonesia.
Metode:
Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Penelitian diawali dengan menerjemahkan
Lupus QoL ke dalam bahasa Indonesia kemudian diujicobakan pada 10 responden. Penelitian
kemudian dilanjutkan pada jumlah sampel yang lebih besar. Keandalan dievaluasi dengan
Intraclass Correlation Coefficient (ICC) pada tes dan tes ulang dan cronbach α pada
konsistensi internal. Kesahihan konstruksi dinilai dengan multi trait scaling analysis.
Kesahihan eksternal dinilai dengan menilai korelasi antara Short form 36 (SF36) dengan
Lupus QoL dan aktivitas penyakit.
Hasil:
Pengambilan data terhadap 65 pasien LES yang berobat di unit rawat jalan Ilmu Penyakit
Dalam RSCM selama bulan Oktober ? November 2015. Kesahihan eksternal Lupus QoL baik
dengan korelasi terhadap SF36 dengan r :0.38 ? 0.66 (p<0.05). Multi trait analysis scaling
menunjukkan korelasi yang baik antara nilai tiap domain dengan nilai total (r:0.46 ? 0.85)
dan antara skor tiap butir pertanyaan dan skor total domain (r:0.44 ? 0.93). Nilai ICC
(interval 7 hari) baik (ICC>0.7). Nilai cronbach α> 0.7 pada setiap domain. Korelasi Lupus
QoL terhadap aktivitas penyakit memiliki korelasi yang lemah dan tidak bermakna yang
sesuai dengan penelitian ? penelitian sebelumnya.
Simpulan:
Kuesioner Lupus QoL Indonesia sahih dan andal dalam menilai kualitas hidup pada pasien
dengan LES di Indonesia

ABSTRACT
Background:
The development in Systemic Lupus Erythematosus treatment has led into the increasment of survival.
Quality of life has become a component to evaluate therapy ini SLE and value based medicine. One
spesific questionnaire to asses quality of life is Lupus Quality of Life (Lupus QoL). Currently in
Indonesia there has not been spesific questionnaire to asses quality of life in SLE patients. This study
aims to prove that Lupus QoL is valid and reliable to asses the quality of life in SLE patients in
Indonesia.
Methods:
This study is cross sectional study. This study began with the translation the Lupus QoL into
indonesian language then tested in 10 respondents. After that,this study continued with a larger
sample size. The intraclass coefficient correlation was used to evaluate test and re test reliability, the
cronbach alpha was used to evaluate internal consistency. Construct validity evaluated using multi
trait scaling analysis and the extrenal validity evaluated using the correlation between domains in
short form 36 (SF 36) with Lupus QoL and with disease activity. Results:Data collection were done
on 65 SLE patients in Oktober ? November 2015 in RSCM. The external validity with SF 36 was good
with r:0.38-0.66(p<0.05). The construct validity is good with r > 0.4 (0.44 ? 0.93). The ICC value in
one week >0.7 and Cronbach α was >0.7 in each domain. The correlation with disease activity was
weak and consistent with another studies.
Conclusion:
Lupus QoL questionnaire is valid and reliable to asses quality of life in SLE patients in Indonesia."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Dewi Satria
"Latar belakang: Lupus eritrematosus sistemik (LES) adalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi yang bervariasi. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin pleitropik yang mempunyai aktivitas biologis dengan rentang luas yang berperan penting pada regulasi imun dan inflamasi. Saat ini belum ada biomarker yang dapat membedakan kondisi remisi total dengan aktivitas penyakit ringan. Interleukin-6 diharapkan dapat digunakan sebagai parameter aktivitas penyakit terutama pada kasus-kasus dimana antara manifestasi klinis dan skor SLEDAI tidak sesuai yaitu pada pasien LES dengan aktivits ringan dan remisi total.
Tujuan: Mengetahui karakteristik IL-6 pada LES anak dengan berbagai aktivitas ringan dan remisi total.
Metode: Penelitian kasus kontrol dilakukan di poli rawat jalan Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta mulai Mei hingga Juni 2019. Pasien anak usia 1-18 tahun dengan diagnosis LES dinilai kadar IL-6 dan aktivitas penyakit yang dinilai dengan skor SLEDAI. Uji korelasi chi square dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan luaran. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Window ver 20,0
Hasil: Dari 60 subjek penelitian yang terdiri dari 30 pasien LES aktivitas ringan dan 30 remisi total. tidak ada perbedaan kadar IL-6 tinggi pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol dengan p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628). Terdapat 2 subyek dengan kadar IL-6 tinggi menderita infeksi saluran kencing.
Simpulan: Tidak ada perbedaan aktivitas penyakit pada pasien LES anak dengan aktivitas ringan dibanding remisi total.

Background: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex disease with various manifestations. Interleukin-6 (IL-6) is a pleiotropic cytokine with a wide range of biological activities that plays an important role in immune regulation and inflammation. Recently, there is no other biomarker that could differentiate total remission condition and mild disease activity in juvenile SLE. Interleukin-6 may be used as a parameter of disease activity, especially in the cases with different clinical manifestations and SLEDAI scores among SLE patients with mild activities and total remissions.
Aim: To indentify the characterictics of serum IL-6 concentration in juvenile systemic lupus erythematosus with mild activities and total remissions.
Methods: Case control study was performed at outpatient clinic of allergy-immunology, department of child health dr. Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta and dr. Sardjito hospital, Yogyakarta during May-June 2019. Serum IL-6 consentration and disease activity were assessed in all juvenile SLE patients aged 1-18 year. SLE disease activity was assessed with SLEDAI scores and serum level of IL-6 was measured by enzyme linked immunosorbent assay. Chi square correlation analysis was used to determine the correlation of serum IL-6 concentration with disease activity in juvenile SLE patients. Analyses of data were performed using the SPSS statistical software for windows version 20,0.
Results: Among 60 subjects included in this study, 30 subjects with mild activities in the case group and 30 subjects with total remissions in the control group. There was no differences of serum IL-6 concentration between case and control group (p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628)). In this study, we found 2 subjects with urinary tract infection have high serum IL-6 concentration.
Conclusion: There was no differences of serum IL-6 concentration between juvenile SLE patients with mild activities compared with total remissions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamid Faqih Umam
"Lupus Eritematosus Sistemik LES merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya autoantibodi yang menyerang antigen sendiri. Kasus LES setiap tahunnya mengalami peningkatan. LES pada anak berkontribusi sebesar 15-20 dari keseluruhan penderita. Penyakit ini dapat menyerang berbagai sistem organ. Komplikasi endokrinopati berupa gangguan pubertas yang cukup sering terjadi pada anak. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai gangguan pubertas pada anak LES di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya amenore pada anak LES. Penelitian dilakukan menggunakan desain potong lintang pada pasien anak perempuan usia 11-18 tahun di Poliklinik Alergi dan Imunologi dan Poliklinik Endokrinologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara. Terdapat 25 subjek yang diikutsertakan.
Hasil penelitian dilakukan analisis statistik menggunakan uji Chi-square dan uji Fisher. Prevalensi pubertas terlambat terjadi pada satu subjek 4 ; IK95 = -0,04-0,12 dan amenore terjadi pada dua belas subjek 48 ; IK95 = 0,27-0,69. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara amenore dengan durasi penyakit p=1,000; PR=1,05, aktivitas penyakit p=1,000; PR=0,86, durasi kortikosteroid p=0,673; PR=1,23, dan jenis terapi p=0,198; PR=0,55.
Hasil penelitian tidak bermakna karena besar sampel tidak memenuhi jumlah minimal. Dari hasil tersebut, belum dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara amenore terhadap durasi penyakit, aktivitas penyakit, durasi kortikosteroid, dan jenis terapi.

Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease characterized by autoantibodies that attack self antigen. The case of SLE each year has increased. SLE in children contributes 15 20 of all patients. This disease can attack various organ systems. Complications of endocrinopathy in the form of pubertal disorders are quite common in children. Until now, there has been no research on pubertal disorders in children with SLE in Indonesia.
This study aims to determine the prevalence and associated factors of amenorrhea in children with SLE. This study was a cross sectional study in girls aged 11 18 years at Allergy and Immunology Polyclinic and Endocrinology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital. There are 25 subjects included.
The result of the research was statistical analysis using Chi square test and Fisher test. The prevalence of delayed puberty occurs in one subject 4 IK95 0,04 0,12 and amenorrhea occurs in twelve subjects 48 IK95 0,27 0,69. There was no significant association between amenorrhea with disease duration p 1,000 PR 1,05, disease activity p 1,000 PR 0,86, corticosteroid duration p 0,673 PR 1,23, and type of therapy p 0,198 PR 0,55.
The results were not significant because the sample size did not meet the minimum amount. From these results, it can not be concluded yet that there is no association between delayed puberty and amenorrhea with disease duration, disease activity, corticosteroid duration, and type of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>